Assabti Nur Hudan M. / Yogyakarta – DIY
“Rapal Doa dalam Gerak: Perjalanan Spiritual Tubuh”
“Rapal Doa dalam Gerak: Perjalanan Spiritual Tari”
Assabti Nur Hudan M.
Yogyakarta – D.I.Y
Pada 2014, saya terlibat dalam proses penggarapan karya tari yang mengangkat cerita Dewi Kunti dalam Perang Bharatayuda. Dalam karya berjudul “Sungsang”, Reni dan Danisi sebagai koreografer mengangkat peristiwa meledaknya perang tanding antara Karna dan Arjuna, anak-anak Dewi Kunti, untuk memperebutkan Hastina. Diceritakan, Dewi Kunti membuang Karna, anak pemberian Dewa Surya, di Sungai Aswa karena merasa malu lantaran ia hamil sebelum menikah. Pada akhirnya, Karna harus berperang melawan adik-adiknya, Pandawa, yang juga merupakan anak Dewi Kunti.
Konon, pagelaran yang mengangkat cerita perang tanding, memerlukan prosesi khusus karena sakralnya adegan tersebut. Hal ini tidak hanya berlaku untuk pagelaran tari, tapi juga wayang kulit maupun wayang uwong. Oleh karena situasi perang yang pelik dalam ceritanya, maka prosesi-prosesi doa dirapalkan dengan tujuan untuk mengharapkan dilancarkannya proses, mulai dari persiapan latihan sampai selesainya pagelaran.
Ritus-Ritus Tari Sakral
Seminggu sebelum pertunjukan, kami melakukan rembug terkait prosesi ritual upacara dan hari-hari laku prihatin puasa mutih selama proses latihan. Puasa mutih merupakan puasa yang makan dan minumnya hanya dengan air putih dan nasi putih tanpa lauk dan garam yang dilakukan selama 24 jam di hari ganjil. Tirakat ini dipercaya untuk melindungi dari marabahaya dan melancarkan hajat. Bahkan sang empunya karya setiap hari bolak-balik melakukan tirakat bersama eyangnya ziarah ke makam-makam Raja Imogiri untuk mendapatkan restu dalam menampilkan representasi cerita Mahabarata.
Sampai dengan hari pertunjukan, kami melakukan ritual doa bersama dengan berbagai sesajen hasil bumi dan satu ingkung ayam kampung. Dalam proses itu, Reni tak memaksa penari untuk ikut dalam laku prihatin. Namun, dari 7 penari, rupanya hanya saya yang tak melakukan puasa mutih, melainkan melaksanakan puasa sesuai syariat Islam pada umumnya. Mengetahui hal tersebut, Reni memohon izin untuk ‘melindungi’ saya dari jauh. Saya tak menemukan kejanggalan selama proses latihan sampai dengan usai pertunjukan saya menemukan amplop kumal berisi bunga mawar, melati, kanthil, rambut, dan kemenyan dalam tas ransel yang setiap hari saya pakai. Puji Tuhan, pagelaran berlangsung lancar dan tidak kurang suatu apa pun.
Salah satu pengalaman lain dalam menyaksikan dan terlibat dalam penyelenggaraan tari sakral yang amat berkesan adalah saat pertama kali saya terpukau dengan pertunjukan Calon Arang di Pura Pucak Tegeh, Gianyar, Bali. Calon Arang sendiri merupakan cerita yang terkenal di wilayah Jawa-Bali. Calon Arang mengisahkan perjalanan hidup janda sakti yang merupakan guru ilmu hitam dari Dirah bernama Calonarang atau Walunateng Dirah. Diceritakan ia murka karena anak gadis satu-satunya, Ratnamangali, belum ada yang melamar. Dalam lakon yang berjudul Katundung Ratnamangali, Calonarang meradang karena penghinaan menantunya, Raja Airlangga, lantaran diusirnya Ratnamangali secara paksa oleh penguasa Daha itu dengan tuduhan menebar petaka santet. Padahal, Calonarang sendiri sama sekali tak mengajarkan ilmu hitam tersebut pada anak semata wayangnya ini. Ketegangan adegan angkara murka Calonarang inilah yang sering ditampilkan dalam pementasan teater Calonarang.
Kuatnya mitos bahwa pantangnya kita pulang sebelum pertunjukan berakhir, membuat saya membawa perbekalan cukup lengkap untuk menahan rasa kantuk selama pertunjukan. Pertunjukan yang umumnya dilaksanakan mulai dari jam 10 malam hingga pukul 3 dini hari ini, banyak memvisualisasikan bentuk-bentuk seram seperti Sisya Ngereh, perempuan berwajah seram bertaring dengan rambut yang berantakan, berikut juga Celuluk, Rarung, dan Rangda yang mewujud sosok-sosok seram dengan rambut yang menjuntai ke tanah, mata yang mencuat keluar, lidah dan kuku yang panjang, serta badannya yang besar. Selain itu, hadir juga sosok Barong yang mewujud beruang yang dimainkan dua penari seperti barongsai.
