The Narratives
of Indonesian
Dancescape

IN / ENG

Bathara Saverigadi Deewandoro  / Bekasi – Jawa Barat

“Kala Surya Menampakkan Cahayanya”

“Kala Surya Menampakkan Cahayanya”

Bathara Saverigadi Dewandoro

Bekasi – Jawa Barat

 

“Siapa di sini yang cita-citanya jadi seniman?”

 

Itulah pertanyaan yang kerap kulontarkan pada sejumlah muridku di sanggar tari tempatku mengajar, Sanggar Tari Swargaloka. Kurang lebih 20 dari sekitar 110 murid kelak ingin menjadi seniman.

Sebenarnya, apa alasan seseorang menyukai bidang tertentu untuk ditekuni? Apa yang sebenarnya mendorong seseorang untuk berani memilih sesuatu dan menghadapi risikonya? Rata-rata mereka yang memilih “ingin” menjadi seniman datang dari latar belakang keluarga seniman, dan beberapa juga telah mengikuti latihan tari sejak kecil.

 

Jakarta, kota tempat Swargaloka berdiri, yang juga menjadi rumah utamaku. Saat ini, sanggar telah berbentuk yayasan bernama Yayasan Swargaloka Talenta Budaya yang berfokus pada ranah seni pertunjukan. Makna nama Swargaloka berarti tempat yang diharapkan mampu menjadi surganya seniman dengan prinsip “hidup dan menghidupi seni.” Prinsip yang juga dipegang oleh ayahku, Suryandoro. Pak Sur, begitu panggilannya, punya mimpi bisa memiliki sekolah berbasis seni yang melahirkan talenta-talenta seniman baru yang siap berkarya. Sudah 31 tahun ruang pelatihan ini berdiri, dirintis oleh pasangan seniman lulusan ISI Yogyakarta, Suryandoro dan Dewi Sulastri—ayah dan ibuku—dengan mimpi besar untuk menyumbangkan ide pada dunia seni pertunjukan di Indonesia.

Sejak mereka kecil, ayah dan ibuku sudah diarahkan keluarganya untuk menjadi seniman. Begitulah mereka kemudian membesarkanku dalam lingkungan seni dan budaya Indonesia, hingga aku begitu mencintai lakuku saat ini sebagai seniman—koreografer dan penari, juga sutradara seni pertunjukan. Dengan segala peristiwa yang diceritakan dan juga beberapa disaksikan langsung olehku, aku bersaksi, bagi kedua orangtuaku, “nyeni adalah cara mereka dibentuk dan membentuk”.

Dihidupkan dalam Harapan Menjadi Seniman

Bapakku lahir di Surakarta, sulung dari tiga bersaudara, sedangkan ibuku lahir di Jepara sebagai anak terakhir dari empat bersaudara. Sejak kecil, Bapak disapa akrab oleh teman-temannya dengan panggilan “Si Soer”. Ia belajar di lingkungan Keraton Surakarta, di SD Ksatriyan. Di sana, ia mempelajari instrumen kendang yang diajarkan oleh Hartono, seorang guru Karawitan. Menjadi pengendang cilik yang membanggakan adalah awal proses berkesenian yang mengesankan bagi Si Soer.

 

Dalam lubuk hati seorang bapak, pasti tersimpan keinginan yang terbaik untuk anaknya, meskipun kadang tidak semua bapak bisa mengatakannya. Kakekku begitu ingin agar bapakku dapat sukses sebagai seniman. Ia kerap mengajak bapakku sejak kecil belajar dengan guru-guru tari. Ke sanggar-sanggar itu, Kakek mengantar Bapak menggunakan sepeda, kadang memanggil guru untuk datang ke rumah, demi anaknya bisa belajar menari.

 

Jayeng Wiryoko, sosok guru tari yang sangat berkesan di hati Bapak. Bapak pun adalah murid kesayangannya. Si Soer yang sejak kecil kerap kali memenangkan kompetisi tari dipercaya untuk menari di panggung terbuka Candi Prambanan. Kariernya sebagai penari ia rintis dari peran sebagai penari Tari Kelinci. Seiring waktu, ia akhirnya sampai menjadi pemeran penting dalam kisah Ramayana, sebagai Hanoman—sosok kera putih sakti dan baik hati yang membantu perjalanan Rama menemukan Shinta. 

