Arusali / Wakatobi – Sulawesi Selatan
“Menari di Tengah Ombak: Arus Tari di Wakatobi”
“Menari di Tengah Ombak: Arus Tari di Wakatobi”
Arusali
Wakatobi – Sulawesi Tenggara
Dari pintu dapur rumah kayu tanpa cat, aku melihat laut yang membentang luas di depan mata. Kepulauan Wakatobi, tempatku dilahirkan, adalah surga yang tersembunyi. Setiap pagi, deburan ombak menyapa dengan lembut, dan angin pantai menggelitik wajahku. Meski indah, kehidupan di sini penuh tantangan.
Masyarakat Wakatobi saat ini mengalami banyak perubahan, dengan tetap menjaga budaya dan tradisi mereka. Komunitas tari di Wakatobi semakin berkembang dengan berbagai sanggar tari yang aktif, termasuk sanggar tempatku berlatih. Sanggar-sanggar ini sering terlibat dalam acara-acara pemerintah dan festival budaya, memperkenalkan keindahan tari tradisional Wakatobi ke dunia luar.
Meskipun ada perkembangan, aku menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan penerimaan di masyarakat. Banyak orang yang tidak sepenuhnya menerima kehadiranku karena sifat femininku. Namun, dengan tekad dan semangat yang kuat, aku terus berjuang untuk membuktikan bahwa aku pantas berada di sana.
Dalam menghadapinya, aku memilih untuk tetap fokus pada tujuan dan minatku dalam dunia tari. Pertama-tama, aku memperkuat keyakinan diriku sendiri bahwa aku memiliki nilai dan kontribusi yang berharga dalam komunitas tari di Wakatobi. Aku yakin bahwa kemampuan dan dedikasiku dalam menari dapat memberikan dampak positif, meski mungkin berbeda dari harapan atau stereotipe yang ada.
Selain itu, aku berusaha untuk menjadi lebih terbuka terhadap pandangan dan pendapat orang lain. Aku memahami bahwa setiap orang memiliki perspektif dan latar belakang berbeda, dan kadang-kadang tantangan datang dari kurangnya pemahaman atau pengetahuan tentang orang lain. Dengan berkomunikasi secara terbuka dan menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang di sekitarku, aku berharap dapat memperbaiki persepsi mereka tentang diriku.
Aku terus berusaha meningkatkan kualitas diriku sebagai penari dan individu. Aku terus mengasah keterampilanku, memperdalam pengetahuanku tentang seni tari, dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan komunitas tari. Dengan melakukan itu, aku berharap dapat membuktikan bahwa kesuksesan tidak ditentukan oleh gender atau stereotipe, tetapi oleh dedikasi, kerja keras, dan bakat yang sejati.
Tumbuh dengan Para Perempuan Hebat
Aku, Arusali atau Aru seperti yang biasa dipanggil keluarga, lahir di desa Waha pada 1988, tumbuh tanpa banyak kehadiran sang ayah. Sejak kecil, aku sudah terbiasa dengan kepergian ayah yang sering merantau jauh, ke Jawa, Maluku, hingga Malaysia. Dengan sebuah kapal yang bernama Bhangka, mereka memuat kopra dari Wakatobi menuju Pulau Maluku, kemudian mereka memuat rempah-rempah di sana lalu membawanya ke Pulau Jawa (Surabaya) untuk dijual.
Pelayaran yang dilakukan akan memakan waktu berbulan-bulan karena mengandalkan angin untuk meniup layar kapal mereka. Nama Aru mungkin ditemukan dari perjalanannya ke Maluku, sehingga menamai aku yang sama persis dengan nama pulau di Maluku, yaitu Pulau Aru. Selain kopra dari Wakatobi, terkadang mereka membawa plastik bekas untuk dijual ke Pulau Jawa dan ditimbang. Setelah lama melakukan pelayaran, ayahku memutuskan merantau ke Malaysia untuk bekerja di sebuah kapal pelingkar bersama saudaranya yang telah lama bekerja di sana.
Dengan cara itu, Ayah mencari penghidupan yang lebih baik, meninggalkanku dan keluarga tinggal bersama nenek di rumah tua di tepi pantai. Rumah Nenek menjadi saksi bisu perjalanan hidupku. Dikelilingi oleh wanita-wanita kuat—Ibu, Nenek, dan saudari-saudariku—aku tumbuh dengan kepribadian yang lembut dan feminin. Setiap pagi, aku terbangun dengan suara deburan ombak yang menenangkan dan aroma udara segar dari laut. Rumah Nenek terasa seperti tempat yang selalu menyambut dengan hangat, tempat kami, cucu-cucunya, merasa aman dan nyaman.
Di rumah Nenek, kami belajar banyak hal tentang kehidupan dan nilai-nilai seperti kesederhanaan, kejujuran, dan kerja keras. Setiap kali musim barat tiba, Nenek akan membangun benteng dari bhata sebagai beton untuk menahan ombak besar. Letak desaku yang dikelilingi laut, berada di sebelah barat pulau Wangi-Wangi dan berhadapan langsung dengan Laut Banda, menyebabkan abrasi pantai setiap musim barat tiba. Terkadang Nenek dibantu oleh Ibu atau saudarinya yang tinggal bersebelahan rumah.
Kami membantu Nenek dan Ibu di kebun, menanam dan merawat tanaman, serta ikut membantu dalam pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan membersihkan rumah. Saat panen singkong tiba, Ibu membuat soami lalu dijual berkeliling kampung untuk menambah penghasilan keluarga.
