Zulfikar / Kabupaten Aceh Timur
“Toleransi Tanpa Prasyarat”
“Toleransi Tanpa Prasyarat”
Zulfikar
Kabupaten Aceh Timur
Kota Solo dengan keheningan malamnya, aku duduk di atas kursi area merokok. Mata tertuju pada koper yang ada di hadapan. Mengingat kembali sejarah perjalanan hingga aku berada di stasiun Purwosari malam ini.
Satu jam lagi keberangkatan untuk kembali. Burung mengerti waktu untuk pulang jika hari sudah mulai petang, lantas apa yang terjadi denganku? Mengapa Bandung menjadi tujuanku pulang?
Nyaris setahun aku tinggal di Bumi Pasundan, daerah yang harus kupilih di antara dua tujuan: melanjutkan perantauan atau kembali dalam genggaman keluarga. Pilihan tersebut diberikan oleh kakak tertua kepadaku. Ia bermaksud baik tentang keberlangsungan hidup adik bungsunya, maka aku dititipkan pada seorang kerabat dekatnya.
Tuhan menghadirkan orang-orang baik di sekitarku. Aku belajar ilmu baru di sektor perdagangan. Namun bukan faktor tersebut yang membelenggu kedirianku di sini. Melainkan sebuah motif pengalihan agar aku berhenti menari, menjauhkanku dari aktivitas berkesenian, membuatku berjarak dari dunia pertunjukan.
“Kamu tidak bisa pulang, kesenianmu bukan hal yang mudah diterima di daerah kita. Coba kamu kembali ke kampung dan menari di sana. Kalau bukan kicauan kata-kata negatif yang kamu terima.”
“Kah dititep le abang keunoe u Bandung bak loun. Bah kah hanjeut ka meunari le,”
(terjemahan)
“Kamu dititipkan oleh kakakmu ke Bandung kepada saya agar kamu tidak bisa menari lagi.”
Kala belia aku sangat merdeka untuk menari, kebanggaan tampak dari dukungan Ibu. Tangannya memasang kain songket di lingkar pinggang kecilku. Tak lupa Ibu mencelaki mataku yang diambil dari wadah besi berwarna emas, buah tangan dari Arab katanya. Begitu pula dengan Ayah selaku komite di sekolah, terlihat jelas wajah bahagia. Pertunjukan tari kreasi Piasan Raya kugerakkan dengan tujuh penari lainnya di atas panggung.
Bagi keluarga dan masyarakat tempatku berasal, menari mempunyai masa berakhir. Aku tak paham. Aku kerap mengingat kebanggaan mereka yang pernah ada, begitu mudah sirna oleh usia yang dianggap dewasa. Pertentangan pendapat terus kulakukan dalam keluarga.
Tari dianggap lumrah diperankan oleh manusia muda, namun gerakan itu menjadi tabu jika dihadirkan melalui tubuh dewasa. Begitu sedikit kesempatan untuk tari mendapat tempat dalam masyarakat.
——————————————————————–
Aku diterima di jurusan Kriya Seni Tekstil sebuah universitas di kota Solo, tanpa tahu betul maksud dan tujuan, atau bahkan apa yang akan kulakukan di sana. Tapi kesempatan ini kuanggap sebagai tiket untuk keluar dari habitat. Di sana aku mempelajari banyak ilmu tentang kain, mulai dari batik, tenun, songket, lurik, ikat, jumputan, dan yang paling berkesan adalah teknik sulam. Kain sulam Indonesia dikerjakan secara manual menggunakan tangan, manik-manik dipasang pada kain satu per satu, memakan waktu berhari-hari. Dari sulam aku melihat kesabaran yang panjang dalam menciptakan selembar kain. Membuat motif dengan teknik sulam harus mengikuti pola, berbeda dengan teknik lainnya, pembuatan motif mengikuti luasnya kain.