 

Tahun 1988, Si Soer dengan berdandan Hanoman dipercaya membawa obor perdamaian dunia yang singgah di Candi Prambanan. Itu adalah salah satu momen terbaik dalam kariernya yang sudah 15 tahun menjadi penari Ramayana di Prambanan. Keinginan untuk mencari tantangan baru membuat Si Soer mencoba peruntungan dengan mulai mempelajari wayang orang di Sekolah Menengah Kejuruan Indonesia (SMKI) Surakarta yang diajarkan oleh temannya, Joko Gede. Dari sinilah aku memahami kesetiaan bapak pada cerita wayang yang ia tuangkan dalam karya-karyanya.

 

Lain kisah dengan ibuku, kakek ibuku adalah pemain wayang orang dan juga dalang terkenal pada masanya. Buyut paternalku adalah seorang dalang bernama Kyai Mustajab, dan buyut maternalku adalah pemain wayang orang kampung bernama Mijan. Kakek dan nenekku sangat berharap dan menginginkan Lastri (panggilan muda ibuku di kampungnya) menjadi seniman besar. Lastri sejak SD belajar nyinden dari salah satu gurunya, Sutrisno, di Desa Bumiharjo yang juga merupakan desa kelahirannya. Lastri diikutkan dalam berbagai lomba sinden mulai dari tingkat terbawah sampai ke tingkat kabupaten, dan selalu membawa pulang Juara 1.

 

Ambisi untuk menjadi yang terbaik tertanam di lakunya lewat ajang perlombaan. Hal ini membuatnya semakin bersemangat untuk melatih olah vokalnya. Semakin sering bertemu sang guru dan melatih suaranya, Lastri berharap tak terkalahkan dan tetap berusaha jadi yang terbaik. Ia membanggakan bukan hanya kakek dan nenekku saja, tapi juga seluruh keluarga Mbah Buyut Mijan yang diakui sebagai salah satu seniman hebat di desanya. Lastri pada satu kesempatan bahkan pernah mengalahkan sinden ternama di kota lahirnya, Jepara. Hal itu yang akhirnya meyakinkan bapak dan ibunya untuk menjadikan Lastri sebagai seniman. 

 

Ada hal menarik dari cerita ibuku yang setengah malu untuk mengatakannya itu. Ibu pernah hampir tinggal kelas di kelas 1 SD lantaran terlalu bersemangat berkesenian. Namun, keluarganya adalah trah yang sangat berpengaruh di kampungnya—bahkan dapat dibilang salah satu keluarga yang terpandang. Dengan segala negosiasi keluarganya dengan pihak sekolah, maka naiklah Lastri ke tingkat selanjutnya. Dengan keistimewaan lahir di keluarga Mitra Mijan tersebut, bisa dibilang Lastri sering mendapatkan fasilitas yang lebih menguntungkan dari anak yang lain karena bakat miliknya juga. Bapaknya selalu mengusahakan yang terbaik agar Lastri menjadi seniman. Dititipkanlah ia pada salah satu rekannya untuk bisa belajar di SMKI yang berada di kota Surakarta.

 

Kedua orang tuaku adalah generasi kelahiran 1966. Si Soer dan Lastri dipertemukan dalam keinginan mereka untuk melanjutkan ke SMKI yang saat ini bernama SMK 8 Surakarta. Tempat ini adalah tempat mereka ditempa dan berkembang menjadi seniman profesional. Lastri pun siap dan rela harus merantau berpisah dari orang tuanya. Di sana mereka terdaftar sebagai siswa baru SMK 8 Surakarta Jurusan Tari dan di sekolah inilah mereka dipertemukan. 

 

Lastri adalah seorang sinden, ia malu harus bergaul dengan para siswa yang rata-rata adalah penari dari sanggar ternama di Kota Solo, yang salah satunya adalah Si Soer. Kelihaian mereka dalam menari membuat Lastri sangat minder dan tidak percaya diri. Sembari mulai sedikit-sedikit belajar olah gerak, seringkali Lastri justru membantu beberapa karya untuk Jurusan Karawitan sebagai sinden.

 

Lastri memang memiliki bakat tari yang terpendam atau mungkin juga ia termasuk orang yang sangat gigih dalam berlatih. Terbukti dalam satu tahun kurang ia sudah sering menjadi tokoh utama putri dalam lakon-lakon bercerita, kemampuan menarinya bahkan bisa mengalahkan penari-penari didikan sanggar, ujar bapakku dalam ceritanya. Salah seorang gurunya juga sangat terkesima dengan aura Dewi Sulastri, dan mengatakan bahwa ia adalah penari bersuara emas. Ini menyebabkan tak jarang banyak yang iri pada kehadirannya. Ibuku juga bercerita bahwa bapakkulah orang yang sangat berperan dalam menempanya untuk menjadi penari. Banyak gadis di sekolah yang iri dengan kedekatan mereka berdua, karena Si Soer juga termasuk salah satu idola sekolah.

