The Narratives
of Indonesian
Dancescape

IN / ENG

Theodora Melsasail / Kep. Tanimbar – Maluku

“Seng Larang Lai”

“Seng Larang Lai”

Oleh Theodora Melsasail

Kepulauan Tanimbar – Maluku

 “Beta paleng kecewa deng Bapa dan Mama selama ini. Beta paleng marah karna Bapa deng Mama seng pernah dukung beta manari, seng mau beta kuliah di kampus seni, seng percaya kalo manari itu bisa jadi pekerjaan yang baik par beta. Beta paleng sedih saat Mama bilang beta akan jadi parampuang seng bae kalo manari. Sedangkan beta ni paleng cinta manari. Cuma deng manari sa beta bisa biking banya hal bae par beta pung diri sandiri deng banya orang. Beta minta maaf karna selama ini simpang samua saki hati ini sandiri. Beta minta maaf karena beta kuliah seng babae selama ini, beta rasa percuma beta kuliah di keguruan sedangkan yang beta mau itu cuma manari,” (Aku sangat kecewa sama Bapa dan Mama selama ini. Aku sangat marah karena Bapa dan Mama tidak pernah mendukung aku menari, tidak mau aku kuliah di kampus seni, tidak percaya kalau menari bisa menjadi pekerjaan yang baik untuk ku. Aku paling sedih saat Mama mengatakan bahwa aku akan menjadi perempuan nggak benar kalau aku menari. Sedangkan aku sangat mencintai menari. Hanya dengan menari aku bisa melakukan banyak hal baik untuk diriku sendiri dan banyak orang. Aku minta maaf karena selama ini aku menyimpan semua rasa sakit hati ini sendiri. Aku minta maaf karena nggak kuliah dengan benar selama ini, aku merasa percuma kuliah di keguruan sedangkan yang aku inginkan cuma menari) ucapku sambil menangis di ruang keluarga saat duduk berhadapan dengan Bapa dan Mama. Hari itu aku memutuskan pulang ke rumah sebelum ujian sarjana untuk jujur kepada orang tuaku tentang luka hati yang selama 7 tahun ku simpan sendiri.

Orang tuaku sama seperti kebanyakan orang tua di Maluku yang percaya bahwa menari hanya bagian dari sebuah hobi dan hiburan saja, itu tidak bisa menghasilkan uang yang mampu menjamin kehidupanku jika aku sudah menikah. Menjadi penari sangat berbeda dengan menjadi seorang PNS di mata mereka, tak ada jaminan yang pasti saat memilih menjadi penari. Selain itu belum banyak perempuan di tempat tinggalku yang benar-benar memilih menjadi seorang penari. Itu semakin membuat mereka lebih mantap untuk menolak mimpiku. Sejak dulu aku tumbuh dengan mimpi-mimpi mereka. Menjadi dokter adalah mimpi yang selalu mereka tanamkan kepada ku jika aku sudah besar nanti. Jika ada parade busana cita-cita di karnaval, biasanya Mama selalu mendandaniku dengan pakaian dokter yang dijahit di penjahit langganan Mama. Tak lupa kacamata putih dengan tangkainya yang berwarna hitam untuk  menyempurnakan dandananku saat itu. “Mama pung ana ibu dokter su cantik e,” (Anak Mama ibu dokter sudah cantik) begitulah yang selalu Mama katakan setiap kali selesai mendandaniku. Aku menyukainya karena pikirku menjadi dokter sangat cocok denganku kelak. Tanpa aku sadari bahwa sebenarnya aku tak punya mimpi sendiri. 

