Dani S. Budiman / Cilacap – Jawa Tengah
“Ngopeni Indang: Meraba Sisa, Merapal Makna ”
“Ngopeni Indang: Meraba Sisa, Merapal Makna”
Dani S. Budiman
Cilacap – Jawa Tengah
Ebeg dan Laku yang Janggal
Ebeg sebagai laku, telah mengakrabkan diri saya pada praktik kesenian tari. Kesenian ini tumbuh dan berkembang di wilayah karesidenan Banyumas, mencakup Cilacap, Purwokerto, Kebumen, Purbalingga, dan Banjarnegara. Secara umum, kesenian ini sering dikenal dengan sebutan Kuda Lumping, yaitu properti kuda yang terbuat dari anyaman bambu. Ebeg masih menjadi kesenian yang digandrungi oleh masyarakat Banyumasan, khususnya Cilacap, tempat tinggal saya. Ebeg seringkali dipentaskan pada acara-acara yang bersifat ritual seperti nikahan, khitan, bersih desa ataupun yang sifatnya festival. Sebagai peristiwa, kesenian ini tidak lepas dengan nuansa nilai-nilai spiritual. Adanya sesaji, mantra, tirakat dan jejimatan senantiasa membersamai saya dalam praktiknya. Menilik jauh ke belakang, akumulasi pengalaman selama menjalani kesenian ebeg adalah sumber pencarian dalam praktik kesenian saya saat ini. Pencarian tersebut menggugah segala hal yang hubungannya dengan praktik ketubuhan maupun persinggungannya dengan persoalan lain. Salah satunya tentang wuru.
Wuru menjadi salah satu bagian yang paling ditunggu pada setiap pertunjukan ebeg, Sebagai sebuah gestur, wuru mencerminkan keadaan manusia yang tidak beraturan, yang seolah hilang akal, seperti tubuh tanpa otak. Mempertontonkan keadaan manusia yang seolah hilang kesadaran. Dari melenggok mengikuti irama hingga bertingkah seperti hewan, membanting badan, melompat, berguling, memakan pecahan kaca, menyayatkan benda tajam, memakan makanan mentah dan segala tingkah tidak normal lainnya. Wuru dipersepsikan kepada saya sebagai sebuah laku dari terjalinnya komunikasi manusia dengan roh leluhur. Sebuah gambaran perjuangan para prajurit melawan penjajah, yang lelah, frustrasi, hilang kontrol dan kesadaran. Semacam satire, yang menegaskan keberadaannya sebagai ekspresi dari nilai-nilai kebudayaan yang sifatnya resisten.
Secara realitas, sebagian besar masyarakat sering mengartikannya dengan istilah kesurupan, sebuah peristiwa masuknya roh ke dalam tubuh para penari. Berbeda dengan di Bali yang mengartikan praktik sejenis wuru dengan istilah kerawuhan, yang berarti didatangi. Sebagian besar masyarakat Bali meyakini bahwa kerawuhan adalah tentang adanya pesan juga imbauan yang diisyaratkan para leluhur kepada yang hidup. Atau di jawa bagian timur yang menyebutkanya dengan istilah ndadi yang berarti menjadi. Sebuah proses bertransisi, meniru atau menubuhkan segala hal di luar diri, embodied. Maka tidak heran, jika oleh kalangan tertentu wuru berada pada kerangka pikir yang seolah tidak rasional ataupun janggal.
Lebih lanjut, membahas wuru juga lekat hubungannya dengan Indang. Sukrisman, salah satu budayawan Banyumas, menyebutnya sebagai “Sejumput energi dari leluhur yang masih menaungi kita.” Ia menjelaskan lebih lanjut, “Para indang ini kelangenan (rindu) merasakan sensasi indrawi lagi, termasuk makan dan pesta.” Sukrisman juga menegaskan bahwa indang “jangan diartikan sebagai setan, indang itu pamomong suatu entitas yang merawat kita tapi tidak terlihat, indang mudah diatur, setan tidak.” Nyatanya, indang sudah menjelma menjadi obrolan ringan di dalam tongkrongan, semacam barang kepemilikan seperti halnya peliharaan yang perlu terus dirawat.