Suasana menonton pertunjukan tari di pura sangat berbeda dengan menonton di amfiteater pertunjukan. Pertunjukan yang diusung oleh seluruh masyarakat banjar memberi energi magis didukung aroma dupa yang kuat, bunga segar yang bertebaran di seluruh dekorasi dan pejati (sesajen), harmonisasi musik gamelan bali yang dimainkan secara langsung, interaksi yang dibangun pemain Bondres dan Arja dengan penonton, dan seluruh prosesi doa di antara pertunjukan demi pertunjukan. Saya tak bisa memisahkan mana penonton dan penampil, karena seluruh pihak menjadi bagian penting yang melebur dalam pertunjukan.
Berdasarkan pengalaman melihat maupun mengalami langsung tarian-tarian sakral, prosesi ritual dan doa selalu menjadi bagian penting dalam rangkaiannya. Dengan menyadari kesakralan tersebut, penari yang terlibat di dalamnya cenderung akan lebih berhati-hati dalam bersikap, bertutur kata, bahkan bersedia melakukan berbagai ritus demi kelancaran pertunjukan, daripada saat membawakan tarian profan (non-sakral).
Hal semacam ini terjadi juga di Jawa. Dalam tari-tari gaya Yogyakarta yang disakralkan, banyak mengangkat cerita mengenai lakon-lakon dalam serat-serat Jawa, tokoh pewayangan, sampai dengan penguasa Laut Selatan. Tari Bedhaya Semang (di Yogyakarta) merupakan tari ritual utama untuk menghormati Nyai Lara Kidul. Tarian ini melibatkan sembilan penari wanita yang masih perawan dan satu “penari roh”, yaitu Nyai Lara Kidul sendiri. Penari berpakaian seperti pengantin, karena dipercaya tarian tersebut merupakan rangkaian dari pernikahan suci antara raja dan Nyai Lara Kidul. Ritual ini dilaksanakan atas alasan berbagai kebutuhan, salah satunya adalah untuk meminta perlindungan dari marabahaya. Berbeda dengan tarian-tarian klasik gaya Yogyakarta yang banyak mengandung pesan moral positif serta menjunjung karakter-karakter protagonis, tari-tarian sakral Bali justru selalu menghadirkan karakter antagonis sebagai penyeimbang alam semesta.
Penari Rangda dalam pertunjukan Calon Arang, sering disalahpahami masyarakat sebagai orang yang juga menekuni ilmu hitam/ilmu leak. Pada beberapa penari Rangda yang saya temui, mereka justru mengilhami karakter tersebut sebagai suatu cerminan nyatanya sifat-sifat buruk yang juga ada dalam diri manusia. Melalui konsep hidup masyarakat Hindu dalam menjaga keseimbangan kebaikan dan keburukan, karakter antagonis justru bukan hal tabu untuk dihadirkan bahkan sangat dihormati. Dialektika konsep hidup sebagai entitas Jawa pemeluk agama Islam yang hidup di tengah masyarakat Bali, memantik saya dalam membaca posisi tari kembali pada diri.
Mengupas Titik Balik
Perjalanan tersebut tidak pernah luput dari apa yang pernah saya lakukan sebelumnya. Sebagai seorang penari, saya tak pernah bergabung di sanggar tari. Sejak umur 4 tahun, saya melihat bagaimana ibu saya menari dan mengajar tari di sekolah-sekolah. Saya merekam dalam kepala, belajar menggunakan kaset dan VCD tari yang digunakan Ibu sebagai bahan ajar secara diam-diam. Ibu saya tak pernah dengan sengaja mengajarkan tari, bahkan cukup terkejut saat melihat saya menarikan beberapa tarian sekaligus bersama murid-muridnya. Orang tua saya tak melarang saya untuk berkesenian, tapi karena latar belakang religius yang kuat, sepertinya mereka lebih bangga saat saya menjadi Qori, pelantun Al-Quran.