Pada malam hari ketika air laut surut, kami turun ke laut untuk hesurabhi dengan bantuan uulu sebagai penerang, saat itu senter belum umum seperti sekarang. Kami mencari kerang-kerang, siput, atau ikan yang terjebak saat air surut untuk dijadikan lauk keesokan paginya.
Saat libur sekolah tiba, Ibu membawa kami ke pulau seberang di desa Kolo, tempat nenek dari Ayah tinggal. Dengan menggunakan koli-koli, Ibu mendayung dari kampung ke rumah Nenek yang berjarak sekitar 6 mil sekadar untuk berlibur dan silaturahmi.
Sebagai anak bungsu, aku merasakan kasih sayang yang tak terhingga dari kedua orang tua dan saudari-saudariku. Kedua saudariku membantu Ibu merawat dan menjagaku.
Tahun 1997, perubahan besar datang saat kakak perempuanku yang pertama menikah dengan seorang polisi. Mereka harus pindah ke Buton Utara, dan aku, yang saat itu baru berusia sembilan tahun, ikut serta. Pindah dari pulau kecil ke tempat baru adalah pengalaman yang menakutkan sekaligus menantang. Saat mendengar bahwa kami akan pindah ke Ereke, imajinasiku langsung melonjak-lonjak dengan berbagai bayangan tentang tempat baru itu. Aku membayangkan sebuah perkotaan ramai yang dipenuhi dengan gedung-gedung tinggi dan kendaraan mobil, seperti sinetron-sinetron yang kutonton di TV. Aku juga membayangkan akan memasuki sekolah baru dan mendapatkan teman-teman baru.
Namun, setelah tiba di daerah tersebut, semua tidak sesuai dengan kenyataan yang kutemui. Tidak ada mobil yang berlalu lalang, tidak ada gedung-gedung tinggi. Namun, semua itu terbayarkan karena di belakang rumah tempat kami tinggal, banyak anak-anak sebayaku bermain. Hal ini membuatku bersemangat untuk mencari teman baru. Selain itu, sekolah tujuan yang akan kumasuki sangat dekat dengan rumah tempat kami tinggal.
Beradaptasi dengan Lingkungan Baru
Di Buton Utara, aku harus beradaptasi dengan lingkungan baru, bahasa yang berbeda, dan budaya yang asing. Berpisah dengan Ibu kala itu membuatku sedih, meskipun ada saudariku yang sangat dekat denganku. Dengan segala bujukan dari kakak dan ibu, akhirnya aku ikut ke Buton Utara, yang saat itu masih merupakan sebuah kecamatan bernama Kulisusu dan beribukota di Ereke.
Di usiaku yang masih kecil, aku harus menyesuaikan diri dengan bahasa daerah setempat. Apalagi di sekolahku, SDN 1 Ereke, ada mata pelajaran muatan lokal (bahasa daerah) yang membuatku kesulitan. Teman-teman sekolah kebanyakan menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari, membuatku bingung. Namun, mereka berusaha menyesuaikan diri denganku dengan menggunakan bahasa Indonesia saat aku ikut bermain bersama mereka. Lambat laun, aku bisa beradaptasi dengan bahasa mereka sedikit demi sedikit.
Pada masa itu, bersama La Tombo, Osim, La saba, Retno, Rizan, Wardan, Mail, dan Yuda, kami memainkan banyak permainan. Kami bermain bola kasti di lapangan Raja Jin, bermain kelereng, dan membuat jerat burung di kebun. Kami bahkan pergi mengambil kayu di hutan mangrove yang berada di tengah laut menggunakan perahu yang berada tak jauh dari jembatan di Ereke, demi tugas dari seorang guru untuk membawakan seikat kayu bakar ke rumahnya.
Setiap kali selesai bermain, kami menyempatkan diri untuk mandi di air Nganga Buaya. Konon, Nganga Buaya adalah air yang berada di mulut buaya bagi mereka yang bisa melihatnya secara tak kasat mata.
Setahun kemudian, kami pindah lagi ke Kabupaten Muna. Di sana aku mengalami hal yang sama di mata pelajaran bahasa daerah, tapi teman-teman sekelasku lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan dengan teman-teman saat berada di Kulisusu. Akhirnya aku pergi ke Kota Baubau untuk melanjutkan studi di tingkat SMP hingga SMA. Di Baubau, aku menemukan pelarian dalam dunia seni tari. Untuk kali pertama, aku terlibat dalam sebuah tari kolosal pada pembukaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Tingkat Provinsi Sulawesi Tenggara. Pengalaman itu membuka mataku terhadap keindahan dan kekuatan tari.
Pada tari kolosal tersebut, penari bergerak dengan koordinasi yang sangat rapi; setiap langkah dan gerakan terlihat harmonis dan selaras satu sama lain. Gerakan yang dinamis dan variatif, yang berasal dari dasar gerak tari di Sulawesi Tenggara, seperti tari Alionda dari Buton, memberikan nuansa menarik dan memikat bagi penonton. Para penari mengenakan kostum tradisional yang kaya akan warna dan detail, menampilkan kebudayaan dan tradisi lokal sesuai tema kegiatan yang Islami. Hiasan kepala, aksesoris, dan kain-kain yang berkilauan memperkaya visual pertunjukan.
