Abib Igal / Kotawaringin Timur – Kalimantan Tengah
“Berjarak untuk Memahami”
“Berjarak untuk Memahami”
Oleh Abib Igal
Kotawaringin Timur – Kalimantan Tengah
“… gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di hujung lautan terlihat jelas…”
Peribahasa ini biasa digunakan untuk sebuah “tiwas” pada seseorang yang tak dapat melihat atau berkaca tentang kekurangan pribadi, dan justru selalu mengamati perilaku orang lain. Aku mencoba memaknai peribahasa ini dari sudut pandang yang berbeda. Pertanyaannya adalah kenapa semut yang kecil tubuhnya di sebrang lautan bisa terlihat? Jawabnya adalah karena ada peristiwa memandang dalam ungkapan tersebut. Memandang sudah jelas berbeda dengan melihat. Memandang merupakan proses mengamati sedetail mungkin serta dibutuhkan mengambil jarak pada objek yang kita amati.
Selepas SMA aku memberanikan diri melanjutkan studi ke perguruan tinggi dengan jalur yang kuyakini, yaitu seni tari. Pemahamanku tentang tari sebelumnya adalah sebatas pada gerak tradisi yang begitu teknis, durasi 5-7 menit, lomba, piala, menang, kalah, malu, senang. Aku mengenal tari melalui proses imitatif dari pelatih ekstrakurikuler di sekolah dan kaset VCD yang berisi dokumentasi tari oleh senior-senior dahulu. Zaman itu YouTube belum begitu booming, pun gadget-ku masih telepon genggam merk Nokia yang kemudian beralih ke Blackberry. Aku tidak mengerti apapun tentang tubuhku ataupun lingkungan penopang tubuh itu sendiri. Apakah ini yang dimaksud dengan gajah di pelupuk mata tak tampak?
Perantauanku di tanah istimewa Yogyakarta benar-benar membuka mata dan pikiranku tentang dunia tari yang begitu kompleks; tentang ruang, waktu, dan tenaga yang menjadi dasar setiap gerak. Lebih dahsyat lagi, banyak isu dan wacana tentang tari yang menyertainya, yang selama ini tak kusadari. Bagiku yang tak begitu memahami tubuh dan asalku, tari menjadi jembatan untuk kembali menyapa mereka, bahkan memulainya dengan berkenalan. Banyak hal menarik perhatianku, bahkan sampai yang paling kecil sekalipun, yang memunculkan beragam pertanyaan. Apakah perlu jarak untuk memahami?
Tugas demi tugas perkuliahan semakin menggiringku masuk lebih dalam mencari fakta dan mencoba memaknainya. Tentang apa? Ya, tentang tubuhku, tentang lingkunganku, tentang wacana, tentang isu hari ini, dan barang tentu tentang gerak. Kelas koreografi menjadi mata kuliah primadona anak-anak jurusan penciptaan yang memberi pengalaman menyenangkan, meski kadang juga memuakkan. Kelas tersebut menyenangkan karena aku akan dengan bebas berselancar dengan gerak, berimajinasi menyusun alur, menggambar desain kostum, atau beradu argumen dengan komposer. Tapi bisa juga memuakkan jika harus menghadapi pertanyaan tak terduga dari dosen atau harus menulis laporan, atau uang konsumsi pendukung habis, lalu aku berakhir kelaparan demi menjaga agar penari-penariku bisa meneguk air atau sekadar makan wafer 2000-an.
Tak bisa dipungkiri kampuslah yang menggiringku untuk menyapa kembali seni dan lingkunganku di Kalimantan hingga mempertemukanku kembali dengan kesenian tari gelang dari ritual pengobatan Wadian Dadas. Sejujurnya, aku sudah sangat biasa melihat pertunjukan tarian ini sewaktu di Kalimantan. Kalimantan Tengah tepatnya. Setiap tahun provinsi kami menggelar festival budaya untuk memperingati hari jadinya dan setiap tahun juga aku akan melihat tarian gelang ini disuguhkan oleh kontingen dari wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito. Aku sendiri berasal dari daerah Kotawaringin di sisi Barat Provinsi Kalimantan Tengah.
