The Narratives
of Indonesian
Dancescape

IN / ENG

Ayu Ridho Saraswati / Blitar – Jawa Timur

“Pendidik Seni : Mengajar Untuk Belajar”

“Pendidik Seni : Mengajar Untuk Belajar”

Oleh Ayu Ridho Saraswati

Blitar – Jawa Timur

“Bermimpilah…

Mimpi adalah harapan

Harapan adalah doa yang indah

Dan doa yang indah pasti terkabul.”

Begitu yang selalu dikatakannya, tak pernah berubah sampai saat ini.

Setiap bangun tidur aku ditanya, “semalam mimpi apa?” lalu terfasilitasi dengan “Mbak, apa yang kamu mau?” begitu daurnya. Mimpi fana dinyatakan melalui upaya, dan itu yang membuatnya terkabul.

Dia suka berkisah, kisah apapun dituturkannya. Menimba air saat kecil, menyiapkan sesajen untuk sudut rumah tua, petak umpet sampai ke desa sebelah, ikut karate saat remaja, berkemah di hutan, bertemu Bapak, menulis kata, mengarang prosa, belajar sastra.

 

Kisah-kisah itulah yang membentuk angan terbawa mimpi. “Ndak papa, tulis aja mimpimu nanti pasti terkabul.” Dia senang menempel kata-kata semangat, dicetak, laminating, lalu ditempel di dinding. Biar orang rumah terngiang katanya.

“Jangan suka marah. Orang sabar disayang Tuhan. Suka marah temannya Setan.”

Karenanya kutulis: “Aku ingin berkeliling dunia dengan sampur dan keringatku.” Sebenarnya ini adalah kalimat dendam atas ketidakmampuanku menjadi seperti yang diharapkan orang-orang di sekitar. Harusnya menjadi dokter, harusnya menjadi banker, harusnya masuk ekonomi, harusnya ambil fisika. Tapi ia berkata, “ambil apa yang kau suka, jadilah ahli dan gapai mimpimu.”

 

Satu hal lagi: di mana pun kamu, jadilah santun, dengarkan orang lain, lembutlah bercakap. Begitu tutur Ibu.

——————————————————————-

 

“Da Ayu sayangkuuu…” begitu Mas Lupi suka memanggilku, ia datang lalu memeluk. Mas Lupi adalah pakdeku. Ia tak suka berdiam diri, ketika pulang ke desa dia biasa mencangkul, membuat pagar, membantu orang bangun rumah, menanam singkong, mencari bambu, membangunkan sahur pukul dua pagi. Ketika kembali ke kota ada saja yang ingin dilakukannya dalam konteks kegiatan sosial. Mengalungkan peluit lalu berjalan ke arah alun-alun, dan jadilah tukang parkir, membantu juga maksudnya kan? 

 

Mas Lupi suka terbalik. Ketika tutup adalah buka, belum adalah sudah, ke depan adalah ke belakang. Walau seumur-umur selalu bersamanya ada saja keluputan memaknai ucapannya. Terkadang suka merenung, sebenarnya yang suka terbalik kami atau Mas Lupi ya? Sungguh sebuah paradoks.

 

Pola pikirnya masih setara dengan anak usia 6-7 tahunan, maka ada saja tingkah kanak-kanak yang dilakukannya. Ketika ibunya marah karena dia bandel misalnya, dia akan berucap, “wes gak popo ya Yu, sing sabar, wes gak popo…” (sudah tak apa ya, Yu, yang sabar, tidak apa-apa ya). Padahal dia yang kena marah.

Semua sudah maklum maka tak jadi masalah. Masalahnya mereka yang belum atau tidak maklum, membuat pedih. Pernah saat aku masih kelas dua SD, dia menjemputku dari desa sebelah ketika pulang les. Jalan kami melewati Sekolah Menengah Pertama yang sedang ramai karena jam pulang. Sontak mereka bilang “Eh, eh, eh… ono wong gendeng!”(eh… eh… ada orang gila!). Seketika kuraih tangan Mas Lupi, kupegang erat, sambil kupeluk, INI SAYANGKU!

