Hildawati / Jeneponto – Sulawesi Selatan
“Di Hadapan Pintu”
“Di Hadapan Pintu”
Oleh Hildawati
Jeneponto – Sulawesi Selatan
Semua orang, sepanjang hidupnya melewati sebuah batas antar ruang yang disebut pintu. Tapi pernahkah kita menghitung berapa kali dalam sehari melewatinya dan seberapa besar peran pintu dalam hidup kita? Keberadaan pintu yang tidak hanya terbatas pada benda-benda seperti rumah, kendaraan, lemari. Tapi hati manusia juga butuh pintu, tentu saja untuk sirkulasi perasaan baru. Peran pintu bagiku bahkan lebih kompleks dari itu. Pintu(ku) adalah saksi yang menyimpan semua perjalanan, pengalaman, doa-doa dan rahasia-rahasia. Di hadapan pintu, aku adalah seorang telanjang dengan banyak perasaan.
Banyak perasaan itu berupa rasa senang, sedih, cemas, ragu, berharap, optimis, pesimis, bersemangat, bahkan kadang marah dan emosi. Apa yang terjadi padaku, apa yang tengah kurasakan, apa yang kucemaskan, serumit apa perasaanku, dengan siapa aku akan bertemu dan dunia seperti apa yang akan kutemui di balik pintu itu. Aku mempersiapkan banyak hal sebelum menggapai daun pintu sebab aku tahu dibalik pintu itu, prasangka dan bibir orang-orang bisa mencipta apa saja.
Lalu apa yang harus kulakukan untuk meredam prasangka itu? Saat bersikap bodo amat bahkan tidak mampu menjadi jalan keluar terbaik. Haruskah kubuka pintuku lebar-lebar dan membiarkan siapa saja masuk ke dalam dan melihat seisi semestaku? Haruskah aku terus-menerus menjelaskan diri? Atau haruskah kita berkenalan? Katanya tak kenal maka tak sayang. Setelah berkenalan denganku, aku bahkan tidak mengharapkan semua orang jadi sayang padaku tapi minimal berhenti membuat kesimpulan sendiri tentang aku dan kehidupanku.
Jadi baiklah, ijinkan aku memperkenalkan diri !
Namaku Hildawati. Hilda dalam Bahasa Anglo-saxon berarti perang, Wati dalam Bahasa Jawa berarti wanita dan dalam bahasa Mesir berarti pemberontak. Entah apa maksud Ibuku memberi nama itu. Beberapa Senior di kampus memanggilku Aco (sebutan untuk anak laki-laki Makassar yang baru lahir dan belum memiliki nama) sebab cara berjalanku seperti anak laki-laki. Ibuku juga menganggap aku sedikit maskulin hanya karena aku tak memiliki sepotong rok atau gamis yang biasanya dikenakan anak perempuan di keluargaku. Beberapa teman dekatku memanggilku Cebong. Kamu tahu kan manusia melewati beberapa fase usia : Balita-Remaja-Alay-Dewasa. Jadi fase alay kulewati dengan menamai akun Facebook ku Hilda Kecebong (tolong jangan tertawa). Cebong adalah panggilan intim kawan-kawanku jauh sebelum dunia politik negara tercinta ini saling mengumpat dengan sebutan Cebong dan Kampret. Ngeri sekali namaku selalu diiringi umpatan. Aku adalah perempuan kebanyakan, tidak begitu istimewa. Suka menonton film, suka makan, seorang K-popers, suka langit, suka suara hujan dan matre. Satu-satunya hal yang tidak umum dariku hanyalah kenyataan aku senang mengobrol dengan google saat kesepian. Bagiku menarik namun beberapa kenalan yang tahu kebiasaanku itu menganggapnya aneh.