Mengamati lebih dalam tentang indang, muncul beberapa spekulasi dari beberapa kalangan akademis, salah satunya Azis, seorang mahasiswa Antropologi UGM. Sebagai seseorang yang lahir di wilayah Cilacap yang langsung berbatasan dengan provinsi Jawa Barat, Azis justru fasih berbahasa Sunda. Azis menerka bahwa sebutan indang juga besar kemungkinan berkaitan dengan inang. Karena di dalam bahasa Sunda, ketika konsonan “n” dan “d” bertemu maka huruf “d” akan dimatikan penyebutannya, misalnya handuk yang berubah menjadi hanuk. Azis menerka bahwa pencampuran bahasa ini juga perlu diperhatikan, termasuk indang yang juga berarti inang. Sebuah sumber atau biang atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai seorang yang merawat Yang dalam pengertian masyarakat Banyumas pamomong, seperti yang telah dijelaskan oleh Sukrisman sebelumnya.
Untuk merawat indang, biasanya seseorang yang melakoninya harus melalui berbagai macam tirakat, di antaranya lewat puasa mutih, puasa senin kamis, pati geni, mandi kembang serta ziarah ke tempat-tempat yang dianggap keramat. Saya menjalaninya selama bertahun-tahun, dengan keyakinan ngopeni indang atau merawat indang agar tidak terjadi malapetaka, seperti halnya ponsel pintar yang butuh diisi kuota. Tampaknya pandangan tentang indang memang perlu dipadankan dengan realitas yang konkret, yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, demi meminimalisir kesalahpahaman yang justru menyudutkan. Saya memaknai indang sebagai sebuah spirit yang dapat hadir di segala ruang tanpa terkecuali, indang adalah sebuah daya dari kesadaran interdimensional yang tidak tampak, tetapi ada. Sifatnya menubuh, dan dapat mewujud dalam segala hal bahkan berkaitan dengan aktivitas sehari-hari.
Keberadaan Indang seolah menjadi semacam entitas yang hadir merasuk ke dalam tubuh lalu menjadi bagian dari ketidaksadaran yang disadari. Kesadaran yang kedatangannya tiba-tiba tapi akhirnya kembali mengingatkan segala energi yang pernah dituangkan lewat pertemuan dengan berbagai tempat, figur, maupun yang berbetuk material. Oleh karenanya, dalam upaya menjangkau ingatan tersebut, saya mencoba melakukan perjalanan serta pertemuan pada beberapa hal seputar tempat, figur maupun material yang setidaknya mampu mengantarkan saya pada pencarian tentang indang agar berdiri pada persepsi yang relevan pada hari ini.
Berjalan dan Bersaksi
Dalam perjalanan tersebut, saya mencoba mengetengahkan kesaksian tentang bagaimana saya memaknai setiap hal yang saya temui sebagai bentuk perpanjangan dari pengertian indang yang lebih luwes dan mudah dipahami sebagai spirit yang terus hadir. Proses untuk memaknai setiap hal agaknya memang suatu pilihan yang melelahkan, tetapi akan lebih berarti jika dibanding dengan hanya menampung rasa sesal dari kegagapan menghadapi realitas. Mengenali secara saksama setiap peristiwa menjadi seolah kebutuhan dalam memberdayakan diri sebagai yang hidup. Salah satunya dengan cara menggoreskan kesaksian atas apa yang telah disaksikan, mencakapkan diri dan hadir dalam peredaran, hingga memunculkan gerakan-gerakan makna yang kemudian saling terhubung. Melakukan investigasi terhadap bercak-bercak peristiwa yang sempat terpunggungi, serta mengurai setiap gulungan makna, dengan maksud meneladani sebuah pertemuan.