Mata kuliah Koreografi III yang merupakan mata kuliah landasan untuk mengajukan tugas akhir menjadi titik jatuh cintaku dalam pelukan irama gelang-gelang yang berisik dan bising itu. Sebelumnya aku tak bisa memahami irama itu ketika aku masih dekat dengannya di Kalimantan. Sekali lagi, justru ketika aku mengambil jaraklah aku bisa memahami setiap bunyinya, setiap geseknya di kulitku, setiap dentumannya saat saling beradu. Sampai sekarang, ini aku masih merasakan jatuh cinta dan terus memelihara debar cinta ini.
Bagiku, memahami tari gelang pada ritual pengobatan Wadian Dadas adalah sebuah ekspedisi panjang yang selalu memunculkan pertanyaan dalam setiap langkah perjalanan. Pencarianku dimulai dengan observasi lapangan bertemu dengan the real Wadian -bukan penari panggung yang melakon sebagai Wadian. Sungguh lekat di ingatan ketika aku harus menempuh enam jam perjalanan dari ibu kota Palangkaraya menuju kota Tamiyang Layang. Menyusuri Sungai Barito dan keluar masuk hutan serta perkampungan. Aku begitu terkesima ketika pertama kali bertemu dengan sosok nenek yang terlihat begitu bugar untuk seusianya. Ineh Antung nama beliau, termasuk seorang Wadian Dadas tertua di wilayah Barito bagian timur. Aku tidak terlalu fasih berbahasa Ma’anyan -Suku Dayak di bantaran Sungai Barito, sehingga memerlukan perhatian ekstra untuk mendengarkan cerita beliau yang bercampur-campur bahasanya. Beliau dengan aksen Ma’anyannya yang khas bercerita panjang lebar tentang prosesnya menjadi seorang Wadian Dadas, pengalaman menyembuhkan pasien-pasiennya, sampai dengan kejadian-kejadian mistik yang dapat saja merenggut nyawanya. Tidak mudah hidup menjadi seorang Wadian.
Rasa penasaranku belum terpuaskan hanya dengan mendengar cerita hidup Ineh Antung. Aku masih begitu lapar dengan keingintahuanku dengan sosok seorang Wadian Dadas Upu atau Wadian Dadas laki-laki. Perlu diketahui, Wadian Dadas merupakan ritual yang lazimnya dipimpin oleh seorang wanita, sehingga banyak yang salah kaprah menganggap Dadas mengandung arti ‘wanita’. Faktanya Wadian Dadas adalah nama dari sebuah ritual, bukan berkaitan dengan pelaku ritualnya. Ilmu sebagai seorang Wadian (tabib/pemimpin ritual) diturun-temurunkan kepada anak cucu mereka, dan bisa saja ilmu ini turun kepada anak atau cucu laki-laki yang terpilih. Laki-laki yang terpilih itu akan memimpin ritual dengan laku seorang wanita hanya pada saat ritual berlangsung. Ia akan menarikan tarian ikinsai yang penuh lenggok dan liuk dan mengenakan busana hasinjang (kemben) yang identik dengan wanita.
Aku berburu informasi dan ingin sekali menjumpai Dadas Upu. Inilah jua salah satu alasan yang membuatku jatuh cinta pada Dadas. Sosok ini. Sosok yang dengan ikhlas menyerahkan tubuhnya untuk keberkahan lingkungannya. Tentu tidak mudah menukar peran gender, walau hanya dalam sebuah prosesi ritual. Aku begitu menggilai posisinya, dan aku bertekad menemukannya. Sosok ini begitu langka karena tidak semua kampong memilikinya. Menurut beberapa narasumberku, Dadas Upu yang begitu terkenal di wilayah Tamiyang Layang juga telah wafat. Namun, semesta justru mempertemukan aku dengan anak lelakinya yang telah ditahbiskan menjadi seorang Dadas Upu, .