Iringan musik tradisional yang dimainkan langsung menciptakan suasana mendalam. Alunan musik yang terkadang lembut dan terkadang mengentak menambah dramatisasi setiap gerakan tari. Irama musik gambus menambah khasanah Islami pada tari kolosal tersebut. Masing-masing penari memegang properti yang akan dimainkan sebagai alat pendukung dalam penyampaian makna gerakan tarian kolosal tersebut. Setiap penari menampilkan ekspresi dan emosi yang kuat melalui gerakan dan mimik wajah, menambah lapisan kedalaman pada cerita atau tema yang disampaikan melalui tarian.
Setiap penari harus memperhatikan tempo, ruang, dan gerakan satu sama lain untuk menciptakan kesatuan yang utuh dan harmonis. Mereka harus mampu bergerak dengan energi konsisten sepanjang pertunjukan tanpa kehilangan kualitas gerakan. Sebelum pertunjukan, para penari menjalani sesi latihan panjang dan intensif yang mencakup penghafalan gerakan, penyesuaian dengan musik, dan penyelarasan dengan penari lainnya.
Pengaturan lapangan melibatkan aspek tata suara dan penempatan properti, yang semuanya harus diatur dengan teliti agar tidak mengganggu jalannya pertunjukan. Pada hari pertunjukan, penari naik ke panggung dengan kostum lengkap, menampilkan gerakan yang sudah dilatih dengan penuh semangat dan percaya diri. Penggunaan efek visual menambah dramatisasi pertunjukan.
Selama dan setelah pertunjukan, penonton memberikan respons berupa tepuk tangan dan sorak-sorai, sebagai penghargaan langsung atas usaha dan penampilan para penari. Interaksi ini menciptakan suasana yang penuh apresiasi dan kegembiraan.
Di SMA Negeri 1 Baubau tempatku bersekolah, aku mengikuti kegiatan ekstrakurikuler tari setelah keterlibatanku dalam tari kolosal. Aku belajar Tari Alionda, tarian gembira yang dilakonkan secara berpasangan antara enam hingga delapan pasang penari. Tari Alionda menceritakan tentang kegiatan muda-mudi setelah melaksanakan panen. Karena hasil panen yang melimpah, mereka mengadakan pesta adat sekaligus acara ajang pencarian jodoh. Tarian khas Buton ini diciptakan oleh Alm. La Ode Umuri Bolu sekitar tahun 1980-an dan memiliki keindahan yang terletak pada kesatuan koreografinya. Tari ini juga memiliki keunikan pada gerakan berpasangan. Para penari perempuan melapisi tangan mereka dengan selendang agar tidak berinteraksi langsung dengan lawan jenis, karena saat itu mereka belum menentukan pasangan yang tepat. Ketika penari perempuan telah menemukan pasangannya, mereka akan membuka selendang itu dan menghempaskannya ke arah depan untuk menjaga diri dari orang laing yang ingin mendekatinya lagi. Latihan tari berjalan lancar, dan kami berlatih dengan penuh semangat.
Pengalaman Penolakan Pertama
Karena aku tampak sangat intens berlatih, sang guru kesenian menjanjikanku ikut pementasan di Kendari. Namun, suatu hari, guru kesenian kami mengumumkan keputusan yang datang dari koreografer yang mengajar kami, “Para penari bisa mengikuti pementasan di Kendari, kecuali Arusali.”
Namaku dikecualikan dari acara pentas seni di Kendari itu. Aku heran dan bingung mengapa ada enam penari perempuan, sedangkan hanya lima penari laki-laki yang berangkat. Pertanyaan itu menghantui pikiranku, tetapi aku tak pernah mengungkapkannya kepada siapa pun. Kejadian itu membuatku enggan mengikuti lagi latihan ekstrakurikuler tari.
Setelah lulus SMA, aku kembali bertemu dengan sang koreografer yang pernah mengajariku tari. Pertanyaan yang hampir terlupakan tiba-tiba muncul kembali. Dengan spontan, aku bertanya, “Kenapa saat itu saya tidak dibawa dalam pementasan di Kendari?”
Dia sontak menjawab dengan nada ketus, “Karena ko lengke.” Mengetahui jawabannya seperti itu, aku tidak melanjutkan pertanyaanku lagi. Siapa penari wanita yang dikeluarkan atau siapa yang menggantikan aku untuk melengkapi formasi tersebut tidak lagi penting.
Titik Baru: Kembali Berlatih Tari
Dua tahun setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Pada saat itu, saudariku yang kedua sudah selesai berkuliah. Aku bekerja di sebuah salon kecantikan di Baubau untuk membantu mencukupi kebutuhan saudariku selama berkuliah.
Ketika saudariku selesai berkuliah, Bapak yang kala itu telah berhenti merantau, menyuruhku kembali ke kampung. Kebetulan, ada sekolah baru yang dibangun dan membutuhkan tenaga kerja. Pada 2008, sekolah tempatku bekerja, SMK Negeri 1 Wangi-Wangi, mulai beroperasi. Sekolah ini menawarkan dua jurusan: Teknik Kendaraan Ringan dan Budidaya Perikanan, menjadi pilihan utama bagi masyarakat Pulau Wangi-Wangi.