Pada suatu kesempatan, saya memulainya dengan menjangkau ruang—ruang paling dekat yang berada di sekitaran saya saat ini. Saya melakukannya dengan berjalan kaki, sebuah cara bepergian paling lamban, tapi saya meyakini bahwa itu adalah rute tercepat untuk mengenali diri secara autentik. Saya berjalan kaki untuk mengingat sekaligus menjangkau segala hal yang dirasa berjarak. Bagi saya, pagi, siang, sore dan malam memiliki gestur masing-masing ketika dilihat secara meruang pada lanskap sosialnya. Karenanya, saya memilih pagi untuk menghindari sisa-sisa energi pada setiap pertemuan yang terjadi, sehingga apa yang saya temui adalah bagian dari kesaksian yang penuh. Termasuk pelibatan pengalaman indrawi yang membantu mengantarkan saya pada berbagai spekulasi tentang makna indang.
Justru di pagi hari, saya melihat tubuh-tubuh bergerak begitu cepat, seolah sedang berlomba mengejar apa yang dirasa mampu menyejahterakan. Tubuh-tubuh tersebut berlalu lalang menaiki kendaraan bermotor, terdapat gestur yang mengabaikan kehangatan pada beberapa pertemuannya. Mungkinkah itu bagian dari ketidaksadaran yang disadari seperti halnya indang? Bagi saya, hal tersebut seolah bagian dari wuru sosial yang saya temui di luar dari realitas dalam kesenian ebeg. Sebuah pergerakan sosial yang cenderung tidak beraturan, tapi sebenarnya saling terhubung. Seperti para penari ebeg yang sedang wuru dimasuki indang bergerak massal di tengah kalangan pentas, tampak ramai juga saling terhubung.
Dapur: Indang dalam Bilik-bilik harapan
Saya menyusuri setiap jalan bertemu dengan berbagai macam Indang yang terus berkelindan membersamai setiap peristiwa di segala tempat tanpa terkecuali. Indang hadir di sudut-sudut warung kopi, berjejal di pusat perbelanjaan, saat orang-orang menyibukkan diri pada produk industri massal, serta merambah pada ruang-ruang terkecil yaitu keluarga. Ruang-ruang yang sarat akan keterhubungan, seperti ketika saya melihat dapur sebagai ruang yang mengingatkan saya pada segala gal tentang ibu. Ibu banyak bergulat di dapur, menjadikan dapur sebagai tempat untuk dia bertahan hidup, setiap hari ia menghidangkan berbagai menu andalan demi pundi-pundi kewarasan. Menangani kompor dengan dua tungku yang kadang sulit ia kendalikan, terus nyala-padam antara satu dan lainnya. Tak jarang juga, kobaran api menari-nari melukai tangannya. Ia adalah orang yang akan menghindar dalam mengungkapkan rasa sakit. Rasa pedih itu terungkap hanya melalui mata yang sembab karena irisan bawang dan kepulan asap. Harinya banyak dihabiskan di dapur. Ia mengakrabkan diri dengan api dan pisau, begitu lekat tanpa sempat berpikir syahwat, keramat.
Saya meyakini, dapur menjadi sangat personal jika dilihat sebagai yang “non benda”, keberadaannya mampu merefleksikan kehidupan secara arif. Melalui dapur, saya melihat masih adanya gairah dari sisa-sisa kemampuan untuk terus menghidupi. Setidaknya menjadi ruang aman dari kondisi yang serba sulit. Sebuah titik masuk dalam membangun kembali pondasi kehidupan, sekaligus ruang tempat saya mampu menghubungkan diri kembali dengan Ibu, bertemu serta berdialog dalam skala yang lebih intim. Bersama mengurai berbagai hal yang dirasa mengganjal lalu mencari jalan keluar. Melebur meminggirkan sedikit beban atas hak dan kewajiban dalam tatanan ibu dan anak, kami saling asuh dan mengasihi.
