Densiel Lebang / Tana Toraja – Selatan Sulawesi
“Mau ke Mana Anda Hari Ini? ”
“Mau ke Mana Anda Hari Ini? “
Oleh Densiel Lebang
Tana Toraja – Sulawesi Selatan
Tubuh yang Bermigrasi
Tubuh adalah perwujudan nyata tradisi. Ia merekam segala kebiasaan yang dilakukan oleh indra di tubuh kita. Akan tetapi, tradisi bukanlah hal yang kaku dan tidak dapat diubah. Tradisi mampu bertransformasi mengikuti cara hidup manusia menyikapi keadaan yang sehari-hari dihadapi oleh tubuh. Secara bersamaan, tubuh merekam pengalaman internal, ia juga merekam tubuh-tubuh lain yang ditemui di luar tubuhnya sendiri.
Menghadapi perkembangan peradaban manusia, tubuh mau tidak mau harus beradaptasi dengan segala perubahan. Yang kemudian mengakibatkan perubahan pula terhadap tubuh yang menyimpan tradisi atau kebudayaan tertentu.
Proses pencarian saya dalam berkesenian adalah tentang tubuh. Sebagai materi fisik yang membentuk manusia menjadi sebuah sosok nyata, ia kerap digunakan dalam konteks penampilan, kesehatan, dan kematian. Sebagai sebuah kesatuan unsur lahiriah manusia yang dapat melihat, mendengar, menyentuh, dan sebagainya. Tubuh memiliki kesadaran untuk berinteraksi dengan dunia melalui pendengaran, sentuhan, penglihatan, penciuman, dan rasa. Manifestasi dari kehidupan karena di dalamnya mengandung perasaan, memori, kebiasaan, dan segala hal yang mungkin sulit untuk diuraikan.
Saya lahir di Bulukumba, salah satu kabupaten di propinsi Sulawesi Selatan, yang posisinya berada di sisi paling selatan pulau Sulawesi. Bulukumba adalah daerah pesisir yang terkenal sebagai tempat pembuatan kapal Pinisi pertama, mayoritas masyarakatnya bersuku Bugis. Saya menetap di sana sampai umur 3 tahun lalu pindah ke desa Pakatto yang terletak di bawah kaki gunung Bawakaraeng. Saya tinggal di Pakatto sampai umur 8 tahun, kemudian pindah ke kota Makassar.
Sulawesi Selatan memiliki 4 suku dominan: Mandar, Bugis, Makassar, Toraja. Saya bersuku Toraja. Secara geografis Toraja terletak di daerah pegunungan. Ketika berusia 17 tahun saya pindah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi dan menetap sampai sekarang sudah hampir sepuluh tahun. Tapi yang anehnya, KTP saya berdomisili di Kalimantan Timur karena saya juga sering bolak balik ke sana.
Saya sangat suka berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari tahu bagaimana tubuh bekerja di ruang dan waktu tertentu. Tentu saja realitas ini mempengaruhi bagaimana tubuh saya merekam semua “migration code” dari satu tempat ke tempat lain, dan dari suatu waktu ke waktu yang lain. Hal ini membuat konsep “pulang” menjadi bias. Hal ini pula yang membuat saya bingung ketika tim Dokumentari menanyakan asal daerah saya untuk keperluan publikasi. Keresahan muncul ketika mendapat pertanyaan tentang asal dan identitas kultural. Yang menurut saya sudah tidak perlu lagi diperjelas karena semua itu sudah menubuh.
Menurut saya pola pikir kosmopolit lebih relevan untuk saat ini dan terutama terkait program Dokumentari yang berbicara tentang care. Dengan cara pikir ini kita memiliki rasa tanggung jawab atas apa yang terjadi dengan manusia lain meski memiliki perbedaan-perbedaan.
Jakarta adalah ibukota Indonesia, merupakan kota terpadat di Asia Tenggara. Wajar jika Jakarta menjadi tempat yang agak chaos. Sebagai kota urban, Jakarta menjadi melting pot atau tempat segala bentuk budaya di Indonesia melebur. Orang-orang bermigrasi ke Jakarta dengan berbagai alasan, salah satunya untuk mencari hidup yang lebih baik. Tubuh-tubuh urban di Jakarta menawarkan kultur yang berbeda, bukan narasi tradisional yang sudah pakem. Tapi narasi-narasi keseharian yang dinamis dan berubah-ubah, semuanya bergerak, tidak ada yang statis, bahkan desain dan infrastruktur kota ini pun terus berkembang.