Selama menjalani pekerjaan sebagai petugas administrasi di sekolah, aku bertemu dengan sepupuku, La Mbilu. Dia mengajakku untuk bergabung dengan Sanggar Natural Wakatobi, sebuah lembaga seni dan budaya tempat kami belajar tari, musik, dan teater. Meskipun memiliki banyak murid, yang aktif menari saat itu termasuk La Mbilu, La Ndola, Dedi, Ale, Ardianto, Yesti, Susi, Aris, Dewi, Yuli, Uchi, Ruci, Dina, Yanti, Lini, Tina, Sinta, Liana, Intan, Sida dan sejumlah nama lainnya. Pengiring musiknya terdiri dari Alm. Kamaluddin, Alm. Baharumu, Hasan, Andra, Mbe’i, dan Adi.
“Sini mi, ko, ikut latihan-latihan dengan kami supaya ko bisa tampil juga di acara-acara pemerintah. Kadang ada artisnya,” ajaknya.
“Sa mo menari apa? Sa belum tahu mo menari apa,” jawabku ragu.
“Makanya sini mi, ko ikut. Nanti saya ajar kamu di sanggar atau di rumahku,” katanya dengan semangat.
“Oke, mo gara,” jawabku akhirnya setuju.
Aku pernah melihat mereka tampil di Patuno Resort sewaktu Manohara Odelia Pinot berkunjung ke Wakatobi. Mereka masuk ke resort, tempat biasanya pemerintah daerah menyambut tamu dari luar Wakatobi, sedangkan masyarakat hanya bisa berada di pintu gerbang, termasuk aku. Keinginan bergabung dengan Sanggar Natural tempat La Mbilu berlatih tari semakin kuat. Biasanya, aku bergabung latihan saat pulang dari kantor atau di hari libur. Sambil bekerja dan berlatih menari, aku juga berkuliah, karena saat itu ijazahku masih ijazah SMA.
Selama menjalani latihan tari sembari kuliah, mencocokkan jadwal antara kuliah dan latihan tari bisa menjadi tantangan. Kadang-kadang latihan tari bisa bertabrakan dengan jadwal perkuliahan, yang membuatku harus memilih antara keduanya atau mencari jadwal yang fleksibel. Selain itu, membagi waktu antara kuliah, latihan tari, dan pekerjaan bisa menguras energi dan waktu. Aku harus mengatur waktu dengan cermat untuk memastikan aku tidak terlalu lelah saat mengikuti kuliah atau latihan tari.
Aku berkuliah di Universitas Muhammadiyah Buton Cabang Wakatobi, jurusan Akuntansi, yang merupakan salah satu cabang dari kampus di Baubau. Kuliahku dilakukan di Wakatobi dan biasanya berlangsung pada sore hari. Meskipun mengalami hambatan dan kesulitan, aku bersyukur bisa menyelesaikan pendidikan tersebut sambil mengejar minatku dalam seni tari.
Menghadapi Penolakan, Sebuah Langkah Baru
Beberapa minggu berlatih di sanggar itu, aku sudah menghafal semua koreografi dari Tari Posa’asa atau tari persatuan empat pulau di Wakatobi, yang merupakan tari kreasi baru. Namun, saat ada pemberitahuan tentang pementasan, aku tidak termasuk dalam daftar penari yang akan tampil. Padahal, aku sudah rutin berlatih dan menghafalkan semua koreografi. Bayangan saat di SMA kembali muncul dan mengingatkan kata koreografer, “Masih feminin mungkin gerakanku,” pikirku dalam hati.
Pengalaman penolakan tersebut memunculkan kembali ketidakpastian dan rasa tidak diakui yang pernah kurasakan di masa lalu. Namun, kali ini, aku memilih untuk melihatnya sebagai peluang untuk tumbuh dan berkembang. Aku sadar bahwa ada hal-hal yang perlu diperbaiki dan disempurnakan dalam diriku, dan penolakan ini bisa menjadi pendorong untuk melakukan perubahan.
Setelah merenungkan kata-kata koreografer dan menyadari bahwa gerakanku mungkin masih terlalu feminin, aku memutuskan untuk melakukan evaluasi diri secara jujur. Aku mencari masukan dari orang-orang yang bisa memberikan pandangan objektif tentang penampilanku. Kemudian, aku berkomitmen untuk melakukan perubahan yang diperlukan dalam gaya tari dan ekspresiku.
Aku mulai bekerja keras untuk mengubah gerakan-gerakan yang terlalu feminin menjadi lebih kuat dan tegas sesuai dengan karakter Tari Posa’asa. Aku juga memperdalam pemahaman tentang budaya dan makna di balik setiap gerakan dalam tarian tersebut. Dengan tekad dan disiplin yang kuat, aku melakukan latihan tambahan dan meminta bimbingan dari La Mbilu untuk membantu transformasi ini.
Perubahan tidak selalu mudah, tetapi aku menyadari bahwa ini adalah bagian dari proses menuju pertumbuhan pribadi dan profesional. Dengan ketekunan dan tekad, aku yakin bahwa aku bisa menghadapi tantangan ini dan menjadi penari yang lebih baik.
Pada latihan berikutnya, aku mempertegas tubuh dalam setiap gerakan tariku. Ketika ada pementasan lagi, kebetulan salah satu teman berhalangan, maka aku diberikan kesempatan untuk tampil. Pada penampilan perdanaku, aku ditempatkan di posisi paling belakang agar mudah mengikuti gerakan penari lainnya. Wejangan-wejangan dari Bunda Filma, pemilik Sanggar Natural, menyertai kami agar penampilan kami sukses.