Saya di masa kecil sudah mulai bergejolak dengan identitas sebagai Qori sekaligus penari yang bergoyang pinggul di panggung sejak kelas 4 SD. Sosok diri yang masih belia itu masih belum bisa mengerti ketidaknyamanan di hatinya dan bagaimana mengungkapnya. Ia ingin mencintai Tuhan tanpa tapi. Tapi, ia menari. Apakah masih boleh dia mencintai Tuhan dengan sesukanya meskipun juga menari? Bagaimana dengan perasaan tahu diri yang tak bisa disembunyikan ini? Sadar dengan tanggung jawab moral seorang pelantun Al-Quran yang tak mudah, ia memutuskan untuk berhenti sebagai Qori di kelas 2 SMP dengan berbagai alasan yang dibuat cukup logis untuk disampaikan kepada orang tua: saya di masa kecil mengaku ingin fokus menari. Lantas, apakah dengan memilih salah satu diantara dua identitas, saya mampu menyelesaikan kegelisahan itu? Awalnya, saya pikir begitu. Namun, pertanyaan tersebut menggumpal makin besar di kerongkongan, dan tak menemukan tujuan ke mana harus diurai. Saya terus menari sambil berusaha menelan pertanyaan tersebut, meskipun tak bisa.
Perjalanan menari sedari kecil mengantarkan saya untuk melanjutkan pendidikan di jurusan Pendidikan Seni Tari, Universitas Negeri Yogyakarta. Selayaknya seseorang yang menempuh studi Pendidikan Seni Tari, saya aktif berkesenian gerak, mulai dari tari tradisi, kreasi, kontemporer, hingga teater. Sejujurnya, saya tak punya arah pasti dalam berkesenian. Mungkin karena berangkat dari kegelisahan masa kecil, mendorong saya secara sporadis melakukan pencarian-pencarian jawaban di banyak ekosistem. Saya tidak peduli dengan arah kepenarian saya yang membingungkan, karena bukan output tari yang saya ingin capai. Saya menikmati pertemuan demi pertemuan dengan berharap menemukan irisan-irisan jawaban di ruang-ruang diskusi karya. Kecenderungan saya dalam menitikberatkan pencarian nilai, membantu saya lebih memaknai pengalaman proses pengkaryaan tari. Saya merespons tari sebagai sebuah bentuk representasi hidup yang indah, lembut sekaligus kuat, dinamis sekaligus harmonis. Entah sejak kapan, saya tak lagi terlalu memperhatikan tari secara gerak lahiriah, karena saya lebih menikmati proses dialog dalam pengkaryaan tersebut.
Proses belajar dari beragam komunitas, berbagai residensi, membuat saya banyak mempertanyakan kedalaman pemahaman saya mengenai tari. Apakah penari yang produktif diukur dari jadwal perform yang padat? Kapan penari punya cukup waktu memahami proses karya saat waktu ke waktu dijejali dengan olah tubuh yang sedemikian intens? Apakah karya dibuat semata-mata hanya untuk ditampilkan kepada publik? Bagaimana hasil pemikiran proses penghayatan gerak dapat membangun hidup seorang penari?
Joged Mataram, Joged Amerta
Pendalaman proses penghayatan sebagai penari tradisi berprogres seiring kematangan tubuh, daya pikir, dan kemampuan bersikap. Pemahaman karakter yang mulanya diciptakan dalam imajinasi, mulai dimaknai dalam laku hidup keseharian. Saya mencoba merefleksikan pijakan awal sebagai penari tradisi. Bagaimana selama ini saya dapat memosisikan tari klasik gaya Yogyakarta (Joged Mataram) di luar waktu latihan?
Saya mulai mengurai satu-satu dari gerak-gerak paling umum seperti pandangan mata yang tak boleh tajam menghujam ke arah penonton. Dalam pakem Joged Mataram, pandangan mata (pandengan) penari hanya boleh diarahkan setinggi tiga sampai lima kali tinggi badan penari ke depan (terkecuali tari gagah). Menurut artikel yang diunggah oleh website Keraton Yogyakarta Hadiningrat, hal ini akan mampu membentuk polatan atau ulatan (mimik wajah) dari karakter yang dibawakan. Pada tingkat berikutnya, penari akan mampu mewujudkan paseman atau pancaran yang mengekspresikan jiwa. Bagi penari Beksan Alus (tari halus), mereka perlu berlatih untuk mengolah penghayatan sehingga mempunyai pandengan yang tajam (memukau) sekaligus jatmiko (halus) untuk menyampaikan emosi secara halus.
Bicara tentang pandengan, mengelola kesadaran pandangan membawa saya pada kepekaan diri dalam mengolah kemampuan komunikasi non-verbal. Hal-hal yang saya pelajari dalam mengolah polatan tari. Cara tersebut membantu saya meningkatkan keterampilan interpersonal efektif yang sangat mungkin dilakukan melalui kontak mata di luar konteks panggung. Mengelola pandangan dan kemampuan ‘melihat’ bisa menjadi refleksi yang panjang karena terkait juga dengan bagaimana saya membaca ulang diri, pengalaman, mempersonakan diri, maupun memainkan peran dalam komunikasi aktif.
