Kontributor:
Ahmad Susantri (Liwa, Lampung),
Ariesta Putri Rubyatomo (Jakarta Timur, DKI Jakarta),
Assabti Nur Hudan M (Yogyakarta, DIY),
Arusali (Wakatobi, Sulawesi Tenggara),
Bathara Saverigadi D. (Bekasi, Jawa Barat),
Dani S. Budiman (Cilacap, Jawa Tengah),
Devi Nur Safitri (Grobogan, Jawa Tengah),
Eivria Ardianti (Tangerang, Banten),
Kustiana (Bandung, Jawa Barat),
Muhammad Ilham Mustain Murda (Jayapura, Papua),
I Putu Rai Dhira Aditya (Klungkung, Bali),
Yussi Ambar Sari, (Sumbawa, Nusa Tenggara Barat)
Editor :
Dewi Kharisma Michellia
Pengamat & Penyelia :
Nadya Gadzali
Mentor:
Dewi Kharisma Michellia
Mohammad Refi Omar Ar Razy
Sari Asih
Narasumber:
Premana Wardayanti Premadi
Endo Suanda
Grace Leksana
Time Invader: Bodies In/Out of Place
Tiga elemen utama dalam tari adalah energi, ruang dan waktu. Koreografi diciptakan dengan kesadaran bahwa tubuh menghasilkan energi yang diolah untuk menguasai sebuah ruang tertentu dalam kurun waktu tertentu. Metode analisis Laban, misalnya, mengamati hubungan tubuh dan waktu dengan mengamati tempo yang hadir melalui kecepatan, kelambatan, ketiba-tibaan, dan tahanan (sustained), sedangkan keterhubungan dengan ruang dilihat melalui volume gerak, level/ketinggian, berat/ringan/arah tubuh, dan tata letak tubuh di panggung. Martha Graham dikenal dengan teknik ‘contraction and release’ yang mempengaruhi volume dan ritme tubuh dalam komposisi tari.
Lebih dari itu, seni tari berpeluang menghadirkan tubuh yang melintas waktu. Tari-tarian klasik dan tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi menghadirkan komposisi gerak yang diciptakan puluhan bahkan ratusan tahun lalu di hadapan penonton hari ini. Tari juga kerap menjadi ruang untuk mengeksplorasi tubuh yang berangkat dari memori, arsip, dan artefak kesejarahan yang dipandang dan diolah melalui daya imajinasi kontemporer. Di sisi lain, kemajuan teknologi yang semakin pesat berpotensi menjadi media untuk menghadirkan tubuh yang jauh, yang sudah tiada, atau yang benar-benar baru diciptakan. Melalui teknologi juga, sistem pengarsipan tari mengalami kemajuan dan dipandang sebagai praktik futuristik karena berangkat dari kebutuhan untuk melakukan transfer pengetahuan, konservasi atau preservasi tubuh tari bagi generasi di masa depan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa tari membuka potensi bagi tubuh untuk menginvasi linimasa dengan menempatkan diri di masa lalu, kini, dan di masa yang akan datang, meski secara korporeal tubuh yang benar-benar hadir adalah tubuh dalam tari yang ditampilkan dalam ruang hari ini. Pertanyaan yang mengikuti preposisi ini adalah, bagaimana tubuh tari memanifestasikan gagasan mengenai invasi terhadap linimasa? Ketika seorang seniman tari mengolah gagasan yang muncul dari arsip atau situs-situs bersejarah, kosa gerak seperti apa yang muncul? Bagaimana tubuhnya mengatasi jarak terhadap waktu, atau bagaimana tubuh tari menghubungkan diri pada sebuah ruang yang memiliki sejarah panjang?
Nirmal Puwar memproblematisasi fenomena perlintasan tubuh dalam ruang dengan menyoroti bahwa ‘ruang’ sesungguhnya tidak pernah netral :
“..social spaces are not blank and open for any body to occupy. There is a connection between bodies and space, which is built, repeated and contested over time. While all can, in theory, enter, it is certain types of bodies that are tacitly designated as being the ‘natural’ occupants of specific positions.” (2004:8)
Puwar menandai fenomena “body out of place” yang kerap terjadi di dalam kehidupan kita sehari-hari karena konvensi normatif yang kita pahami mengenai sebuah tempat. Lapangan bola dan ruang parlemen, misalnya, dipandang sebagai ruang yang maskulin sedangkan salon atau pasar sebagai ruang feminin, sebuah perpanjangan dari dikotomi gender mengenai penguasaan ruang publik/domestik. Tempat (place), tidak hanya dilihat sebagai sebuah satuan geografis, namun sebagai suatu ruang (space) yang memiliki nilai sosial yang lekat terhadapnya. Normativitas pandangan politis terhadap ruang ini menyebabkan perlintasan yang terjadi di dalamnya sebagai laku pelanggaran (trespassing).
Seiring dengan berbagai perubahan dan perkembangan sosial, keajegan nilai politis ruang terus menerus mengalami pergeseran. Dorongan untuk mengembangkan inklusi sosial misalnya, menyebabkan munculnya kelompok-kelompok minoritas atau bahkan yang selama ini tak kasat mata (invisible) muncul di ruang-ruang yang selama ini menolaknya, yang lama-kelamaan ‘normal’ menerima kehadirannya. Jika dulu masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat mengalami banyak pembatasan ruang, kini mereka memiliki hak yang sama di ruang publik, seperti halnya Keraton Mangkunegaran yang dahulu hanya bisa diakses oleh kaum bangsawan, maka hari ini berbagai lapisan masyarakat dengan latar belakang yang berbeda-beda dapat keluar masuk sebagai turis mengunjungi situs kesultanan di Jawa ini meski terbatas di beberapa wilayah tertentu. Sebaliknya, penguasaan terhadap ruang dan tubuh-tubuh penduduk yang ditekan secara ekstrim juga terus terjadi, seperti yang dengan perih kita saksikan di wilayah Gaza, Palestina, dalam beberapa bulan terakhir ini.
Melalui contoh-contoh di atas kita dapat melihat bahwa linimasa peradaban manusia senantiasa diisi oleh performativitas tubuh yang terus menerus mengkontestasi nilai suatu ruang. Tema “Time Invader: Bodies In/Out of Place” yang menjadi payung berpikir program-program Sasikirana tahun ini hadir sebagai respon atas banyaknya riset-riset artistik yang dilakukan oleh seniman muda pertunjukan belakang ini yang berangkat dari dokumen arsip, artefak sejarah, warisan kebiasaan, dan kesadaran atas politik ruang. Melalui berbagai pendekatan, program-program Sasikirana tahun 2024 tertarik untuk memfasilitasi seniman-seniman tari muda Indonesia untuk mengeksplorasi bagaimana tubuh meruang dan bekerja dalam linimasa. Dengan menghubungkan praktik artistik dengan fenomena sosial dan landasan teoretis, kami berharap program-program tahun ini akan melahirkan berbagai bukaan yang menggugah terjadinya produksi pengetahuan-pengetahuan baru.
©2024 DokumenTARI