The Narratives
of Indonesian
Dancescape

IN / ENG

Siska Aprisia / Pariaman

“Merantau Mencari Diri”

“Merantau Mencari Diri”

Siska Aprisia

Pariaman

“Siska itu tidak bisa menari dan juga tidak bisa buat karya!”

Kalimat itu acap kali berputar-putar di dalam pikiran saya. Beberapa kali saya juga bertanya kepada diri sendiri. Mengapa seseorang yang tidak ingin saya sebut namanya ini, dulu sampai bisa berucap seperti itu. Kesalahan saya apa?

Saya memutuskan untuk pergi merantau. Di kampung halaman saya tidak menemukan ruang dan wadah untuk bisa berkarir sebagai seniman tari. Juga merasa tidak memiliki teman seperjuangan. Alasan kedua, saya ingin segera keluar karena sudah lama menahan sesak. Sesak karena disepelekan, trauma akan bullying yang pernah saya alami, dan menghindar dari pertanyaan orang-orang kepada perempuan seusia saya seperti, “setelah lulus S2 kerja di mana? kapan mau menikah?” Bahkan nasehat untuk tidak keluyuran beraktivitas di luar rumah sungguh mengganggu.

Saya ingin merantau untuk mencoba mencari peruntungan dan menemukan panggung-panggung yang berbeda. Seseorang pernah berucap kepada saya: orang yang tidak pernah keluar itu seperti katak dalam tempurung. Saya penasaran dan ingin mencari jawabannya.

Tapi sempat saya berpikir dan bertanya pada diri sendiri, jangan-jangan selama ini alasan saya merantau adalah ingin lari dari masalah atau kenyataan hidup yang ada? Jika benar, berarti selama ini saya mencoba menutupi kegelisahan dengan cara berpindah tempat tinggal.

Saya anak bungsu dari enam bersaudara. Sebagai anak bungsu, saya selalu tidur dengan Amak dan Abak satu kamar. Suatu malam saya tidur bersama Amak di kamarnya. Malam itu hujan, dan Abak sedang tidak di rumah. Lampu kamar sudah dipadamkan dan kami berdua berbagi selimut sambil bercerita mengenai aktivitas yang saya lakukan. Tiba-tiba Amak berucap dengan lirih, dan saya merasa yakin pada saat itu Amak menangis meski tidak terlihat dengan jelas.

“Amak risau karena kamu sibuk bekerja dan seorang diri berkelana begitu, di rumah jantung Amak rasanya ingin copot setiap mendengar kamu akan naik pesawat dan kapal.” Saya bingung dan tidak menjawab.

“Menikahlah, biar ada yang mengurusmu, biar Amak tidak risau lagi saat kamu harus bekerja jauh, dan kalau pun kemana-mana ada suami yang akan menjaga.” Bak hujan badai di tengah malam, saya langsung peluk Amak dan berucap, “iya nanti dipikirkan, minta doa dari Amak yang terbaik untuk saya.”

————————————————————-

Tak lama setelah ucapan Amak malam itu, saya memutuskan untuk menikah. Bersama suami saya kemudian merantau ke Yogyakarta.

Kami berangkat dari Pariaman ke Yogyakarta dengan bus umum selama tiga hari dua malam untuk mencapai Kota Jakarta. Besoknya, kami melanjutkan perjalanan dengan naik kereta api menuju Yogyakarta. Tiba di Yogya pukul tiga subuh kami memutuskan untuk menginap dulu di sebuah hotel dekat Stasiun Tugu.

Pagi harinya kami membeli beberapa perlengkapan untuk peralatan kos. Saking asiknya membeli perlengkapan rumah, kami tak sadar sisa uang sudah hampir habis dan lupa kalau kasur belum dibeli. Haha! Kami serentak tertawa. Dengan limit uang yang kami punya, kami memutuskan membeli kasur lipat single saja. Untung sebelumnya tikar sudah dibeli, jadi kami bisa tidur secara bergantian di kasur dan di tikar. Atau jika Jogja tiba-tiba dingin, kami bisa saling menghangatkan di kasur lipat mungil kami itu.

Yogyakarta kota yang istimewa dan berhati nyaman, namun bukan berarti tanpa kejutan.

Pernah suatu kali saya ke pasar dan melihat banyak sekali ibu-ibu yang bekerja di pasar tradisional. Mereka tak hanya berjualan tapi juga bekerja mengangkat-angkat barang. Beberapa hari kemudian saya jalan-jalan sore ke Malioboro dan melewati jalan pintas agar tidak terlalu jauh. Saya terkejut melihat ibu-ibu yang bekerja di pagi hari itu ternyata tidur di emperan, tidur di lantai di hadapan sebuah ruko dekat pasar, beralaskan karton dan payung untuk menahan angin dan hujan sampai ke badan. Seketika saya langsung ingat Amak di kampung, rasanya tak kuasa.

Amak : “Baa rasonyo di rantau, Ka?” (Bagaimana, Ka, perasaanmu di rantau?)