Daya Hidup: Indang Tubuh dan Upah
Langkah demi langkah terus saya jalani, hingga mempertemukan saya dengan salah seorang pria paruh baya yang sedang menguliti sisa-sisa ban mobil. Namanya Wahono, ia adalah Bapak dari tiga orang anak yang saat ini berusia 52 tahun. Saya menghampirinya, mencoba berbincang bermaksud mengakrabkan diri. Kami membahas segala hal seputar usaha ban yang telah digelutinya selama hampir 30 tahun. Ia bertumpu pada usaha ban bekas untuk menjaga roda-roda kehidupan. Pak Wahono senantiasa membagikan perjalanan hidupnya, dari membuka tambal ban, bekerja sebagai karyawan yang memproduksi perabotan berbahan dasar ban, hingga akhirnya memutuskan untuk membuka sendiri usahanya, dengan menyediakan olahan mentah sebelum dikreasikan menjadi bentuk perabotan rumah tangga.
Sosoknya sangat ramah serta komunikatif, seperti halnya Ibu, bedanya ia banyak menghabiskan hari dengan ban-ban bekas. Beberapa kali saya diperlihatkan bagaimana dia menguliti setiap ban dengan begitu presisi. Dengan menggunakan sebilah parang dan satu besi pengganjal, ia membagi ban menjadi beberapa potongan. Aktivitas itu dilakukannya seorang diri setiap hari, tanpa seorang pun yang datang sekadar menemani mengobrol. Ia hanya ditemani dengan alunan musik dari radio tanpa mengonsumsi rokok ataupun kopi, tidak heran jika Pak Wahono mampu menguliti ban dengan begitu presisi. Saya membayangkan bagaimana harinya ditempuh dengan aktivitas yang terus berulang-ulang, seperti seolah ritual yang terus terjaga, ia terlatih berada dalam kesadaran yang penuh, menghubungkan diri pada ban, menguliti dan membaginya menjadi tumpukan harapan. Begitulah, indang menjelma sebagai daya untuk menghidupi, bahkan menyentuh pada ruang-ruang yang privat.
Saya menjalani kesenian ebeg juga dilatarbelakangi dengan berbagai alasan terkait kehidupan yang dirasa sulit. Tidak heran jika ebeg, akhirnya saya posisikan sebagai ruang eskapis sekaligus sumber dari mata pencaharian saya saat itu. Bentangan pengalaman di dalamnya, merambah begitu banyak hal yang senantiasa terpatri dalam ingatan saya hingga saat ini. Hal terebut tidak lepas dengan permasalahan finansial. Saya adalah anak pertama dari dua bersaudara, di rumah, saya berperan sebagai satu-satunya laki-laki di antara adik dan ibu saya. Bapak saya meninggal di tahun 2012, saat itu saya berusia 12 tahun dan adik saya hampir menginjak 6 tahun. Sejak saat itu, pendapatan perekonomian hanya berasal dari satu sumber yaitu Ibu. Sedangkan, kebutuhan yang harus dipenuhi lebih banyak daripada pendapatannya, sehingga persoalan seperti pendidikan dan hak kebutuhan primer dari seorang anak tidak tercukupi. Segala hal yang mulanya lantang menjadi gagap, yang lawak menjadi sendu, dan yang mampu menjadi tidak mampu. Keadaan yang tentu mengajak saya untuk akhirnya melampaui segala batas ketidakmampuan. Meniadakan hak-hak yang sepantasnya saya dapatkan sebagai seorang anak.
Peralihan kehidupan tersebut sangat saya rasakan, eskalasinya menurun lalu menginjak hingga pipih. Ebeg menjadi sebuah ruang yang menawarkan alternatif untuk membantu saya dalam memompa keberlanjutan hidup. Estimasi waktu yang saya jalani dalam satu kali pementasan masing-masing lima jam, baik siang maupun malam, yang jika diakumulasi sebanyak sekitar sepuluh jam dalam sekali pementasan. Saya meluangkan waktu di sela-sela sekolah dan bermain untuk menjalankan aktivitas berkesenian untuk menerima upah. Konsekuensi atas waktu dan tenaga yang selalu beriringan dengan pilihan hidup tersebut harus senantiasa saya hadapi. Oleh karenanya, pada saat itu, ebeg lekat hubunganya dengan persoalan tubuh dan upah, saya menari, membanting dan menyayat badan lalu pulang menerima upah.