Adapun pandangan di atas sesuai dengan apa yang disebut dengan definisi tari. Menurut Soedarsono (1986:24), tari adalah sebuah ekspresi jiwa manusia melalui gerak-gerak yang indah dan ritmis. Definisi tersebut menyatakan bahwa ekspresi seseorang mampu merepresentasikan bentuk tubuh. Dalam konteks ini menjadi lebih pada sebuah karakter pembawaan seseorang. Gestur atau karakter seseorang merupakan visualisasi penyelarasan antara jiwa dan irama dalam diri. Melalui penghayatan gerak dan olah rasa, penari diharapkan mampu membantu tubuh mengolah kepekaan diri dalam berlaku dan memancarkan apa yang ada di dalam jiwa.
Dalam praktiknya, saya terus berupaya untuk membangun Joged Mataram semata-mata tidak hanya dipahami sebagai seni olah tubuh, tapi juga sebagai falsafah hidup. Jiwa dari Joged Mataram diungkapkan ke dalam empat unsur yakni, sawiji, greged, sengguh, dan ora mingkuh. Unsur ini tidak hanya diajarkan dalam seni tari, tapi juga dihidupkan sebagai landasan hidup entitas Jawa-Yogyakarta. Menurut artikel yang diunggah oleh Kundha Kebudayaan DIY, Sawiji berarti berkesadaran penuh tanpa ketegangan. Greged berarti semangat kesungguhan yang terkendali. Sengguh berarti percaya diri tanpa kesombongan. Ora mingkuh yakni tangguh, bertanggung jawab, dan berbesar hati dalam proses.
Kompleksnya kesatuan gerak dalam Joged Mataram memberikan kedisiplinan tubuh yang membentuk karakter sehari-hari. Seperti pada salah satu unsur yakni pandengan dapat memberikan pemaknaan yang luas bahkan melatih laku hidup di luar ruang olah gerak tari. Saya mulai menggali makna dari keluwesan gerak yang dinamikanya cenderung monoton. Bagaimana kesatuan antara gerak dagu, cethik/torso, dan ingset (gerakan memutar telapak kaki dengan menggunakan gajul) dikunci oleh otot core untuk menjaga keseimbangan tubuh. Transisi perpindahan berat badan dilakukan sebegitu cermat dan halusnya oleh kerja tubuh otot core. Tidak ada gerakan yang terlalu tiba-tiba dan mendadak antar ragam gerak. Hal ini memberi penekanan bagi saya bahwa tidak ada yang instan dalam sebuah proses. Tahapan-tahapan dalam hidup perlu dilalui dengan penuh penghayatan, sebagaimana tubuh yang punya kecerdasannya sendiri untuk mengatur keseimbangan dan kenyamanan geraknya.
Menguatkan otot core dalam tari tidak hanya meningkatkan stabilitas dan kekuatan fisik, tetapi juga berhubungan erat dengan pengendalian diri manusia dalam konteks chakra. Menurut Caroline E, otot core yang kuat mendukung chakra solar plexus Manipura, pusat energi yang berhubungan dengan kekuatan pribadi dan kendali diri. Latihan tari yang fokus pada core tidak hanya memberikan manfaat fisik, tetapi juga memperkuat kestabilan mental dan emosional tanpa terbebani oleh perasaan keraguan dan ketidakcukupan.
Pada tradisi Islam, pengendalian diri bersumber pada konsep zuhud dari tradisi tasawuf. Tasawuf adalah spiritualisme Islam untuk keselarasan rohani dan pembersihan hati yang juga sering disebut sufisme. Zuhud yang merupakan bagian dari tasawuf, merupakan usaha untuk melepaskan kemelekatan terhadap keduniawian. Konsep-konsep tersebut juga terepresentasi pada Tarian Sufi (Whirling Dervishes) yang merupakan tarian religius yang terinspirasi dari filsuf dan penyair Turki yang bernama Maulana Jalaluddin Rumi. Tarian yang bernapaskan Islami ini mempunyai motif gerak berputar seraya melantunkan Asma-asma Allah dan Rasulullah SAW. Gerakan diawali dengan menyilangkan kedua telapak tangan di dada dengan posisi tangan kanan di atas tangan kiri dengan tubuh menyerupai angka 1 yang diartikan sebagai visualisasi tauhid, meyakini keesaan Allah SWT. Gerakan awal ini berarti keberserahan total pada yang Maha Awal. Menurut Opsantini, pada saat menari telapak tangan kanan menghadap ke atas sedangkan tangan kiri menghadap ke bawah merupakan simbol dari hablumminallah dan hablumminannas.
