The Narratives
of Indonesian
Dancescape

IN / ENG

Devi Nur Safitri  / Grobogan – Jawa Tengah

“Menari dalam Perjalanan Pembentukan Diri”

“Menari dalam Perjalanan Pembentukan Diri”

Devi Nur Safitri

Grobogan – Jawa Tengah

Di usia yang hampir menginjak 30 tahun, aku masih menari. Di usia 30 tahun pula, aku belum memenuhi ekspektasi masyarakat untuk menikah, membangun keluarga, punya anak, punya pekerjaan dengan gaji dua digit, jadi terkenal, dan lain sebagainya. Atau mungkin aku memang belum ingin hidup seperti itu, bagiku hidup dengan melakukan kerja-kerja alternatif sudah lebih dari cukup. Kerja-kerja yang selama ini kulakukan, menopangku untuk tetap hidup.

 

Kerja-kerja perawatan seperti yang kulakoni memang tidak dianggap produktif oleh sistem kapital ini. Menemukan komunitas, berbagi, beraktivitas bersama, mendengarkan cerita satu sama lain, mendengarkan kemarahan atas semua opresi yang terjadi, keluh kesah mengenai mitos akan pilihan, menjadi tempat aman untuk orang-orang di sekitar, saling menguatkan. Tanpa kerja-kerja perawatan ini, mungkin aku sudah tidak lagi menari, banting sentir: pilih pekerjaan lain, hidup “normal” kerja kantoran, pergi jam 8 pulang jam 5, libur hari minggu, patuhi, turuti, kerjakan, terima gaji. Tari, seni hanyalah hobi, hiburan, bukan yang pokok.


Aku telah menjalani hidup, dari menari sebagai mahasiswi, pengajar, fasilitator hingga katanya seniman. Akhir-akhir ini, alih-alih sebagai minat sangat kuat seperti yang kurasakan dulu, menari lebih terasa sebagai “pekerjaan”. “Labour”, biarpun bukan berarti passion itu hilang tak tersisa begitu saja. Menari di area industri untuk mendapatkan gaji. Di saat bersamaan aku mengusahakan untuk tetap “menari” sebagai bentuk ekspresi, perlawanan, aktualisasi, validasi, atau apa pun itu yang tidak sekadar membuat perut kenyang dan kehilangan agency diri sembari tetap bernegosiasi.


Definisi keberhasilan dalam seni bisa sangat subjektif dan tidak selalu diukur dengan parameter yang sama seperti di bidang lainnya, seperti gaji atau pangkat. Banyak seniman yang mengalami proses panjang dan penuh tantangan untuk mencapai pengakuan dan kesuksesan. Proses-proses yang sering kali tidak terlihat atau dipahami oleh masyarakat luas. Seakan-akan kita semua berdiri di garis start yang sama, lalu patokan-patokan yang sama di umur 25 seperti ini, umur 30 sudah begitu, umur 35 harusnya sudah ini itu. Aku melawan ageism itu. Biarlah, bagaimanapun hasilnya, aku belum berhenti.


Bagaimana Aku Masuk ke Dunia Tari


Aku terlahir sebagai perempuan, dari keluarga rural proletar. Keluar dari rumah selepas SMA dan memilih untuk berkuliah di Institusi Seni hingga akhirnya menghidupi diri dengan berkesenian. 


Menari. Apa itu tari? Kenapa dan untuk apa aku menari? Sejak kapan dan mau sampai kapan menari? Pertanyaan-pertanyaan itu lewat di pikiranku. Mungkin karena pilihan atau tidak punya pilihan, atau merasa seperti sudah terlalu terlambat untuk mengubah pilihan? Bagaimanapun, perjalanan ini akan dan telah kulalui dengan sekuat tenaga dan sepenuh-penuhnya daya yang kupunya, dan masih terus kuusahakan sampai sekarang.


Aku lahir di Desa Tempel, Ngraji, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Anak pertama perempuan dari dua bersaudara. Adik laki-lakiku berjarak sembilan tahun dariku. Bapakku seorang pekerja serabutan. Ibuku seorang karyawan swasta di suatu koperasi daerah. Desaku cukup kecil, rumahku juga kecil bersebelahan dengan rumah nenekku yang lebih besar. Bentuk rumah lawas orang jawa pada umumnya. Joglo yang lebar dan memanjang ke belakang dengan halaman dan pekarangan, terdiri dari empat limasan. Rumah besar nenekku itu adalah peninggalan kakek-nenek buyutku, dari pihak Ibu. Tempat pelarian paling dekat ketika rumahku terasa begitu menyesakkan.


Saat itu, terasa bagiku hidupku sejak lahir hanya terus berkutat di situ-situ saja: rumahku, rumah Nenek yang sekaligus pabrik tempe, pasar tempat nenekku berjualan, sekolah. Bangun di pagi hari, bersiap dan berangkat ke sekolah, pulang ke tempat Nenek, kadang bermain dengan teman sekampung sore harinya, pulang mengerjakan pekerjaan rumah ataupun tugas sekolah malam harinya. Ketika SMA, aku belajar menari dari ekstrakulikuler di SMA-ku, SMAN 1 Purwodadi.