Tahun ini, di bulan Oktober usiaku 32 tahun. Usia yang dari kacamata sekitar semestinya sudah menggendong anak, punya rumah sendiri, punya mobil, karir yang baik dan suami yang mapan. Aku tidak mau menyayangkan kehidupanku. Aku cukup bersyukur pada profesiku sebagai pelaku seni tari yang tinggal di kosan berukuran 5×8 meter dan hidup berdesak-desakan dengan kostum tari yang menjadi sumber cuan-cuan demi keberlangsungan hidup seorang penari dengan project yang lebih sering seperti cuaca, sulit ditebak. Penyewaan kostum tari dari sanggar yang kudirikan sejak 2014 ini cukup membantuku menjadi anak yang berbakti buat keluarga. Sayangnya kata berbakti buat Ibuku rasanya kurang sempurna sebelum status istri menyemat padaku. Aku sesungguhnya cukup deg-degan jika ibu berkunjung ke tempat tinggalku. Pasalnya tetangga kamarku adalah mama-papa muda dan yang lainnya adalah pengantin baru. Sepertinya aku mesti lebih tabah terutama karena usia mereka lebih muda dariku. Yaaa… Bukankah usia hanyalah perihal angka-angka? Tentu saja ini terdengar seperti pembenaran sebab saat aku melangkah melewati pintu kamarku dan berbaur dengan masyarakat, ada tatanan dan standar ideal yang sudah terbentuk, seperti harga mati.
Di masyarakat, terutama di kampung halamanku, penari bukanlah profesi. Profesi itu adalah Guru, Polisi, Tentara, Pegawai Bank, ASN. Jika pendidikanmu tinggi dan kamu pelaku seni (penari), oke : kamu sedang menyia-nyiakan titel dan ijazah. Profesi senimanku itu bahkan sering disangkut-pautkan mengapa hingga kini aku tak kunjung laku. Orang-orang selalu menganggap seniman hidup santai, menikmati hobi, gemar bermain, seorang pemalas dan tanpa masa depan yang jelas. Tipe ideal pekerja keras di masyarakat adalah berangkat pagi dan pulang malam mengenakan seragam kerja. Beberapa orang cenderung merasa tau apa yang terjadi dan tidak mau tau apa imbas dari sifat “sok tahu” mereka. Seperti apa trauma dan ketakutan yang mereka ciptakan. Meski aku telah berusaha membuat tameng, ada kondisi dimana kesimpulan-kesimpulan yang mereka ciptakan cukup menggangguku.
Yang paling terasa adalah saat dunia tiba-tiba kedatangan tamu yang tak terduga dan mengobrak-abrik rencana-rencana yang ada : Covid-19. Pandemi yang mendobrak pintuku dan pintu kita semua yang bahkan sudah ditutup serapat mungkin. Beberapa project yang ditunda bahkan dibatalkan, penyewaan kostum yang mau tak mau harus kututup sementara karena kehilangan pelanggan membuatku cukup terguncang. Ditambah lagi ketakutanku akan pandangan orang-orang yang sekali lagi menyalahkan statusku sebagai pelaku seni. Katanya jika aku punya pekerjaan yang lebih stabil, ekonomiku tak akan begitu diguncang Corona.
Keresahanku pada dunia luar bahkan pernah mendorongku untuk menutup akun sosmedku dan menutup semua jalur komunikasi. Aku terluka dan merasa tidak berguna tiap kali melihat postingan teman-teman. Kenapa semua orang tampak baik-baik saja sementara keadaanku sangat menyedihkan? Aku terus membanding-bandingkan hidupku dan hidup orang lain. Aku terlupa kalau rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau. Sebanyak-banyaknya orang yang berkeluh-kesah disana, ada banyak juga orang yang hanya membagikan bagian yang menyenangkan dari hidup mereka. Tujuannya bukan untuk membuat pihak lain insecure, tapi mungkin saja mereka ingin berbagi hal-hal yang positif. Sejenak berjeda dari hiruk-pikuk media sosial memang memberi sedikit ketenangan. Namun kemudian itu merenggut kewarasanku perlahan-lahan. Tuhan pasti masih menyayangiku. Sedikit demi sedikit dikembalikan warasku yang masih tersisa. Terasa kurang benar memblokir jalur komunikasiku yang merupakan jalanku bisa bertemu kawan sefrekuensi. Aku terlupa bahwa yang paling dibutuhkan mentalku justru adalah bersosialisasi. Mulai ku positifkan pikiranku. Pencapaian gemilang orang lain mulai kujadikan motivasi dan menyerap energi baik mereka. Media sosial adalah lahan informasi, edukasi dan berjejaring. Ketidaknyamanan ini mesti dilewati satu-persatu. Langkah pertama tentunya dengan berhenti melukai hati dengan membanding-bandingkan diri sendiri dan orang lain. Aku mulai membuka pintu, melangkah keluar ke dunia dimana semestinya aku berada.