Namun semua berubah saat aku bergabung di sanggar tari tradisi untuk pertama kalinya. Setiap kali menari aku menemukan diriku begitu bahagia melebihi bahagiaku saat dipuji cantik oleh Mama karena memakai pakaian dokter di karnaval. Hal itu yang membuatku tak pernah sekalipun alpa berlatih di sanggar. Kebahagiaan ini terus berlanjut dan semakin bertumbuh subur dalam diriku hingga aku duduk di kelas 2 SMA. Untuk pertama kalinya aku punya mimpi sendiri. Mimpi menjadi seorang penari di masa depan. Hal itu mendorongku untuk berani berkata jujur ke Mama tentang mimpi itu.  “Apa? se mo jadi penari? Biking apa deng manari-manari tu? Mo makang apa deng akang? Se mo jadi parampuang tar bae deng manari tu?,” (Apa? Kamu mau jadi penari? Mau buat apa dengan menari? Mau makan apa? Kamu mau jadi perempuan nggak benar dengan menari?) balas Mama di dapur saat ku utarakan mimpiku. Mendengar respon Mama, aku memilih diam dan menyimpan luka penolakan itu dalam-dalam. Aku memilih mengikuti apa kata Mama. Setelah lulus SMA aku tes di Fakultas kedokteran, seperti mau orang tuaku. Namun aku tidak lulus tes. Lalu kulanjutkan tes di FKIP dan lulus. Selama 7 tahun, ku biarkan diriku mengerjakan apa yang Mama dan Bapa inginkan. Aku kuliah di jurusan keguruan tapi aku tidak berhenti menari. Aku kerjakan mimpi itu walau mereka tidak mendukungku. 

Malam itu di ruang keluarga, sambil tetap menangis ku tatap mata mereka yang mulai berkaca-kaca. Semua ingatan tentang penolakan itu kembali datang dan menyerangku dan rasa sakit itu kembali memberontak dalam hatiku. Mama yang duduk di sebelah kiriku mulai menggenggam tanganku yang gementar sambil menundukkan kepalanya dan menangis. Bapa yang duduk di depanku membalas tatapanku dengan mata yang mulai memerah. “Bapa, Mama… Beta ni cuma mo manari sa. Beso-beso ni beta su ujian lalu wisuda, beta su biking apa yang Bapa deng Mama mau ni. Bisa kasi beta Manari? Tolong jua percaya beta deng beta pung mimpi ni,” (Bapa, Mama… Aku cuma mau menari. Beberapa hari lagi aku sudah ujian trus wisuda, aku sudah buat apa yang Bapa dan Mama mau. Bisakah izinkan aku menari? Tolong percaya aku dan mimpiku ini) lanjutku sambil terus menangis. 

Sesungguhnya keadaan seperti ini tidak biasa terjadi di keluargaku. Sebagai anak, aku jarang berinisiatif untuk memulai sebuah obrolan yang serius dengan orang tua. Terutama obrolan tentang sesuatu yang tidak mereka sukai. Aku selalu takut untuk melakukan obrolan semacam ini karena aku takut dimarahi atau dipukul. Mungkin karena sejak kecil aku tumbuh dengan didikan yang keras dari orang tuaku, baik di rumah maupun di sekolah. Ya… Bapa dan Mama adalah orang tua sekaligus guru ku di sekolah. Bapa adalah guru matematika ku di SMP dan Mama adalah guru Bahasa Indonesia ku di SD. Walau mereka adalah guru ku, namun Bapa dan Mama tidak pernah memperlakukan ku dengan perlakukan khusus di sekolah karena aku anak mereka. Aku masih ingat waktu kelas 1 SD aku malas menulis di kelas. Biasanya aku siswa paling terakhir yang mengumpulkan tugas tulisan tegak bersambung di buku halusku. Ini bukan karena aku tidak tahu menulis. Aku hanya malas menulis. Hal ini ternyata diketahui oleh Mama. Mama menegur guruku dan memarahiku. Aku juga dipukul dihadapan teman-temanku di kelas. Sejak kejadian itu, Mama menambah banyak aktivitas menulis di rumah dan di sekolah agar aku tidak lagi malas menulis. Pengalaman yang paling aku ingat adalah ketika menulis tentang apa yang kurasakan setiap harinya, seperti menulis catatan harian dengan tulisan tegak bersambung. Tidak heran jika hingga sekarang aku masih suka melakukannya. Lain lagi dengan Bapa. Dulu di sekolah aku pernah dipukul oleh Bapa hingga tubuhku memar, hanya karena kelasku sangat ribut dan kebetulan aku sedang berada di depan kelas dengan beberapa temanku. Bapa yang tiba-tiba muncul di depan pintu kelas langsung menghampiriku tanpa banyak bertanya dan memukulku dengan potongan kayu pohon jarak hingga potongan-potongan kayu itu hancur di tubuhku. Perlakuan itu membuatku lupa bahwa yang memukulku adalah guruku di sekolah. Aku mengingatnya sebagai perlakuan seorang Bapa yang kasar untuk anaknya. Apa yang dilakukan Bapa dan Mama ternyata tanpa aku sadari meninggalkan trauma dalam perjalanan belajarku. Saat aku SMA, aku tak punya teman baik. Aku juga tidak pernah jalan-jalan atau nongkrong bersama mereka. Aku takut dipukul Bapa kalau ketahuan sedang bersama mereka. Catatanku selalu lengkap di kelas. Aku bahkan menjadi sekretaris umum OSIS selama 2 periode hanya karena tidak mau dikenal sebagai anak yang malas menulis. Aku sangat terpengaruh dengan apa yang kuterima dari orang tuaku. 

