Ela Mutiara / Sukabumi – Jawa Barat
“Melipat Jarak, Membentang Ingatan”
“Melipat Jarak, Membentang Ingatan“
oleh Ela Mutiara
Sukabumi – Jawa Barat
Dalam dunia kesenian acap kali ditemui kata “residensi”. Residensi seni saya pahami sebagai sebuah kerja kolektif tempat beberapa orang dengan latar belakang dan pola kerja berbeda bertemu. Mereka menjalani proses inkubasi penciptaan yang melibatkan identitas budaya, pengalaman, kapasitas, hingga sudut pandang yang beragam.
Bodies of Care (BoC) saya maknai sebagai sebuah proses residensi di mana tercipta ruang untuk bersama-sama membaca isu, menerjemahkan pikiran, mengkritisi gagasan, hingga menginterpretasikannya dalam pemilihan artistik. Dalam platform ini saya dipertemukan dengan sembilan koreografer lain dari Indonesia dan Jerman. Meski bukan pertama kali menjalani residensi, namun proses BoC menjadi pengalaman baru karena seluruh kegiatan dilakukan secara daring selama empat bulan lebih. Workshop demi workshop diisi oleh fasilitator dan mentor dari Jerman dan Indonesia. Di antaranya LIGNA, Melati Suryodarmo, Butet Manurung, dan Sascia Bailer.
Proses BoC mengajak saya berpikir ulang tentang makna kepedulian. Sejauh mana saya peduli pada lingkungan, kehidupan, dan makhluk hidup sebagai subjek. Apakah kepedulian itu masih bekerja dalam kehidupan sosial di sekitar kita? Apakah kepedulian itu juga bekerja dalam diri saya? Apakah tubuh ini juga turut mengimplementasikan kepedulian?
“Kepedulian adalah tanggung jawab bersama, pertemuan akan menyisakan ingatan pribadi, kesan sensorik, dan emosi.” Sascia Bailer
Apakah saya sebagai koreografer dapat menciptakan instruksi yang mampu menimbulkan sensorik tertentu untuk dapat menghubungkan semua partisipan dalam ruang publik? Perasaan, ingatan, dan pengalaman berbeda akan turut mempengaruhi impresi yang muncul.
Butet Manurung, -salah seorang narasumber dalam Bodies of Care-, berbagi tentang proses pengalamannya untuk dapat masuk ke sebuah ruang tertentu. Ia adalah seorang pendidik dan pendiri Sokola Rimba. Di Bukit Dua Belas, Jambi, tempat Sokola Rimba dimulai, terdapat hukum adat. Orang luar tidak bisa semata-mata hadir kemudian melakukan sesuatu. Ada langkah-langkah untuk masuk menjadi bagian dari suatu kelompok dan cara beradaptasi dengan ekologi sekitarnya. Proses workshop ini membuka pandangan saya bahwa berhubungan dengan publik berarti berhubungan dengan seluruh tatanan kehidupan yang ada di dalamnya.
Setelah kenyang mendapatkan asupan dari para fasilitator, selanjutnya para seniman peserta memasuki proses kolaboratif yang dimulai dengan melempar kata-kata kunci. Dari kata-kata kunci yang diajukan, saya mencari perspektif, mengerucutkan gagasan, dan bereksperimen dengan media yang dapat digunakan. Beberapa hal sesekali dilakukan secara spontan, pertanyaan dan hasrat berbagi dilempar begitu saja. Langkah ini ditempuh berulang-ulang bahkan saling tumpang tindih.
Karya akhir yang nanti diciptakan bersifat instruksional dan diharapkan mengandung nilai-nilai universal. Saya juga harus memikirkan agar metodenya aplikatif di mana pun, kapan pun, dan dapat dilakukan oleh siapa pun. Terlintas dalam benak saya untuk memilih kertas sebagai medium karya.
Saya mengingat ulang sebuah kegiatan di masa kecil saat bermain dengan kertas. Ia dapat dibentuk menjadi apa pun, digunakan sebagai alat perantara untuk bertukar kabar, bahkan menjadi tempat beragam perasaan yang tidak dapat diutarakan secara verbal.
