M. Safrizal / Aceh – D.I. Aceh
“Tiga Peristiwa”
“Tiga Peristiwa”
Oleh M. Safrizal
Aceh – D.I. Aceh
DESING
Tahun 1996 saya lahir di tengah konflik Aceh dengan penuh gemuruh suara-suara peluru berlesatan di udara. Belakangan baru saya tahu bahwa pada masa-masa itu, negara kita sedang memasuki fase krisis. Terjadi banyak peristiwa konflik antar etnis di daerah-daerah lain, krisis moneter, kerusuhan massa, jatuhnya presiden, Indonesia memasuki masa reformasi. Sembilan tahun kemudian, tepatnya 2005, RI dan Aceh baru menandatangani kesepakatan damai melalui Perjanjian Helsinki.
Saya tumbuh besar dengan rutin mendengar desingan peluru dan ledakan bom. Rutin, tapi saya tak pernah bisa menebak kapan peluru dan bom dilemparkan, sehingga tak ada yang dapat saya antisipasi. Suara-suara tembakan serta ledakan bahkan sudah menjadi seperti musik hardcore saja kala itu. Masa-masa sekolah yang seharusnya menjadi bagian dari memori yang menyenangkan, tak dapat saya nikmati. Kami anak-anak tak dapat belajar dengan tenang, waktu untuk bermain bersama teman-teman pun terbatas. Pada masa itu hal yang paling saya pelajari justru adalah tiarap. Ya, saya terbiasa mendengar desing peluru ditembakkan saat berangkat mau pun pulang sekolah. Dan terbiasa pula reflek untuk menyelamatkan diri dengan tiarap.
Tahun 2002 menjadi puncak porak poranda konflik Aceh dan menjadi ingatan yang paling melekat. Saya tak bersekolah, jarang keluar rumah, dan menghabiskan banyak waktu di rumah sendirian. Kampung tempat saya tinggal bernama Blang Krueng, mendapat sebutan daerah “Sagoe 26” yang menjadi salah satu zona garis merah pada masa konflik. Tentara dan pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kerap singgah ke rumah saya sekadar untuk meminta minuman atau sedikit makanan. Ada rasa takut berhadapan dengan tentara dan pasukan. Jika tidak membantu mereka, tak tahulah hal buruk apa yang mungkin saja terjadi pada keluarga. Di lain sisi ada rasa kasihan melihat raut sedih para tentara dan pasukan, meski mereka terlihat kuat dan garang. Setelah meminta sedikit minuman dan makanan, mereka pergi. Suara keras langkah telapak sepatu mereka tak asing terdengar, seperti bunyi kaki kuda yang berlari di gelap malam.
Pernah di suatu hari yang lain sekelompok pasukan GAM singgah di rumah, mereka rehat sambil membersihkan senjata. Saya sempat meminta ijin pada mereka untuk dapat memegang senapan, mereka memberi seolah sedang meminjamkan sepucuk mainan kepada seorang anak. Tak ada rasa takut di benak saya saat itu, padahal saya sering mendengar cerita orang-orang yang disiksa dengan menggunakan senjata. Ayah dan Ibu dengan sengaja menceritakan karena mereka tak ingin saya suatu hari nanti menjadi bagian dari pasukan mau pun tentara.
DENTUM
Seperti tak cukup hidup saya diisi dengan menghadapi konflik, tahun 2004 kami masyarakat Aceh harus mengalami bencana. Hantaman gelombang Tsunami akibat gempa yang terjadi di laut menyebabkan banyak anggota keluarga saya meninggal dunia.
“Ie laot ka diek, ie laot ka diek!”
“Air laut sudah naik, air laut sudah naik!”
Seruan itu akan selalu terpatri dalam ingatan saya. Kalimat itu adalah seruan yang ikut menyelamatkan saya sekeluarga, kami buru-buru berlari menuju dataran tinggi. Saya melihat dengan mata kepala sendiri pekatnya air laut menabrak rumah dan gedung, menghasilkan dentuman-dentuman. Sembari berlari saya mendengar orang berteriak, “donya ka kiamat! donya ka kiamat!”.
Saat itu saya pikir dunia sudah tamat. Peristiwa tsunami mengubah segalanya, ia tak hanya menghapus rumah dan bangunan di Aceh, tapi juga meluluh lantakkan hati dan harapan. Banyak korban meninggal, saya melihat jasad di sana sini. Mata saya berisi nelangsa yang bukan duka milik saya seorang.