Fenomena serupa pernah saya alami ketika pada 2016. Semuanya diawali dengan, keikutsertaan saya dalam program Indonesian Dance Festival mempertemukan saya dengan Suprapto Suryodarmo atau yang lebih akrab disapa Mbah Prapto—maestro sekaligus guru meditasi gerak dari Padepokan Lemah Putih. Pertemuan ini mengenalkan saya pada Joged Amerta, praktik pembebasan gerak yang membawa saya pada pengalaman mengalami penghayatan paling intim dengan diri sendiri. Gerak mengalir yang tak terikat pakem-pakem tari dalam Joged Amerta adalah sebuah pendekatan dan penghayatan untuk mendengarkan tubuh secara lahiriah, rohaniah, dalam keterhubungannya dengan alam, dan lingkungan sekitar.
Pertemuan selanjutnya dengan Mbah Prapto adalah saat saya bersama komunitas teater Kalanari mengunjungi Lemah Putih untuk menggelar pertunjukan. Selama beberapa hari kami bermalam, di sela-sela waktu persiapan, kami melakukan latihan ‘ngolet’ di antara pohon-pohon jati yang meranggas. Tak pernah saya merasa sesegar itu setelah bergerak selama berjam-jam di tanah gersang tanpa jeda. Rasa lelah, haus, pegal, dan lelah seperti saat saya menarikan tarian bentuk, tidak saya rasakan sama sekali. Dengan kesadaran penuh, mulai dari on-off-nya menjaga kesadaran di awal-awal latihan, terbayar dengan kelegaan luar biasa setelah menyelesaikan gerak. Ada komunikasi yang terbuka antara diri sendiri yang ternyata berlapis-lapis. Dalam ketelanjangan komunikasi dengan diri sendiri, ada titik-titik di mana saya merasa dekat sekali dengan Tuhan. Dengan seluruh kerendahan hati saya, saya bergerak dengan penuh intimasi dan mencoba untuk menjalin relasi tersebut.
Membicarakan keindahan selalu mampu memberi energi yang menyalakan jiwa. Jiwa yang menyala, menuntut saya pada pencarian. Hal tersebut menyertai pencarian saya sampai dengan perjalanan saya hidup di tengah masyarakat Bali, berdampingan dengan seluruh upacara keagamaan dan praktik kebudayaannya.
Pertarungan Abadi Barong-Rangda
Dua tahun hidup bersama masyarakat Bali, membuat saya tak bisa lepas dari kebersinggungan praktik-praktik ibadah yang sering dilaksanakan masyarakat Hindu. Berbekal pengetahuan mengenai pembacaan tari sebelumnya, saya mulai mencari representasi hidup masyarakat dalam kesenian yang sering digelar di pura dalam upacara keagamaan. Tari Bali tak hanya saya kagumi sebatas ragam-ragam geraknya yang dinamis, padat, meriah, dan indah. Semua gerak, tata rias, kostum, musik pengiring, dan seluruh elemennya punya teks yang padat dan narasi yang begitu kaya sehingga memberikan tawaran nilai yang lebih luhur dari sekadar tontonan.
Dalam Siwa Tattwa maupun Lontar Usada Taru Premana, Barong dinyatakan sebagai penjelmaan Dewa Siwa, sedangkan Rangda adalah perwujudan Dewi Durga/Dewi Uma sebagai saktinya (pasangan) Dewa Siwa. Dari kedua sosok tersebut, masyarakat Hindu memaknainya sebagai dua kekuatan yang berbeda dan saling bertentangan, tapi selalu menjadi satu yang disebut dengan istilah Rwa Bhineda. Dalam mitologi Hindu Bali, Barong dan Rangda dipercaya memiliki kekuatan yang sama kuat sehingga terjadi pertarungan abadi karena mereka tidak dapat membinasakan satu sama lain. Kebaikan (dharma) direpresentasikan oleh Barong dan keburukan (adharma) yang direpresentasikan dengan Rangda yang sedang murka. Tak hanya menghadirkan dharma dalam praktik beribadah, masyarakat juga sangat menghormati adanya adharma sebagai penyeimbang alam semesta. Oleh sebab itu, perbedaan sebaiknya tidak dibinasakan, tapi diselaraskan.
Dalam proses penyusunan tulisan ini, saya menemui beberapa penari Rangda yang memainkan karakter antagonis dalam pagelaran Calon Arang. Pada kalangan masyarakat umum di Bali, istilah Rangda lebih dekat pada pengertian sosok tokoh berperangai jahat yang mempraktikkan ilmu hitam untuk menghancurkan masyarakat (Wirawan, 2019). Beberapa penari Rangda yang saya temui menyatakan pendapatnya tentang bagaimana masih banyaknya stigma masyarakat yang menganggap penari Rangda adalah orang-orang yang menekuni ilmu hitam/ilmu leak.