Aku menelusuri sulam sampai ke sebuah perpustakaan di Aceh, berjam-jam berada di sana, lantai demi lantai kujelajahi, aku berhenti pada sebuah lemari tua di pojokan. Ada sebuah buku berwarna kopi, berdebu. Kutiup debunya, kubersihkan buku itu yang tertumpuk di lemari bersarang laba-laba. Barbara Leigh penulisnya, “Hands Of Time The Craft Of Aceh” judulnya. Membaca buku ini aku menemukan hal yang kucari tentang sulam melalui sebuah payung.
Pada zaman dahulu kala, alkisah seorang seniman sulam Alas bernama Arsyad. Ia gelisah mengenai aturan tentang motif-motif yang boleh dan tak boleh disulam pada selembar kain. Bunga-bunga, daun, pohon, batu, gunung, sungai, dan benda alam lainnya lazim menjadi motif kain. Arsyad berpikir tentang kemungkinan meletakkan manusia dalam motif kain sulam khas Alas, yang kemudian diterapkan pada payung yang ia buat. Menurutnya kehidupan tidak hanya tentang alam tapi juga kehadiran manusia. Hal ini bertentangan dengan peraturan adat yang berlaku. Aku kemudian berdoa, ingin berjumpa dengan payung yang dibuat olehnya.
Keesokan harinya aku berkunjung ke sebuah museum yang memiliki perpustakaan kecil. Belum sampai masuk ke perpustakaan yang dituju, aku menemukan payung yang kemarin kusebut dalam doa. Di tengah sebuah aula, di dalam kotak kaca. Hatiku langsung tumpah, kehilangan kata-kata karena merasakan keajaiban doa. Sejak mendengar kisah seniman sulam tersebut, aku spontan merefleksikan kehidupanku padanya. Rasanya aku sangat bisa memahami dorongan untuk mendobrak batas yang berkecamuk dalam jiwa sang seniman.
Namun aku agak terkejut bahwa refleksi ini datang dari batin tubuh seorang penari di mana pertentangan tubuh terjadi. Aku mulai paham konflik yang kerap terjadi antar adat istiadat. Yang di kepalaku merambat pada perdebatan mengenai tari, penari, tubuh penari dalam manusia Aceh.
Di Aceh Timur pada tahun 2017, sebuah tarian kolosal yang dirancang sebagai pembukaan acara MTQ Provinsi Aceh dihentikan oleh massa. 130 penari yang telah berlatih mempersiapkan diri selama dua bulan batal tampil.
“Karya kami tidak mengandung gerak vulgar,” asisten koreografer menjelaskan kepadaku. Namun tubuh-tubuh dewasa itu dibungkam oleh segerombolan organisasi dan kelompok masyarakat. Menurut mereka penampilan ini tidak layak direalisasikan di acara yang religius dan dihadiri oleh para pemangku agama yang akbar.
“Tari ini mempunyai pesan yang ingin kami sampai kepada penonton, yaitu: kodrat manusia yang lupa akan Tuhan,” begitu penjelasan Muhaji. Jerih payah melatih timnya tidak membuahkan hasil. Karya seni yang layak dinikmati dan berisi dakwah rohani pun dibubarkan semena-mena. Tak hanya melarang menari, muntahan amarah mereka pun terasa mencekik.
“Saat Kota atau Kabupaten lain menjadi tuan rumah acara tersebut, apakah tidak dihadiri oleh pemangku agama?” tanyaku pada Muhaji.
“Ada dong, tapi berjalan dengan lancar dan diapresiasi oleh para penikmatnya.” ujar Muhaji.
“Apakah ada isu di luar acara, saat kita menjadi tuan rumah?” tanyaku, tak sabar mendengar jawabannya.
“Hmm, sepengetahuanku tari memang dilarang kan di daerah kita, apalagi orang dewasa. Info dari para pendukung juga beberapa panitia yang mengundang kami: ada oknum-oknum yang tidak suka dengan terpilihnya pemerintahan di periode kedua ini,” Muhaji kembali menjawab pertanyaanku.