Aku kembali mendapati diriku yang gemar berkhayal. Senang sekali melakukannya sebab dalam khayalku aku bisa menjadi apa saja dan siapa saja. Kadang sedikit khawatir, jika terus menerus kulakukan dan jadi berlebihan, mungkin akan membuatku semakin menjauh dari realita. Tapi di banyak keadaan aku menjadi percaya bahwa setiap khayalku itu pastilah menjelma menjadi doa-doa di alam bawah sadarku. Lalu Tuhan mencatatnya, Tuhan menyimpannya dan dihadiahkannya padaku di waktu yang tepat. Aku tetap percaya hingga kini sebab secara ajaib beberapa khayalanku menjelma menjadi nyata. Tentu saja bukan khayalanku saat MTs yang ingin hidup di dunia komik atau khayalanku saat SMA yang ingin hidup di dunia dongeng dimana aku bisa berkomunikasi dengan tumbuhan dan benda-benda. Tapi khayalanku saat kuliah, saat dimana perkenalanku dengan dunia tari terjadi.
Aku sering sekali berkhayal terbang dari satu kota ke kota lain, dari satu negara ke negara lain, tampil di panggung dimana penontonku adalah orang yang benar-benar asing. Lalu di tahun 2012, pintu itu seperti menarikku dari dunia khayal menuju realita. Di tahun itu, untuk pertama kalinya kutangkap sorot bangga di mata Ibuku. Untuk pertama kalinya Ibuku bersedia hadir menyaksikanku menari di hari pelepasanku berangkat menuju Colombo, Sri Lanka untuk menjadi bagian dari Colombo International Theatre Festival. Padahal sebelumnya, beliau selalu menanyakan kapan aku berhenti menari, mulai fokus menyelesaikan studiku dan lekas mendapat pekerjaan yang layak.
Tetap saja meski merasa bangga saat itu, kehidupan yang stabil tetap menjadi prioritas Ibu. Maka suatu hari, setelah mendapatkan gelar sarjana, aku mulai mengabulkan keinginan ibu, bekerja di kantor swasta sebagai admin keuangan. Aku tampaknya cukup tabah melakoni itu selama dua tahun. Hahaha… namun nyatanya aku tidak setabah itu. Aku diam-diam menggarap pertunjukan untuk berfestival di Palembang dan sialnya Tim kami mendapat penyaji terbaik pertama. Hal ini menjadi godaan berat untuk kembali ke jalan ninjaku. Puncaknya adalah saat audisi yang diam-diam ku ikuti di Jakarta malah membuka pintu lebar-lebar buatku. Melalui Purnati Indonesia, aku lolos sebagai salah satu aktor dalam project pertunjukan yang disutradarai langsung oleh Maestro Teater Tadashi Suzuki. Godaan semakin berat sebab project ini berlangsung selama 3 tahun. Aku nekat meninggalkan duniaku yang stabil dari segi ekonomi. Ibuku? Tentu saja protes dan khawatir. Namun bagaimanapun beliau tetaplah seorang Ibu yang tak akan mampu meredupkan binar bahagia di mata putri sulungnya. Setipis itulah dimensi yang membatasi pintu khayal dan realita manusia. Seperti itulah takdir Tuhan bekerja.
Bagiku percaya pada takdir adalah obat dari segala hal. Sekali waktu, saat semua berjalan tidak sesuai rencana, terkadang aku menyesali keputusan di masa silam. Tapi sekali lagi saat aku berpegang pada percayaku bahwa semua hal sudah ditakdirkan, aku jadi tidak begitu luka di dalam. Ah, manusia tidak boleh menjadi begitu serakah. Terlalu mencintai langit, hingga lupa berterimakasih pada tanah. Aku mestinya bersyukur bagaimana Pintuku telah menjadi sahabat setia yang menyembunyikan siapa aku di dalam dan siapa aku di luar, menjadi kawan berjuang yang turut mengaminkan banyak pintaku ke Tuhan, menjadi tangan semesta yang menuntun temuku dengan banyak orang yang serupa juga berbeda. Pintuku tidak se-magic pintu Doraemon tapi ku jamin ia tak kalah tangguhnya. Ya walaupun kadang-kadang aku berpikir alangkah senangnya jika aku adalah Shizuka Minamoto. Sebab orang yang mencintainya adalah Nobita, tentu ia bisa merengek dimintakan apa saja kepada Doraemon.
The Narratives
of Indonesian
Dancescape