Salah satu penari Rangda yang saya temui adalah I Putu Alit Suwantara atau yang juga akrab dipanggil Chiko Cis. Sore itu, saya mendapat kesempatan untuk menyaksikan prosesi ngayah (melakukan persembahan tari di pura) dengan perannya sebagai Celuluk-salah satu anak buah Rangda. Prosesi upacara sebelum prosesi ngayah dimulai dari muspa di pelinggih -ruang ibadah- khusus yang sengaja diruangkan di salah satu sudut rumahnya. Di sekitar ruangan tersebut, ada banyak tapel (topeng) Rangda dan Barong yang ditata rapi dengan canang segar di beberapa sudutnya.
Di dalam ruangan pelinggih, I Putu Alit memohon restu untuk kelancaran mesolah—menari dengan memuja Ida Betara Taksu dan Dewa Siwa Nataraja sebagai raja diraja kesenian dalam agama Hindu. Prosesi mundhut juga dilaksanakan di pura, lokasi ngayah pada hari tersebut untuk memohon kerendahan hati atas kebersediaan kehadiran Ida Betara agar bersedia hadir dan memanifestasikan diri dalam lakon yang dibawakan. Keberserahan ini yang selalu dirawat I Putu Alit untuk melindungi niat dari arogansi dan ambisi keserakahan manusia dalam dirinya.
Setiap melakoni amanah membawakan tari wali (tari sakral dalam agama Hindu), Putu Alit menyadari bahwa saat ngayah, ia dengan penuh sadar menyerahkan diri sepenuhnya antara hidup dan mati kepada Sang Hyang Widhi. Tak sedikit cerita mengenai gugurnya penari Rangda saat bagian unying-unyingan atau percobaan melukai diri sendiri menggunakan keris asli. Rangda akan ditusuk, digores, secara brutal oleh pelakon unying-unyingan. Segala hal yang terjadi dalam peristiwa tersebut, merupakan atas seizin Ida Betara, sehingga kemungkinan terburuk seperti kematian menjadi konsekuensi penuh penari Rangda.
Mispersepsi kepada penari Rangda yang konon melakoni ilmu kiri (ilmu hitam), menyebabkan sering disalahgunakannya pagelaran untuk adu ilmu oleh para pihak yang memang menekuni ilmu kiri. Hal tersebut menjadi rahasia umum masyarakat Hindu, sehingga apabila ada peristiwa-peristiwa khusus terjadi, maka bukan menjadi sesuatu yang mengagetkan lagi. Dengan pendalaman karakter dan penghayatan peran yang dilakoni I Putu Alit atas peran Rangda dengan seluruh karakter antagonisnya, justru ia menggunakan penghayatan tersebut sebagai upaya refleksi dan membangun ruang bermawas diri. Pengendalian diri yang matang sangat penting dimiliki oleh penari-penari Rangda untuk memberikan batas yang jelas antara dirinya sebagai pribadi sejati dan dirinya sebagai manifestasi karakter Rangda. Upacara pewintenan (penyucian) rutin dilakukan untuk memelihara kebersihan jiwa penari Rangda.
Berbeda dengan I Putu Alit yang sedari awal melakoni penerimaan sebagai penari wali dengan penuh kesungguhan, cerita menarik datang dari I Wayan Rarem, ajik (bapak) dari I Wayan Sukra, seorang penari Rangda dari Peliatan, Ubud. Dari keterangan Wayan Sukra, almarhum ajiknya sempat mengalami pergolakan batin dalam penerimaannya menjadi penari Rangda. Ia ‘terpilih’ untuk menarikan Sesuhunan Ida Ratu Ayu. Penolakan tersebut bukan sebuah bentuk ketidaktaatan melainkan muncul dari rasa ketidakpantasan diri untuk peran yang akan diamanahkan kepadanya. Dalam negosiasi tersebut, Wayan Sukra menceritakan proses sang ajik mengalami kejadian-kejadian trance dan transisi kondisi sadar-tak sadar dalam dirinya dalam rentang waktu tertentu. Pada kondisi-kondisi khusus, tarian tertentu memilih sendiri penarinya. Penari yang terpilih kemudian tak lagi punya kuasa penuh atas tubuhnya karena kepemilikan bersama atas raga tersebut dengan sosok Liyan. Proses diplomasi kuasa tubuh menjadi suatu proses pembentukan individu yang penuh bakti, sehat secara fisik untuk memampukan energi tubuh, sadar akan eksistensi psikis, dan spiritualitas yang bertransenden.