Di kota itu, juga ada sanggar tari kecil yang kuikuti sewaktu SMA. Sanggar Tari Purnama Sidhi, dengan hanya satu pengajar, Bu Erni, dan satu asistennya, Bu Tutik, adiknya sendiri. Tidak banyak murid di sanggar itu, kurang dari dua puluh anak-anak usia SD, dan beberapa orang seusiaku sewaktu SMA. Di sanggar itu, aku belajar menari Gambyong Pareanom untuk pertama kalinya, dan juga satu-satunya repertoar tarian yang kukuasai saat itu. Bisa dibilang aku cukup nekat dan impulsif saat kemudian memutuskan berkuliah di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan mengambil jurusan Seni Tari, selepas lulus SMA. Aku masih ingat betul bagaimana aku tidak terlalu percaya diri dengan kemampuan menariku karena merasa tidak pernah mengakses fasilitas yang memadai untuk belajar menari. Orang tuaku juga kurang setuju dengan pilihanku ini. 


Guru-guru di SMA-ku juga tidak mendukung pilihanku. Mereka menyarankanku untuk melanjutkan studi guna memilih profesi yang “pasti-pasti” saja, seperti guru, perawat, PNS. Kalau diingat-ingat, pengalaman saat lulus SMA itu membuatku bertanya-tanya: sebegitu menyeramkannyakah profesi penari atau seniman? Bahkan aku ingat teman dekatku waktu itu bercerita kalau sebenarnya dia juga ingin melanjutkan kuliah di ISI dan mengambil jurusan musik tetapi langsung ditentang oleh orang tuanya dengan kalimat: “Kuliah di ISI, mau jadi apa nanti?” Seakan-akan tidak pernah ada terbesit profesi penari, pemusik, pelukis atau seniman di pikiran mereka. Kenapa mereka punya imaji akan profesi lain seperti guru, polisi, perawat, akuntan, PNS, tapi tidak pernah ada terlintas profesi seniman?


Ya, Aku Memilih Menjadi Penari


Di masa remajaku, tidak banyak yang bisa kulakukan di daerah kecil itu. Mungkin menari menjadi satu-satunya media untuk merasa senang, merasakan semangat, merasa punya sesuatu yang bisa ditekuni, merasa punya sesuatu untuk dicintai dan diminati. Di kala dinamika rumah begitu berantakan, terasa sesak, sehari-hari telingaku selalu mendengar racauan dari mulut-mulut yang seharusnya memberi kata-kata afirmasi, tari adalah tempatku berteduh. Aku hanya bisa sejenak merasakan bahagia, senang, melakukan hal yang membuatku merasa memiliki sesuatu yang aku tunggu-tunggu untuk aku lakukan di hari selanjutnya. Aku merasa semangat belajarku menari membuatku semakin hari semakin baik dan merasa layak diapresiasi.


YouTube menjadi sarana yang paling bisa kuandalkan untuk belajar menari kala itu, selain belajar praktik di sanggar. Dari Youtube, aku mengakses repetoar-repetoar tarian Jawa klasik gaya Surakarta, Yogyakarta, juga beberapa tarian tradisional dari beberapa daerah lain, entah kenapa aku tertarik sekali menonton video tari waktu itu. Aku tidak terlalu merasakan pengalaman berkompetisi karena di daerahku saat itu tidak pernah diselenggarakan lomba tari antar sekolah. Aku baru sebatas mulai mementaskan Tari Gambyong Pareanom yang aku pelajari di acara-acara sekolah. Tahun 2012, aku lulus SMA, singkat cerita aku mendaftar ke beberapa perguruan tinggi, di antaranya ISI Surakarta dan ISI Yogyakarta, akhirnya aku memilih untuk berkuliah di ISI Yogyakarta. 


Menemukan Satu Dunia yang Baru


Saat awal berkuliah di Yogyakarta, aku adalah seorang anak daerah yang polos dengan semangat yang menyala-nyala, melihat segala sesuatunya dengan positivisme. Bertemu dengan muka-muka baru, berkenalan dengan teman-teman baru dari berbagai macam latar belakang. Perbedaan yang paling terasa adalah asal kedaerahan, bahasa dialek yang mereka gunakan, selera makanan, juga yang paling berkesan bagiku adalah cara mereka mempresentasikan diri dengan selera gayanya masing-masing. 


Di awal masa perkuliahan sebagai mahasiswa baru, aku harus mengikuti rangkaian kegiatan yang diadakan oleh kampus, salah satunya Program Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan (PPAK) semacam ospek untuk mahasiswa baru. Dalam kegiatan ini, aku dan teman-teman lain yang merupakan mahasiswa baru banyak bersentuhan langsung dengan mahasiswa-mahasiswa senior. Seingatku kegiatan itu cukup memberiku culture shock. Para senior itu terasa begitu intimidatif, kadang-kadang lucu, tapi banyak galaknya. Rasanya seperti mereka ingin menekankan dikotomi yang jelas: Senior-Junior, SMKI-bukan SMKI, Bencong-laki-laki asli, begitulah yang kuingat saat itu.