 

ISI yogyakarta menjadi tempat meliarkan tubuh seorang Dewi Sulastri dan menajamkan pikiran kreatif Suryandoro. Ikatan cinta yang dalam, membuat keputusan memilih ISI Yogyakarta bukanlah keputusan individu tapi merupakan keputusan bersama. Mendalami koreografi di Yogyakarta membuat Dewi Sulastri mulai semakin asyik memahami tubuhnya sebagai penari.. 

 

Api yang Menemani Jalan Nyeni

Suara pintu keras diketuk, berkali-kali tanpa jawaban. 

 

“Ke mana seisi rumah? Suryandoro dan Dewi Sulastri melarikan diri,” ujar penagih hadiah kompetisi yang dijanjikan bapak dan ibuku. 

 

Di bawah kolong meja, saat itu, bapak dan ibuku bersembunyi. Sebenarnya, saat itu Bapak sudah memikirkan caranya untuk menyelesaikan masalah utang terkait hadiah kompetisi itu. Namun, para penggedor pintu itu datang lebih cepat. 

 

Bapak disalahkan oleh teman-temannya atas keberaniannya membuat kompetisi menyanyi yang menjanjikan piala gubernur beserta uang pembinaan. Sponsor gagal masuk, lomba harus terus berjalan. Piala gubernur sudah di tangan, tetapi uang masih melayang entah di mana. Hanya janji yang bisa dikatakan kepada para pemenang. Apa daya, hari demi hari mereka tak kunjung mendapat dana talangan. Pinjam kesana kemari tak didapatkan. Lalu bagaimana harus menyelesaikan ?, mereka mencoba menunggu untuk beberapa hari lagi.

 

Hari-hari mereka jalani dengan tidak tenang, aktivitas sehari-hari berjalan tapi ada yang mengganjal. Para pemenang datang, menemukan rumahnya dan menagih janji hadiah. Namanya juga manusia, ada saja ketakutan yang menguasai. Sayangnya pada saat itu rasa ketakutan terlalu besar, sehingga menutupi keberanian untuk bilang dan menghadapi untuk berkata sejujurnya saja. Motor satu-satunya dengan berat hati harus dijualnya. Dari pengalaman itulah, Bapak kerap menekankan perihal tanggung jawab, dan tujuan untuk memiliki hidup lebih tenang. Bapak selalu menekankan kepada kami untuk bertanggung jawab dengan apa yang kami pilih. Ia persis menyampaikan itu dalam percakapan saat aku dan teman-temanku hendak membuat kompetisi tari nasional.

 

Kisah penagihan hadiah kompetisi itu terjadi sebelum aku lahir. Namun, cerita itu cukup terngiang di kepalaku setiap aku akan membuat kompetisi. Semua harus dilandaskan keberanian, tapi cerita itu kadang membuatku punya ketakutan yang besar pula. Aku menyaksikan Bapak-Ibu yang selalu berjuang mati-matian bersama teman-temannya menghidupkan nyala apinya untuk berkarya. 

 

Ada hal gila lainnya yang pernah dilakukan, sekitar tahun 2008-2010, mereka membuat pertunjukan rutin di Gedung Pewayangan Kautaman setiap satu bulan sekali. Cerita baru, naskah baru, susunan koreografi baru, musik baru mereka terapkan—mereka bahkan memboyong penari putra, tokoh, dan pemusik dari Kota Solo. Dari mana uangnya? Ada yang beruntung, ada yang apes, mereka terpaksa harus berutang sana-sini.

 

Pada saat itu, aku belum pikir utang itu mengerikan. Sampai beberapa tahun kakakku yang pertama menegur bapak-ibuku. “Kalau memang uangnya enggak ada, enggak usah dipaksakan bikin pertunjukan, kumpulkan dulu,” ujar kakakku. Orang tuaku selalu menyangkal, bahwa yang mereka lakukan adalah membangun branding untuk masterpiece Bapak-Ibu yang sudah dirintis sejak lama. Kelak, ini akan menjadi warisan mereka untuk kami teruskan. Ibu bilang kepadaku pada satu obrolan ringan di rumah, “Bapak-Ibu harus berkorban malu untuk Drayang ini, untuk swargaloka, untuk siapa lagi kalau bukan untuk kamu semua”.