Merapalkan gerak, mendoakan tubuh
Hindu dan Islam punya cara yang unik dalam menghadirkan Tuhan dalam laku hidup dan berkesenian. Hindu melalui penghormatan dan pemujaan dengan seluruh sarana dan simbol-simbol keindahan untuk Sang Hyang Widhi. Sementara Islam dengan meneladani sifat-sifat Ilahi pada Asmaul Husna dalam mencapai usaha menjadi kekasih Tuhan yang penuh cinta kasih. Pendekatan dan penyikapan pada masing-masing ajaran memiliki kehalusan dan romansa yang mampu menggetarkan jiwa. Simbol-simbol pada dua ajaran tersebut, menawarkan keindahan teksnya masing-masing.
Meskipun saya bukan pemeluk agama Hindu, konsep Rwa Bhineda menjadi kajian diri yang lebih serius saya coba dalami. Keberterimaan atas pengelolaan diri yang tak selalu mewujud output positif, bukan hal yang perlu disalahpahami sebagai kegagalan diri memproses peristiwa demi peristiwa. Angkara murka, ambisi, dendam, dan ketidakbijaksanaan memang kadang diperlukan untuk menyalakan daya hidup yang sangat manusiawi. Seluruh emosi yang dialami manusia termasuk daur perputaran energi negatif dalam diri merupakan anugerah diberikan cuma-cuma oleh Tuhan sebagai senjata manusia melangsungkan hidup. Sebagaimana kita perlu marah untuk ketidakadilan. Nyala ambisi untuk mengkatalis proses hidup serta rasa dendam kepada derita berulang. Oleh karena tak semua hal di ranah duniawi ini pantas mendapatkan kebaikan diri kita.
Belajar dari Barong-Rangda, akan selalu ada diskursus pada penyikapan-penyikapan peristiwa yang membutuhkan kebijaksanaan dalam mengelolanya. Kebijaksanaan merupakan pengejawantahan rasa yang sangat halus. Diperlukan latihan-latihan kecil untuk mencermati sebuah peristiwa. Seperti dengan selalu menaruh curiga pada diri sendiri dan bermain-main dengan jarak pandang untuk membaca fenomena. Hal ini dilakukan demi membuat keputusan-keputusan hidup yang bisa dimaknai dengan utuh. Tuhan dan kesempurnaannya hadir dalam seluruh elemen hidup, bersamaan dengan ketidaksempurnaan makhluk yang menjadikan kita masih menjadi manusia.
Dalam tari bedhaya, sebagaimana cita-cita masyarakat Jawa adalah mewujudkan manunggaling kawula-Gusti. Titik pencapaian tersebut merupakan penyelarasan ke-aku-an diri sebagai seorang hamba kepada Yang Ilahi dengan melepaskan belenggu nilai-nilai profan menuju sifat-sifat Ilahi. Melalui kesatuan itu, maka manusia (Jawa) dapat mencapai pengetahuan (kawruh) tentang asal (sangkan) dan tujuan (paran) dari segala yang diciptakan (dumadi). Ajaran tersebut kembali mengingatkan posisi kita diciptakan semata-mata untuk melaksanakan kebaktian untuk Tuhan. Keniscayaan tersebut dapat diraih apabila kita mampu menyelaraskan pelihatan, pendengaran, perkataan, pemikiran, perasaan, dan perbuatan. Penilaian dalam usaha pemeliharaan niat-niat tulus dalam pelaksanaan tugas kita sebagai manusia merupakan kuasa prerogatif Tuhan.
Hal menarik ditemukan pada pola-pola gerak dalam ajaran agama terkaitnya hubungan dengan energi kosmos. Pada tari sufi, perputaran penari yang dilakukan dengan melawan arah jarum jam seperti tawaf (mengelilingi ka’bah) dimaknai sebagai sebuah upaya melepaskan kemelekatan duniawi untuk mencapai Ilahi. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Hindu dengan konsep Prasawiya, pola sirkulasi memutar yang berlawanan dengan pola sirkulasi Pradaksina (searah jarum jam), yaitu ke arah yang berlawanan dengan arah putaran jarum jam. Dalam tradisi Hindu Bali, praktik ini juga dilakukan pada saat ritual penyucian wilayah secara Hindu Bali yang dikenal dengan istilah Pecaruan Tawur Agung Kesanga/mecaru. Upacara ini memiliki tujuan untuk memelihara keseimbangan segala elemen jagat raya yang dilakukan pada hari Pangerupukan yang berlangsung sehari menjelang hari raya Nyepi. Dipercaya pada keduanya, bahwa melakukan putaran berlawanan arah jarum jam merupakan suatu pergerakan melepaskan energi negatif untuk mencapai kemurnian dan kesucian sejati.
