Ariel Nurannisa Mulyanegara / Bandung – Jawa Barat
“Pandemi Bagi Seorang Penari”
“Pandemi Bagi Seorang Penari”
Ariel Nurannisa Mulyanegara
Bandung – Jawa Barat
Bangun pagi kuterus mengecek ponsel. Satu jam lagi aku akan mengikuti kelas jazz dari Marguerite Derricks. Aku suka koreografi buatannya di dalam film “Fame” dan bersemangat mengikuti kelasnya. Kapan lagi bisa belajar dari seorang master dengan harga yang terjangkau? Aku beranjak dari tempat tidur.
Baterai laptop kupastikan dalam keadaan penuh. Aku tidak ingin kelas terpotong karena laptop mati. Menu sarapanku hanya sehelai roti dengan olesan selai cokelat dan segelas air putih. Aku tidak mau perut keroncongan saat mengikuti kelas. Setelah sarapan, aku mengganti baju tidur dengan pakaian latihan menari: sport bra, kaos longgar, dan legging panjang. Okay, aku siap!
Aku membawa laptop ke luar kamar menuju ruang latihan, menatanya, menempatkan speaker portable di tempat yang kurasa pas untuk mengikuti kelas, juga mengatur komposisi ruang agar aku bisa memaksimalkan gerakan di ruang latihan yang kecil ini. Setelah itu aku melakukan pemanasan dan stretching agar tubuhku tidak kaget saat mengikuti kelas. Waktu menunjukkan jam sembilan kurang lima menit. Aku langsung membuka laptop, menyalakan VPN dan menuju situs di mana kelas itu berada.
Setelah menonton video singkat selama beberapa menit, akhirnya Marguerite muncul di layar. Tanpa bertutur panjang, Marguerite langsung memulai pelajarannya. Seorang asistennya membelakangi kamera agar peserta dapat langsung mengikuti gerak yang diinstruksikan Marguerite. Di awal kelas, gerakannya masih sederhana, hanya berjalan dan berpose. Namun dibalik kesederhanaan itu, ada tenaga yang harus dikeluarkan agar gerakan sederhana terlihat ekspresif. Aku masih bisa mengikuti empat menit pertama kelas ini.
Lalu tiba-tiba, ada akselerasi dalam penjelasan dan instruksi koreografi. Gerakannya pun masih asing dengan ketubuhanku. Jadi di saat aku menyesuaikan tubuh untuk bergerak, hitungan baru pun muncul. Aku bisa saja pause kelas ini, tetapi aku tidak bisa me-rewind videonya karena ini bukan live di kanal Youtube. Aku tidak bisa bertanya langsung pada Marguerite karena situs ini tidak memiliki fitur live chat. Lalu Marguerite menginstruksikan asistennya untuk melakukan reverse turning jete namun ke arah belakang. Di dalam ruang yang sempit, aku coba menggerakkan reverse turning jete dan… gagal. Ini disebabkan karena aku tidak menguasai gerakan yang dicontohkan.
Jujur saja, terlalu lama di rumah membuatku malas untuk berlatih dan mengolah tubuhku. Loncatan besar yang seharusnya terlihat indah dan kuat menjadi loncatan kecil dengan bentuk kaki yang tidak jelas dan rapi. Semakin lama kelas berlangsung, semakin turun semangatku untuk mengikutinya. Aku menjadi frustrasi. Akhirnya, aku hanya merekam kelas itu dengan ponsel dan merasa sangat tidak puas dengan performaku saat itu. Kelas ini tidak membuahkan hasil bagiku.
Sebetulnya, ini tidak terjadi sekali saja. Kebiasaan menyedihkan mengikuti kelas daring ini sudah berlangsung dua bulan selama swakarantina. Awalnya aku semangat mengikuti gerakan di kelas, lantas aku akhiri dengan hanya menonton saja. Bisa saja sih belajar dengan hanya mengamati, tapi tetap saja ada kepuasan tersendiri untuk menarikan combo yang sulit itu. Bagaimana aku bisa menunjukan progress kalau tidak bisa melakukan pembelajaran atau materi yang entah kapan lagi bisa didapatkan?
Aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa mengikuti koreografi yang sulit. Walaupun bentuknya tidak sempurna, I just want to look good at dancing. Aku senang bila aku bisa berekspresi dengan bentuk yang “ideal”. Selain itu, jika menari dengan improvisasi, aku rasa bila memiliki kosagerak yang banyak juga akan membuat impresi kepada orang lain bahwa kita benar bisa menari. Kalau bisa menari dengan bentuk apapun, berarti bisa berekspresi lebih baik, kan?
Eh, tunggu! Kenapa aku begitu ingin menunjukkan perkembanganku sebagai penari? Berekspresi dengan baik berarti menunjukkan bahwa aku bisa menari. Pengalaman cukup lama dalam menari seharusnya tidak disia-siakan dan butuh apresiasi, bukan?
Jujur, pandemi membuatku takut menyia-nyiakan pengalaman kepenarianku untuk sesuatu yang tidak jelas. Aku rasa menari untuk orang lain saat ini tidak membuahkan hasil yang memuaskan, untuk diri sendiri pun apa lagi.
Is it all worth it? Apakah hal itu membuahkan hasil? Karena dari sudut pandang ekonomi pun hal tersebut tidak membuahkan hasil sebanyak sebelumnya. Pada akhirnya menari menjadi suatu beban. Merasa kurang baguslah, kurang happy, dan bahkan jenuh. Menari tidak seperti yang aku rasakan lagi seperti dulu, menjadi suatu kesenangan untuk diri sendiri, bisa bebas berekspresi tanpa memikirkan impresi.
Diam-diam, aku juga memiliki keinginan untuk unjuk kemampuan menari. Hal itu membuatku semangat untuk berekspresi. It does feel good when you get compliments, right? Dengan adanya pandemi, semua video tari hanya di upload di Instagram. Hal yang didapatkan dari sana hanyalah likes dan comments. Tapi apakah itu cukup?
Kalau sebelum pandemi, adanya energi secara langsung dari teman dan guru membuatku merasa tidak sendirian saat mempelajari sesuatu. Secara tidak langsung, aku diingatkan dengan menikmati proses menari. Mau hasilnya baik atau tidak, namun ada energi yang membuat aku ingin terus menari. Lalu energi tersebut secara tidak langsung menjadi sebuah bentuk apresiasi. Kupikir, apresiasi adalah sebuah pengakuan bahwa seseorang dapat menari.
Waktu kelas daring, walau pun ada pujian good job setelah melakukan gerak yang memberikan banyak motivasi, energi yang tersampaikan tetap terasa tidak cukup. Pertunjukkan daring pun sama, seseorang tidak bisa merasakan secara langsung energi penonton yang membuat darah berdesir saat tampil dengan semangat. Aku rasa apresiasi dan energi itu saling berhubungan.
Perubahan dari offline menjadi online terasa besar untukku sebagai penari. Di masa seperti sekarang, pertunjukkan hebat dan ilmu kepenarian bersemburan dan berlimpah bagaikan menemukan sumber air di gurun pasir. Tapi secara bersamaan, hal tersebut membuatku bingung dengan banyaknya informasi yang aku terima. Bila sudah dapat, aku ingin memahaminya dengan baik dan menunjukkan bahwa aku telah mendapatkannya. Tetapi hal tersebut tanpa sadar berujung menjadi kekacauan dari yang biasanya disebut sebagai “lomba produktivitas”. Sesuatu yang pernah aku nikmati dan dilakukan tanpa beban, akhirnya menjadi penanda bahwa aku hidup di sebuah era yang mengutamakan eksistensi sebagai penari. Walau sekarang sering kali aku tidak menikmatinya.
Mungkin tidak lama lagi kondisi ini dapat kembali seperti semula. Tapi apakah perasaanku sebagai penari akan tetap sama?
The Narratives
of Indonesian
Dancescape