Mengingat masa-masa ospek kala itu, membuatku berpikir apakah relasi senior-junior harus selalu hierarkis dan mengutamakan kepatuhan berdasarkan ketakutan? Kenapa kita terus menglorifikasi kepatuhan mutlak atas dasar relasi kuasa? Tidak bisakah kita membentuk atmosfer atau mengusahakan cara-cara yang lebih demokratis? Tidak bisakah kita merangkul identitas atau ekspresi gender seseorang tanpa harus memaksa orang bersangkutan untuk melela di saat itu juga, apalagi dengan cara yang intimidatif. Bukankah melela adalah otoritas dan agency pribadi seseorang yang tidak boleh dipaksakan? Tidak pedulikah kita untuk membentuk ruang aman?


Dari kedatanganku di Yogyakarta, aku belajar menyesuaikan diri dengan setting kehidupan yang baru. Hidup sebagai anak rantau dan tinggal sendiri, mengurus diri sendiri. Menggantikan fungsi keluarga di rumah dengan teman-teman terdekat di sekitar, dalam artian merekalah yang aku temui setiap hari, dengan merekalah aku beraktivitas dan menghabiskan waktu, mengobrol, bercerita, berbagi.


Di tahun 2018, aku mengambil keputusan untuk membatasi komunikasi dengan Bapak dan Ibu, karena beberapa hal yang kurasa sangat berat di luar kuasaku, tidak mudah tapi mau tidak mau itulah langkah yang harus kuambil. Keputusan itu bukan tanpa konsekuensi, aku harus benar-benar menjadi mandiri, dari segi finansial khususnya, apalagi aku masih harus menyelesaikan kuliah, dan mengurus semua biaya hidup untuk tetap tinggal di Yogya. Sembari kuliah, aku mengambil pekerjaan sebagai penari di klub malam, untuk mendapatkan pemasukan.


Dari situlah aku merasakan stigma yang kuat tentang penari perempuan apalagi menari di klub malam. Komentar tidak menyenangkan seperti dikatai lonte, bisa “dipake”, jual diri, juga konotasi-konotasi negatif lainnya. Ada satu kejadian ketika adik tingkat yang juga mahasiswi Jurusan Tari dan menari di klub malam mengalami perampokan sehabis pulang menari malam. Tas yang ia kenakan diambil paksa oleh pelaku dan tidak berhasil ditangkap. Yang aku herankan saat itu, komentar-komentar tentang kejadian itu justru bernada victim blaming alias menyalahkan korban, seperti menanyakan pakai baju seperti apa, atau salah sendiri pulang malam, dan lain sebagainya. Alih-alih menjadi ruang aman atau mendampingi korban. Baru-baru ini, ada juga temanku yang memang berprofesi sebagai penari, bercerita bahwa keluarga dari pasangan laki-lakinya sempat meragukan keberlangsungan hubungan relasi mereka karena si perempuan adalah penari. 


Hal ini cukup mengusik pikiranku, memangnya ada apa dengan “perempuan penari?” Aku lupa bagaimana tepatnya tapi di titik-titik itulah aku mulai terpapar dengan literasi feminisme, gender, keperempuanan. Entah itu dari media ataupun bacaan diiringi dengan korelasi dan relevansi empirisku sebagai seorang perempuan. Mempertanyakan patriarki. Aku mulai mengerti kenapa selama ini sebagai perempuan aku merasa ada standar ganda dan ketidakadilan yang mungkin tidak kusadari, juga bentuk-bentuk kekerasan lain yang dinormalisasi. Bagaimana aku dan juga teman-temanku sebagai penari perempuan sering menjadi bahan asumsi dan objektivikasi.


Tubuh perempuan adalah battle ground, kalimat yang aku baca entah dari mana, tidak ingat. Pada tubuh perempuan, dilekatkan kehormatannya, kehormatan orang tuanya, keluarganya, kehormatan adat istiadatnya. Dari mana definisi dan konstruksi kehormatan itu? Apakah kehormatan dan nilai diri seorang perempuan hanya setipis selaput dara yang bahkan bisa rusak ketika perempuan itu sendiri tidak menginginkanya? Bahkan rusaknya selaput dara itu bisa terjadi karena pemaksaan, kekerasan, perampasan. Apakah seksualitas dan tubuh perempuan hanya boleh dirasakan dan didefinisikan oleh laki-laki yang merasa otoritas seksualnya sehebat itu hingga bisa menodai harga diri seorang perempuan. Apakah kepuasan pemenuhan hasrat adalah suatu yang bukan untuk dirasakan dan berhak didapatkan oleh perempuan? Itukah kenapa mengalami menstruasi dianggap semenjijikkan itu? Darah menstruasi adalah satu-satunya darah yang muncul tanpa adanya kekerasan, alami, natural, dan darah itulah yang justru dianggap menjijikan. Apakah perempuan ketika ia secara sadar juga memiliki hasrat dan mengedukasi dirinya sebagai sexual being dianggap liar dan bukan perempuan baik-baik. Seperti apa perempuan baik-baik itu? Nurut, manut. Dapur, sumur, kasur, kedengarannya kolot dan sudah tidak relevan, tapi nyatanya nilai misoginis dan sexist dari kredo itu masih subur diinternalisasi, bahkan oleh perempuan itu sendiri.