Melalui perjalanan tersebut, saya semakin dibentangkan oleh banyak hal yang mulanya tak nampak menjadi ramah, hingga memberi bingkisan pengetahuan. Saya meyakini, bahwa setiap tempat adalah medan makna yang terus memproduksi lintasan pengetahuan, dengan saling bersinggungan bahkan bertabrakan dalam suatu waktu. Masuk dan mengalami setiap peristiwa dengan sadar menjadi cara untuk saya membongkar kembali kepekaan terhadap realitas. Salah satunya dengan pendekatan melalui aktivitas keseharian yang datang dari orang-orang di sekitar.
Indang: Tubuh dan Pelucutan Rasa Sakit
Saya menjalani aktivitas berkesenian dengan giat bukan saja hanya karena ada ancaman atau tekanan, melainkan juga karena adanya semacam struktur diskursif yang menjamin upah tinggi. Secara realitas, praktik berkesenian ebeg yang saya jalani tidak hanya berkutat pada persoalan tari, tapi juga merambah pada praktik-praktik yang mengharuskan saya melakukan kemungkinan menjebol batas-batas kemampuan, yaitu wuru. Sebuah kondisi saat saya harus berlaku seperti hewan ataupun citra lain yang bertingkah tidak sewajarnya manusia normal. Sebuah keadaan saat tubuh dianggap sedang dalam fase dirasuki oleh roh, demit, setan atau semacamnya dalam pengertian yang berkembang di lingkup penggemarnya.
Untuk memeroleh tingkat kepuasan penonton, citra tersebut juga dicapai dengan pertunjukan yang atraktif. Atraksi yang sebenar-benarnya saya capai dengan proses latihan yang kreatif, dengan menciptakan berbagai siasat dalam pola permainannya. Saya hanya diminta untuk membiasakan diri menahan rasa sakit dan melucuti perasaan takut. Tentu dalam perjalanannya tidak jarang saya menghadapi kegagalan dan mengalami berbagai kecelakaan. Pola permainan yang saya lakukan meliputi memecut diri dengan pecut, mengantamkan sebilah bambu ke kepala, punggung, tangan dan kaki, membuka kelapa dengan gigi lalu membelahnya menggunakan kepala, menyayatkan sebilah golok ke seluruh bagian tubuh, memukuli diri dengan puluhan batang duri salak, mengoyak pecahan kaca, memakan telur mentah hingga ayam hidup-hidup. Yang dalam perjalananannya tentu terdapat kesalahan-kesalahan teknis yang mengakibatkan saya terluka.
Saya ingat betul ketika di tahun 2013, tepatnya pada saat saya menjalani pementasan pada acara selametan bersih desa di Dusun Rangkasan, Desa Meluwung, Cilacap. Saat itu pertama kali saya terluka memainkan atraksi duri salak. Darah mengucur dari bagian pundak dan punggung, semua orang berteriak, gamelan terus dimainkan. Saya masih terus menari sambil menyayatkan duri ke tubuh saya tanpa sadar bahwa saya terluka. Hingga beberapa orang menghampiri lalu menyelimuti tubuh saya dengan kain. Gamelan terhenti, saya dipeluk dan dibawa ke dalam rumah. Situasi hening, penonton menghampiri, mengintip lewat pintu, masuk lewat dapur, datang mengelilingi. Tidak selang lama, saya dibawa ke puskesmas terdekat, dan pertunjukan terus dilanjutkan. Kejadian serupa juga saya alami ketika saya mengalami kesalahan memainkan atraksi golok, saat itu saya ditabrak oleh salah seorang penonton yang bermaksud untuk ikut berpartisipasi. Apesnya, golok terlepas dari tangan saya dan menancap di bagian punggung kaki sebelah kiri, darah mengucur dan segera orang-orang menggotong saya ke ruang transit untuk kemudia diobati.