Kertas kemudian saya tarik relevansinya dengan falsafah hidup masyarakat Sunda, silih asah, silih asuh, silih asih. Silih Asah berarti menajamkan pikiran, Silih Asih bermakna saling mengasihi, Silih Asuh berarti saling menjaga. Tiga pedoman ini merupakan konsep hidup dalam mengatur hubungan antar manusia dalam budaya Sunda. Melalui medium kertas dalam konteks ketiga konsep ini, saya mencoba mengkonstruksikan sebuah momen dalam waktu singkat: momen bermain, mencipta, dan berbagi.
Kata “demokratis” agaknya cukup tepat menggambarkan proses penemuan artistik yang saya jalani. Kami di BoC mendapat kebebasan untuk memilih apakah akan menciptakan instruksi secara individu atau berkelompok. Entah apa yang ada dalam pikiran saya saat itu, rasanya bekerja secara kelompok terlihat menarik. Ada tantangan dan keingintahuan untuk merelakan diri melebur dalam sebuah kelompok.
Saya kemudian bekerja bersama dengan Krisna Satya (Bali), Eva Borrmann (Nurnberg), dan Izabella Maria (Berlin). Mungkin kami berjodoh karena secara tema memiliki benang merah dengan kata kunci “kebersamaan”, dan sama-sama berangkat dari aktivitas besar yang melibatkan banyak orang.
Pada awalnya cukup kuatir karena latar belakang kami berbeda. Perbedaan bahasa menimbulkan potensi miskomunikasi, zona waktu yang agak lebar akan memaksa kami mengatur segalanya dengan baik dan berdiskusi secara efektif serta efisien. Namun ternyata menyenangkan juga bekerjasama dengan seniman dari negara berbeda. Negosiasi di antara kami tidak begitu sulit, kami terbuka dengan segala kemungkinan. Mungkin karena perbedaan yang besar, kami justru saling menaruh kepercayaan satu sama lain demi membangun situasi yang nyaman.
Di luar agenda rutin setiap Kamis dalam forum besar BoC, kami sebagai kelompok memilih satu hari tambahan untuk berdiskusi secara daring. Sisanya komunikasi dilakukan di whatsapp dan GDrive sebagai ruang bekerja bersama. Proses kolektif ini melahirkan sebuah karya berjudul “Togetherness” dengan pengembangan artistik dari ide awal berupa lambaian tangan, kontak mata, tepuk tangan dan melipat kertas. Instruksi direkam dalam tiga bahasa yaitu, Indonesia, Inggris, dan Jerman.
Bagi saya secara personal, proses mengikuti BoC memberi kesadaran luar biasa. “Perawatan komunitas” selalu menjadi highlight yang terus diulang-ulang dalam publikasi Dokumentari. Saya kemudian melihat kembali lingkungan tempat saya lahir dan tumbuh di Sukabumi. Hal ini menjadi renungan dan pertanyaan bagi saya, apa makna komunitas yang sebenarnya? Apakah rasa kepedulian hanya dapat dilihat dalam lingkup komunitas? Tentu tidak. Namun dalam komunitas ada banyak kebiasaan yang dirawat, cara-cara yang dipertahankan, ruang-ruang pertemuan yang diciptakan untuk berdialog dan berbagi.
Sedikit cerita tentang kebiasaan komunal di Sukabumi, kampung halaman saya. Setiap hari besar keagamaan datang, kami selalu berkumpul untuk berdoa bersama. Setiap perwakilan rumah akan membawa makanan ke masjid dan diletakkan di tengah ketika proses doa berlangsung. Setelah doa selesai dilakukan, makanan akan saling ditukar sehingga masing-masing orang dapat mencicipi beragam jenis makanan.
Saya menyadari bahwa tradisi di sekitar kita menumbuhkan koneksi antara subjek dan objek yang ada di dalamnya. Semua saling terhubung satu dengan yang lain. Koneksi tersebut dilakukan melalui gestur. Setiap orang secara sadar atau tidak, bergantian meletakkan makanan. Jika ada yang kesulitan, secara spontan satu sama lain akan saling membantu. Ketika saatnya harus mengambil kembali tempat-tempat makanan yang diletakkan, semua akan bekerja sesuai sistem yang disepakati bersama tanpa perlu dikomando. Unik sekali.