Dalam History of Sexuality (1983), Michel Foucault menulis bahwa seksualitas adalah produk dan praktik yang membentuk kekuasaan dan kontrol terhadap tubuh secara intensif melalui wacana. Wacana seksualitas tidak mungkin dilepaskan dari wacana ketubuhan dan kekuasaan, termasuk bagaimana budaya dikonstruksi untuk melanggengkan tatanan kekuasaan patriarkal. Tubuh perempuan adalah lokus terjadinya kontestasi kekuasaan. Dalam kontestasi tersebut, perempuan adalah objek hegemoni dan kontrol ideologi patriarki dan imaji maskulin.


Kontestasi dan negosiasi yang dilakukan perempuan atas tubuhnya selalu berhubungan dengan kekuasaan dan politik gender. Seorang perempuan dikatakan dapat memiliki otonomi atas tubuhnya sendiri ketika ia dapat melakukan kontrol atas tubuhnya yang disebut agency perempuan yang dapat mengorganisasi tubuhnya. Tubuh perempuan, khususnya penari sering menjadi medan kontestasi, dan resistensi dari pertarungan kepentingan kekuasaan kapitalisme dan maskulinitas, sehingga masyarakat pasca-kolonial sering kali menghubungkan tubuh penari dengan identitas etnik atau nasional, karena identitas sering kali meninggalkan konteks kesejarahan (Leela Gandhi, 2001).


Bagaimana patriarki mengkonstruksi sifat feminin dan maskulin sebagai sesuatu yang hierarkis. Sifat-sifat yang feminin diasosiasikan tidak lebih dari maskulinitas, sesuatu yang lemah, tidak lebih baik. Kenapa kelembutan, sensitivitas, dianggap sebagai kelemahan, padahal hal-hal tersebut sebenarnya dibutuhkan? Bagaimana perempuan ditempatkan sebagai sexual object, bukan sexual being. Aku jadi mengerti kenapa ketika laki-laki memilih untuk menari membuat seakan-akan maskulinitas mereka dipertanyakan. Memangnya kalau laki-laki tidak semaskulin itu, lantas kenapa?


Dari perspektif feminis ini, aku juga merefleksikan kembali tentang konflik keluarga yang kualami. Bagaimana aku melihat dinamika rumah dan relasi antara kedua orang tuaku hingga relasi mereka dengan aku dan adikku. Merefleksikan kembali: Apa itu rumah? Apa itu pulang? Apa arti keluarga? Apakah setiap kita memiliki artian dan pemahaman yang sama akan semua itu? Apakah pengalaman yang masing-masing kita rasakan selalu sesuai dengan romantisasi akan pengertian dan nilai keluarga yang berlaku di masyarakat kita yang patriarkis dan heteronormatif ini?


Apakah rumah selalu menjadi sumber kerinduan? tempat pulang? Tempat aman?


Jawabanku adalah tidak. Tidak selalu. Tidak semua orang memiliki privilese untuk lahir, tumbuh, dibesarkan dan diasuh dengan pola yang aman, merawat, mencukupi, dan membebaskan. Yang dialami justru pengabaian, perundungan, kekerasan, juga pemaksaan.


Rumah dan keluarga yang selalu dikategorikan sebagai “ranah privat” ternyata merupakan ruang yang sangat politis. Perempuan, menikah, berkeluarga, “ikut suami”, melahirkan, mengurus rumah tangga. Laki-laki pemimpin keluarga, pencari nafkah, tulang punggung, istri perempuan patuh dan nurut adalah kredo-kredo yang sangat umum ditujukan kepada perempuan yang masih hidup di lingkungan masyarakat yang masih konvensional dengan konstruksi patriarki yang sangat kuat.


Di dalam pernikahan antara laki-laki dan perempuan, terbentuk relasi kuasa dan beban ganda yang melekat pada istri ataupun ibu. Di bawah kapitalisme, kerja-kerja domestik tidak dianggap sebagai pekerjaan yang produktif, sehingga perempuan yang mengerjakan peran domestik dianggap kurang memberikan nilai material untuk keperluan keluarga, saat perempuan juga bekerja di ranah publik sekalipun, justru dari situlah beban ganda muncul.