Selain itu, kira-kira di tahun 2010, saya juga pernah mengalami kejang-kejang ketika pertama kali melakoni latihan memakan ayam hidup-hidup. Saat itu saya bersama tiga orang lainnya—satu orang bertugas membunuh ayam yang masih hidup lalu dilanjutkan untuk dirobek-robek dagingnya oleh saya dan satu teman lain. Sebelum itu, saya diminta untuk bertingkah dengan sangat kesetanan, berguling, melompat, serta membanting badan. Hal tersebut dilakukan guna terbangun mental sebelum melakukan atraksi memakan ayam hidup-hidup. Saya merasakan kegetiran darah dan daging mentah yang sesekali tertelan dan bertahan lama hingga beberapa hari pasca latihan. Hari itu saya kejang-kejang, mungkin disebabkan oleh mental yang belum siap. Aktibatnya sejak hari itu saya sempat menghindari untuk mengonsumsi olahan ayam dalam kurun waktu yang cukup lama.
Sebagian besar dari material tersebut seringkali saya jumpai di kehidupan sehari-hari, termasuk fungsinya yang seolah menjadi sangat ramah dalam pandangan saya saat ini. Tentu karena keberadaannya telah melampaui berbagai peristiwa, yang pernah melukai sekaligus memberdayakan. Tapi sayangnya, keadaan yang terbilang mengancam keselamatan semacam itu, tetap menjadi suatu hal yang permisif karena dianggap sebagai peristiwa mistik yang mempertontonkan kesaktian para pemainnya. Padahal, sejatinya hal tersebut tidak lebih dari hanya penanaman keyakinan untuk melucuti rasa sakit ketika berkeinginan untuk menjadi seorang pemain ebeg yang handal. Pelatihan yang intens harus terus dilakukan, termasuk bentuk penjagaan diri melalui cara berpuasa dan menjalankan beberapa ritual yang telah disepakati bersama penimbul (dukun ebeg) juga senantiasa harus diterapkan dalam lakunya. Pengalaman-pengalaman tersebut tetap lekat dalam ingatan saya hingga saat ini. Indang saat itu menjelma menjadi sebuah bentuk ketahanan tubuh, semacam spirit eksistensial untuk membuktikan diri dalam kondisi yang serba sulit.
Memulangkan Diri pada Sisa-Sisa Kehidupan
Kali ini saya akan menyeberang lebih jauh, menjangkau perjalanan yang telah lama berjarak. Mengetengahkan pertemuan antara saya dengan berbagai hal yang bersifat lampau, tapi terus mengiringi kehidupan saya hingga saat ini. Hal tersebut juga menakar banyak tafsir serta makna. Saya mengira, bahwa kesadaran tersebut semakin penting untuk terus ditandai, agar tercipta ketajaman daya reflektif pada diri setiap orang. Dengan begitu, kehidupan tidak dimaknai secara dangkal, bahkan jika itu berada dalam ruang yang sangat personal. Bagi saya, pertemuan antara saya dengan berbagai sisa kehidupan selalu meninggalkan hikayat. Seperti ketika saya mendesak jendela-jendela realitas yang sesungguhnya telah usang termakan rayap, memaksanya untuk terus kokoh menampung segala kesaksian dari segala yang telah lenyap.
Perjalanan ini saya maknai sebagai perjalanan merawat, atau dalam istilah Jawa Banyumasan disebut Ngopeni. Pemaknaan dari bentuk kepulangan yang sebenarnya baru saya sadari belakangan ini. Kesadaran yang bertolak dari perjalanan yang penuh emosi ketika saya mengunjungi makam Bapak di Cirebon, kota yang juga sempat menemani masa kecil saya setidaknya sampai menginjak umur lima tahun.
