The Narratives
of Indonesian
Dancescape

IN / ENG

Trina Acacia / Bali 

“Asiknya Perjumpaan”

“Asiknya Perjumpaan”

Trina Acacia

Bali 

Trina menyukai perjumpaan dengan orang lain. 

Baginya, setiap perjumpaan dengan orang lain dapat mengajarkan banyak hal jika mereka saling membuka diri. Setiap hari manusia berpapasan dengan manusia yang lain, tapi tidak berjumpa. Bagi Trina, sekedar berpapasan itu mudah—sekedar melihat orang lain dari penampilannya saja. Lain halnya dengan berjumpa, ada keterarahan diri dari masing-masing subjek sekaligus keterlibatan emosi yang hadir. Keterlibatan emosi ini hadir ketika ia menerima orang lain sebagai bagian dari dirinya.

Sama halnya ketika menari, ketika ia sudah merasa cocok untuk menari dengan seseorang atau dalam grup tari tertentu, ia merasa ada yang berbeda jika suatu waktu mereka digantikan dan ia tidak lagi menari bersama mereka.

Trina mempelajari makna perjumpaan dari dunia tari. Di bangku kuliah, Trina sempat berhenti menari karena ia berorientasi mengejar nilai IPK tinggi. Naluri kompetitifnya terdorong saat menyadari sikap ambisius teman-teman seangkatan yang satu jurusan dengannya—mereka sering berbondong-bondong ke perpustakaan Universitas Indonesia yang konon katanya terbesar di Asia Tenggara itu. Di sana mereka berdiskusi dan membaca buku. Namun, ambisi Trina itu hanya bertahan di dua semester pertama. Trina sempat berpikir bahwa menjadi mahasiswa Filsafat akan membuatnya semakin berjarak dengan dunia tari karena harus menghabiskan waktu dengan buku, duduk menyendiri dan berpikir keras seperti filsuf-filsuf jaman baheula.

Suatu hari, ia membaca tulisan dari salah seorang dosennya, Embun Kenyowati, tentang Filsafat (Estetika) Tari. Tulisan itu menyadarkan Trina bahwa belajar Filsafat ternyata bisa semakin mendekatkan Trina pada dunia tari. Ia seolah dibangunkan dari tidur panjangnya sembari mengutuk diri sendiri, untuk apa kuliah jika kuliah malah membuatnya semakin jauh dari mimpinya? Maka, ia memberanikan diri bergabung dengan sebuah grup tari khusus Latin dan Standard—genre tari yang masih asing di telinganya. Ia tertarik bergabung karena ia melihat betapa ramahnya grup itu saat mempromosikan kelas. 

Ada seseorang bernama Nico, sesama anggota baru yang kemudian menjadi pasangan tarinya. Mereka mempelajari tari Latin dan Standard dari nol. Awalnya, mereka merasa saling tidak cocok, tapi lambat laun mereka bisa menyatukan energi. Modalnya? Menerima kehadiran satu sama lain.

Kadang Trina bebal—ia bilang, ia suka berusaha dan mempelajari sesuatu dari nol tapi kadang mencari-cari alasan untuk bolos latihan. Di tengah latihan, Trina sering mengeluh pada Nico, “Aku pusing! Belajar teknik tari Jive tidak semenyenangkan belajar tari tradisional Indonesia!”

Nico menasihati Trina, “Kalau mau belajar, harus membuka diri, jangan jadikan bekal yang sudah-sudah sebagai beban!”.

Setelah lulus kuliah, Trina pindah ke Bali. Tanpa sengaja di awal tahun 2020, Trina melihat sebuah grup tari Tor-tor di Uluwatu. Mereka berjumlah kira-kira enam orang termasuk sang guru. Mereka berlatih di lapangan terbuka, tanpa sepatu, dan tanpa kain ulos. Trina heran, mengapa mereka tidak mengenakan kain ulos? Ia teringat waktu dulu saat kecil, ketika pertama kali belajar menari Tor-tor, guru Tor-tornya mewajibkan ia dan teman-temannya untuk mengenakan kain ulos saat latihan. Guru Tor-tor Trina selalu menghukum mereka yang tidak mengenakan kain ulos. Namun, apa yang dilakukan grup Tor-tor di Uluwatu itu membuatnya mempertanyakan kembali pengalamannya—apakah sebenarnya tidak harus memakai kain ulos saat latihan? 

Trina juga mengamati gerak-gerik dan tutur kata guru Tor-tor di Uluwatu itu—ramah dan halus seperti seorang ibu, sangat berbeda dengan guru Tor-tornya dulu yang galak dan kasar ketika memperbaiki sikap tubuh penari-penarinya. Waktu kecil, tubuh Trina bungkuk sehingga guru Tor-tornya berulang kali menekan tubuh bagian belakang Trina agar tidak bungkuk. Sentuhannya agak kasar dan sakit. Perlakuan guru Tor-tor itu hadir dalam alam bawah sadarnya dan mempengaruhi reaksinya tiap berkenalan dengan siapapun yang merupakan guru Tor-tor. Tiap berlatih Tor-tor pun, Trina selalu teringat akan sakitnya sentuhan guru Tor-tor itu. Namun, siang itu Trina melihat penggambaran yang lain dari seorang guru Tor-tor. Trina menghampiri guru Tor-tor itu dan mengajaknya berbincang—meski hanya sebentar karena ia harus kembali memperhatikan murid-muridnya.