Fenomena tersebut terjadi dalam pengalaman empiris keluarga tempatku tumbuh. Di situlah aku mencoba memetakan apa yang terjadi di keluargaku. Bapak dengan maskulinitasnya yang toksik, merasa hanya karena dia laki-laki dialah yang berhak didengarkan, berhak memerintah ini-itu, berhak membentak, memukul, harus dipatuhi, padahal “tanggung jawab” yang seharusnya ia penuhi sesuai konstruksi dan norma patriarkis sekalipun gagal ia lakukan. Ibuku di sisi lain, entah kenapa begitu pasrah, seperti tidak berdaya. Ditindas terus-menerus, tetapi hanya membiarkan, bertahan. Karena mungkin pada akhirnya memang benar kekerasan dalam relasi pernikahan tidak sesederhana itu, banyak faktor yang saling berkelindan yang sulit diuraikan. 


Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap pola asuh yang kurasakan, luka-luka keluarga yang timbul dan terasa sangat personal, sebenarnya timbul karena sistem dan konstruksi sosial yang lebih besar. Aku jadi ingat tulisan Patresia Kirnandita dalam bukunya Si Kecil yang Terluka dalam Tubuh Orang Dewasa, ia menuliskan: “Durhaka menjadi pengertian kolektivitas umum yang ditunjukkan secara hierarkis antara anak kepada orang tua, seakan-akan tidak berlaku sebaliknya. Malangnya, kredo “durhaka”, “orang tua pasti tahu yang terbaik”, masih kokoh berdiri walau kenyataanya tidak selalu seperti itu. Ini disokong oleh budaya kolektivitas dan penghormatan penuh pada orang tua yang dianggap kebenaran mutlak, sehingga luka-luka anak akibat perlakuan orang tua yang tidak disadari menjadi destruktif, tidak diakui apalagi disembuhkan”.


Sewaktu kuliah pada kurun waktu liburan karena hari besar datang atau libur semester aku memilih tetap di perantauan dan tidak pulang. Di masa-masa itu aku sering kali mendapatkan pertanyaan-pertanyaan dari teman sekitar “Kamu enggak pulang? “


“Kok enggak pernah pulang, apa enggak kangen rumah? Enggak kangen orang tua?”


“Sama keluarga, kok, kayak gitu?”, “Enggak boleh begitu, walau bagaimanapun keluarga itu yang paling penting!” Pertanyaan-pertanyaan ataupun pernyataan semacam itu mungkin terdengar lumrah. Di sisi lain, itu terasa sangat emosional dan triggering bagiku atau mungkin beberapa orang lain yang mengalami hal serupa. Seakan berperang dengan rasa bersalah di dalam diri, melawan konstruksi kebenaran di luar diri dengan berusaha memvalidasi perasaan dan pengalaman sulit yang sudah dilalui juga trauma-trauma yang masih berkelindan.


Aku membaca “Manifesto Keluarga” yang ditulis Sekolah Pemikiran Perempuan, yang aku rasa sangat menguatkan. Membaca “Manifesto Keluarga”, aku merasa tidak sendirian. Di luar sana, ada orang-orang yang juga memahami dan mengusahakan hal yang sama dalam meredefinisikan dan mempraktikkan keluarga. Biarpun orang-orang itu belum kukenal dan belum terhubung secara langsung denganku, tetapi mereka ada di belahan lain di dunia ini. Membaca tulisan-tulisan mereka sudah cukup memberiku harapan dan penguatan, aku merasa tersentuh juga dapat memvalidasi perasaan dan pemikiranku yang seringnya ditentang ataupun dianggap salah oleh orang-orang sekitar. 


Bertemu mereka yang memiliki arah juang yang sama


Di tahun 2019, aku harus berkarya guna ujian kelulusan. Di momen ini, aku memutuskan untuk membuat karya mengenai gender-based violence yang kulihat, yang paling dekat adalah pengalaman di rumahku sendiri. Dalam proses pembuatan karya ini, aku merasa perlu teman untuk mengobrol dan bertukar pikiran, sayangnya di lingkar pertemanan kampus aku merasa kurang bisa menemukan teman untuk mengobrol dan berdiskusi mengenai semua ini, aku justru merasa berada di lingkungan yang masih menginternalisasi nilai-nilai patriarkis entah itu dari teman perempuan sekalipun, merasa terisolasi.


Aku menghubungi Nia Agustina seorang pengamat seni pertunjukan, pendiri Paradance, sebuah platform festival mini seni pertunjukan di Yogyakarta. Aku menceritakan tentang konsep dan gagasan karyaku, mendengar ceritaku, Nia berinisiatif mengenalkanku kepada Fitri Indra Harjanti, seorang aktivis juga advokat, dulunya bergabung di Rifka Annisa Women Crisis Center, saat ini bekerja sebagai peneliti dan advokat untuk serikat buruh, yang akhirnya juga turut membantu proses pengkaryaan. Dia bersedia membantu proses penciptaan tugas akhirku dengan cara mengadakan workshop dasar mengenai gender untuk penari-penari yang terlibat dalam karyaku.


“Discrimen”, merupakan karya pertamaku yang membicarakan konteks gender. Tentunya karya itu belum sempurna, tapi dari karya itu aku belajar dan itu merupakan karya awal yang membuatku sadar bahwa aku punya concern yang kuat untuk membicarakan isu gender. 