Gugatan pada Sepetak Makam
Saat itu tahun 2018, seminggu setelah saya merampungkan Ujian Nasional di tingkat SMK, saya bergegas menuju ke Cirebon. Perjalanan yang telah lama saya rencanakan, mungkin juga termasuk bagian dari nazar yang harus saya bayar. Tujuan utamanya adalah mengunjungi makam Bapak, berziarah lalu melanjutkan lawatan ke rumah kediaman. Setelah turun dari Terminal Cirebon, saya berniat untuk rehat sejenak sambil mencari tempat makan di area sekitar terminal. Seperti biasa, aroma empal gentong telah menyambut hangat, menguap sedap menyengat bagian olfaktori hidung saya. Tidak ada pilihan lain kecuali singgah dan melepas kerinduan mencicipi kudapan empal berkuah kental khas Cirebon.
Tidak selang lama, saya melanjutkan perjalanan menuju makam. Saat itu, saya memilih untuk menggunakan ojek bentor (becak motor) sebuah bentuk perlawanan saya setelah sekian tahun menyimpan perasaan trauma atas kecelakaan yang pernah menimpa saya, Bapak, dan Ibu. Setidaknya dalam segala keterbatasan, saya ingin mengatakan bahwa tidak ada lagi kesediaan dalam diri saya untuk menampung rasa takut. Sesampainya di makam, saya diarahkan salah seorang penjaga menuju komplek pemakaman tempat Bapak disemayamkan. Sengaja saya menunda diri untuk tidak langsung menjalankan prosesi berdoa, melainkan mengambil waktu untuk menyandarkan sisa-sisa rasa lelah selepas menempuh perjalanan yang cukup jauh. Menggelapkan pandangan berharap ada sedikit pertemuan yang terjadi lewat tayangan mimpi. Namun, nampaknya, Bapak sudah kehilangan asa untuk menyelinap dan menghaluskan diri, menemui. Bahkan ia tidak hadir dalam bentuk bayang-bayang yang samar sekalipun. Entahlah, itu semacam hal yang sudah tidak bisa saya negosiasi.
“Dek!” penjaga makam yang bermaksud membangunkan saya memanggil, “Sudah selesai berdoa?” Tanpa terasa ternyata hampir 30 menit saya tertidur, “Maaf, Pak, saya ketiduran,” jawab saya dengan sedikit malu. Dijawab kembali dengan mempersilakan saya untuk berdoa sekaligus menawari tumpangan istirahat di saung miliknya. Sejenak saya duduk, bersiap memulai doa, ditemani teduhnya pohon kamboja yang berhasil rindang. Menaburkan doa-doa di atas kerasnya batu marmer berwarna abu keruh. Wangi semerbak khas makam juga senantiasa berkelindan menenteramkan segala ingatan tentang maut, yang tiba-tiba datang membaringkan segala kenangan. Begitulah, saya ditinggal tanpa ancang-ancang, maut diperkenalkan dengan sangat tergesa, terkubur mengekal dalam ingatan.
Gugatan pada Sepotong Rumah
“Ilalang tumbuh tinggi, melumat dinding-dinding sengketa, menelan hampir habis sisa-sisa perjamuan”.
Foto di atas hanya bagian dari ilustrasi yang kebetulan memiliki sedikit kemiripan dengan rumah kediaman saya di Cirebon, keduanya sama-sama meninggalkan sisa, mungkin karena keberadaanya sudah tidak lagi dianggap kontekstual bahkan dalam pandangan yang bersifat personal? Alih-alih menggugat, saya justru membayangkan bagaimana sebenarnya penampakkan tersebut menggentayangi saya pada ingatan tentang rumah yang keberadaannya hampir sama seperti pada gambar. Rumah tersebut tidak lain adalah rumah yang sempat saya tinggali bersama Bapak dan Ibu sewaktu kecil. Situasinya sama persis ketika saya menghadapkan diri di depan sisa-sisa bangunanannya.
