Tamara Agustina Hurulean / Ambon
“Menari Dengan Tuhan”
“Menari Dengan Tuhan”
Tamara Agustina Hurulean
Ambon
“Suatu hari nanti pendeta bisa saja berkhotbah dengan cara menggerakan tubuh tidak melulu dengan beretorika.”
Ini adalah mimpi kecil dalam diri saya yang berangkat dari kegelisahan ketika kuliah. Saya kuliah di Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku, Prodi Filsafat Keilahian. Alasan saya berkuliah di situ karena ingin menjadi seorang pendeta. Walau memang tidak semua lulusan di Fakultas kami menjadi pendeta.
Ketika kanak-kanak, saya sempat bingung dari mana sebenarnya pendeta muncul? Karena tiba-tiba ada di mimbar. Ketika beranjak dewasa saya pun mendapati bahwa ternyata ada tangga di bagian belakang yang akan dinaiki pendeta menuju mimbar. Kebingungan saya mulai menemukan titik terang ketika kuliah. Saya menemukan bahwa alasan mimbar berada di posisi tengah depan di dalam gedung gereja, karena itu adalah simbol bahwa Firman Tuhan adalah sentral dari misi gereja di tengah-tengah dunia ini. Jadi dapat dikatakan bahwa kegelisahan saya sejak kecil bukanlah sesuatu yang sia-sia. Sebab hal itu bermuara pada jawaban teologis.
Di bangku perkuliahan, saya tidak hanya kuliah tetapi juga menyalurkan karya dalam berbagai kegiatan seni. Saya senang menulis puisi dan menari sejak kecil, saya baru menekuni teater ketika kuliah. Ini membuat saya sangat senang berimajinasi dan mempertanyakan banyak hal yang tidak dapat diterima oleh nalar. Kuliah di fakultas Teologi memunculkan banyak pertanyaan yang menggelisahkan dalam hati. Tetapi saya sangat bersemangat. Karena hal itu makin memperkuat iman lewat pengalaman-pengalaman yang saya alami.
Dunia akan menjadi sangat asing bagi manusia yang menyebut diri mereka pendatang. Oleh karena itu, saya selalu bersyukur dan menikmati apa yang Tuhan berikan. Rumah saya terbilang dekat dengan gereja, tapi tentu itu bukan satu-satunya alasan mengapa sejak kanak-kanak saya rajin beribadah dan ketika dewasa ingin menjadi pendeta. Tetapi jarak itu seolah menjadi alarm untuk saya terus membenahi diri.
Saya berasal dari keluarga sederhana yang sangat erat dengan kasih sayang. Karena kehidupan yang demikian, sejak kanak-kanak saya selalu diberi bantuan oleh gereja. Mulai dari beasiswa ketika sekolah dan bantuan-bantuan lain ketika saya membutuhkan; seolah Tuhan selalu mempermudah langkah hidup saya. Gereja sebagai representasi kehadiran Allah di tengah-tengah dunia, sudah sewajarnya melayani semua orang tanpa pandang bulu. Sejauh ini misi itu terus dikumandangkan. Tetapi ada kalanya hal-hal kecil dikesampingkan, seperti model-model bangunan yang tidak ramah terhadap para saudara dengan disabilitas, para lansia juga anak-anak. Selain itu metode khotbah dalam bentuk retorika rasanya belum cukup untuk para saudara dengan disabilitas (tuna rungu).
Sewaktu semester akhir di bangku kuliah, saya menulis skripsi dengan judul “Tarian Kehidupan Perempuan”. Skripsi yang saya tulis dengan pendekatan hermeneutik feminis ini saya refleksikan dalam bentuk tari terhadap salah satu cerita dalam Alkitab. Hal yang saya pikirkan ketika menulis skripsi ialah “kenapa khotbah selalu dalam metode retorika? Mungkinkah suatu saat juga bisa dalam bentuk gerak tari?” Saya tahu bagi banyak orang, ini merupakan suatu hal yang dapat dikatakan konyol. Bahkan tak sedikit orang yang menganggap saya remeh temeh tetapi saya bersyukur ada dosen, sahabat, juga Ayah dan adik yang mendukung penulisan saya.