Fokus Berkarya dengan konteks Gender dan Perempuan


Aku lulus kuliah dan wisuda di tahun 2019. Kehidupan sehari-hari dan tariku belum banyak berubah. Aku sempat mementaskan karya tugas akhirku di beberapa festival di Yogyakarta: Artjog, AsiaTri, dan Paradance, juga masih menari untuk mencari pemasukan. Di tahun 2020, pandemi COVID-19 terjadi, dan berdampak signifikan dalam proses berkesenianku. Selain kebingungan untuk mencari pemasukan karena berbagai kegiatan pertunjukan luring dibatalkan, proses kreatifku untuk berkarya guna menyuarakan konteks-konteks yang memang menjadi concern-ku harus tertunda.


The School of Hope


Di tahun 2021, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) menyelenggarakan open call untuk program mereka The School of Hope. PSBK berkolaborasi dengan kelompok asal Inggris, The Paper Birds, untuk sebuah proyek warga global “The School of Hope” (TsoH) di Yogyakarta, Indonesia. Proyek ini menggunakan model kreatif besutan The Paper Birds yang memungkinkan orang-orang muda mengulik tema empati, baik dari perspektif emosi maupun akademis, dengan menawarkan cara-cara untuk mencari tahu apa yang membuat kita peduli dengan orang lain, terutama mereka yang berbeda.


Di program ini aku berperan sebagai fasilitator. Aku berkesempatan untuk bertemu para peserta yang berasal dari beberapa komunitas, di antaranya komunitas Bawayang yang menaungi kreativitas teman-teman tuli. Komunitas queer yang tidak dapat kusebutkan namanya untuk alasan keamanan, dan juga beberapa peserta dari salah satu pondok pesantren di Yogyakarta. Dari para peserta, juga fasilitator yang lain, aku banyak belajar dan mendapat pengalaman baru tentunya. Ini adalah kali pertama aku bersinggungan langsung dengan teman-teman disabilitas. Dari sini, aku mulai mengenal adanya bahasa isyarat. Bahasa yang digunakan oleh teman-teman tuli dan juga teman dengar untuk berkomunikasi.


Dari keterlibatanku di program ini, aku berefleksi selama ini tanpa sadar mungkin aku sudah menginternalisasi bahkan melakukan ableism—prasangka atau perlakuan diskriminatif terhadap Difabel atau Disabilitas. Istilah ini pertama kali digunakan secara tertulis pada 1986 oleh Council of the London Borough Haringey. Ableisme dari kata “able” yang berarti mampu, sanggup, dapat, dan bisa. Jadi, ableisme adalah sistem kepercayaan atau ideologi yang menempatkan dan menganggap orang-orang dengan disabilitas memiliki status yang lebih rendah dibandingkan dengan orang-orang non-disabilitas.


Kini, aku ingin bersama-sama mencari jalan keluar dengan kesadaran kolektif untuk mendorong upaya-upaya mencapai kesetaraan. Di sini aku belajar lagi mengenai empati, dan juga bagaimana mengusahakan ruang aman dan inklusivitas. Bahwa empati bukanlah hal yang lahir dan tersemat begitu saja dalam diri kita sebagai manusia. Banyak hal yang mempengaruhi terbentuknya empati, dalam pandanganku bagaimana kita sadar privilese apa saja yang kita punya, bagaimana kita memposisikan dan menggunakan privilese.

Bekerja sebagai Penari Lepas


Sementara itu, aku masih bekerja sebagai penari lepas. Menari untuk berbagai kegiatan seperti pernikahan, brand awareness, peringatan ulang tahun perusahaan, ataupun acara-acara budaya yang diselenggarakan oleh dinas/pemerintah. Sebenarnya, baru akhir-akhir ini juga aku sadari tentang isu buruh juga kaitanya dengan diriku pribadi sebagai pekerja seni lepas. Apalagi semasa COVID-19, nyata sekali pekerja di sektor ini berada di posisi yang sangat rentan. Entahlah, membicarakan kerja kesenian, upah, dan kesejahteraan pelaku seni, kurasa banyak yang harus kucari dan baca lagi, karena upaya penyelesaian masalah perlu dilakukan secara sistematis. Aku berkesimpulan kebijakan pemerintah mungkin memang belum berpihak pada para pekerja seni, atau mungkin dalam budaya yang mengutamakan produktivitas dan hasil yang dapat diukur secara kuantitatif, profesi yang berbasis kreativitas seperti seni sering kali dipandang kurang produktif atau kurang bermanfaat.


Banyak pelaku seni pertunjukan bergantung pada proyek-proyek sementara, yang sering kali tidak memberikan pendapatan yang stabil. Upah yang diberikan untuk pertunjukan sering kali tidak sebanding dengan waktu, usaha, dan biaya yang dikeluarkan oleh para seniman.

