DokumenTari 04

DokumenTARI

Pengantar
“Keluarga, Perisakan, dan Pendalaman Teknik Tari”

Program DokumenTARI diinisiasi sebagai respon terhadap pandemi Covid-19, yang memiliki dampak signifikan pada sektor kesehatan dan juga komunitas tari. Program ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana seni dapat berkontribusi pada perubahan sosial dengan tetap menjaga vitalitas individu dan kolektivitas para penari. Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp memulai lokakarya pengarsipan ini pada 2020, dengan fokus membangun daya kritis melalui pelatihan menulis narasi kehidupan dan esai foto. Tujuannya adalah untuk mendokumentasikan pemikiran, realitas, dan gagasan para praktisi tari di Indonesia. Pada 2024, program DokumenTARI 0.4 diimplementasikan secara daring dan luring. Dengan mengangkat tema “Invasi Ruang dan Waktu”, program kali ini bertujuan untuk membuka diskursus bagi para praktisi tari untuk memaknai peran mereka, baik sebagai individu dan bagian dari masyarakat dalam dunia tari. 

Sejak Maret 2024, DokumenTARI 0.4 mencari dua belas kontributor terbaik. Melalui proses seleksi yang cermat, DokumenTARI 0.4 menemukan kontributor yang sesuai antara lain Kustiana (Bandung, Jawa Barat), Muhammad Ilham Mustain Murda (Jayapura, Papua), I Putu Rai Dhira Aditya (Klungkung, Bali), Yussi Ambarsari (Sumbawa, Nusa Tenggara Barat), Bathara Saverigadi Dewandoro (Bekasi, Jawa Barat), Dani S. Budiman (Cilacap, Jawa Tengah), Devi Nur Safitri (Grobogan, Jawa Tengah), Eivria Ardianti (Tangerang, Banten), Ahmad Susantri (Liwa, Lampung), Ariesta Putri Rubyatomo (Jakarta Timur, DKI Jakarta), Assabti Nur Hudan M. (Gedongkiwo, D.I Yogyakarta), dan Arusali (Wakatobi, Sulawesi Tenggara). Dalam prosesnya, para kontributor didampingi oleh kami, para mentor yang terdiri dari Dewi Kharisma Michellia, Sari Asih, dan Mohammad Refi Omar Ar Razy. Kami berperan sebagai teman diskusi dan mengarahkan para kontributor dalam menyusun kerangka foto dan tulisan. Selain didampingi oleh kami, para kontributor juga dibekali keterampilan dalam menulis oleh para pemateri tamu seperti Prof. Premana Wardayanti Premadi (Astronom Indonesia dan Guru Besar ITB), Dr. Grace Laksana (Dosen Departemen Sejarah Utrecht University), dan Endo Suanda, PhD (Etnomusikolog dan Seniman Tari). Melalui rangkaian lokakarya, para kontributor disuguhkan tiga paparan utama “Siapa saya? dalam kerangka Ilmu Kosmologi/Astronomi”, “Di mana posisi saya? dalam kerangka Sejarah Personal”, dan “Apa peran saya? dalam kerangka Pengarsipan Seni Tari Indonesia”. 

Sesi diskusi secara individual antara kami dan para kontributor merupakan sesi terpenting dalam proses penyusunan catatan yang dilakukan oleh para kontributor. Dalam proses diskusi individual, kami dibagi ke dalam tiga pokok utama. Pertama, Michellia mengarahkan para kontributor agar menemukan kerangka teks dan detail penulisan. Dalam proses ini, para peserta diajak berdialog, melalui proses tanya-jawab dengan mentor tentang hal-hal yang hendak mereka ceritakan dalam narasi personal mereka. Michellia membantu mengarahkan kerangka, memancing ingatan para penulis untuk melengkapi lagi detail-detail narasi mereka. Kedua, Sari Asih berfokus pada susunan foto yang akan disajikan bersama dengan catatan para kontributor. Foto yang disajikan oleh para kontributor kemudian diperdalam dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai urgensi tiap foto agar bisa dirangkai sebagai suatu narasi. Ketiga, Razy berfokus pada wawasan metode sejarah supaya catatan yang dipaparkan mengenai diri dan masa lalu dapat dirangkai secara kronologis. Oleh karena itu, untuk merekonstruksi sebuah cerita yang dapat dielaborasi, para kontributor juga menggunakan data-data yang relevan, seperti arsip dan catatan keluarga atau berdiskusi langsung dengan saksi atau pelaku dalam sebuah peristiwa. 