Dadas Upu yang kutemui masih sangat muda, bahkan lebih muda dariku. Tetapi seingatku dia telah ditahbiskan pada tingkat yang cukup tinggi sebagai seorang Wadian Dadas. Dia bercerita banyak tentang proses menjadi seorang Wadian. Perjalanan ini diawali dengan sakit aneh berupa daging-daging kaki yang membusuk dan terlepas begitu saja, sampai proses dia menyerahkan dirinya untuk menerima ilmu yang masuk ke tubuhnya. Ia pun harus berguru pada Wadian Dadas senior, belajar menari, belajar memainkan gelang, dan tak lupa menghapal beragam mantra. Saat aku bertanya, “Apakah kamu ngga malu menjadi seorang wadian Dadas, yang identik dengan perempuan?”. Sambil tertawa dia menjawab, “Nggak malu kak, malah aku bahagia karena bisa membantu orang lewat diriku, tubuhku”. Lalu, dalam hati aku berkata: Tubuh Ikhlas!
Melalui tubuh Dadas Upu aku memetik hikmah bahwa tari tidak pernah mengenal gender. Bahwa tari dapat menembus batas-batas yang manusia ciptakan. Melalui bunyi gelangnya aku memahami bunyi semesta, bahwa semua yang bising akan menjadi teratur, diatur, dan akan kembali pada titik chaos, terus menerus berputar.
Perburuanku tidak berakhir di sini. Sekali lagi semesta berbaik hati mempertemukanku dengan sesosok laki-laki yang menguasai tiga jenis ritual pengobatan sekaligus, Wadian Bawo, Wadian Dadas, dan Badiwa. Bahagia sekali aku dapat menyaksikan prosesi ritualnya kala itu. Jujur saja, bertemu dengan seorang Wadian belum tentu rejeki menyaksikan proses ritualnya. Di zaman milenial ini, orang-orang lebih memilih pergi ke dokter atau ke dukun sekalian, mungkin karena melaksanakan ritual Wadian itu lumayan berat biaya dan tanggung jawabnya.
Malam itu, lepas pukul 22.00 WIB, di sebuah rumah kayu di pinggiran kota Palangkaraya yang hampir berbatasan langsung dengan hutan, aku melihat serangkai sesaji telah disiapkan di tengah rumah. Di sudut lain kusaksikan seorang lelaki senja terbaring lemah di atas kasurnya. Menurut info, kakek ini mengalami sakit medis yang tak kunjung sembuh. Alat musik sudah ditata rapi di dekatnya, terdiri dari tiga buah gong , seperangkat kenong (talempong), dan tiga buah karempet (kendang). Seorang sosok Wadian terlihat khusyuk berdiam diri di hadapan sesaji, pasti ia sedang merapal mantra. Bau kemenyan menyeruak ke seisi rumah.
Perlahan Wadian itu berdiri dengan gelang-gelang tembaga di kedua tangannya memberikan isyarat kepada para penabuh. Palu-paluan musik mulai berbunyi. Telingaku langsung mengenali irama ini. Irama Palu Dadas dan gelangnya pun bergemerincing. Wadian itu mulai menari menghadap tiang persembahan, membawakan gerak gerik ikinsai, yang merupakan gerak khas dari para Wadian Dadas. Sejurus kemudian dia memberi tanda untuk memberhentikan para penabuh. Ia melantunkan sebuah mantra yang terdengar begitu merdu meski warna suaranya cempreng dengan dialek daerah yang khas. Berganti -ganti palu Dadas dan Palu Bawo dimainkan sesuai permintaan Sang Wadian.
Makin larut malam makin riuh suasana rumah ini dengan tabuh musik dan gemerincing gelang, kadang saling bersahutan, kadang saling mengisi, kadang saling mendahului. Sesekali Wadian itu menghampiri tubuh sakit si kakek, lalu kembali berputar mengelilingi tiang persembahan dan sesaji. Satu waktu, Sang Wadian mengambil mayang bunga pinang yang masih terbungkus dan mengarahkannya pada tubuh si kakek sambil menari-nari. Ketika mayang itu dipecahkan dan dikeluarkan dari bungkusnya, terlihatlah botol kecil berisi sejenis minyak terselip di dalamnya. Sungguh di luar nalar. Aku tak berani bertanya di tengah riuh tabuh palu-paluan, namun aku coba menguping kasak-kusuk warga yang ikut menyaksikan. Mungkin botol dan minyak itu adalah ilmu si kakek, bisik mereka, yang telah lama bersemayam di tubuhnya.