Setelah bunyi musik gamelan berhenti, banyak audiens yang bertepuk tangan. Entah itu tanda mereka puas atau pura-pura puas untuk menghargai penampilan kami, aku tak menghiraukannya. Yang ada di benakku hanyalah keinginan untuk buru-buru keluar dari panggung pementasan itu. Di belakang panggung, aku langsung memberitahu teman-temanku tentang perasaanku.
“Kumonini waaa,” kataku.
“Wanatumo ara la’amo to hengantulu,” jawab seorang penari.
Setelah penampilan perdanaku yang sukses, aku diberi kepercayaan untuk tampil kembali dengan tarian yang sama. Saat latihan, aku tidak hanya memperdalam tarian tersebut tetapi juga mempelajari berbagai tarian daerah dan kreasi lainnya untuk ditampilkan dalam berbagai pementasan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun lomba-lomba di luar daerah. Bersama La Mbilu, kami beberapa kali mewakili Kabupaten Wakatobi dalam lomba yang diadakan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, termasuk pada acara ulang tahun Provinsi Sulawesi Tenggara (HALO SULTRA), dalam ajang itu kami pernah meraih juara. Kami juga pernah mengikuti misi kebudayaan ke Perth, Western Australia pada tahun 2014, mempromosikan daerah Kabupaten Wakatobi melalui tarian daerah.
Pengalaman otodidak yang kami peroleh mendorong kami untuk menjadi koreografer dan menciptakan karya tari kreasi yang berakar dari tarian tradisional Wakatobi. Kami selalu menjadi rekan kerja yang kompak dalam berkarya. Sebagai pelatih tari kolosal, aku terlibat dalam berbagai proyek yang dikerjakan oleh Sanggar Natural maupun kolaborasi dengan koreografer dari luar Wakatobi.
Salah satu kolaborasi yang kuikuti bersama almarhum Oktrisman Balagi dari Studio 28 Kendari pada tari kolosal pembukaan Wakatobi Wonderful Festival and Expo (WAVE) 2017. Selain itu, aku juga bekerja sama dengan Waode Alfida Hanafi dari Sanggar Campuh Dona Jaya Kendari pada tari kolosal pembukaan Wakatobi WAVE 2018 dan 2019.
Setelah pandemi COVID-19 usai, pada 2021, kami dari Sanggar Natural menangani tari kolosal pembukaan Wakatobi WAVE dan berhasil memukau penonton dengan koreografi yang kami tampilkan. WAVE sendiri adalah acara budaya terbesar di Wakatobi dan termasuk dalam Kharisma Event Nusantara (KEN) yang diluncurkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.
Inkubasi Seni Pertunjukan
Pada 2023, Pemda Wakatobi melalui Dinas Pariwisata mengadakan program inkubasi seni pertunjukan dengan menghadirkan mentor-mentor hebat dari luar Wakatobi. Untuk seni tari, dimentori oleh Ferry Cahyo Nugroho dari Magetan, seorang peneliti budaya dan pencipta interdisipliner yang memiliki segudang pengalaman, seni musik dimentori oleh Reno Izhar, seorang etnomusikolog, komponis, dan pemain perkusi dari Bangka Belitung, serta teater dimentori oleh Saleh Hanan dari Wakatobi yang berpengalaman di bidang seni teater, sejarah, dan budaya. Program tersebut berlangsung selama tiga bulan, dan aku turut terlibat menimba ilmu dari mentor seni tari.
“Mbeaka ko humengantulu?“ tanyaku.
“Te paira aka?“ tanyanya balik.
“Inkubasi seni pertunjukan dari Dinas Pariwisata, pematerinya dari luar, ada seni tari juga,“ jawabku.
“Belum bisa ikut saat ini, masih jaga salon, tapi nanti kita sama-sama ke tempatnya kalau sudah tidak sibuk,“ jawabnya.
“Baiklah,“ jawabku kembali.
Saat program itu akan dilaksanakan, aku berkunjung ke kantor Dinas Pariwisata bidang ekonomi kreatif dan menanyakan profil para mentor. Aku juga menelusuri akun media sosial mereka, terutama akun media sosial mentor seni tari, karena rasa penasaran terhadap ilmu yang akan diajarkan selama di Wakatobi. Melihat feed Instagramnya membuatku semakin semangat dan penasaran tentang karya apa yang akan dihasilkan nanti.
Ketika mereka tiba di Kendari, aku diberi informasi oleh Agusrianto, seorang staf di bidang ekraf, bahwa mereka telah berada di Kendari dan akan menuju ke Wakatobi keesokan paginya dan tiba pada malam harinya. Kebetulan saat itu aku memesan stoples kemasan produk yang kubuat. Ia mengirimkan foto kedua mentor saat mereka sedang nongkrong bersama di sebuah kedai kopi di Kendari dan sempat bertelepon video juga dengan mereka. Harapanku saat itu adalah semoga para mentor tersebut tidak sombong dan mau menerima sifat feminin saya serta mau berbagi ilmu kepada saya.
Esoknya, pada sore hari sepulang kantor, saya pergi membeli bahan baku produk yang kubuat berupa singkong. Dalam perjalanan pulang, saya singgah di rumah staf ekraf tersebut karena kedua mentor akan menginap di rumahnya. Saya membantu istrinya menyiapkan makan malam. Saya membantu membakar ikan tuna, sementara dia dan lainnya menyiapkan masakan seperti sayur, siput, kerang-kerangan, dan soami (makanan pokok pengganti nasi yang terbuat dari singkong), serta ikan parende.