Berbekal mentoring daring yang dilakukan oleh kami dengan para kontributor, Bandung menjadi tempat perjumpaan antara seluruh elemen yang menyertai DokumenTari 0.4. Para kontributor mempresentasikan hasil tulisan sementara dan melakukan mentoring luring bersama kami. Dari tulisan yang diulas oleh para kontributor, kami mengkategorikannya dalam tiga isu penting. Pertama, Keluarga – subjek yang dekat & falsafah hidup. Kedua, Menghadapi kekerasan/perisakan. Ketiga, Teknik tari.

Dalam rumpun pertama, lima kontributor merangkaikan cerita tentang keluarga, di antaranya tulisan oleh Bathara Saverigadi Dewandoro, Dani Setiyawan Budiman, I Putu Dhira Aditya, Kustiana, dan Muhammad Ilham Mustain Murda. Dalam “Kala Surya Menampakkan Cahayanya”, Bathara merangkum kisah kedua orang tuanya meniti karier di dunia pertunjukan. Karier kedua orang tuanya mengantarkan Bathara untuk mengenal dan mencintai dunia seni pertunjukan sejak kecil. Bersama kedua orang tuanya, Bathara mengasuh Yayasan Swargaloka Talenta Budaya. Senada dengannya, melalui “Bapak, Menanam Benih Harapan”, Dhira mengisahkan tentang hubungannya dengan ayahnya yang menuntunnya pada perjalanan di dunia tari. Harapan ayahnya yang ditanamkan seumpama benih sejak Dhira kecil memperkuat minat Dhira menggeluti seni tari, kini ia menghidupi sanggar yang didirikan ayahnya Sanggar Seni Dhira Pradiva.

Agak berbeda dari kedua penulis tersebut, dalam “Ngopeni Indang: Meraba Sisa, Merapal Makna”, Dani mengajak kita menelusuri perjalanan hidupnya dalam menggeluti ebeg, kesenian yang tumbuh dan berkembang di Banyumas. Ia menuturkan berbagai laku yang perlu ditempuh, di antaranya mengaturkan sesaji, mantra, hingga menjalani tirakat. Kustiana dalam “Mak Karmi, Mewariskan Jalan Tari” juga menceritakan pengalamannya mengenal sang nenek, Mak Karmi, yang menghidupi laku seorang penari dengan berbagai tirakatnya. Berbagai percakapannya yang dekat dengan neneknya dihadirkan dalam narasi, mengajak kita mengenal seni ronggeng yang dilakoni oleh Kustiana dan Mak Karmi. Sementara itu, dalam “Bintang Penuntun: Menyulut Harapan di Tanah Papua”, Iam (panggilan akrab Ilham), mengisahkan pertemuannya dengan Bang Sabil yang ia umpamakan seperti pertemuan dengan bintang harapan. Dalam perjalanan kariernya di dunia tari, ia menempuh studi di Jakarta dan mempertemukannya dengan sosok Bang Sabil, yang kini kehadirannya seakan digantikan oleh putrinya, Malaika.

Di rumpun kedua, empat penulis mengisahkan tentang pengalaman menghadapi perisakan, Ahmad Susantri, Ariesta Putri Rubyatomo, Arusali, dan Devi Nur Safitri. Pengalaman perisakan tersebut, di Sebagian besar kasus mereka, justru mendorong mereka untuk menciptakan karya seni, mengubahnya menjadi katarsis. Dalam “Terima Kasih, Tari”, Susan menceritakan tentang penerimaan diri, bagaimana ia menghadapi perisakan, hingga ia berhasil menciptakan seri tarian “Lelaki Penyiram Bunga”. Seri tari tersebut menggambarkan pergulatannya terkait karakter feminin dirinya. Ariesta melalui “Saat Luka Menjadi Seni”, mengisahkan pengalamannya menghadapi perisakan terkait kecantikan (beauty bullying) yang mengantarkannya pada pemaknaan atas definisi kecantikan.