Jakarta, kota yang tidak pernah beristirahat, kota yang selalu sibuk dan terus menawarkan perubahan, tempat nostalgia terjebak di antara tradisi dan modernitas, tempat masa lalu dan masa depan bertemu. Jakarta kota metropolis yang menawarkan banyak kemewahan tetapi pada saat yang sama penuh dengan kotoran dan kemiskinan. Sebuah kota di mana penghuni gubuk hidup berdampingan dengan gedung-gedung pencakar langit. Kota yang terus bertransformasi. Transformasi ini menghadirkan persilangan budaya yang menciptakan sub-sub budaya baru sehingga membuat persoalan tubuh di kota ini semakin kompleks.
Ojek Online Sebagai Sub Budaya di Jakarta
Komunitas pengemudi online atau dikenal dengan istilah ojek online (ojol) merupakan wujud dari kompleksnya permasalahan kemanusiaan di wilayah perkotaan khususnya di Jakarta. Ojek online merupakan elemen temuan baru dalam bidang teknologi yang memiliki fungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Kelompok ini telah menjadi salah satu subkultur di Jakarta. Bagaimana sistem mereka bekerja dan apa yang mereka butuhkan?
Ojek online menawarkan layanan berbasis teknologi aplikasi sebagai medium pemesanan untuk memudahkan pemakainya (user) memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kebutuhan rutin manusia di Jakarta dapat dipenuhi oleh ojek online. Mereka menyiapkan transportasi sesuai instruksi pesanan. Aplikasi ini bekerja dengan Google Maps di smartphone untuk membantu ojek mengetahui di mana lokasi penjemputan dan pengantaran.
Memperhatikan sistem kerja ojek online, saya berpikir untuk membuat sebuah sistem instruksi dari data perjalanan yang tersimpan dalam aplikasi ojek online. Dari data perjalanan yang diambil, para partisipan dalam proyek ini dapat membayangkan bahwa mereka sedang melakukan perjalanan di Jakarta.
Melalui sistem ini kita merasakan pengalaman sebuah era pasca tubuh di mana teknologi dapat membawa kita melakukan perjalanan menembus ruang dan waktu.
Proses Bodies of Care
Saya melihat ada hubungan relasi kuasa tercipta dari sistem transportasi online. Apakah sistem instruktif di dalamnya membuat user atau pelanggan menjadi pemilik kuasa? Kalimat yang sama menjadi pertanyaan saya pada program ini, apakah instruksi dalam instructional choreography yang mengangkat tema “bodies of care” ini membuat kreatornya, yang notabene berlaku sebagai pemberi instruksi, sebagai orang yang berkuasa?
Transportasi online merupakan wujud dari perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat urban. Perubahan ini mempengaruhi sistem sosialnya termasuk dalam aspek nilai, sikap, serta pola perilaku di antara kelompok masyarakat. Sistem sosial beserta relasi kuasa inilah yang ingin saya teliti secara mendalam, dengan ojek online sebagai subjek penelitian.
Berikut ini adalah catatan-catatan singkat saya pada setiap sesi selama proses “Bodies of Care” yang didasari oleh pertanyaan-pertanyaan besar di atas:
LIGNA: Gamifikasi dalam Karya Seni
Pada sesi pertama, kata kunci yang muncul di kepala saya adalah “permainan”. Kata ini mengandung paradoks. Melalui permainan, hal yang ingin anda bawa ke permukaan adalah kegiatan bermain-main. Sedangkan dalam merancang sebuah game, ada wacana lain yang juga harus diperhitungkan seperti: politik, psikologi, sosial, ekonomi, dan seterusnya. Artinya ada kerumitan dalam mencipta game yang membuat saya penasaran bagaimana memberikan unsur gamifikasi dalam sebuah karya, seperti yang LIGNA lakukan dalam karya mereka. Hal ini memicu saya untuk memberikan unsur gamifikasi dalam proyek yang saya siapkan.
Menurut pemikiran Huizinga, bermain, sudah ada lebih dahulu sebelum manusia berbudaya. Dijelaskan olehnya dalam buku Homo Ludens, esensi bermain dapat terlihat dalam setiap aspek peradaban seperti perang, agama, politik, olahraga, sampai ke karya seni.
Pendidikan yang Membebaskan
Dokumentari mempertemukan kami dengan Butet Manurung, seorang aktivis pendidikan. Penjelasannya sangat membantu saya untuk merumuskan implementasi “care” dalam sistem yang “instruktif”. Ia memaparkan bahwa edukasi layaknya membuat manusia memiliki kebebasan untuk memilih. Karena meski kehidupan penuh dengan sistem instruktif, di dalamnya juga terdapat fleksibilitas. Kata kunci “kebebasan” dan “fleksibel” menjadi temuan menarik dalam proses saya berkarya.