Ketika mereka tiba, saya telah selesai membakar ikan dan menyambut mereka serta menurunkan stoples dari mobil yang mereka naiki. Satu per satu saya salami mereka. Kami berkenalan dan bercerita tentang tarian daerah Wakatobi, serta menonton video tarian Wakatobi di YouTube sambil menunggu makan malam. Di meja makan, Agusrianto memperkenalkan makanan yang dihidangkan. Setelah makan malam dan berbincang tentang tarian daerah Wakatobi, aku pamit pulang karena malam semakin larut.
Keesokan harinya, suasana menjadi lebih hidup dengan pertemuan yang diadakan bersama para seniman Wakatobi, termasuk aku. Pertemuan ini difasilitasi oleh Dinas Pariwisata, dan kami semua saling berkenalan serta mendengarkan penjelasan tentang program yang akan dijalankan.
Setiap ada kesempatan, aku menemani mereka berkunjung ke sanggar-sanggar seni di Pulau Wangi-Wangi hingga larut malam. Ketika mereka melakukan observasi ke Pulau Kaledupa, Tomia, dan Binongko, aku mendapat telepon dari ketua Sanggar Natural untuk membahas tari kolosal yang akan dipentaskan pada acara pembukaan Wakatobi Wonderfull Festival and Expo (WAVE) pada November 2023. Tari kolosal ini dipercayakan kepada sanggar kami dan akan bekerja sama dengan sanggar lainnya. Pada saat yang sama, Dinas Pariwisata juga menghubungiku untuk menampilkan kostum karnaval pada acara tersebut serta membuat kostum untuk mengikuti lomba di Sultra Tenun Karnaval (STK) di Kendari bersama La Mbilu dan kedua desainer lainnya, Atta serta Marlinda. Kami berempat berkumpul di kantor Dinas Pariwisata Wakatobi untuk berembuk dan membahas persiapan karnaval. Setelah berembuk, maka kami memutuskan untuk mengangkat tema “Pasi Kamba”.
Pelatihan Inkubasi Teater Bue Bue
Sepulang dari observasi di Kaledupa, Tomia, dan Binongko, Pak Saleh, Ferry dan Reno mulai melaksanakan pelatihan inkubasi bersama anak-anak dari salah satu sanggar di Pulau Wangi-Wangi. Mereka memutuskan akan menampilkan sebuah pementasan teater berjudul “Bue Bue” pada 28 November 2023. Karya ini dibuat berbasis riset, merupakan interpretasi musik, tari tradisi dan tradisi lisan syair Bue-bue yang tumbuh di Wakatobi. Teater bue-bue berkisah tentang dongeng sepasang petualang laut Bernama La Irate dan Wa Ode, juga ayam jantan peliharaan mereka, serta anak mereka, Wandage, yang kemudian bertemu jodohnya di bulan, La Manemane.
Konon petualang laut ini merupakan bagian dari Mia Bhiru, yaitu orang-orang pertama yang mendiami pulau-pulau karang di Wakatobi. Sepanjang cerita narator menghadirkan syair bue-bue. Disenandungkan guna menghibur lara para tokoh. Instrumen gambus yang membutuhkan senar dari tali yang melilit pakaian La Manemane dan Wandage digunakan untuk memicu konflik pada bagian epilog. Tepat ketika keduanya sedang berada di bulan.
Babak ini pula yang menerangkan asal usul tradisi Hekomba dalam cerita ini, sebuah tradisi yang mempertemukan muda-mudi saat malam terang bulan. Berbalas bhanti-bhanti, berharap bertemu jodoh di sana. Karya ini diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Wakatobi melalui Dinas Pariwisata, melibatkan seniman pelaku usaha ekonomi kreatif subsektor seni pertunjukan (tari, musik dan teater), sebanyak 6 orang pemusik, 5 aktor, dan 29 penari.
Aku membagi waktu dengan hati-hati: latihan tari untuk karnaval Wakatobi Wave dan Sultra Tenun Karnaval pada siang hari, dan latihan teater bersama tim inkubasi pada malam hari. Setelah latihan teater, aku melanjutkan pembuatan properti tari kolosal dan kostum karnaval.
Setelah Wakatobi Wave digelar dengan sukses, menampilkan karnaval kostum dan tari kolosal serta rangkaian acara lainnya, beban di pundak terasa lebih ringan. Aku pun mulai fokus menjalankan latihan teater “Bue Bue” dan latihan tari untuk karnaval pada Sultra Tenun Karnaval di Kendari. Menjelang sekitar satu minggu sebelum pementasan teater “Bue Bue” pada 22 November 2023, aku dan La Mbilu mencari bahan untuk kebutuhan kostum karnaval.
Menuju toko yang kami tuju, La Mbilu selalu mengingatkanku untuk berhati-hati membawa kendaraan. Setelah melewati beberapa blok rumah, tiba-tiba hujan mulai turun, membuat kami panik. Pada saat itu, tepat di simpang empat Endapo, kami berdua terkejut melihat dua motor di depan kami yang bingung menghindari hujan. Mereka sebelumnya hendak belok kiri, tapi tiba-tiba beralih ke kanan, menyebabkan konsentrasiku terganggu sehingga aku memilih untuk mengarahkan motor ke sebelah kiri. Motorku terbanting ke sebelah kiri dan aku terlempar dengan kepala mengenai sudut pot bunga semen. Untungnya, aku menggunakan helm. Sedangkan La Mbilu, entah bagaimana, tiba-tiba sudah berada di depanku, mungkin terpental ke depan.