Saya dan keluarga berkumpul di barak pengungsian dengan keluarga atau pun tetangga yang selamat. Tak selesai sampai di situ, kami sempat panik dan waspada karena gempa susulan masih terjadi setiap hari, bahkan beberapa kali dalam sehari. Akan tetapi, sejak bencana tsunami melanda Aceh, saya tidak pernah lagi mendengar suara-suara tembakan senjata mau pun bom seperti saat tegang masa konflik. Tapi lagi-lagi suara ketakutan dalam bentuk yang lain mengisi telinga, orang-orang berteriak saat terjadi gempa susulan. Teriak dan tak tahu arah harus bagaimana.
Saat masih di barak pengungsi, saya sering terbangun dari tidur ketika mendengar suara pesawat dan helikopter terbang di udara. Pesawat dan helikopter itu datang untuk memberikan bantuan. Akan tetapi suaranya persis seperti suara air laut naik ke darat. Peristiwa tsunami Aceh memberikan pelajaran penting kepada pihak Indonesia dan GAM, bencana ini menjadi momen bagi kedua pihak untuk berdamai. Setahun setelah perjanjian perdamaian Helsinki ditandatangani RI dan GAM, saya tak pernah lagi mendengar suara tembakan maupun bom juga teriakan orang-orang. Hidup tenang seperti itu merupakan suasana yang saya dambakan.
DEGUP
Saya pikir konflik politik dan bencana tsunami sudah menjadi peristiwa terburuk yang pernah dialami. Setelah konflik selesai dan rakyat Aceh mulai berusaha pulih dari bencana tsunami, saya ingin dapat menjalankan hidup dengan normal. Namun tanpa disadari, tahun yang saya kira menjadi awal untuk langkah ke depan yang lebih bahagia, ternyata menjadi masa kelam lainnya. Saya masih harus melihat luka yang lain. Kedua orangtua saya berpisah. Selama proses tersebut saya sempat melihat bagaimana Ayah memperlakukan Ibu. Sebagai laki-laki yang secara fisik lebih kuat, ia memukul dan menendang Ibu sampai terpental hingga sejauh dua meter. Membuat saya ketakutan dan shock.
Ibu saya bukan orang yang boleh seenaknya disiksa, ia bukan orang GAM apa lagi tentara! Melihat Ibu menangis mengingatkan pada saat tsunami melanda, seorang Ibu kehilangan anak dan putus asa. Takut dan bergetar tubuh saya waktu itu, Ibu datang memeluk dan membawa saya keluar menuju rumah tetangga sambil menangis kencang. Seakan tidak cukup dengan semua itu, Ayah terus membuat luka-luka lain sebab tak mengijinkan Ibu bertemu dengan adik-adik saya. Di hari-hari berikutnya saya tumbuh dengan melihat Ibu menangis meratapi musibah demi musibah yang menimpanya. Akan tetapi, bagi saya Ibu adalah sosok yang sangat kuat.
Peristiwa demi peristiwa yang terjadi di luar kendali saya kerap menghantui. Terkadang saya mendapat serangan panik. Apa bila mendengar Ayah akan datang untuk menjumpai saya, keringat langsung bercucuran, jantung berdegup dengan kencang, rasanya ingin lari menjauhinya. Saya tak ingin bertemu dengannya, melihatnya mengingatkan saya pada peristiwa saat ia melakukan kekerasan terhadap Ibu. Saya masih ingat betul pelukan Ibu membuat pipi basah. Sampai kapan pun tak akan pernah lupa.
Saya merasa beruntung hidup di lingkungan masyarakat yang agamis. Hal ini memberi semacam kekuatan. Tidak hanya peristiwa-peristiwa buruk menjadi hal yang membentuk menjadi saya hari ini, tapi juga hal-hal baik di sekitar saya. Termasuk Ayah yang sekarang menjadi orangtua saya, yang pernah saya tolak kehadirannya sebab rasa takut dengan kemungkinan ia akan menyakiti Ibu seperti Ayah yang sebelumnya. Sebab saya berpikir Ibu milik saya seorang, biar ia hidup dengan saya saja.
Terkadang saya masih merasakan dendam yang besar, entah kepada siapa. Saya mungkin anak yang lahir dan tumbuh di tengah banyak konflik dan peristiwa buruk, tapi krisis demi krisis membuat saya seperti terlahir kembali.
The Narratives
of Indonesian
Dancescape