 

Bapak dan Ibu punya peninggalan karya yang amat sangat berharga untuk Swargaloka, Drama Wayang (Drayang). Sebuah karya yang dikembangkan dari gaya wayang orang klasik yang memadukan unsur-unsur kekinian dengan gaya yang lebih bebas dan berfokus pada menyebarkan inspirasi melalui cerita pewayangan. Drayang ini adalah salah satu produk unggulan yang juga sudah diwariskan kepadaku dan telah lebih dari lima kali aku dipercaya menjadi sutradara di dalamnya.

 

Sejak kedua orang tuaku menjalani studi di SMKI, mereka telah mengundang banyak pembicaraan di kalangan seniman wayang orang lantaran tugas akhir yang mereka kerjakan. Bapak dan Ibu yang kala itu sudah menjadi sepasang kekasih mendapatkan tantangan untuk membuat wayang orang yang tidak sama dengan RRI & Sriwedari. Wayang orang garapan baru dalam lakon “Cupu Manik Astagina” adalah embrio dari drayang, tapi masih menggunakan bahasa Indonesia. Bedanya terletak pada penafsiran atau sanggit, pengadeganan yang tidak bertele-tele, lebih dinamis, tidak menghilangkan pakem tapi lebih diperuntukkan menyederhanakan. Gaya penyajian demikian sengaja dibuat agar generasi seusianya tidak bosan dan mendapat penyegaran. 

 

Setelah pentas mereka di SMKI untuk tugas akhir, karya ini mendapatkan banyak kesempatan pentas, salah satunya pada acara hari pers nasional yang dihadiri oleh gubernur Jawa Tengah dan pembukaan kegiatan besar solo yang sampai sekarang masih bergaung yaitu maleman Sriwedari. Karya ini juga mendapatkan perhatian dalam forum besar dan kritik pun tak bisa dihindari. Dengan semangatnya, Bapak terus melanjutkan karya ini. Lakon “Cupu Manik Astagina” ini juga yang mereka pakai dengan pengembangan lain untuk festival Wayang Orang Panggung Amatir (WOPA). Terjawab sudah pertanyaanku kenapa bapak dalam beberapa kesempatan berkarir di TMII dan Drayang saat di Jakarta selalu senang mengangkat cerita Sugriwa Subali, yang justru aku sendiri belum bisa menemukan ketertarikan didalamnya. 

 

Aku seperti melihat semangatku diriku dalam berkarya di cerita bapak ini, Bapak berusaha memunculkan selera berkaryanya, ia meninggalkan jejak dirinya pada masa itu, ia ingin membawa perubahan agar pesannya lebih sampai kepada generasi seusianya. Melalui proses pembuatan karya ini, ia menceritakan salah satu keberuntungannya. Bapak pernah mendapatkan buku dari Hari Subagyo, salah satu guru di SMKI, buku itu hingga kini masih menjadi acuan kami berkarya pada saat menyusun cerita drama wayang hingga sekarang. Judul buku itu Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata.

 

Dialog-dialog yang Bapak tulis dari naskah pertamanya juga banyak mendapatkan inspirasi dari FX Subanto. Bapak bertanya dalam beberapa kali saat subuh, saat Pak Banto, begitu sapaannya, mulai beraktivitas di sekolah. Ini salah satu kegigihan yang Bapak lakukan untuk mendapatkan hasil karya yang terbaik baginya. Bapak memilih saat subuh, karena Pak Banto adalah seniman yang aktif dan sibuk sehingga salah satu caranya mendapatkan waktunya adalah saat subuh. Sembari Pak Banto menjalankan tugas dan aktivitasnya, Bapak terus menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan dialog dan pengadeganan yang menurut pak Banto baik. Ibu pernah berceletuk tentang kebiasaan Bapak ini, “Bapak memang orangnya ambisius.”

 

Terkait ini, Bapak kerap memberikan pengertian pada kami, bahwa sebagai ketua kelas dan koordinator, Bapak harus membuat teman-temannya ikut tertarik dan bersemangat dalam kegiatan yang akan dilakukan bersama ini. Prinsip Bapak adalah ia ingin membuat mereka termotivasi untuk bergerak maju.

 

Barangkali faktor menghadapi rasa jenuh ini juga yang memberi pengaruh pada pengelolaan Swargaloka. Lokasi Swargaloka yang sejak berdirinya di Jakarta selalu berpindah-pindah, mulai dari rumah di TMII, pindah ke Sasana Kriya TMII, pindah ke tempat yang lebih besar lagi di lingkungan Arsipel TMII, hingga kami diusir secara halus meninggalkan TMII dan saat ini menetap di daerah Setu, Cipayung, Jakarta Timur. Aku ingat bagaimana Bapak-Ibu waktu itu membawaku mengunjungi tempat yang amat misterius ini—area yang berada di sekitar depan gerbang utama Mabes TNI Cilangkap. 