“Kalau kalian tetap tampil, bagaimana tanggapan para pemangku agama malam itu?”
“Katanya, beberapa di antara mereka akan meninggalkan acara dan enggan ikut serta,” jawabnya dengan nada rendah seperti tidak dihargai.
“Ouk saban hitam, pikeran hana saban.”
Rambut boleh sama hitam, tapi pikiran nyatanya tidaklah sama. Jika memang karya tim Muhaji ditolak begitu saja, tidak layak dijunjung di acara MTQ se-Aceh, bukankah ada kehadiran para pemangku besar agama mayoritas di sana? Bukankah sebaiknya ada kurasi karya sebelum para penari layak menampilkan gerakan mereka?
“Di karya ini kami menggunakan gerak tari sufi dan beberapa gerak tradisi Aceh sebagai bentuk.” terang Muhaji.
———————————————————————–
Manusia dan tubuhnya memiliki kebebasan bergerak. Layaknya bayi menggerakkan tangan, merangkak, berjalan, hingga berlari. Setiap perkembangan gerak menjadi kebahagiaan bagi keluarganya. Meski tubuh memiliki batas biologisnya: lumpuh, stroke, disabilitas, hal-hal tersebut di luar jangkauan manusia. Namun usia bukan sebuah alasan untuk membatasi gerak tubuh manusia.
Menurutku, menari tidak hanya diperuntukkan kepada tubuh anak-anak, tubuh dewasa pun berhak untuk menari.
Sah-sah saja agama hadir dalam rutinitas duniawi. Menjadi tidak sinkron jika pendapat tersebut tidak menyeluruh dalam penerapannya. Apabila penari dewasa dianggap dapat membangun syahwat, menghadirkan kemaksiatan imajinatif, lalu bagaimana dengan para pemain sepak bola yang mengenakan celana pendek? Bukankah dalam syariat luasnya batas aurat laki-laki adalah dari pusar hingga bawah lutut? Jika tubuh yang bergerak dalam aktivitas menari tak layak dipertontonkan, lalu mengapa penonton sepakbola justru dapat ikut meramaikan ketubuhan seorang penggiring bola di dalam lapangan? Bukankah ini sama-sama aktivitas tubuh bergerak yang dipertontonkan?
——————————————————–
Semangatku untuk memperkenalkan tubuh tari kepada Ibu begitu menggebu-gebu. Hari setelah wisuda sarjana, kuberanikan diri mengajak Ibu ke sebuah acara. Aku akan tampil sebagai penari di panggung malam itu. Aku ingin Ibu melihat bahwa aku tumbuh di pertunjukan seni selaku penari. Bagiku restu ibu sangat penting. Kebahagiaanku tiada tara karena dorongan untuk bebas selama ini tidaklah mudah diraih. Setelah menari aku bertanya pendapatnya.
“Sia-sia nak, jangan buang waktu untuk menari. Adek udah dewasa, sudah cukup ya, nak.” jawabnya. Aku tersentak. Terdiam dan kehilangan kata-kata saat mendengar ucapan Ibu malam itu.
Aku menyalakan motor lalu mengantar beliau pulang ke kontrakanku. Di perjalanan aku hanya melihat cahaya lampu di sekitar, menahan obrolan yang hanya akan mengarah pada kontradiksi di antara kami. Aku rasa tak ada gunanya berdebat dengan ibu.
Aku tak punya alasan untuk berhenti menari. Hal ini yang membuatku tidak pernah berhenti. Aku memiliki harapan agar tari mendapatkan kesetaraan hak seperti kegiatan lainnya, yang dianggap wajar baik dilakukan oleh anak kecil mau pun dewasa. Jika tari dapat ditoleransi saat aku kecil, lantas kenapa tubuh dewasaku mendapatkan prasyarat?
The Narratives
of Indonesian
Dancescape