Ketika ada dalam pengerjaan skripsi, saya menemukan banyak hal baru tentang menari dan Tuhan. Salah satunya pikiran dari filsuf Friedrich Nietzsche, yaitu “ketika manusia bergerak (menari) mereka sedang berupaya menciptakan nilai termasuk nilai tentang Tuhan.” Berdasarkan pendapat Nietzsche, saya menyadari bahwa menari tidak hanya tentang sebagus apa teknik yang seseorang miliki tetapi tentang bagaimana kita merasakan apa yang kita tarikan dan dapat membuat ekspresi perasaan itu ditangkap oleh orang lain.
Saya belum cukup puas dengan skripsi saya, sebab saya sungguh menyadari bahwa koreografi saya saat itu belum ada apa-apanya dan bahkan tidak ada orang yang ahli dalam seni tari yang mengomentarinya. Merasakan kekurangan itu, tidak mungkin saya melanjutkan ide saya di atas hanya dengan omongan dan kemampuan yang seolah berjalan di tempat. Oleh karena itu, saya berniat untuk melanjutkan studi tari.
Hari itu, banyak pujian yang saya terima saat menampilkan tarian di ujian skripsi. Tetapi saya seakan dihantam habis oleh pikiran dan beban-beban yang baru. “Apakah koreo semacam itu cukup baik untuk saya jadikan sebagai refleksi tentang Tuhan dan firman-Nya?” Beberapa hari saya berpikir sembari berdoa. Saya berniat ingin kuliah lagi dengan mengambil seni tari. Tetapi niat itu hanya saya batin sebab saya menyadari kondisi keluarga saya. Di satu siang tepatnya hari Minggu, saya ditawari beasiswa oleh seseorang yang tidak ingin diketahui identitasnya, tetapi ingin membiayai studi saya di jenjang strata 2 (S2). Saya senang sekaligus sedih sebab saya ingin kuliah lagi. Saya pulang dan berdoa; jadilah apa yang Tuhan kehendaki. Saya menerima tawaran tersebut. Segala persiapan mengenai studi lanjut telah saya siapkan. Tetapi Tuhanlah yang Empunya keputusan.
Tahun 2020 adalah tahun harapan. Tetapi banyak kegiatan tahun ini yang tidak berjalan sesuai dengan apa yang saya rencanakan. Ada lebih dari satu rencana yang tidak terealisasi tahun ini, salah satunya melanjutkan studi. Saya sangat kecewa pada keadaan, merasa tidak semangat dan seolah kehilangan harapan. Pandemi tidak hanya menimpa saya tetapi seluruh bumi termasuk orang baik hati yang ingin membiayai saya studi lanjut. Beberapa lama saya menenangkan diri dan berdamai dengan semua kekecewaan yang saya alami. Bersyukur saya punya Ayah, adik, dan sahabat yang selalu menyemangati saya.
Kehidupan memang tak selalu seirama dengan apa yang manusia jadwalkan. Ada satu titik di mana kita sebagai manusia perlu terus menggerakkan hidup, sebab hidup tidak berhenti bersama kita. Ketika kita berhenti kehidupan akan terus berlanjut kecuali kita. Ketika kita memilih berhenti, kita akan ketinggalan oleh hidup dan beragam manusia lain di dalamnya. Hanya sesal yang akan menyambut kita dan sisa-sisa harapan yang tak dapat lagi kita nyatakan.
Saya hidup bersama Ayah dan adik lelaki ketika Mama memilih pergi. Hidup tanpa Mama tidak membuat saya kehilangan kasih sayang. Sebab Ayah adalah Ayah terbaik di seluruh dunia. Laki-laki dalam foto di atas adalah Ayah saya, Marthin Luther namanya. Saya tidak ingat jelas kapan foto ini diambil. Yang pasti masih dalam tahun ini, di rumah kami dan dengan kepentingan menjadi model untuk masker saya. Saya memilih foto ini karena saya sangat menyukai tato di dada Ayah yang bertuliskan “Tamara”. Ayah suka tato. Di badannya banyak sekali tato, salah satunya nama saya. Penggunaan tato masih menjadi perdebatan banyak orang apalagi untuk kalangan yang menyebut diri mereka agamawi. Sama halnya dengan menari, masih menjadi perdebatan. Bagi saya tato adalah seni yang menarik dan tentu memiliki makna yang berarti bagi orang yang menato. Seperti menari, penari akan bahagia meski ia telah melewati banyak kesakitan. Selain tato, Ayah juga gemar menanam dan merawat bunga. Rumah kami lumayan dikelilingi oleh bunga-bunga kesayangan Ayah. Dia merawatnya dengan sangat telaten. Katanya, dengan melihat bunga kesedihan yang ia alami akan hilang dengan sendirinya.