 

Berawal dari masuk sebuah gapura tua, dengan pendopo di sebelah kanan yang ada satu makam di tengahnya. Suasana yang asri penuh pepohonan, tapi tak terawat membuat suasana justru lebih menyeramkan. Ada dua bangunan tua yang tak terawat dan sudah kosong bergaya Betawi Tionghoa yang menarik perhatian kami, di tempat inilah Bapak menyewa untuk kami berlatih. Siang itu, kami duduk di atas bangunan dengan embusan angin yang menyejukkan. Bangunan itu adalah tempat Haji Mamat (alm.) (orang yang memiliki tanah dan bangunan) melakukan praktik paranormalnya. Seperti biasa, Bapak menceritakan keinginannya, membuat taman seni Swargaloka. Taman yang indah tempat untuk belajar dan mementaskan kesenian. Salah satu cita-cita besar Bapak adalah membuat lembaga pendidikan berbasis seni dan budaya, itu sebabnya Bapak selalu memintaku terus bergerak mencari terobosan, termasuk menghadirkan School of Performing Arts di Swargaloka.

 

Bapak memang sosok yang selalu menghadirkan terobosan. Dengan nada datar, Bapak bercerita tentang bagaimana ia pernah mendorong salah satu putra Pakualaman untuk mendirikan yayasan. Puspowarno, nama yayasan itu, dipilih karena pada saat itu sang raja sangat menyukai gending Puspowarno, sehingga diusulkanlah agar dapat didirikan sebagai nama Yayasan. Cara Bapak bernegosiasi agar dapat mengikuti WOPA juga sering kusaksikan ia lakukan saat ia bernegosiasi dengan calon rekan kerjanya. Aku melihat betapa Bapak sangat cerdik untuk mengambil hati orang lain demi mau bekerja sama dan menjadikan keinginannya sebagai keinginan bersama. 

 

Mewakili nama Yayasan Puspowarno ini, ayah dan ibuku pernah menggondol dua penghargaan, yakni penghargaan Sutradara Terbaik dan Pemeran Wanita Terbaik selama tiga tahun berturut-turut. Dari penghargaan yang mereka terima ini, aku melihat betapa besarnya jiwa kompetisi kedua orang tuaku.

 

Setelah dua tahun berturut-turut menjadi juara umum pada perhelatan yang dipimpin oleh Bapak Sampan Iswanto ini, sayangnya di tahun ketiga yayasan puspowarno tidak pulang membawa piala juara umum. Wujud kekecewaan putra Pakualaman itu diungkapkan lewat pembelaan bapak. Bapak ingin memberikan kesempatan berkarya untuk rekan seniman yang lain. Kalimat kecewa itu sempat terucap dari sang putra pakualaman yang menyalahkan bapak karena tidak mau memegang kendali pada kesempatan ketiga. “Tapi ibumu,” ujar bapak dengan nada yang lebih bersemangat, tetap jadi pemeran utama wanita terbaik 3 tahun berturut-turut. Aku melihat semangat Ibu dan Bapak dalam berkompetisi ada pada jiwaku saat ini.

 

Masih ada Harapan dari  Bara yang Menyala

Aku adalah anak ketiga dari empat bersaudara yang dilahirkan di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Kota yang turut melahirkan Swargaloka sebagai sanggar tahun 1993 yang didirikan orang tuaku. Tepat pada kelahiranku di tahun 1997, kami sekeluarga pindah ke Jakarta dan orang tuaku sepakat akan mengembangkan Swargaloka di Jakarta. Pada 1997-1998, terjadi cukup banyak peristiwa penting di keluarga kami, seorang PNS melarikan diri dari Palu, seorang ibu pergi ke Jepang tiga bulan setelah beberapa bulan melahirkan putranya, dan satu keluarga pindah ke Jakarta membawa aset paling berharganya yaitu keluarga dan Swargaloka. Ibuku diminta untuk ke Jakarta oleh Sampurno. Ia begitu terpesona dengan cara Ibu berperan dalam menokohkan karaker putri di pewayangan. Ibu mengajak Bapak untuk pindah ke Jakarta. Tahun itu menjadi penanda bahwa Swargaloka harus semakin siap melesat lebih jauh. 