Sore itu, di rumah Cirebon, kedatangan saya disambut ramah oleh lambaian pohon mangga yang masih kokoh berdiri di halaman depan rumah, lambaiannya mengalihkan pandangan saya pada besi-besi pagar yang letaknya justru satu meter di depan saya. Besi-besi itu berkarat, warnanya pudar serta mengelupas, tampak jelas bahwa keberadaanya sudah tidak lagi kokoh untuk memagari segala hal yang dirasa berharga. Begitupun sisa-sisa temboknya yang seolah mengisyaratkan kekokohan sekaligus kerapuhan. Hal ini mengingatkan saya bahwa keberadaannya masih terbukti mapan menghadapi berbagai fase bencana alam, bagai petapa yang telah teruji menjalankan semedi. Namun, juga tidak lebih dari hanya sisa yang terbengkalai dan tidak berfungsi. Rumah yang sempat kokoh melindungi lembut kerasnya percakapan, lalu runtuh dan hanya mewujud dalam hamparan ingatan.
Saya melanjutkan langkah saya dengan memasuki halaman depan, hamparan ilalang tumbuh menjulang menutupi sisa-sisa bangunan. Saya menjajakinya, menerabas kumpulan ilalang yang sesekali menyayat bagian lengan dan leher saya. Gumpalan kain dan pecahan perabotan terkubur melas, tergeletak dalam kesunyian, bangunan telah kehilangan sudut-sudut yang mulanya menyimpan ribuan percakapan. Sejenak saya merasa dikalahkan, suasananya sama persis seperti ketika saya mengunjungi makam Bapak. Saya datang dan mengenang lalu dibuat terhubung oleh keduanya, sebuah maqam yang senantiasa membersamai perjalanan spiritual saya.
Indang, Sebuah Spirit untuk Saling Terhubung
Pertemuan makna yang saling terhubung terjadi secara berangsur, entah kebetulan atau tidak, tapi saya eyakini bahwa segala peristiwa butuh dialami dengan teramat sadar. Seperti ketika saya memutuskan untuk melakukan pendekatan yang filosofis, sehingga tidak hanya menjamah pada hal-hal yang hanya tampak pada permukaan saja, tapi sebisa mungkin menyelaminya sampai ke dalam. Sebagai seseorang yang berlatar belakang tari, perjalanan semacam itu sangat saya butuhkan. Paling tidak dengan mengetengahkan kesaksian indrawi, perjalanan ini juga sekaligus mampu membantu saya sebagai seorang kreator dalam bidang kesenian, untuk menajamkan kepekaan membaca realitas.
Bagi saya hari ini, indang hidup dalam perumpamaan yang lebih luas, butuh adanya investigasi untuk membahasakannya. Bentangan pengalaman dalam proses pencariannya merambah begitu banyak hal yang selalu terhubung memengaruhi berbagai aspek dalam berkehidupan yang saya sadari sehingga penting untuk dibaca kembali. Melalui ebeg, saya menelusuri segala kemungkinan yang dapat dilihat dengan melibatkan berbagai pendekatan. Seperti ketika saya berjalan menghadap kenyataan, bertemu dan berdialog, merapal makna-makna. Baik yang tergolong pertemuan fisik maupun metafisik, baik perjalanan yang baru, maupun yang lampau, baik kunjungan yang mempertemukan maupun kunjungan yang tanpa pertemuan, baik yang hidup maupun yang mati.
Indang sebagai spirit yang membersamai saya dalam ruang tradisional ebeg akhirnya mampu merambah dalam pengertian yang lebih relevan. Indang sering dihidupkan melalui berbagai diskursus, mengarahkan pada lintas persepsi yang tentu tidak pernah selesai. Jika dalam ruang tradisionalnya indang hanya diartikan dalam laku mistik, maka dalam perpanjangannya hari ini, Indang bagi saya adalah spirit yang hadir pada setiap bentuk keterhubungan. Artinya, ia berada pada kemungkinan untuk terus adaptif bahkan transformatif, dan terus-menerus menampakkan diri di segala keadaan.
The Narratives
of Indonesian
Dancescape