Yezyuruni Forinti / Jailolo
“Melepas Rasa Nyaman”
“Melepas Rasa Nyaman”
Yezyuruni Forinti
Jailolo
“Ooh ini yah penarinya Mas Eko,” kalimat ini yang selalu keluar dari orang-orang yang saya temui pertama kali di Solo, terutama di lingkungan kampus. Selama kuliah, banyak teman yang ingin tahu tentang saya, bagaimana saya bisa bertemu dengan Mas Eko, dan bagaimana saya bisa menjadi penarinya. Mereka tidak mengerti, bahwa sesungguhnya Mas Eko adalah orang pertama yang membuat saya harus keluar dari zona nyaman, beliau adalah orang pertama yang mengusik kenyamanan saya.
Mas Eko yang dimaksud adalah Eko Supriyanto, koreografer tari asal Kota Surakarta yang reputasinya sudah tidak perlu diragukan lagi di Indonesia bahkan di dunia internasional. Ia dikenal oleh umum sebagai penari Madonna, pencipta Trilogi Jailolo dan koreografer pembukaan Asian Games 2018 lalu. Saya beruntung terpilih menjadi salah satu penarinya untuk karya Bala Bala, sebuah bagian dari Trilogi Jailolo, Maluku Utara.
Satu tahun lebih merupakan waktu yang cukup lama untuk mengikuti proses pembentukan tubuh. Saya benar-benar memulai dari nol; sama sekali belum bisa tentang apa pun yang bersangkutan dengan tari dan olah tubuh. Tubuh saya benar-benar dibongkar, diolah dengan cara latihan-latihan fisik yang belum pernah saya lalui. Bagaimana selama satu tahun lebih kami diproses dengan sangat disiplin hingga sakit di sekujur tubuh, lebam, sobek dan sebagainya kami rasakan.
Selain sakit dan sedikit menderita, banyak hal menyenangkan yang kami lalui seperti bermain ke pantai, berguling-guling di pasir, bersih-bersih tempat latihan, makan buah-buahan milik pak bupati dan masih banyak lagi. Rasa kekeluargaan semakin terasa ketika waktu latihan semakin lama, kami merasa mulai saling dekat dan mengenal satu dengan yang lain. Semuanya berawal dan dimulai dari ruang tamu dan dapur rumah kak Kamran, tempat kami latihan pertama kali sebelum pindah ke Saloi.
Biasanya kami latihan sambil menonton TV sebagai hiburan agar lebih semangat. Pelatih kami akan memulai latihan sambil memegang sebuah rotan, yang akan memecut siapa pun yang melakukan kesalahan atau bermalas-malasan. Ada juga yang dilempari dengan sandal. Ketika dilempar dengan sandal kami kadang tertawa dan menganggap itu sebagai sebuah hiburan sembari tetap memperbaiki bagian yang salah.
*Tika dilempar sandal*
Dian: “Mampos, asal ngana bagara dari tadi salah ka tarada tuh! Hahahaha…”
Melan: “Ampong… padiiiis,”
Ega: “Weee biking bae-bae dah… jang konk sadiki dapa bage deng rotang tuh!”
Uny: “Hahahahahaha… iyo eee stop bagara dah serius,”
Tika: “Sagala Kamran saja konk tako tuh,”
Kamran: “Iyo ngoni ee kita lapor Mas E,”
Berlima: “Weeeeeh iyo dah, ini serius ini eee,”
(terjemahan)
*Tika dilempar sandal*
Dian: “mampus, becanda terus dari tadi, salah kan akhirnya, hahaha”
Melan: “ampun pedaaaaas”
Ega: “eeeeh bikin yang bener, jangan sampe ntar dipukul pake rotan”
Uny : “hahahahhahahaha iyaa bener tuh, brenti becanda deh, serius”
Tika : “yaelah Kamran doang kok pada takut sih”
Kamran : “aku laporin ke mas E loh ntar”
Berlima : “eeeeh iyaiyaa, ini serius kok” (panik)
Seperti itulah, sedikit dari banyaknya percakapan kami di tengah-tengah latihan yang terkadang tidak jelas namun setidaknya menjadi penyemangat bagi kami sendiri.
Sebelum saya bertemu mas Eko, hidup saya nyaman dan selalu penuh dengan perhatian dari keluarga, teman dan orang-orang di sekitar saya. Saya anak perempuan satu-satunya dan juga sebagai si bungsu dalam keluarga dengan dua orang kakak laki-laki. Perhatian dan kasih sayang yang lebih selalu saya dapatkan. Ayah dan Ibu selalu mengajarkan saya tentang kebaikan, tentang mengasihi orang lain siapapun dia. Hingga akhirnya, saya menjadi pribadi yang tanpa saya sadari selalu peduli kepada orang lain, apapun bentuknya.
Menjadi mahasiswa seni tari adalah sesuatu yang tidak pernah terpikirkan dalam benak saya, saya bisa berakhir menjadi mahasiswa di sini dan belajar tentang tari semua karena Tuhan dan keluarga, Ayah dan Ibu saya selalu mendukung apa pun yang menjadi keputusan saya.
*percakapan di meja makan*
Uny: “Uny lalah, brenti sudah kapa ee macam tra poha.”
Mama: “Eee bikapa konk? So latihan lama konk”
Papa: “Tra boleh bagitu, itu ngana p keputusan dan ngana harus tanggung jawab, belajar dewasa deng musti kuat tra boleh manja, masa Cuma tarobe sadiki saja konk ngana menyerah, so bsar to musti belajar tanggungjawab dengan keputusan yang ngana so ambe, kse tunju kalo ngana bisa samua tuh butuh proses, sake deng luka tuh biasa ngana musti kuat.”
