Rezky Chiki / Makassar -Sulawesi Selatan
“Serendipity: Menemukan Keberuntungan”
“Serendipity: Menemukan Keberuntungan”
Oleh Rezky Chiki
Makassar – Sulawesi Selatan
RASA
Umurku sudah empat belas tahun ketika pertama bertemu dengan sepupu Ibuku. Wanita paruh baya, tinggi dengan gestur anggun gemulai. Ketenangan terpancar dari air mukanya. Ia tersenyum sambil menatapku lekat-lekat. Saat itu beliau bercerita bagaimana ia membawa Ibuku menari dari pentas ke pentas. Aku ditawarkan untuk mengikuti latihan di sanggarnya esok sore. Beliau berkata jika aku tertarik ia akan mengajarkan beberapa tarian tradisional (Pakarena dan lainnya). Atas iming-iming kesempatan menari di luar negeri, akhirnya aku mampir ke studio tari beliau. Saat itu aku sama sekali tidak tahu bahwa sepupu Ibuku adalah seorang maestro tari pesohor negeri ini, ia merupakan konsultan koreografi dan dance master pada pementasan teater I La Galigo, dialah Andi Ummu Tunru. Aku memanggil beliau ‘Enta Ummu’ muridnya yang lain memanggilnya ‘Mama Ummu’.
Pertemuanku dengan Enta Ummu merupakan gerbang spiritual dalam pencarian jati diri. Aku jatuh cinta dengan dunia tari seketika itu juga dan menekuninya dengan sungguh-sungguh. Mempelajari aksen dan filosofi dalam tarian seperti menggali kembali identitas kebangsawananku yang terkubur. Semangatku mempelajari tari tidak selalu mulus, persoalan komunitas kerap mengganggu pikiran. Omongan-omongan antar penari yang mengatakan postur tubuhku kurus, tidak cocok untuk menari lenggak-lenggok, dada yang rata, kulit yang kusam, wajah yang tidak cantik, bagiku justru seperti mengecilkan filosofi dari tari itu sendiri. Keturunan darah biru pun tak cukup menjadi mental booster untukku mengangkat dagu, aku merasa minder berhadapan dengan penari lainnya.
Dua tahun kemudian aku mendengar kabar kaki Enta diamputasi karena penyakit diabetes yang dideritanya. Rasa kuatir menyeruak di sekujur tubuhku. Aku tidak bisa membayangkan patahnya hati seorang penari yang kehilangan kaki. Namun kegelisahanku terbantahkan saat Enta mulai menari di atas kursi rodanya beberapa bulan kemudian. Sesekali ia berdiri ditopang oleh kaki palsu.
Enta Ummu baru menjelaskan kepadaku tentang Pakarena ketika aku beranjak semakin dewasa. Baginya Pakarena lebih dari sekedar tari, Pakarena merupakan prinsip hidup yang mengajarkan pada kita bagaimana tetap tegar dalam menghadapi segala kerumitan dan permasalahan hidup. Aku sungguh menyaksikan bagaimana kekuatan Pakarena mengakar pada prinsip hidup yang ia emban setiap hari. Layaknya karang yang disapu ombak. Darinya, aku belajar banyak dan dapat merasakan nafas Pakarena pada setiap karya beliau.
Entaku wafat pada Januari 2015. Selepasnya, aku pernah beberapa kali membawakan karya beliau, namun sedih dan rindu begitu menusuk dalam dada. Buatku tidak ada lagi guru sebijaksana beliau. Kehilangan Enta sempat membuatku berhenti menari sejenak. Lalu suatu ketika aku membaca sebuah artikel yang menuliskan bahwa Entaku meninggalkan istana di usia tiga belas tahun untuk mencari ilmu, mendatangi beberapa guru dan membaca banyak naskah tari. Kala itu, Entaku keluar rumah melangkahkan kaki mencari jati diri.