Kemudian kami bangkit. Sandalku yang putus kubiarkan di tengah jalan. Kami berjalan ke sisi jalan dan langsung berbaring di atas trotoar depan rumah warga. Melihat pemilik rumah keluar, kami meminta izin untuk istirahat di teras rumah mereka. Saat di teras, La Mbilu menyadari wajahnya luka di bagian pipi dan pelipisnya. Dia mulai membersihkan luka-lukaku dengan air bersih. Saat melihat bahuku yang terbalut jaket tampak tidak simetris, dia menyuruhku membuka jaket, dan saat itulah aku sadar bahwa bahu kiriku patah, dengan tonjolan tulang yang mencuat ke atas. La Mbilu segera menelepon teman desainer kami bernama Atta untuk menjemput kami dan meminta diantar ke Pelabuhan Kapota, yang terletak di pasar pagi Wangi-Wangi, untuk membenahi bahuku yang patah di tukang urut tulang di Pulau Kapota.
Dari Pelabuhan Kapota, kami melanjutkan berjalan kaki ke rumah sepupuku untuk meminta petunjuk letak rumah tukang urut tulang di pulau itu. Setelah dikompres air panas di rumah sepupuku, aku mengajak La Mbilu tinggal bersama untuk istirahat, tapi dia memilih pulang karena kostum yang kami buat belum selesai dan waktu keberangkatan semakin dekat. Akhirnya, dia pulang meninggalkanku dan menyuruhku untuk kembali setelah diurut, tetapi aku menolak karena masih merasa sakit.
Di rumah sepupuku, aku memberi tahu kakakku di kampung tentang kecelakaanku, tapi meminta agar dia tidak memberi tahu Mama agar tidak membuatnya panik, mengingat usianya yang sudah tua dan kehilangan Ayah tahun lalu. Kemudian aku memberitahu Ferry lewat chat WhatsApp bahwa aku mengalami kecelakaan dan akan beristirahat dari aktivitas latihan teater “Bue Bue” untuk sementara waktu.
Selama tiga hari, aku beristirahat di Pulau Kapota dan bahuku diurut oleh tukang urut tulang tersebut setiap pagi dan sore hari. Sementara itu, selama periode tersebut, aku terus menghubungi Ferry untuk menanyakan keadaan latihan dan persiapan pementasan teater. Aku memberitahunya bahwa mungkin setelah tiga hari aku bisa kembali bergabung. Setelah merasa cukup baik dan luka mulai pulih, aku memutuskan untuk pulang dan Bapak tukang urut menyarankan agar aku kembali keesokan paginya untuk diurut lagi agar sembuh lebih cepat. Akhirnya, aku kembali ke Pulau Wangi-Wangi dan tinggal di rumah La Mbilu melanjutkan latihan teater dan menyelesaikan kostum untuk persiapan lomba fashion karnaval pada Sultra Tenun Karnaval di Kendari.
Dengan menggunakan sarung yang diikat di bahu sebelah kanan dan ditutupi dengan jaket, aku kembali ke aktivitas latihan. Banyak penari menduga aku mengalami kecelakaan, tapi aku membantahnya karena tidak ada luka yang menjadi bukti bahwa aku terjatuh. Latihan kami semakin intens menjelang pementasan, meskipun tangan kiriku belum sepenuhnya dapat digerakkan, aku tetap mengikuti latihan dan membantu mempersiapkan segala kebutuhan untuk pementasan. Bersama komunitas kreatif Katutura dari Tomia, yang kukenal melalui Reno yang pernah bekerja sama di Kota Baubau dalam residensi Rantai Bunyi, mereka tidak hanya membantu dalam musik tetapi juga dalam persiapan panggung pementasan.
Tantangan dan Kebanggaan dalam Pementasan Bue-bue
Tanggal 28 November 2023, hari yang dinantikan untuk pementasan teater “Bue Bue” akhirnya tiba. Namun, tak di sangka-sangka, hujan turun deras dari pagi hingga sore hari, membuat halaman Reefhouse, tempat kami akan pentas, tergenang air dan becek. Kami pun harus bekerja ekstra menutupi genangan air dengan pasir agar lokasi bisa digunakan. Meski penuh perjuangan, malam harinya pementasan tetap berjalan dengan penuh harap.
Malam harinya saat pentas dimulai, ternyata banyak penonton yang hadir dan menikmati pementasan kami. Meskipun udara malam terasa dingin akibat sisa hujan, suasana tetap penuh kehangatan. Bulan pun merefleksikan wajah indahnya yang berseri-seri di atas air laut. Respons positif mengalir deras, tepuk tangan meriah bergema sepanjang pertunjukan. Aku terharu dan bangga melihat para aktor, penari, dan pemusik tampil memukau, menghadirkan pementasan yang sangat menarik dan mempersembahkan karya yang sederhana tapi penuh makna.
Kehadiran pelaku UMKM yang berjualan dengan rapi di sekitar lokasi pementasan juga menambah warna dan semarak acara tersebut. Meskipun sederhana, pementasan ini mengingatkanku bahwa sebuah karya tidak harus ditampilkan di atas panggung mewah untuk bisa memberikan kesan mendalam.