Mama: “Iyo, batahan sudah ngana pasti bisa, papa deng mama dukung deng slalu kse berdoa pa ngana.”
Uny : (terdiam)
(terjemahan)
*percakapan di meja makan*
Uny: “Uny capek, berhenti aja kali ya, udah gak kuat.”
Mama: “Memangnya kenapa? Kan latihannya udah lama.”
Papa: “Gak boleh gitu, itu keputusanmu dan kamu harus tanggungjawab, belajar dewasa dan harus kuat gak boleh manja, masa cuma karena kaki luka dikit aja kamu mau nyerah, udah gede kan? Harus belajar tanggung jawab dengan keputusan yang udah kamu ambil, tunjukin kalo kamu bisa, semua itu butuh proses, sakit dan luka itu biasa, kamu harus kuat.”
Mama: “iya, kamu pasti bisa, papa sama mama dukung dan selalu doain kamu”
Uny: (terdiam)
Pernah mau menyerah hanya karena sebuah luka di telapak kaki yang selalu saya dapatkan setelah selesai latihan tari Bala Bala. Ingin rasanya meninggalkan begitu saja apa yang menjadi keputusan dan komitmen. Percakapan di meja makan ini tidak pernah saya lupakan, semuanya benar-benar tersimpan dalam memori saya, percakapan yang mengubah segalanya membawa saya kepada dunia yang tidak pernah terpikirkan sedikitpun.
Terjadi lagi ketika saya mulai duduk di bangku kuliah jurusan seni tari. Tuntutan untuk bisa menari Jawa membuat saya harus belajar lebih keras. Saya memulai segalanya dari nol di kampus ini, sehingga benar-benar terasa sangat berat di awal. Saya bertemu dengan beberapa hal yang asing seperti kain jarik, stagen yang panjang, sampur dan masih banyak lagi properti tari Jawa lainnya yang saya temui disini. Pertama kali menggunakan kain jarik dan stagen yang dililitkan di tubuh saya, rasanya sangat tidak nyaman. Saya dituntut harus bisa menari dengan sabar di sini, menari dengan tempo yang sangat pelan menggunakan jarik dan stagen yang terasa sesak. Selain itu, saya juga harus beradaptasi dengan teman-teman dan pengajar yang selalu menggunakan bahasa Jawa ketika berbicara, sehingga saya selalu kesulitan memahami apa yang disampaikan para pengajar di depan kelas.
Bagaimana saya berusaha keras memahami setiap gerak yang ada dalam tari Jawa, berusaha untuk bisa mendhak, kengseran, srisig, ulap-ulap tawing dan masih banyak lagi gerakan-gerakan tari Jawa lainnya yang masih terasa asing saat itu bagi saya, saya tertinggal jauh dari teman-teman saya yang lain hingga membuat saya selalu merasa yang paling payah.
Sampai di satu titik saya merasa lelah, dan akhirnya pikiran-pikiran bodoh pun bermunculan. Tetapi sekali lagi saya diselamatkan, teman-teman selalu menyemangati dan membantu ketika menghadapi kesulitan dalam belajar tari Jawa. Berkali-kali ingin menyerah namun ujung-ujungnya tetap bertahan dan itu karena banyak penyemangat di sekitar saya.
Selama kuliah, sesibuk apa pun, saya selalu menyempatkan waktu untuk ke gereja dan berdoa. Karena meskipun sudah memiliki orang-orang yang peduli dan selalu menyemangati, tetap saja yang membuat saya tenang, damai dan kuat hanya Tuhan. Tuhan yang mengirimkan orang-orang baik.
Saya bisa sampai di titik ini karena Tuhan mengirimkan mas Eko. Ketika sudah melewati proses itu bersama mas Eko, saya akhirnya sadar betapa banyak keberuntungan yang saya dapatkan dari proses itu. Bagaimana saya akhirnya bisa mengerti banyak hal dan keluar dari zona nyaman, saya bisa melihat apa yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Saya belajar tentang kedisiplinan, tentang bagaimana waktu itu penting, bagaimana cara menghargai orang lain, dan masih banyak lagi. Intinya saya hanya kehilangan kenyamanan yang bisa saya dapatkan kembali, tetapi mas Eko memberikan saya banyak pelajaran yang mampu membentuk karakter saya.
Di kampus ada teman-teman yang selalu membantu dan kami sering belajar bersama. Di asrama tempat saya tinggal juga ada teman-teman baik yang terkadang menjadi teman curhat, di gereja ada orangtua dan teman rohani yang selalu menguatkan dan mendoakan saya.
Saya belajar tentang nilai kepedulian di sini, peduli dan sadar akan kehadiran orang lain itu penting. Kita tidak pernah tahu apa isi hati orang lain, saya pribadi senang ketika orang lain sadar akan kehadiran saya dan rasanya hangat ketika dianggap dan diberi perhatian dari orang lain. Sederhananya, saya sedang berusaha untuk tidak melakukan kepada orang lain apa yang tidak ingin saya terima, saya berusaha untuk peduli walaupun sedikit karena saya tahu rasanya tidak dipedulikan itu seperti apa. Tuhan saja mau menerima dan mengasihi saya apa adanya, mengapa saya tidak?
Seperti bunyi salah satu ayat Alkitab yang menjadi pegangan saya, Matius 22:39b : “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
The Narratives
of Indonesian
Dancescape