 

Mas Lupi membuatkan baby box untuk menyambut kelahiran bayiku. Dia siapkan kardus, kayu sisa pagar, dan kertas kalender. Terlihat semacam inkubator untuk anak ayam, supaya si bayi hangat katanya. Dia sangat memahami konsep sayang. Dia pandai membuat kentongan. Dia jago merakit kabel radio. Dia berpotensi luar biasa. 

 

Aku lalu memaknai inklusifitas bukan tentang apa yang kurang melainkan kelebihan yang tampak. Kami saling memahami dan menerima dengan suka cita. Tak ada perbedaan di dunia ini, keberagamanlah yang menguatkan kita.

 

——————————————————————–

“Dengan bebas dari segala ikatan dan suci hati berhambalah kita kepada Sang Anak.”

Tahu kau siapa yang mengucapkan kalimat tersebut? Sebelumya, tidak pernah terbayangkan olehku bahwa dunia anak-anak mampu mengalihkan ego diri yang senang dielu-elukan.

Kucoba kembali pada masa yang lalu, saat pertama seni menyentuh kalbu. Kegiatan menuangkan ekspresi melalui gerak dimulai.  Bermula dari mimpi, lalu berupaya untuk mewujudkan dengan kuat hati. Menjalani berbagai peristiwa yang mengasah rasa dan karsa. “Aku ingin berkeliling dunia dengan sampur dan keringatku,” merupakan lecutan untuk melakukan pembuktian.


Perjalanan ketubuhanku mulai terekam. Aku nyemplung ke dalam perhelatan gerak tubuh penuh suka cita. Hatiku marak ketika diakui melalui aktivitas gerak-gerak, yang  akhirnya dikenal sebagai “anak yang nari saat Agustusan.”

Saat itu, pencapaian adalah mampu meniru dengan tepat contoh gerak yang diberikan pelatih, berjuang untuk sama, tak berbeda bahkan untuk kerlingan mata. Yang sama yang utama. Tak mengapa, tak ada rasa keberatan. Hingga sampai pada sebuah proses yang mewadahi beragam sosok untuk mengungkapkan energi. Remaja-remaja diminta untuk berkarya sesuai dengan keriangan. Seperti anak yang berjumpa dengan sahabatnya,  lalu bercerita:  hari ini ngapain aja? Semua dikisahkan dengan gerak. Hey… ini menyenangkan! Kami berbagi ide, rasa, semangat, keluh juga kesah!

 

Bentuk kinestetik satu ini mampu membangun harapan untuk terus kuperjuangkan. Kecintaan pada dunia tari semakin kuat, dengan penuh tekad aku melanjutkan studi lanjut di jurusan Pendidikan Seni. Merantau hingga ke Kota Bandung, kota yang kuat budaya lokalnya, juga kuat budaya urbannya. Semakin dalam menggeluti ilmu pedagogi di ranah pendidikan tari, aku mencoba menuangkan kepenarian dalam kegiatan belajar mengajar. Muncul kenyamanan yang berbeda. Sejenak aku terhenyak, ah! rasanya pernah melakukan ini.

Ketika masih di wetan dulu, setiap hari aku berkeliling dari satu sekolah ke sekolah lainnya untuk mengajar. Dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Luar Biasa. Aku senang belajar dari mereka, tapi waktu itu terasa seperti angin lalu.

Mungkin memang sudah kodratnya aku mengajar. Dari mengajar aku belajar. Aku dan murid-muridku saling mengisi dan saling berbagi. Ekosistem yang beragam, anak-anak yang bermacam potensi, hal-hal kecil yang rupa-rupa. Dan masih banyak realitas juga fenomena kutemukan di lapangan yang sungguh berbeda satu dengan yang lainnya.

Di Bandung, ada banyak rumah memfasilitasi tungku untuk menjaga dan membesarkan bara. Salah satunya, Semesta Tari, sebuah komunitas tari anak yang aktif melakukan pembelajaran tari dengan metode kreatif, dan mengusung esensi “kebebasan berekspresi” sesuai potensi individunya. Sebuah pembelajaran yang berorientasi pada proses, bukan produk semata.