Inkubator Inisiatif


Di tahun 2022, aku mengikuti program bernama Inkubator Inisiatif yang dilaksanakan di Yogyakarta. Program ini menawarkan ruang untuk rancangan karya baru, ataupun inkubasi untuk karya-karya yang sedang bertumbuh. Di program ini, aku bertemu dengan peserta lain dari berbagai latar belakang disiplin seperti film, lukis, fotografi, juga peserta yang berkuliah di luar bidang seni, tetapi memiliki ide untuk membuat karya seni.


Kegiatan ini diisi oleh fasilitator seperti FX Harsono, Astrid Reza, dan Ita Fatia Nadia dari Ruang Arsip Sejarah Perempuan, Saeroni dari Aliansi Laki-Laki Baru. Program ini menyelenggarakan kelas gender di awal rangkaian program yang difasilitasi. Yang menarik buatku saat itu adalah, bagaimana Aliansi Laki-Laki Baru itu terbentuk, singkat cerita berdasarkan kelas-kelas workshop gender sebelumnya dengan peserta yang kebanyakan laki-laki. Saat difasilitasi oleh fasilitator perempuan, peserta cenderung defensif, maka dari itu Aliansi Laki-Laki Baru ada untuk melakukan pendekatan yang lebih relevan untuk atau dari perspektif laki-laki.


Dari Ita F. Nadia dan Astrid Reza, aku terpapar mengenai isu 1965, Gerwani, juga mengenai tokoh-tokoh perempuan yang dihilangkan sejarah, bagaimana represi terhadap gerakan perempuan di indonesia kurun waktu ‘65, ‘98, hingga dampaknya sampai saat ini. Dari situ, aku mengenal nama-nama seperti Mia Bustam, Umi Sarjono, SK Trimurti, Emiria Soenassa. Nama-nama yang sebelumnya tidak pernah kutemukan dalam buku pelajaran sejarah di bangku sekolah.


Dari FX Harsono, aku mendengarkan bagaimana prosesnya melakukan riset untuk proses penciptaan karya-karyanya. Ia banyak bersinggungan langsung dengan perempuan penyintas kekerasan ‘98, juga yang menarik bagiku bagaimana ia menarik pengamalan empirisnya sebagai seniman dan identitasnya sebagai orang Tionghoa yang harus mengganti nama Tionghoa-nya menjadi “nama Indonesia” karena kebijakan atau aturan yang berlaku saat itu. Dari kejadian tersebut, ia menciptakan karya “Writing in the Rain”, aku merasa karya itu keren sekali. berangkat dari pengalaman personal tapi bisa dielevasikan menjadi isu politik yang lebih luas. Aku rasa program itu adalah kali pertama aku bersinggungan langsung dengan orang-orang dari disiplin lain di luar tari. Mencoba memahami bagaimana berangkat dari konteks personal yang bisa dielevasikan menjadi konteks yang politis, juga bagaimana mengumpulkan data maupun cerita tanpa mengeksploitasi atau secara tidak sadar melakukan kekerasan pada subjek yang kita tuju.


Kemah Tari Sasikirana


Di akhir tahun 2023, pada bulan November aku berkesempatan mengikuti kemah tari “Tubuh dan Tanah”, kegiatan ini dirancang oleh Sasikirana yang berbasis di Bandung. Sasikirana berkolaborasi dengan Jatiwangi Art Factory yang berlokasi di Majalengka, serta mentor-mentor seperti Uni Tatik, Bu Dinda, Mas Rianto, dan Pak Hanafi. 


Ada satu metode dari Mas Rianto yang aku rasa sangat menarik dan ingin aku coba praktikkan dalam proses kreatifku bersama pendukung atau penari-penari di karyaku nantinya. Metode ranting, kalau boleh aku menamainya, karena aku lupa bagaimana Mas Riyanto menamainya. Mas Riyanto menyiapkan beberapa bilah kayu/ranting, lalu mengaitkan ranting-ranting itu ke setiap tubuh penari, tantangannya adalah bagaimana kami bekerja sama mempertahankan ranting-ranting tersebut agar tidak jatuh, tapi tanpa komunikasi verbal, komunikasi yang diizinkan adalah komunikasi tubuh.


Menurutku, metode ini sangat mungkin diaplikasikan untuk melatih bonding dan kerja sama dalam kolektif atau komunitas—karena metode ini sangat melatih bagaimana kita mengontrol diri, bernegoisasi, dan menjaga ritme dan keseimbangan serta keterhubungan secara kolektif. Aku beberapa kali mengaplikasikan metode ini dalam proses latihan bersama penari yang terlibat dalam prototype karyaku.


Kemah Teknologi Feminis Purplecode


Di akhir bulan Mei hingga awal Februari 2024, aku pergi ke Lembang untuk mengikuti Kemah Teknologi Feminis yang diselenggarakan oleh Purplecode.id. Aku merasa beruntung dan kaget aku lolos dari opencall ini. Dari sekitar 400-an pendaftar, aku mendapatkan kesempatan untuk bergabung sebagai peserta dengan 25 peserta yang lain. 