Perjalanan ke Kendari untuk Sultra Tenun Karnaval
Setelah pementasan teater “Bue Bue” yang sukses, aku dan La Mbilu fokus pada persiapan lomba Sultra Tenun Karnaval. Pada 30 November 2023, tim karnaval Wakatobi berangkat ke Kendari, sementara Ferry dan Reno akan menyusul pada 2 Desember 2023 setelah menyelesaikan semua laporan mereka. Kami semua menaiki kapal Jetliner untuk perjalanan yang memakan waktu empat belas jam. Kostum yang kubuat baru mencapai tujuh puluh lima persen penyelesaian, sehingga aku harus menyelesaikannya di Kendari.
Dengan keterbatasan akibat cedera pada bahu, aku meminta bantuan model yang akan memakai kostumku. Kami bekerja keras merampungkan detail demi detail, dengan La Mbilu kadang turut membantu. Teman-teman lainnya juga turut serta memberikan kontribusi, seperti Dervis yang membantu merangkai kabel untuk pencahayaan pada kostum karnaval. Setiap kesempatan istirahat setelah latihan menari dan gladi bersih di lokasi lomba kami manfaatkan untuk menyelesaikan kostum, memastikan semuanya sempurna untuk hari penampilan.
Pagi hari, 3 Desember 2023, setelah bangun dan sarapan, kami melanjutkan latihan terakhir, memperbaiki hasil refleksi saat gladi resik di atas panggung. Setelah latihan selesai, kami beristirahat sejenak sebelum bersiap untuk tampil di malam harinya. Saat kami tiba di lokasi lomba, kami disambut dengan deretan model yang mengenakan kostum beragam dan unik dari berbagai daerah, menciptakan suasana yang penuh warna dan semangat.
Musik gambus khas Wakatobi mulai mengalun, disertai dengan suara deru ombak yang membawa kami dalam nuansa panggung. Dua penari pria memasuki panggung membawa kain biru, menari dengan gerakan yang melambangkan ombak yang berputar-putar. Mereka kemudian digantikan oleh penari pria lain yang membawa kain merah. Empat penari berikutnya duduk membentuk perahu dengan kain merah sebagai atap, menggerakkan tarian mereka mengikuti irama musik yang menggema.
Para penari perempuan memasuki panggung dengan kipas berwarna-warni, menari dengan gerakan yang menyerupai gerak-gerik ikan di bawah laut, lengkap dengan mahkota yang terbuat dari terumbu karang. Kehadiran penari pria sebagai perompak dengan kostum yang mengintimidasi, berhasil menambah dramatisasi dalam pertunjukan. Dalam cahaya yang gemerlap, satu per satu model karnaval muncul, mengisahkan kisah-kisah tentang keluarga, bajak laut, dan putri yang hendak diculik. Penampilan kami sukses membuat penonton terpukau, menciptakan suasana yang penuh haru dan kagum.
Selebrasi Kemenangan
Ketika pengumuman pemenang akan dibacakan, rasa was-was menghampiriku. Teman-teman penari serta semua pihak yang terlibat dalam tim karnaval Wakatobi juga merasakan ketegangan yang sama di Mes Wakatobi, saat mereka mengikuti pengumuman lewat live streaming di YouTube. Satu per satu pemenang dibacakan, mulai dari tempat ketiga oleh Kabupaten Kolaka Utara, kemudian tempat kedua oleh Kabupaten Konawe Utara. Kegugupan mulai terasa di lokasi pengumuman.
Nama Wakatobi dinobatkan sebagai pemenang pertama dari tujuh belas kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara. Kami berhasil mempertahankan gelar juara untuk keempat kalinya berturut-turut dalam Sultra Tenun Karnaval. Semua berteriak, diiringi berbagai macam ekspresi dan selebrasi dari dua tempat yang berbeda. Perasaan senang, bahagia, sedih, dan lega bercampur aduk mendengar pengumuman itu.
Kemenangan ini adalah bukti dari betapa pentingnya kerja keras, dedikasi, dan semangat yang tak pernah surut dalam menghadapi segala tantangan. Melalui pementasan teater “Bue Bue” dan penampilan gemilang dalam Sultra Tenun Karnaval, kita tidak hanya menyaksikan keindahan seni dan budaya, tetapi juga diingatkan bahwa dengan ketulusan dan cinta, setiap langkah dapat mengukir kemenangan yang tak terlupakan.
Seni adalah bahasa universal yang mampu menyatukan perbedaan dan menciptakan harmoni. Dengan langkah pasti, aku akan terus menari dalam kehidupan, memberikan yang terbaik bagi masyarakat dan daerahku.
Dengan semangat yang baru, aku terus melangkah dalam dunia tari, didukung oleh keluarga, teman-teman, dan tekad yang kuat untuk terus maju. Meskipun tantangan datang silih berganti, aku yakin bahwa melalui seni, aku bisa membawa perubahan dan menginspirasi orang-orang di sekitarku. Kuharap dapat memberikan kontribusi yang berarti, baik dalam mengangkat isu sosial melalui karya-karya seni, memperkenalkan budaya lewat tari, atau memberikan hiburan dan terapi kepada masyarakat. Melalui dedikasiku, aku ingin menjadi teladan bagi orang lain untuk tetap berjuang menggapai impian mereka, meskipun dari latar belakang yang mungkin tidak lazim di dunia seni.
The Narratives
of Indonesian
Dancescape