 

Semasa Ibu mengandungku, Bapak sudah ditetapkan menjadi PNS dan bekerja di Sulawesi Tengah. Sejak 1995, semasa bekerja di Taman Budaya Palu, Bapak selalu pulang pergi Palu-Jogja untuk membagi waktu kerjanya dengan waktu bersama keluarganya. Di sana Bapak mencipta karya yang cukup memberikan sumbangsih pada tari di Palu, berjudul Tari Maleo. Naskah tari ini berhasil mendapatkan juara 3 pada perlombaan nasional. Sedangkan di kota lain, Ibu ditemani nenekku di Yogyakarta. Nenek selalu khawatir, bukan hanya soal kondisi fisik Ibu yang hamilnya semakin besar, tetapi juga kondisi mental ibuku karena tidak didampingi suaminya saat itu. Dalam ceritanya, Nenek selalu tertawa mengenang saat-saat itu, “Hamil, kok, enggak ada bapaknya, kata orang,” ujarnya, tapi Nenek bilang Ibu cuek saja menghadapi komentar-komentar itu.

 

Itulah kenapa namaku Bathara Saverigadi Dewandoro. Diambil dari naskah I Lagaligo tentang Sawerigading dari Sulawesi Selatan, dalam ejaan Sulawesi Tengah bertuliskan Saverigadi. Saat aku mendengar penjelasan puitis dari salah satu pengisi suara pada acara puncak HUT TMII Ke-36, nama itu ditafsirkan sebagai putra langit yang berhasil menaklukkan tujuh samudra tak berkarang dengan perahu pinisi. Bapak-Ibu menandakan aku sebagai peristiwa antara hubungan pulau Jawa dan Sulawesi.

 

Kekhawatiran nenekku semakin menjadi-jadi karena pada saat itu Ibu masih menari di Candi Prambanan sebagai Shinta, turun dari tangga yang cukup tinggi dan cerita ini yang selalu diulang-ulang nenekku setiap kami sedang berdua di ruang tamu.

 

Kisah seorang bapak yang rindu berkumpul dengan keluarganya  yang selalu mencari alasan untuk kembali selalu membayangiku. Kabar akan kehamilan sang istri membuatnya semakin menjadi-jadi. Terikat dalam sebuah status dan tugas yang harus memisahkannya untuk sementara. Telepon berdering pada malam menjelang hari raya Idul Fitri tahun 1997. Ibu meminta Bapak kembali, Bapak ditawarkan untuk berkumpul saja bersama keluarganya di Jakarta oleh Sampuno dan menjadikan bapak untuk menjadi karyawan di TMII. Malam itu, Bapak mendatangi rumah kepala taman Budaya dan meminta izin unuk pulang ke Yogyakarta. “Aku harus pulang ke Yogya, orang tuaku sakit, Pak,” kebohongan harus dilakukan agar izin didapatkan. Status PNS membuat semua persoalan perizinan harus bertele-tele. Pagi itu, kebetulan ada jadwal kapal menuju Surabaya-kapal kambuna yang jadwalnya sebulan hanya 2 kali.

 

Menjelang lebaran, ramai di pelabuhan membuat Bapak kebingungan. Tiket habis, hanya nekad yang dimiliki bapak. Naiklah Bapak ke kapal sebagai penumpang gelap. Namun, sepertinya hari itu bukan hari keberuntungan Bapak. Operasi penumpang dilakukan dan Bapak ditangkap, dimasukkan ke dalam tempat seperti penjara. Bapak lantas menunjukkan kartu guru yang didapatkan dari rekan guru di tempatnya bekerja. Bapak bebas, tapi harus membayar uang tiket dua kali lipat. Uang saku yang dibawa pas-pasan, itu pun hasil utang sana sini. Bebaslah Bapak dan ia tidur di dek kapal tanpa alas dan atap. Makan juga hanya cukup untuk membeli pop mie dalam 3 malam 4 hari setelah ia menghitung sisa uangnya.

 

Keberuntungan selanjutnya adalah ketika Bapak bertemu para pedagang yang biasanya berjualan di area kantor di Palu. Mereka hendak pulang ke Sragen, para pedagang itu sungguh menghormati Bapak. Perbekalan makanannya cukup banyak, sehingga Bapak selalu ditawari makan bersama. Namun, kesempatan makan bersama itu hanya digunakan beberapa kali dan Bapak hanya menikmati pop mie sepanjang sisa perjalanan. Sesampainya di kota pahlawan, Bapak bergegas membeli tiket kereta ekonomi, dan melanjutkan perjalanan dengan harapan selamat sampai tujuan.