Menikmati sajian tari yang lezat selalu melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru yang kembali menyebabkan rasa lapar. Para penari mampu meyakinkan penonton atas kedisiplinan tubuh dengan ketajaman akurasi geraknya. Tak selalu melalui teknik yang rumit, gerakan sederhana pun mampu merepresentasikan kecerdasan tubuh dari serangkaian intensitas latihan. Seolah tak cukup dengan menginterpretasi dan menikmati pertunjukannya, saya selalu tertarik dengan dapur panggung tersebut.
Berbicara tari berarti berdialog dengan tubuh, menelusuri pengalaman, imajinasi, suara hati, dan mungkin juga perjalanan pencarian. Tari bagi saya menjadi suatu ruang diri yang paling sibuk berkeluh kesah gelisah. Rasanya energi yang tadinya bisa menggerogoti, justru bisa berbalik jadi mengisi. Seperti yang disebutkan di atas, melalui tari saya punya ruang mengurai bahasa jiwa melalui kesadaran bentuk tubuh yang selaras dengan irama. Selain membentuk kesadaran, menari menumbuhkan serangkaian kontemplasi yang menuntut pencarian demi pencarian.
Saya mungkin tak mampu mewujudkan cita-cita orang tua saya dalam menjadi seorang pelantun Al-Quran. Namun, rupanya perjalanan spiritual dalam dunia tari yang saya lakoni seolah menjadi wujud doa dan harapan orang tua. Doa tersebut kemudian saya maknai menjadi sebuah perlindungan dalam menjalani laku berkesenian. Tari pada akhirnya turut menjadi kendaraan saya dalam pencarian spiritual dan ikhtiar saya sebagai seorang umat.
Tari dapat menjadi sebuah ritus tubuh dan pintu spiritual sebagaimana praktik peribadatan. Kemampuan kerja tubuh melalui penyelarasan diri dalam tari mampu mengantar manusia untuk menemui diri dan Tuhannya dengan cara yang sangat intim, serta mampu memberikan kebijaksanaan dalam hidup seorang penari sendiri. Kemampuan tari yang mewujud bentuk-bentuk keindahan gerakan kompleks, nyatanya mampu mengantarkan manusia pada berbagai pengalaman bermakna. Ada banyak lapisan perjalanan yang mampu diungkap melalui tari. Perjalanan antara manusia dan hidup sekitarnya, dengan dirinya sendiri, maupun dirinya dengan Sang Ilahi. Perjalanan, tak melulu selalu berorientasi pada tujuan, karena proses pencarian tersebut yang justru senantiasa diperlukan untuk daya gerak mencapai tingkatan-tingkatan hidup. Mencapai tujuan pencarian adalah keniscayaan, menyempurnakan proses pencarian adalah ketaatan.
Kepustakaan
Mamluatun K. 2021. Makna Tradisi Puasa Mutih Bagi Calon Pengantin di Desa Lebaksiu Lor Kecamatan Lebaksiu Kabupaten Tegal. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Ushuluddin dan Humaniora. Universitas Islam Negeri Walisongo: Semarang.
Opsantini, Rista Dewi . 2014. Nilai-Nilai Islami Dalam Pertunjukan Tari Sufi Pada Grup “Kesenian Sufi Multikultur” Kota Pekalongan. Jurnal. Tidak Diterbitkan. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Semarang: Semarang.
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. (2019). Srimpi Pandhelori. Diambil dari https://www.kratonjogja.id/kagungan-dalem/24-srimpi-pandhelori/
Kundha Kabudayaan. (2014). Unsur-unsur Joget Mataram. Diambil dari https://budaya.jogjaprov.go.id/artikel/detail/287-unsur-unsur-joged-mataram-sawiji-greged-sengguh-ora-mingkuh
Ohanayoga. (2021). Chakras 101: Caring For Your Solar Plexus Chakra (Manipura). Diambil dari https://ohanayoga.com/solar-plexus/
Syamsul Bakri, The Power of Tasawuf reiki: Sehat Jasmani Rohani dengan Psikoterapi Islami, Yogyakarta, Galang Press, 2009
Wirawan, Komang Indra. 2019. Liturgi Sakralisasi Barong-Rangda: Eksplorasi Teo-Filosofis Estetik Mistik Bali. Jurnal. Tidak diterbitkan. Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. IKIP PGRI: Bali
ISI Denpasar. (2011). Janda Jantan Ni Calonarang, Mengerang Garang Menantang Penguasa. Diambil dari https://isi-dps.ac.id/janda-jantan-ni-calonarang-mengerang-garang-menantang-penguasa/
The Narratives
of Indonesian
Dancescape