Sementara itu, dalam “Menari di Tengah Ombak: Arus Tari di Wakatobi”, Arusali menceritakan tentang perjalanan hidupnya yang bermula dari Wakatobi, ia yang tumbuh dengan para perempuan hebat di hidupnya, hingga bagaimana ia berhadapan dengan kerasnya lingkungan masyarakat Wakatobi serta berbagai penolakan yang lantas ia hadapi dan mendorongnya untuk terus berproses dalam dunia tari. Sama halnya dengan Devintri, yang mengisahkan cerita perjalanan hidupnya lewat “Menari dalam Perjalanan Pembentukan Diri”. Berbagai kekerasan yang ia alami semasa kuliah justru mengantarkannya untuk menemukan komunitas dan individu yang lantas menjadi “ruang aman” baginya. Seperti Ariesta yang mereka ulang tentang definisi kecantikan, dalam tulisannya Devintri membentuk ulang dirinya melalui pertemuannya dengan orang-orang yang terlibat dalam Inkubator Inisiatif, Kemah Teknologi Feminis Purplecode, hingga berbagai program yang diselenggarakan Sasikirana.

Dalam rumpun ketiga, tiga penulis mengurai tentang berbagai teknik tari yang mereka pelajari dan pendalaman mereka atas teknik tersebut, yang membentuk karakteristik maupun “gaya pentas” mereka. Assabti Nur Hudan M., Eivria Ardianti, dan Yussi Ambar Sari menuliskan refleksi tentang bagaimana teknik-teknik tari tersebut melengkapi perjalanan karir mereka. Upi, panggilan akrab Assabti, lewat “Rapal Doa dalam Gerak: Perjalanan Spiritual Tubuh” menuliskan tentang pendalamannya atas sejumlah tari spiritual. Ia mengeksplorasi berbagai tari di Jawa yang berkarakter Islam seperti yang ia temukan dalam joget mataram dan sejumlah tari di Bali tari rangda yang berkarakter Hindu, lantas menemukan harmonisasi dalam kedua karakter tari tersebut.

Dalam “Terapi Menyelaraskan Tari”, Eivria menelusuri perjalanannya mempelajari teknik tari yang menggali unsur terapeutik tari. Latar belakangnya sebagai praktisi psikologi, dan pengalamannya merawat pasien berkebutuhan khusus, mengantarkannya bertemu dengan Sekolah Terapi Tari yang ia pelajari di Singapura. Ia bahkan perlu mengambil sejumlah kelas yang membuatnya perlu menempuh perjalanan bolak-balik antara Indonesia-Singapura untuk mengikuti pertemuan luring kelas tiap pekannya di Lasalle College of the Art. Pada akhirnya, kita akan membaca tulisan Yussi, “Kembali Berkarya Lewat Kreasi Tari Sumbawa”, mengenai pengalamannya mengenal kebudayaan baru di Sumbawa, mempelajari berbagai teknik tari Sumbawa, hingga ia berhasil menarikan tari khas Sumbawa tersebut, Tari Ponan, di luar Sumbawa.

 

Akhirul kalam, dalam 12 tulisan kontributor DokumenTARI 0.4, kita akan diajak menelusuri berbagai liku kehidupan yang membentuk para kontributor penari/koreografer ini menjadi sosok seperti yang kita kenal sekarang. Tentu, cerita personal mereka akan menyumbang kekayaan bagi dokumen dan arsip tari di Indonesia. Dari berbagai topik, latar geografi, hingga pengalaman unik mereka, kita diperkenalkan pada kekayaan materi mengenai dunia tari. Dari mereka pula, semoga para pembaca yang bergelut ataupun memiliki ketertarikan pada dunia tari dapat memetik pengalaman penting tersebut dan menjadikan tulisan tersebut cahaya atau bintang penuntun mendalami dunia seni pertunjukan di Indonesia. Selamat membaca.

The Narratives
of Indonesian
Dancescape

©2020 DokumenTari