 

Pertemuan bersejarah bagi Bapak dengan Pak Sampurno dalam memulai kariernya di TMII akan selalu melekat di hatinya. Bapak dan Ibu diminta memilih sendiri lokasi rumah karyawan yang akan ditempatinya. “Rumah komplek”, demikian kami menyebutnya. Ini adalah rumah tempat kami belajar memahami industri seni di Jakarta. TMII sebagai pusat berkumpulnya kesenian daerah yang mengenalkan kami dengan seni nusantara lewat program-programnya. Ibu sebagai penari aktif seringkali pergi keluar negeri meninggalkan kami di Jakarta untuk misi kesenian, baik itu dari Pelangi Nusantara maupun dinas di lingkungan DKI Jakarta. Misi kesenian dengan kurun waktu yang cukup lama. Bapak pun sudah disibukkan dengan kerjanya sebagai karyawan di TMII. Kami seringkali ditinggal di rumah bersama pengasuh yang beberapa kali berganti hingga aku duduk di bangku SMP.

 

Bapak-Ibu akhirnya menjadi seniman Jakarta yang aktif dan aku sangat sibuk berkarya. Siang hari aku banyak bermain dengan kostum, kaset, video tari di rumah saja. Bapak-Ibu akan pulang sore hari dan melihat kostum yang sudah berantakan. Saat SMA, bahkan aku dan kakakku sudah terbiasa dengan rapot yang tidak diambil oleh orang tua atau mengambil rapot di hari setelah masuk sekolah semester baru.

 

Waktu mereka bekerja lebih sering daripada waktu bersama kami, maka aku menjadi anak yang paling sering tantrum hingga disebut ara hombeng (dari bahasa Jawa gembeng artinya menangis). Aku baru menyadari itu cara yang aku lakukan untuk bisa terus bersama mereka. Semua permintaan harus dituruti, salah satunya melengkapi seluruh boneka karakter kartun spongebob squarepants. Sedangkan kakakku yang kedua di titipkan di TPA, adikku di rumah tante ku, dan kakak ku dirumah bersama pengasuh kami. Rupanya, Bapak & Ibu benar-benar sangat menikmati berkesenian di ibukota ini.

 

Padahal, Bapak tidak pernah berharap jadi seniman, bahkan Ibu pun menceritakannya pada wartawan koran, bahwa ia tidak berminat bekerja jadi seniman. Kata-kata itu sangat bertolak belakang dengan apa yang mereka sudah jalani sejak kecil. Tidak pernah terucap dari kakekku Bapak harus menjadi seniman, tapi apa yang diberikan kakekku mengarahkannya untuk ke sana. Semua diusahakan untuk hidup dalam dunia seni, hingga Bapak sendiri bisa memutuskan untuk masuk SMKI, melanjutkan ke ISI Yogyakarta dan bekerja di lingkup seni. Bapak memang pernah bekerja menjadi tim pemasaran di hotel, menjual ayam, dan semuanya banyak dicoba tapi pada ujungnya seni adalah jalan yang membawa keberuntungan pada hidupnya. 

 

Aku pun tidak tahu apa alasan Ibu pernah berkata demikian, tapi cara Ibu melarangku sekolah di jurusan seni murni, telah memberi jawaban tersendiri. Bagi Ibu dan Bapak, seni butuh ditopang dengan aspek lain agar jauh lebih hidup. Mereka meyakini anaknya bisa mempelajari teknik tari dan membuat karya dengan cara terus mencoba, intinya terus berkarya hingga mendapatkan apa yang dicari. Mereka memperkenalkanku pada teman-teman seniman Bapak-Ibu untuk belajar. Sisanya, Bapak-Ibu memintaku untuk belajar bagaimana menjadi Artpreneur.

 

Memilih Sinar yang Paling Benderang

 

“Suryandoro ini tuyul,” tegur direktur utama TMII sekitar tahun 2010 di depan 700 karyawan yang sedang melakukan evaluasi di Sasono Langen Budoyo TMII. Bapak menceritakan padaku bahwa pada saat itu Bapak juga bekerja sebagai bagian dari Senawangi, sebuah organisasi pewayangan Indonesia untuk membuat pertunjukan. Seperti kegiatan lainnya, dibutuhkan dana yang besar dan tersebarlah salah satu proposal itu ke Dirut TMII oleh tim tanpa sepengetahuan Bapak. Dimana tanda tangan di proposal adalah tanda tangan bapak. Bapak dituduh mengkhianati TMII karena ingin mencari keuntungan sendiri, sehingga membuat dirut TMII emosi dan merasa terkhianati.

 

Di Depan 700 karyawan bapak ku berdiri dan menyampaikan apa yang dilakukannya, bahwa ia sebenarnya juga berusaha untuk menghidupkan Gedung Pewayangan yang itu juga adalah salah satu bagian dari peninggalan bu Tien. Bapak juga sempat menyinggung beberapa program TMII saat itu tidak menjadikan seni dan budaya sebagai prioritas. Menurut bapak jantung dari TMII adalah seni dan kebudayaannya. Atas keberaniannya itulah tuyul TMII itu ditantang untuk menjadi ketua HUT TMII ke -36, pertama dalam sejarah TMII seorang kepala bagian menjadi ketua acara HUT dan melampaui beberapa manajer diatasnya. 