Paparannya membuat saya bertanya-tanya tentang eksistensi sebuah sistem. Bagaimana sistem bekerja? Apa posisi saya dalam suatu sistem tertentu, dan bagaimana hubungan kekuasaan yang berlaku di dalamnya? Saya hidup dalam ekosistem perkotaan, tawaran sistem budaya di dalamnya tidak kaku. Tetapi berdiri dari sub-sub budaya yang selalu berubah, sehingga membuat masyarakatnya terus beradaptasi dan bernegosiasi dengan berbagai perubahan yang terjadi.
Era Pasca Tubuh
Melati Suryodarmo mengungkap bahwa sebuah karya tari tidak hanya bertujuan untuk menghasilkan gerak yang estetik, tapi juga demi menghadirkan realitas. Mempertanyakan posisi tubuh dalam sebuah konteks situasi. Saat hari ini akan menjadi sejarah di masa depan, lalu urgensi apa yang perlu dimunculkan dalam kesenian? Pandemi menghadirkan situasi mendesak yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya, lantas representasi tubuh seperti apa yang akan hadir setelah peristiwa ini? Apakah kita sekarang berada dalam era pasca-tubuh di mana kehadiran tubuh tidak lagi berupa materi fisikal tetapi dimediasi oleh medium lain?
Sascia Bailer: Seniman Sebagai Aktivis
Sascia Bailer memaparkan sebuah presentasi menarik mengenai proyek yang ia gagas tentang membuat metode perawatan (care) dengan mengumpulkan data dari sistem kerja dan kebutuhan komunitas tertentu. Saat ditarik ke konteks instructional performance kemudian muncul pertanyaan: apakah saya sedang merumuskan metode care atau sedang melakukan eksploitasi rasa kepedulian untuk kepentingan pertunjukan?
Pertanyaan ini bersifat reflektif, bukan serta merta bermaksud sarkas atau negatif. Dari sesi ini saya melihat bahwa seniman adalah seorang aktivis yang bekerja untuk kepentingan banyak orang dan bagaimana karya seni bisa menjadi jembatan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan orang banyak.
“Mau ke Mana Anda Hari Ini?”
“Where are you Going Today?/Mau ke Mana Anda Hari Ini?” adalah karya instruksi yang hadir dari hasil riset selama proses “Bodies of Care”. Dengan bimbingan dari DokumenTari dan Goethe Institut, saya berusaha merumuskan metode kepedulian berdasarkan sistem kerja spesifik dari komunitas yang dipilih, yaitu komunitas ojek online. Saya memilih komunitas ini karena saya adalah pengguna jasa mereka. Peran ojek online sangat bermanfaat dalam memenuhi keperluan saya sehari-hari di Jakarta. Setelah melakukan penggalian secara mendalam, cara kerja mereka jelas-jelas sangat instruktif. Cyber Culture dalam bentuk aplikasi online sangat mempengaruhi saya dalam membuat, mengimplementasikan dan mengaktivasi instruksi.
Proses Implementasi dan Aktivasi Instruksi
Di tahap ini saya mempertimbangkan tema kontributor lain untuk menentukan titik awal dan titik akhir instruksi yang dibuat. Pemilihan titik-titik perhentian dicermati relevansinya dengan instruksi kontributor lain, dan kesesuaiannya dengan konteks Jakarta.
Pada titik pertama saya memilih Lapangan Banteng. Pemilihan lokasi awal ini berhubungan dengan instruksi bertema grounding yang diciptakan oleh Hadi, Marlen, dan Yasmina. Titik kedua bertempat di Tugu Tani, saya mengaktivasi “Togetherness” karya Izabella Herzfeld, Eva Borrmann, Krisna Satya, dan Ela Mutiara. Karya instruksi Ogik berjudul “Cross” juga saya aktivasi di sini. Titik ketiga adalah Inspeksi Kali Ciliwung, sungai terpanjang dan berperan penting dalam pengelolaan air di Jakarta. Namun saat ini menjadi salah satu sungai terkotor di dunia! Saya mengaktivasi “Sounds of the River” karya Kurniadi Ilham.
Titik terakhir aktivasi karya instruksi sengaja tidak saya tentukan karena pada akhirnya instruksi ini berusaha memberikan kebebasan kepada siapa pun untuk menentukan titik akhir, bahkan titik-titik sebelumnya juga.
Pada akhirnya, menurut saya, setiap orang berhak memilih “jalannya” masing-masing. Lalu yang perlu dipertanyakan bukan lagi “mau ke mana Anda hari ini?” Tapi apa yang akan Anda berikan ke mana pun anda pergi?
The Narratives
of Indonesian
Dancescape