Bagi Trina, ketika ia membuka diri terhadap kemungkinan yang lain, ia bisa melihat lebih banyak hal dan menyadari bahwa tiap manusia adalah individu yang unik. Keberadaan orang lain membuatnya sadar akan keunikan tiap individu dan karenanya identitas seseorang tidak akan bisa disamakan dengan identitas orang lainnya. Sekalipun mereka sama-sama guru Tor-tor, mereka merupakan individu yang berbeda—karakter mereka berbeda, pengalaman mereka berbeda, pola pikir mereka berbeda, dan lain sebagainya.

Terkadang Trina pusing berada di tengah keramaian—Trina menyebutnya sebagai keramaian identitas—banyak orang di sekelilingnya yang memiliki latar belakang berbeda. Dalam keramaian itu, Trina tidak tahu suara mana yang harus ia dengar. Trina tidak tahu suara mana yang benar. Trina juga tidak tahu apakah ia layak bersuara?

Saat berlatih tari, ada yang mengangkat kaki sangat tinggi, ada pula yang tidak bisa mengangkat tinggi. Trina bingung, gerak tubuh siapa yang benar? Namun, semakin sering ia berjumpa dengan keberagaman, ia jadi terbiasa sekaligus sadar bahwa keberagaman itulah yang membuat tarian menjadi dinamis dan hidup—tidak monoton. Trina sadar bahwa hidup akan terus berlanjut. Ini sudah waktunya untuk melanjutkan perjalanan dan membuka pintu lagi untuk kehadiran orang yang baru. 

Di tengah petualangan Trina membaca Bali, ia bertemu seorang pelukis dari Belanda yang telah lama tinggal di Bali, namanya Noella Roos. Baginya, Noella merupakan individu yang sangat unik karena ia adalah seorang pelukis tapi lebih suka menggambar. Ia menyebut dirinya ‘pelukis’ karena istilah ‘penggambar’ belum cukup umum di dalam Bahasa Indonesia. Uniknya lagi, Noella tidak menggambar objek-objek statis seperti kebanyakan seniman lainnya, melainkan objek yang bergerak. Itulah sebabnya Noella lebih suka menggambar penari. Saat Noella meminta Trina menari di studionya, proyek kolaborasi mereka bermula.

Saat energi mereka terkoneksi, mereka dapat merasakan emosi satu sama lain. Suatu hari, Trina merasa sedih karena salah seorang temannya di Jakarta terluka setelah mengikuti sebuah demonstrasi di depan Gedung DPR. Rasanya, Trina tidak ingin bekerja hari itu. Ia hanya ingin pergi ke Jakarta untuk memeluk temannya. Noella dapat membaca kekacauan emosi Trina hari itu tanpa diberitahu. Noella kontan membuatkan kopi untuk Trina dan memintanya bercerita tentang apa yang terjadi. Noella paham sekali betapa Trina menyukai kopi dan biasanya ia lebih tenang bercerita jika ditemani kopi.

Saat Noella dan Trina saling bercerita, tidak ada penghakiman di dalamnya. Mereka saling bercerita dan mendengarkan, bukan saling menghakimi. Oleh karena itu, Trina merasa diterima oleh Noella. Begitu pun sebaliknya, Trina dapat merasakan bagaimana Noella selalu bersemangat setiap kali mereka membahas karyanya. Tiap mengunjungi studio Noella, Trina mengamati karya-karya Noella dan memberikan komentar.

Ada satu gambar buatan Noella yang sangat Trina suka, yang dibuatnya saat Trina menari dengan posisi setengah duduk. Trina mengutarakan betapa ia menyukai gambar itu tapi bagi Trina, kakinya di gambar itu terlihat kurang proporsional. Dengan terus terang, Trina mengatakannya pada Noella. Noella senang sekali saat Trina memberi komentar karena itu menandakan bahwa Trina memberikan perhatian pada apa yang Noella lakukan, sekaligus itu menandakan bahwa Trina terlibat.

Mungkin jika Trina dan Noella tidak saling menerima dan saling memahami, mereka akan menjadi sekedar rekan kerja saja—tidak akan ada obrolan mengenai mimpi terbesar Trina, mengapa Trina ingin berat badannya tetap stabil, tentang pelukis yang Noella puja, tentang penari yang mereka anggap terlalu dramatis, dan lain-lain. Belum tahu pasti, akan sampai kapan mereka bekerja sama. Mungkin saja akan seperti perjumpaan lainnya yang dilanjutkan dengan perpisahan. Semuanya adalah kemungkinan.

Perjumpaan adalah misteri—Trina tidak pernah tahu mengapa dipertemukan dengan seseorang, pun tidak bisa menebak akan seperti apa kelanjutannya. Maunya, Trina terus menari bersama mereka, menarikan tarian yang sama pula. Namun, tarian akan tetap menjadi tarian—bukan hanya ada awal, melainkan juga ada bagian tengah dan akhir. Esok hari kita akan memulai tarian yang baru, berjumpa dengan teman yang baru pula. Ketika orang lain hadir, kita bisa memilih: mau sekedar berpapasan, hanya memberikan nama, atau memberikan kesan? 

The Narratives
of Indonesian
Dancescape