Di sisi lain, kesadaran untuk saling peduli juga terbangun dalam proses kolaborasi ini. Bukan hal yang mudah menyimak workshop duduk berjam-jam berhadapan dengan layar persegi panjang, mode on cam yang selalu menyala dengan intensi dan tendensi diskusi yang berat. Mata harus selalu fokus, telinga yang terus dialiri suara, beribu kosa kata yang harus cepat dicerna dalam pikiran. Lelah, jenuh dan rasa kantuk yang tertahan merupakan perasaan yang tidak jarang muncul.
Direct message menjadi jembatan untuk saling menyapa. Pertanyaan “kenapa?”, “kamu baik-baik aja?”, “ada kesulitan?”, spontan terlontar melalui kolom chat untuk memastikan bahwa orang-orang yang bersama kita baik-baik saja. Hal kecil, namun ketika dilakukan dan sesekali mendapat perlakuan yang serupa rasanya proses ini menjadi tak hanya sekedar menciptakan karya, namun juga merajut rasa saling. Saling memiliki proses, saling memberitahu, saling mencari jalan keluar perihal kesulitan dan berbagi kemudahan. Rasa peduli itu turut hadir dan tumbuh di antara kami.
Secara internal, proses ini turut mempertanyakan ulang apakah rasa peduli juga dilakukan terhadap diri sendiri? Jangan-jangan terlalu peduli pada hal yang berada di luar justru membuat saya lupa untuk merawat diri sendiri? Kadang kala keinginan untuk terus produktif membuat saya menuntut begitu keras pada tubuh, pikiran, dan perasaan. Perasaan lelah diartikan sebagai kelemahan. Padahal tak masalah untuk berhenti sejenak dan mengucap syukur.
Empat bulan bukan waktu yang pendek untuk sebuah proses. Tapi cukup pendek rasanya untuk mendefinisikan relasi pertemanan yang terbangun. Ada kesan baik yang timbul, serta perasaan nyaman yang hadir. Lingkaran yang terbangun begitu dekat dan hangat. Sampai saat tulisan ini diketik, rasanya tidak pernah menyangka bahwa pada akhirnya kami bisa melebur menjadi satu bagian. Terlebih bisa melewati proses kolaborasi dengan mereka yang secara budaya, bahasa, dan waktu jauh berbeda.
Saya juga mendapat pemahaman mengenai metode instructional performance. Metode ini menjadi cara yang dapat dijadikan pisau bedah untuk menciptakan sebuah seni kejadian (happening art). Mengajak publik untuk berpartisipasi, proses pemilihan artistik yang bersifat universal, kurasi medium agar maksud yang diinginkan dapat diterima dan dimengerti secara sederhana.
Hal penting lainnya yang ditemukan adalah metode berhadapan dengan subjek, ruang publik, dan merumuskan gagasan dengan pendekatan pada pola laku hidup bermasyarakat yang ada di sekitar kita. Sesekali sebagai seorang koreografer, proses kreatif yang dilakukan dapat merangkul berbagai elemen masyarakat tanpa melulu dengan orang berlatar pendidikan seni. Berkarya tidak hanya kerja tunggal seorang koreografer tapi ada berbagai peran yang saling terintegrasi.
Pengalaman dari residensi ini mendewasakan saya dan menambah kebijaksanaan. Ada perspektif yang bertambah luas perihal bagaimana mengintegrasikan tubuh dengan berbagai ruang. Tubuh sebagai sebuah realitas kolektif dalam ruang tertentu. Ada bahasa, rekam gestur, repetisi gerak, respon terhadap peristiwa. Ia menjadi pintu untuk selanjutnya melakukan kerja-kerja koreografi yang lebih personal dan efektif. Membaca realitas akhirnya adalah membaca bagaimana perjalanan sejarah terbentuknya tubuh. Hal ini dapat melahirkan sifat ke-aku-an dalam sebuah karya.
The Narratives
of Indonesian
Dancescape