ISYARAT
Enam tahun yang lalu aku bertemu komunitas Tuli, tepat sebulan setelah Enta wafat. Dari beberapa pertemuan dengan komunitas Tuli aku mendapatkan nama isyaratku. Ada beberapa ketentuan untuk mendapatkan nama isyarat, salah satunya yaitu dengan beradaptasi dengan budaya berisyarat teman Tuli. Nama isyarat diberikan oleh teman Tuli dengan melihat ciri khas dan latar belakang individu. Awalnya nama isyaratku menyerupai gestur gerakan memutar tangan penari yang lokasinya berada tepat di tulang pelipis. Setelah bertahun-tahun mendalami dan lekat dengan komunitas Tuli, nama isyaratku lalu berubah mengikuti kebiasaanku yang lain: mencomoti makanan teman dan kebiasan makan cemilan krupuk. Nama isyaratku berubah dari “Chiki si penari” menjadi “Chiki si cemilan”.
Aku menghimpun semua teman Tuli yang bisa kujangkau. Mereka sudah membawaku masuk jauh ke dalam dunia penuh isyarat. Berbekal ilmu dari Entaku, kukumpulkan teman Tuli laki-laki dan perempuan untuk belajar menari. Kami memulai dengan segala keterbatasan. Sayup-sayup kuingat bagaimana Entaku memulai kembali menari dengan apa yang beliau punya. Maka, aku memaksimalkan latihan dengan fasilitas yang bisa dipakai. Kuhubungi sepupu (anak Enta) dan suami Enta untuk meminjam studio tari peninggalan Enta Ummu. Pelan-pelan namun pasti, kulatih penari Tuli di sana. Aku memperhatikan bagaimana para penari Tuli ‘mendengarkan musik’: mereka mendekatkan tangannya ke sumber suara mencoba meraba vibrasi yang menjalar ke kulit tubuh. Sumber suara itu bisa jadi adalah badan gendang atau speaker. Sembari ‘mendengarkan’ mereka mencocokkan dengan hitungan. Aku takjub bagaimana mereka belajar dengan begitu alami.
Pelatihan kami berkembang dari mempelajari tarian tradisi menjadi hal-hal lainnya ketika kudapati salah satu dari teman Tuli begitu senang dengan puisi. Dia membacanya dengan gerakan isyarat. Aku takjub sekali lagi! Bagaimana rangkaian kata-kata itu menuntut untuk dibaca?! Akhirnya kami menggarap sebuah teater tari yang berbasis pada rangkaian kata-kata.
Seorang teman seniman menghubungiku, ia menawarkan panggung di sebuah festival besar untuk teman-teman Tuli. Sebuah ajakan untuk menyuarakan isu sosial, tentu tidak aku sia-siakan. Setelah berdiskusi, kami pun menggarap sebuah pertunjukan dalam bentuk visual eksperimental dan mendapat sambutan hangat para penonton. Kami kemudian menggagas sebuah komunitas seni yang menghimpun seniman Tuli yang diberi nama “Komunitas Seni 4 Titik”. Terinspirasi dari empat elemen (air, api, angin, tanah) yang saling menyeimbangkan. Melihat perkembangan komunitas seni yang kugerakkan bersama dengan teman-teman Tuli, aku jadi ingat kata-kata Pak Joko Pinurbo, “memang puisi lebih nikmat didengarkan dalam keheningan”.
SUSUR
Pada mulanya adalah riuh: suara klakson dan knalpot bocor yang beradu di jalan ketika macet, celotehan sumbang perghibahan, dosen yang berceramah tentang kasus korupsi terbesar di Indonesia, tabuhan genderang, bunyi suling dan kecapi yang menjadi suara paling nikmat dari semua yang kuamati. Aku melewati hariku nyaris tanpa jeda hening. Hanya suara. Banyak suara-suara.
Suatu hari aku menikmati teh di sebuah kedai donat dan melihat sesosok lelaki. Sorot matanya sayu dan angin bermain dengan bulu matanya itu. Senyum manis sesekali melintas di bibirnya. Kuperhatikan, ia melayani semua pelanggan dengan gestur, dibantu dengan sebuah kalkulator yang ia ketik untuk menunjukkan harga. Oh, ternyata seluruh pekerja di kedai tersebut berkomunikasi dengan cara yang sama. Hal ini membuatku menelisik benak jauh ke dalam. Bagaimanakah orang-orang ini menjalani hari-harinya? Susahkah? Bagaimana mereka bekerja setiap harinya? Tanpa mendengar bunyi pemanggang dan penggorengan. Sunyikah?