Saya sangat mencintai Ayah. Bagi saya Ayah adalah nafas dan semangat untuk saya meraih mimpi-mimpi. Walau saya sangat menyadari itu akan menghancurkan saya ketika beliau tiada namun, itulah yang saya rasakan. 23 tahun hidup bersama Ayah, juga adik laki-laki saya adalah anugerah besar dari Tuhan. Sewaktu saya berumur 4 tahun Ayah dan Mama sering bertengkar hebat. Lalu Mama pergi meninggalkan rumah dan tidak pernah kembali lagi. Hingga kami tumbuh dewasa barulah, kami tahu kalau Mama telah menikah kembali dan memiliki anak dari suami barunya.
Bukan hal mudah untuk hidup tanpa Mama. Ayah seorang penjaga sekolah yang sangat bekerja keras. Dahulu, sepulang kerja ia lalu mengurus saya dan adik kemudian mengurus rumah. Tidak heran, ketika kelas 4 SD saya sudah tahu mengurus rumah dan mencuci pakaian. Ayah selalu mempercayakan semua hal pada saya termasuk mengatur keuangan di rumah. Dulu saya sangat merasa terbeban dengan itu semua, tetapi kini saya telah terbiasa dan justru senang melakukannya. Hidup dengan Ayah membuat saya menjadi perempuan yang mandiri, tegas dan tidak mudah menyerah. Hidup sebagai kakak juga bukan hal yang mudah. Saya ingat benar sewaktu kecil saya terus dipukul ketika adik berbuat kesalahan atau jika dia kecelakaan ketika bermain bersama teman-teman. Ayah mengajari saya rasa tanggung jawab terhadap adik dan bagaimana menjaganya.
Kehidupan kami sederhana saja. Tetapi saya sangat bahagia dan tidak menyesal memilih tinggal bersama Ayah. Pengorbanan Ayah bagi kami terlampau banyak. Dia bisa saja memilih pergi meninggalkan kami tetapi dia memilih tinggal, merawat dan membesarkan kami hingga sekarang. Ia sangat mendukung apapun yang saya lakukan dan keputusan apa yang saya pilih. Sosok yang bahkan mengerti bahasa-bahasa yang tidak terkatakan oleh kata-kata. Saya tahu Ayah mengkhawatirkan saya, tetapi saya juga percaya beliau yakin dengan pilihan-pilihan yang saya ambil.
Seseorang bisa hidup sendiri, ya sendiri dalam khayalan. Sayangnya manusia ada dalam kenyataan bumi yang kompleks dengan persoalan. Oleh karena itu, manusia membutuhkan orang lain untuk menggerakkannya, untuk memastikan bahwa manusia hidup dan menghidupi apa yang dia pilih dalam langkah kehidupannya.
Ayah hidup dan bertahan dengan apa yang ia sukai
Saya hidup dan bertahan dengan apa yang saya gemari
Menari membuat saya menjadi perempuan merdeka
Menari menghidupkan kembali emosi
Menerjang kembali
Percaya lagi bahwa masih ada harapan yang Allah berikan di ujung sana
Semoga…
Semoga saya dimampukan oleh-Nya untuk terus bergerak. Sebab dengan demikian bisa jadi ada orang yang tergerak hanya dengan melihat saya (kita) bergerak. Semoga firman Tuhan juga dapat tersalurkan melalui gerak-gerak tubuh. Tak kaku oleh idealisme para agamawi, tak terbatas oleh ruang, namun mengalir seperti air laut;
Bergelombang untuk sekadar memperingati
Tenang untuk menenangkan
Asin untuk mengawetkan
Seperti tubuh penari
Demikianlah Tubuh manusia
Hakekatnya untuk memuliakan Tuhan yang Ia Imani
The Narratives
of Indonesian
Dancescape