Saya : “Kini bapikiah mangaluaan pitih, Mak. (Sekarang sudah berpikir saat mengeluarkan uang, Mak).

Amak: “Memang kalau lah balaki tu pitih nan biasonyo untuak balanjo, kini bisa dibalian untuak isi dapua. (Memang kalau sudah bersuami itu, kebiasaan uang buat jajan atau belanja yang lain menjadi berguna untuk belanja isi dapur).

Saya : “Iyo, Mak, kini kalau ado pitih baa caronyo maisi keperluan rumah jo dapua bia ndak sulik iduik di rantau. (Iya Mak, sekarang kalau ada uang, saya jadi berpikir bagaimana caranya agar bisa mengisi keperluan rumah dan dapur supaya tidak kesulitan hidup di rantau.)

Dengan niat membangun kehidupan baru bersama suami, kami berusaha mencari tempat tinggal yang sesuai. Sempat kami menyewa sebuah paviliun kecil dengan harga Rp. 800,000 per bulan. Menurut teman-teman saya di sini, nilai sewa itu sudah mahal harganya.

Namun sejauh usaha mencari kos-kosan atau rumah kontrakan, itulah yang terbaik yang bisa saya dapat. Berbeda dengan di kampung, harga sewa rumah satu tahun biasanya bernilai Rp. 8-9 juta. Sementara di Yogya harga sewa yang paling murah berkisar sembilan jutaan rupiah lebih. Itu pun artinya jarak yang jauh dari kota, kondisi rumah tua yang tidak terawat, dan berada di gang-gang kecil.

Satu tahun mendiami paviliun mungil, saya kembali melihat-lihat dan berdiskusi dengan seorang teman perihal harga rumah kontrakan di Yogya. Ternyata standar rumah di kota ini sudah melambung harganya menjadi dua belas sampai dua puluh jutaan rupiah sekarang. Alamak! mau dicari ke mana uang sebanyak itu, apa lagi saat pandemi seperti ini.

Namun rupanya rumah itu jalannya seperti jodoh. Tak disangka saya mendapatkan kontrakan baru. Harganya cukup sesuai dengan isi kocek, tempatnya tidak buruk dan kondisi lingkungannya aman.

Suatu sore, uang saya tinggal dua puluh ribu rupiah. Hal ini mengingatkan saya saat merantau seorang diri di Jakarta. Waktu itu saya ingat betul air mata menetes karena memikirkan apa yang bisa dilakukan dengan uang sejumlah itu di Jakarta? Dengan uang dua puluh ribu, warteg langganan pun hanya bisa menerima dua kali pemesanan saya.

Kondisi ini agak berbeda dengan sekarang di Yogya. Dengan uang sejumlah itu saya bisa membeli tempe, cabe, tahu, dan beras satu kilo. Cukup untuk makan saya dan suami selama beberapa hari ke depan. Berbeda lagi bila dibandingkan dengan di kampung, uang sebanyak itu tidak pernah saya pikirkan untuk membeli lauk pauk karena semuanya disediakan orang tua.

—————————————————————————

Saya berusaha beradaptasi dengan teman-teman baru di sini. Tidak ada kalimat keras dan pedih seperti yang saya alami waktu merantau di Jakarta, tapi tetap saja saya masih merasa asing. Mungkin karena bahasa saya terbatas, belum bisa berbahasa Jawa.

Di lain waktu saya berpikir, apakah gestur tubuh dan wajah saya kurang menyenangkan? Apakah gaya bicara dan perilaku blak-blakan saya yang tanpa basa-basi kurang cocok? Semakin keras saya pikirkan, semakin saya tidak nyaman dan merasa sulit diterima.

Saya sempat mencoba mulai berproses dengan beberapa penari. Baru satu bulan latihan bersama, pandemi hadir sehingga kami harus berhenti. Lagi-lagi saya harus menerima keterbatasan keadaan ini.

Suatu malam saya mendengarkan kalimat dari Abderzak Houmi, yang waktu itu saya rekam di ponsel saat saya berkesempatan residensi tari selama dua bulan di Perancis. Dia berucap, “If you want something, you do it! The most important thing is you must be happy. You are not alone.” Kalimat yang sederhana tapi menyalurkan rasa optimis ke pembuluh darah saya. Tidak pernah sama sekali dia berucap bahwa saya tidak bisa menari.

Dipikir-pikir kembali gila juga ya berani datang ke Yogya dengan modal nol. Saya tidak sedang berkuliah di sini, tidak punya relasi, dan mau hidup dengan bekerja dalam kesenian. Semoga saja langkah saya tidak salah. Kalau pun ini hal yang memerlukan perjuangan ekstra, saya akan berusaha untuk mencapainya. Jika di SPBU kita sering mendengar, “dimulai dari nol ya” perantauan saya ke Yogya rasanya dimulai dari minus. Demi mencari diri, bukan untuk lari.

The Narratives
of Indonesian
Dancescape