Selama empat tahun aku terlibat dan bergerak di jalur ini. Aku begitu menikmati seluruh proses interaksi dengan murid-muridku, juga perjumpaan dengan banyak kawan lintas ilmu yang memiliki kesamaan dalam semangat untuk berjuang di jalur pendidikan anak. Dengan segala perbedaan yang ada, kita saling menggagas, mengalami, merasakan, menemukan, mengolah dan  berekspresi bersama-sama.  Guru tari di mataku akhirnya tak hanya harus mampu memberikan contoh, namun yang utama adalah mampu memberikan motivasi kepada para benih potensi dalam setiap individu.  

 

Ngerti-Ngroso-Nglakoni, adalah perspektif ajaran Ki Hadjar Dewantara yang memperdalam pemahamanku tentang kemampuan kinestetik. Kemampuan anak-anak dalam  menyerap dan menerapkan ilmu, pada kegiatan yang muncul dari raga mereka. Hal ini menjadi dasar bahwa pendidikan seni memiliki daya yang luar biasa pada proses tumbuh kembang anak, yaitu  dengan menggunakan metode kreatif.

Kreativitas yang muncul dari kegiatan bermain, senang-senang, suka-suka, dan gembira. Take & give melalui media seni kreatif merupakan jembatan yang tepat karena tujuan penyelarasan mengiringi tumbuh kembang karakter anak dilakukan dengan kegiatan yang menyenangkan. Inilah bentuk elastisitas pendidikan seni kreatif. Seperti karet, bisa dipanjangkan supaya dapat menjangkau, bisa dilebarkan untuk memayungi. 

 

Aku jatuh cinta dengan semua ini. Tak lagi peduli pada kesan penonton saat diriku menari, sebaliknya berusaha untuk menyampaikan pesan dari permainan yang anak-anak muridku lakukan. Berkutat dengan ingus, keringat, air mata, dan banyak printilan tak terduga. Apalagi ketika sampai pada tahap negosiasi, dari melempar tanya apa, bagaimana, siapa, bolehkah dan bisakah. Hingga akhirnya secara intim bicara tentang mimpi mereka. 


Kak Ayu, Bu Ayu, Miss Ayu, Mbak Ayu, Bun, dan lain-lain. Banyak panggilan yang mereka beri, dan aku suka mendengarnya apa pun itu.

—————————————————————-

 

Tahun 2019 aku memutuskan untuk kembali ke kampung halaman di Blitar. Meninggalkan Bandung dan anak muridku. Memutuskan untuk melanjutkan jalan seniku dengan terus mengajar anak-anak sambil mengasuh Langen permata hatiku.

Pengalaman melahirkan merupakan anugrah. Belajar dari proses melahirkan, aku kian memahami sebuah konsep yang tepat sekali dengan elastisitas pendidikan seni seperti rahim. Di dalamnya ada kehidupan, juga ada siklus: Menumbuhkan (embrio potensi) – merawat (peradaban) – melahirkan (pribadi) – menguatkan (karakter).  Impianku saat ini ingin terus mengembangkan kelas-kelas kreatif yang elastis seperti rahim.

Aku sangat bersyukur pada seluruh tahapan hidup yang kualami. Seketika aku bersyukur pada seluruh pesan manis Ibuku dan kehangatan kehadiran Mas Lupi yang istimewa. Aku bersyukur bahwa sejak dini aku sudah terbiasa menghadapi keberagaman di sekelilingku. Aku akan tetap bersemangat menebar pola pendidikan yang telah dijalankan, dan akan terus kuperjuangkan. Saat membaca konsep, kaitkan. Membaca alam, kembangkan. Membaca rasa, sentuhkan. Membaca peristiwa, lakukan. Setiap pembelajaran akhir kelas, aku selalu semangat menyampaikan yel-yel: Magito-gitooooo… Tandyooo! (persiapan majuuu… jalan!).

The Narratives
of Indonesian
Dancescape