Singkat cerita, setelah mengunjungi kedai itu beberapa kali, lelaki bermata sayu tadi menjadi kekasihku. Duniaku berubah seketika. Aku mencoba menyelami keheningan setiap waktu. Ialah yang mengajariku mengeja huruf per huruf, lalu kata per kata, kemudian berganti menjadi isyarat ke isyarat dan seterusnya. Mataku menjadi jauh lebih sensitif terhadap bahasa tubuh. Aku melihat banyak kemarahan di dalam matanya, tumpukan rasa kecewa dan ambisi yang tidak pernah ia utarakan kepada dunia. Seketika aku bercermin melihat diri ini. Pada malam-malam yang penuh kecemasan di kepala sampai sesak di dada, rasa resah kian bergelayut sepanjang malam tanpa makna. Tak jua aku suarakan. Tak jua aku perjuangkan. Lantas bagaimana kekasihku berdamai dengan keadaannya selama ini?
Kisah cintaku dengannya tidak berlangsung lama tapi cukup membuat aku dan Tuli lainnya saling mengenal. Dari mereka aku belajar bahwa semua manusia diciptakan sama di hadapan Tuhan (seharusnya di hadapan hukum juga). Hanya karena aku bisa mendengar bukan berarti aku jauh lebih cakap dari mereka yang Tuli. Kulihat lagi bahkan dalam hidup, ada baiknya ‘menulikan’ diri dari persepsi orang tentang kita. Teruslah berjalan dan fokus pada tujuan. Sebagaimana teman Tuli yang tetap bertumbuh dalam himpitan terbatasnya akses namun juga tetap berjuang melantangkan hak-haknya.
Belakangan tidak lagi kudengar suara sumbang dari teman antar penari yang dulu memarjinalisasi orang secara fisik. Atau bisa jadi aku sudah tak peduli, telingaku memilih untuk mendengarkan yang lain, yang mungkin sunyi tapi memberiku kesadaran berharga. Aku terus menjalani hidup dengan apa yang kuyakini dan mencoba untuk menari di atas kakiku sendiri. Aku tidak perlu validasi atau bersikap mawas atas penilaian orang terhadapku. Semua orang punya hak untuk menilai, punya hak untuk tidak merasakan suka. Aku pun punya hak untuk merdeka, berbahagia dan hidup penuh cinta. Yang terpenting adalah membuktikan apa yang telah aku yakini agar orang memahami jalan yang kupilih. Orang tak paham pun tidak mengapa, asal masih ada tempat untuk berekspresi dan bereksplorasi.
Nama panggung ‘Penari Angin’ kupilih untuk tak ikut pada standarisasi fisik mengenai penari yang ideal. Sudut pandang ini terasa toxic karena sampai mengakar pada perspektif para penari. standar-standar ini mengecilkan makna seni itu sendiri, parahnya lagi, membatasi orang untuk berkesenian. Aku terilham dari perjalanan kesenian Enta yang merombak tradisi kerajaan dengan meninggalkan istana, membangun sanggar secara mandiri dan menerima semua orang dari berbagai latar belakang. Seni seyogyanya dapat dilakoni secara inklusif sehingga jangkauannya bisa lebih luas dan dapat dinikmati oleh semua kalangan. Bergeraklah tanpa konsep seperti angin, sebab ini semua tentang proses.
Aku bersyukur teman Tuli menuntun mataku untuk menyusuri gerak dalam dimensi yang lain. Tidak ada syarat di dalam isyarat. Bagi pacar Tuliku aku hanya seorang dengar yang senang dengan isyarat dan menikmati dunia hening yang mereka tawarkan. Tak terbersit di benaknya saat itu bahwa aku yang berisyarat hari ini adalah manusia yang sama yang juga pernah mendapatkan perlakuan diskriminatif atas apa yang tidak aku miliki.
The Narratives
of Indonesian
Dancescape