Perlakuan kasar yang kualami bukan hanya dialami oleh ku. Selama 27 tahun aku melihat dari dekat berulang-ulang kali bagaimana orang dewasa di sekitarku begitu bebas dan santai mengatai anak-anak bodoh dan memaki mereka, mulai dari di sekolah, kampus, rumah, dan tempat-tempat umum. Aku sendiri pernah beberapa kali dikatai bodoh di rumah dan di sekolah saat kecil dulu. Ingin rasanya membantah, namun aku tak punya banyak keberanian saat itu. Keadaan ini tanpa disadari telah menjadi sebuah budaya dalam mendidik anak bagi kebanyakan orang tua Maluku. Aku memang lahir dan tumbuh di tanah Maluku, tepatnya di sebuah kota kecil yang begitu manis, Kota Ambon namanya. Letaknya dikelilingi oleh Teluk Ambon yang indah dengan pegunungan hijau subur. Biasanya kami menyebutnya dengan Ambon Manise yang berarti Ambon yang manis atau cantik. Nama ini mencerminkan keindahan alam Ambon yang indah dan keramahan orang-orangnya. Tapi sangat disayangkan keramahan kami tidak kami perlihatkan dalam mendidik anak-anak. Dari sini aku berjanji pada diriku sendiri untuk mencari cara memperbaiki semua ini. Agar hal yang kualami tidak dialami oleh generasi selanjutnya.  

“Ade, terima kasih su jujur par Bapa deng Mama malam ini. Bapa minta maaf karna selama ini seng bisa mangarti ade pung mimpi dan paksa ade par iko apa yang Bapa dong mau,” (Ade, terima kasih sudah jujur untuk Bapa dan Mama malam ini. Bapa minta maaf karna salama ini tidak bisa mengerti mimpimu dan memaksamu mengikuti apa yang kami mau) kata Bapa dengan suara yang terdengar agak berat. Aku tahu, Bapa sedang menahan tangis. Lalu katanya lagi, “Ade, Bapa paleng sayang ade. Bapa paleng bangga deng ade. Setelah wisuda ini, silahkan ade manari. Bapa su lia deng mata kapala sandiri bagimana ade bisa konsisten dan bertanggung jawa deng ade pung pilihan. Bapa dukung ade manari’.” (Ade, Bapa sayang banget sama ade. Bapa sangat bangga dengan ade. Setelah wisuda, silahkan ade menari. Bapa sudah lihat sendiri bagaimana ade bisa konsisten dan bertanggung jawab dengan pilihan ade. Bapa mendukung ade menari). Kali ini tangis Bapa pecah tepat di depanku. Aku melihat seorang laki-laki tinggi, besar, berkulit gelap dan berkumis lebat dengan garis wajah yang tegas, menangis di depanku. Bapa menangis di depanku sambil mengucapkan kata-kata sayang untukku. Aku melihat air mata itu keluar dengan deras dari kedua matanya dan itu adalah hal terindah dalam hidupku. Pertama kali, aku mendengar Bapa mengucapkan kata sayang juga menangis untukku. Jika hari ini ada seorang pria yang mengucapkan sayang untukku, maaf… itu tidak seindah dan setulus kata sayang dari Bapa. Sejak kecil, aku memang tidak terlalu dekat dengan Bapa. Tidak banyak pengalaman indah bersamanya yang aku ingat. Namun, peristiwa malam ini menggantikan semua pengalaman indah kami yang telah hilang sebelumnya. Aku memeluk Bapa sambil menangis di bahunya. “Danke Bapa… Danke,” (Terima kasih Bapa…terima kasih) ucapku pelan