Sesampainya di Lembang berkenalan dengan teman-teman baru, dan aku sangat kaget, karena mereka berasal dari platform-platform yang selama ini aku akses utas-utas ataupun liputanya. Seperti Komnas Perempuan, SocialJustice.id, Amnesty Indonesia, Jakarta Feminist dan lain sebagainya. Sekaligus membuatku terheran-heran aku bisa lolos untuk opencall ini, karena aku tidak berafiliasi atau tergabung dalam kolektif tertentu, aku datang sebagai individu independen. Secara tidak langsung, aku jadi menelusur ke dalam diri, sebenarnya sudah lama aku ingin merakit suatu komunitas atau kolektif, tapi entah kenapa belum merasa terhubung dengan orang-orang yang satu energi.


Di dalam kemah itu, kegiatan yang dilakukan kebanyakan berbentuk diskusi dan pertukaran pengetahuan non-hierarkis, tidak ada narasumber, kita semua berbicara, bercerita, beropini, berbagi. Di kemah ini juga, aku merasakan bagaimana ruang aman dan inklusi itu benar-benar terbentuk karena diusahakan bersama. Aku belajar banyak dari gerakan-gerakan dan juga kegiatan komunitas yang sudah diusahakan dan dibangun oleh para peserta lain di daerahnya masing-masing. Ini semakin memotivasiku untuk melanjutkan proses kreatifku di kesenian sebagai bentuk aktivisme.


Asana Bina Seni


Di bulan Februari 2024, aku mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program Asana Bina Seni yang diselenggarakan oleh Biennale Yogyakarta. Aku masuk di kelas seniman, program ini masih berlangsung sampai aku sedang menulis tulisan ini. Kali ini aku excited sekaligus cemas, karena ini akan jadi kali pertamaku membuat rancangan karya juga berkarya dengan konsep site specific, bukan di proscenium, panggung pertunjukan, ataupun white box seperti yang sudah-sudah. Membuat karya dengan kesadaran bahwa karya ini adalah bagian dari aktivisme, melibatkan agency setiap partisipan yang terlibat, juga sangat berhati-hati supaya tidak melakukan ekstraksi ataupun eksploitasi terhadap subjek yang aku libatkan. 


Aku memaknai ini sebagai tahap bertumbuh lebih lagi, bertemu orang-orang baru, mengunjungi tempat-tempat baru. Mencoba mengelevasikan personal is political, di mana aku sadar kekerasan ataupun represi yang terjadi pada diriku juga dialami oleh banyak orang di luar sana, bagaimana aku membentuk kerangka berpikir yang lebih besar untuk menemukan inti urgency dari konteks yang ingin aku alih bahasakan menjadi bahasa artistik.


DokumenTari


Di tahun yang sama, aku mendapat kesempatan untuk mengikuti program dari Sasikirana lagi, yaitu Dokumentari. Di sini, aku benar-benar merasa beruntung dapat terlibat. Ini pertama kalinya aku akan menulis dan membiarkan tulisanku dipublikasikan, terasa menakutkan atau merasa kurang percaya diri apakah tulisanku penting dan layak dibaca? Apa urgensinya? Tapi mungkin pada akhirnya biarlah tulisanku yang akan menemukan pembacanya sendiri. 


Dari rangkaian program ini pula, aku menyadari satu hal, bahwa membahas tentang keluarga ternyata masih terasa begitu triggering untukku, aku terus menghindar sehingga menghambat prosesku untuk mengikuti rangkaian program ataupun tugas-tugas lanjutan. Kesempatan dan pengertian yang diberikan oleh Sasikirana meloloskanku untuk masih bisa terus berada dalam rangkaian program ini. Dari program ini, aku menyadari bahwa selama ini aku kurang peka dan kurang mengorganisir arsip pribadiku, terutama arsip yang berkaitan dengan proses kreatif ataupun proses berkesenianku. Dari program ini juga aku lebih merefleksikan lagi perjalananku sebagai penari di ekosistem kesenian juga kejadian-kejadian lain dalam hidup yang mempengaruhi pembentukan diriku sekarang.


Melihat ke belakang dari banyaknya pintu kesempatan yang kuketuk, tidak semuanya terbuka untukku. Tentunya ada masa aku meragukan diri sendiri, mempertanyakan kemampuan diri sendiri, merasa kecil, merasa insecure. Tapi, toh, aku bertahan, berjalan, merangkak sambil terus belajar menerima diri sendiri. Berusaha sekuat tenaga sampai pernah melewati titik-titik rendah dalam hidup. Terus bertumbuh dan belajar dari setiap pertemuan, cerita, kejadian, dan pencarian. Untuk bisa hidup dan terus berkarya, harapan untuk membentuk ruang aman dan saling memberdayakan. Terima kasih, dunia tari, aku rasa kalau aku tidak memilihmu mungkin aku tidak akan mendapatkan pengalaman-pengalaman yang membentuk diriku sampai seperti sekarang ini.

The Narratives
of Indonesian
Dancescape