Malam menuju puncaknya. Tubuh Sang Wadian mulai menari dengan bentuk yang tidak terarah, meloncat, menghentak, gemerincing gelangnya pun semakin nyaring bising dan tak menentu iramanya. Dia telah memasuki tahap di luar kesadarannya. Palu musik berganti dengan palu saranginging yang monoton namun semakin lama semakin cepat temponya. Jujur saja bulu kudukku meremang, melihat kelakuan Wadian yang sudah tidak manusiawi lagi gerak geriknya. Selangkah kemudian dia lari keluar rumah dan hilang di kegelapan malam, mungkin menuju hutan.
“Tarus… Tarus…!” pembantu Sang Wadian menginstruksikan penabuh untuk tidak berenti menabuh saranginging. Pada saat ini diyakini jika palu-paluan berenti maka Wadian tidak akan bisa kembali atau akan tersesat entah di alam yang mana. Mataku beralih pada penabuh yang berganti-gantian menabuh kenong. Bisa dibayangkan betapa lelahnya menabuh musik yang monoton dengan tempo yang begitu cepat.
Setelah sekitar 30 menit berlalu, lamat-lamat terdengar gemerincing suara gelang dari kejauhan dan Sang Wadian kembali dengan segenggam tanaman yang harum namun tak bisa kujelaskan baunya. Aku pun tak tahu itu jenis tumbuhan apa yang dibawa Sang Wadian dari hutan. Dalam kondisi mata tertutup, Wadian itu langsung menuju tubuh si kakek dan mengusapkan tanaman itu berkali-kali pada sekujur tubuhnya. Tak lama kemudian, Sang Wadian roboh. Musik berhenti. Dan tahap pengobatan ini usai. Rangkaian selanjutnya adalah proses mengembalikan kekuatan-kekuatan alam yang sengaja dipanggil untuk membantu prosesi tersebut.
Lewat serangkaian ritual ini aku dibawa masuk memahami ekosistem alam semesta. Keterikatan mereka pada hutan atau alam semesta, begitu menakjubkan. Seni pada ritual bukan hanya masalah agama dan kepercayaan tapi tentang sapa-menyapa dan ikat kaitnya manusia dengan makhluk hidup lain.
Banyak yang melemparkan pertanyaan padaku seperti “Kenapa kamu tertarik dengan gelang dan Wadian?”, “Apa nggak bosan berkarya gelang melulu?”, “Dimana posisimu sekarang dengan fenomena ritual itu?”, “mau dibawa kemana semua pencarianmu ini?”. Semua pertanyaan ini luar biasa, dan jujur saja aku tak tau harus menjawab apa. Aku tidak ingin mengada-ada jawaban yang berakhir dengan kebohongan. Membohongi diri sendiri.
Bukankah perjalananku ini belum usai? Bagaimana aku bisa menjawab semua pertanyaan itu? Aku ingin perjalananku mengenali diri mengalir seperti irama dadas, sesekali patah-patah seperti irama kadongkel, atau berlari kencang seiring irama saranginging. Yang kutahu sekarang posisiku adalah berada di antara dua jalan tradisi dan masa kini. Tugasku saat ini adalah menarasikan tubuh wadian, bukan hanya dadas untuk menyembuhkan penyakit, tetapi dadas yang mampu hadir di setiap dimensi zaman dan membawa keberkahan melalui irama nyanyi gelang-gelangnya. Setelah begitu buta aku dengan tubuh ikhlas Wadian, setelah tuli aku dari irama gelang yang merdu, setelah jauh aku mengambil jarak kini aku hanya ingin pulang, pulang ke rahim Wadian, untuk lahir kembali menjadi pribadi penari yang berdaya, seperti seorang Wadian yang dengan ikhlas menyerahkan tubuhnya demi menyembuhkan semesta.
The Narratives
of Indonesian
Dancescape