“Ade, Mama juga minta maaf par semua tindakan dan perkataan Mama yang biking ade saki hati. Mama paleng bangga deng ade par kejujuran yang ade biking malam ini. Sekarang ade su bisa manari deng bebas, Mama seng larang lai tapi Mama akan dukung ade,” (Ade, Mama juga minta maaf untuk semua tindakan dan perkataan Mama yang membuatmu sakit hati. Mama bangga sekali sama kejujuran yang ade lakukan malam ini. Sekarang ade sudah bisa menari dengan bebas, Mama tidak akan melarang tapi akan mendukung ade), suara Mama terdengar dari belakangku sambil tangan kanannya merangkul pundakku. Beginilah rasanya mendapat restu dari orang tua. Restu yang selama ini aku perjuangkan. Aku bukan hanya mendapat restu untuk menari dari mereka, tapi aku kembali mendapatkan mereka dengan utuh. Sejak hari itu, hubunganku dengan Bapa semakin baik. Bapa bisa menangis dan mengatakan rindu juga sayang untukku dengan bebasnya, begitupun sebaliknya. Sedangkan Mama menjadi lebih tenang saat aku membicarakan sesuatu yang tidak disukainya. Aku sangat bahagia sekali. 

Tapi, apakah setelah mendapat restu perjalanan menariku jauh dari masalah? Tentu saja tidak. Setelah wisuda, aku ingin melanjutkan belajar di program studi S-2 Magister Penciptaan Seni di kampus ISI Yogyakarta, namun orang tuaku tidak punya cukup biaya untuk membiayai kelanjutan pendidikanku dan aku tidak menemukan informasi tentang beasiswa. Aku sempat sedih kala itu. Namun tidak berapa lama di awal tahun 2019,  seorang teman mengusulkanku untuk mendaftarkan diri pada sebuah program seni di Yogyakarta bernama Program Seniman Pascaterampil.  Ini adalah program beasiswa untuk seniman-seniman muda di seluruh Indonesia yang diadakan oleh Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK). Aku pun memberanikan diri untuk mendaftar dalam program tersebut. Pikirku waktu itu, walau aku tak bisa melanjutkan kuliah di kampus ISI Jogja, tapi melalui program ini aku bisa bertemu dengan mahasiswa ISI dan belajar dari mereka di Jogja. Dan benar saja. Tanggal 23 Januari 2019, aku dinyatakan lolos setelah melewati berbagai proses seleksi dan bertemu dengan 9 teman seniman muda dari berbagai daerah dan disiplin seni. Aku bukan hanya bertemu dengan anak ISI seperti yang aku inginkan, tapi yang terjadi melebihi itu semua. Proses belajar di PSBK sangat berpengaruh terhadap kerja kesenianku hari ini di Ambon. 

Selain proses belajar yang sangat membantuku, aku juga bertemu banyak orang-orang baik yang bukan hanya membagikan pengetahuan dan pengalaman mereka, tapi turut memberikan motivasi bagiku. Salah satu orang baik itu adalah Alm. Djaduk Ferianto. Aku ingat pada hari itu, di tanggal 12 Oktober 2019 saat bertemu Almarhum di kelas, aku bercerita tentang tantangan menjadi penari dan koreografer yang aku hadapi di Ambon. Aku masih ingat dengan perkataan waktu itu, “Kamu tidak perlu selalu menjadi koreografer, tapi kamu dapat mencoba melahirkan gagasan dan ide-ide. Kamu menjadi provokator yang memprovokasi gagasan dan ide-ide itu. Kamu memotivasi anak-anak, kelompok atau komunitas dengan kreativitasmu.” Kata-katanya menjadi api yang membakar semangatku untuk terus mengusahakan dan mengerjakan banyak kebaikan dengan menari hingga hari ini. Sepuluh bulan belajar di PSBK mungkin waktu yang singkat, tapi 10 bulan itu menjadi waktu yang sangat berharga buatku. Aku kembali pulang ke Ambon setelah program selesai dengan membawa banyak pengalaman, pengetahuan serta semangat. 