 

Bapak ibu adalah sepasang kekasih yang sama – sama memutuskan mencabut status PNS nya. Kami bisa memahami keputusan itu dan sangat mendukungnya, terutama ibu. Karena pada saat ibu keluar dari PNS kami sudah cukup dewasa untuk melihat permasalahan. Dulu ibu diangkat oleh Senawangi bersama beberapa teman lainnya yang juga merupakan pelaku wayang orang untuk diangkat dalam status PNS. Kerja yang dilakukan adalah mengembangkan kesenian wayang di masing – masing komunitas dibawah naungan Senawangi, tidak dibebankan urusan administrasi. Seiring pergantian kebijakan pemerintah akhirnya hal itu tidak bisa dilakukan dan dipindahkanlah mereka semua ke berbagai bidang yang mengurus administrasi. Sebagian di kemendikbud, galeri nasional, dan beberapa tempat lainnya. Sayangnya Ibuku memang tak pernah ada niatan bekerja didepan komputer yang harus mengurus administrasi dan itu juga merupakan kelemahannya.

 

Beberapa tahun coba dijalani, meski hati ibu terus bergejolak ingin lari. Mungkin belum masih tahap penyesuaian keadaan. Semakin lama diperhitungkan untung rugi materi dan hati akhirnya keputusan besar dilakukan, Ibu mencabut berkas sebagai PNS. Beberapa tahun sebelum itu, bapak yang juga sedang berada di puncak tertinggi pekerjaannya di TMII sebagai direktur Informasi mengajukan pensiun dini. Padahal bapak sedang memiliki banyak program hasil pemikirannya, salah satunya membuat TV Budaya, Majalah Nawala, dan meresmikan perpustakaan TMII, 19 tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengabdi kepada TMII. Keputusan keduanya memperlihatkan keberanian untuk mengambil hal yang paling esensial untuk hidup kami sekeluarga, juga untuk kebebasan jiwa seninya.




Surya Gemilang

 

Cita-citaku untuk bisa menjadi seniman hebat Indonesia sejak SD selalu diperkuat dengan banyak hal. Salah satunya adalah kisah orang tuaku. Kerja dan keluarga, rumah dan ruang kerja, definisi semua itu tidak dapat terpisah di rumahku. Kapan pun itu, selalu ada harapan bagiku untuk melanjutkan perjuangan Bapak-Ibu.  Bapak-Ibu terus memintaku untuk jadi inspirasi, Bapak dan Ibu pun berlaku demikian. Aku mempertanyakan kenapa begitu penting bagi Bapak untuk terus menjadi sosok yang menginspirasi? Karena dengan itu, ia akan belajar terus untuk memperbaiki diri, selalu termotivasi untuk jadi lebih baik, jadi semangat untuk terus berkarya.

 

Kerja-kerja kesenian yang kualami bersama orang tua yang seprofesi ternyata cara Tuhan mencipta harmoni. Segala persoalan yang ada, termasuk perbedaan generasi antara kami dalam menanggapi masalah, adalah bumbunya. Aku pasti pernah menyakiti hati orang tuaku, karena argumen soal pekerjaan kami yang tak sepaham. Namun, mereka bukan tipikal generasi yang kolot dan menentang caraku berkarya dengan seliar-liarnya. Mereka mau mendengar apa yang ingin kusuarakan. Mereka mempercayakan konsep program dan isi karya padaku, dan berharap besar agar aku tidak berhenti.

 

Hidup sebagai pewaris tahta rumah Swargaloka ini bukan hal yang mudah meski mewah. Hidup kami sudah untuk orang lain, yang bahkan tidak sedarah dengan kami. Misi yang harus terus dilakukan telah diletakkan di pundak kami, anak-anaknya. Bapak-Ibu berharap perjuangannya dilanjutkan. Berlaku seperti filosofi logo Swargaloka “hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia”. Itu kenapa Bapak adalah Surya untuk anak-anaknya. Pernahkah kita mengucap terima kasih kepada matahari yang telah menyinari kita? Pertanyaan itu akan kujawab dengan caraku, “Wahai Surya, aku akan membuatmu bangga dengan sinarmu yang telah menghangatkan tubuhku, kini izinkan aku untuk menerangi.”

 

 

The Narratives
of Indonesian
Dancescape