Hari ini aku merasakan kata-kata Almarhum Pak Djaduk hidup dalam perjalanan menariku. Aku bukan hanya menari, tapi terus berusaha melahirkan ide-ide untuk mengerjakan kebaikan di lingkunganku berada. Seperti yang baru ku mulai di awal tahun 2021 ini. Aku menginisiasi sebuah pendidikan alternatif yang menggunakan tari sebagai metode belajar untuk anak-anak di Desa Piru yang kunamai Ruma Balajar. Sebuah project sederhana yang kukerjakan di rumah untuk anak-anak di sekitar rumahku. Setiap Senin hingga Sabtu, mereka akan datang ke rumahku dan kami akan bermain, belajar, bercerita dan menari bersama. Darah orang tuaku yang pendidik ternyata mengalir juga di tubuhku. Aku menyukai anak-anak sama seperti Mama, aku mengajar dengan kreatif sama seperti Bapa. Walaupun proses mendidik anak-anak dengan menari tidak mudah untuk kulalui. Aku harus bisa punya dana sendiri untuk mendanai proses ku bersama anak-anak seperti yang sedang kulakukan di desa tempat aku tinggal sekarang, Desa Piru-salah satu Desa kecil di Maluku. Sejak Januari hingga Maret 2021 aku membuka les Bahasa Inggris untuk beberapa anak di rumah. Hasilnya aku gunakan untuk mendanai project Ruma Balajar bersama anak-anak di sekitar rumahku. Terkadang aku kekurangan dana dan jika sudah begini maka aku akan membuka donasi bagi siapa saja yang ingin memberikan apapun yang bisa digunakan agar proses belajar anak-anak tetap berjalan. Tapi, seringkali Mama juga memberiku uang.

“Barang ade mo biking apa deng manari?,” (Memangnya kamu mau buat apa dengan menari?) tanya Bapa suatu hari saat aku menemaninya menjala ikan di laut. “Beta mo pake manari par didik anak-anak di Maluku Bapa supaya dong pung pengalaman balajar yang menyenangkan deng supaya dong pung tamang par bacarita, barmaeng dan yang sayang dong,” (Aku mau pakai menari untuk mendidik anak-anak di Maluku Bapa supaya mereka punya pengalaman belajar yang menyenangkan dan supaya mereka punya teman untuk bercerita, bermain dan yang menyayangi mereka) jawabku mantap. Bapa yang mendengar jawabanku mengangguk kecil sambil tersenyum. 

Mengerjakan project ini mempertemukanku dengan 25 anak-anak yang hebat. Aku kembali memahami  trauma yang masih berlanjut karena dialami juga oleh mereka. Ternyata mereka tumbuh dengan lingkungan yang terbiasa memaki dan mengatai dengan sebutan bodoh. Seperti cerita dari Gisrael, anak laki-laki yang duduk di kelas 4 SD. Ia menceritakan pengalamannya ketika aku meminta mereka bercerita tentang hal-hal yang membuat mereka sedih. “Kalo beta tu pernah dapa pukul deng dapa maki dari Mama Onco,” (Kalau aku pernah dipukul dan dimaki Mama) ucap Gis sambil menangis dengan malu-malu dibalik tangannya yang mungil saat menutup wajahnya. Aku yang melihat hal itu tak kuasa menahan tangis lalu menghampirinya dan memeluknya. Aku sadar benar bahwa tidak mudah untuk menyembuhkan luka di hati anak-anak, namun aku berusaha mengobatinya perlahan-lahan dengan belajar, bermain, bercerita dan menari bersama mereka. Selain mengerjakan itu semua, aku pun mendoakan mereka setiap saat. Nasihat Mamalah yang selalu kuingat ketika melakukannya. “Ade, perempuan hebat itu paleng banya, perempuan cantik jua banya, tapi perempuan yang suka berdoa par apa yang dia biking itu seng banya’ (Ade, perempuan hebat itu banyak, perempuan cantik juga banyak, tapi perempuan yang suka berdoa untuk apa yang dia kerjakan tidak banyak).

The Narratives
of Indonesian
Dancescape