The Narratives
of Indonesian
Dancescape

IN / ENG

I Putu Rai Dhira Aditya / Klungkung – Bali

“Bapak, Menanam Benih Harapan”

“Bapak Menanam Benih Harapan”

Oleh I Putu Rai Dhira Aditya

Klungkung – Bali

Layar telepon genggam terus-menerus saya pandangi, membawa berkeliling menjelajahi setiap belahan dunia tetapi tak sengaja muncul wajah seseorang yang tak asing di mata. Ditemani dinginnya malam, merindu pada hangatnya pelukan. Ya, di layar itu, muncul gambar Bapak dengan rangkulnya pada seorang anak.

Unggahannya membuat saya berpikir untuk melihat setiap cerita yang tertera dalam tiap kolase foto dari jepretan kamera yang kerap tampak buram. Jepretan-jepretan foto yang diambil Bapak, entah mengapa saat melihatnya, terbersit sebuah pertanyaan, “Apa iya hubungan saya dan Bapak sudah cukup dekat? Memang saya tahu apa tentang Bapak?” Pertanyaan itu benar-benar meliuk-liuk memenuhi isi kepala, seolah orang yang berdampingan begitu dekat justru adalah orang yang begitu jauh rasanya. 

Saya tahu Bapak begitu penuh kasih. Sanggar Seni Dhira Pradiva berdiri pada 2017, merangkul masyarakat sekitar, terutama anak-anak untuk berlatih tari. Kasih sayang Bapak saya rasakan sedari penamaan sanggar ini olehnya. Dhira Pradiva–Dhira mengambil dari nama saya yang juga memiliki arti kekuatan, keberanian, dan pengetahuan, sementara Pradiva/Paradiva bermakna cahaya dari para dewa. Sanggar Dhira Pradiva bermakna suatu tempat menyatukan jiwa yang tak pernah padam melanjutkan ilmu pengetahuan yang diturunkan dari kekuatan para dewa untuk menuntun umatnya. Sempat berbincang dengan Bapak, ia berharap sanggar ini untuk bisa selalu hidup dan terus bertumbuh, tidak hanya merangkul orang-orang di desa tempat sanggar ini dibentuk, tapi lebih luas lagi. Masih ingat betapa ia berharap kami dapat membawa semangat berkesenian di sanggar ini hingga ke luar Bali, bahkan mungkin ke ajang internasional.

Kegiatan sanggar sempat vakum selama masa COVID-19. Pada 2022 akhir, sanggar ini kembali tumbuh, terjadi karena wisatawan yang mengulurkan donasi bagi berlangsungnya sanggar ini. Kini, Sanggar Dhira Pradiva aktif untuk regenerasi, pembelajaran tari Bali, gamelan Bali, belajar aksara Bali, dan juga bahasa Inggris. Semua dilakukan dengan cuma-cuma. Guru-guru justru antusias untuk membantu, bukan hanya menunggu kemurahan hati para wisatawan untuk keberlangsungan sanggar ini.

Dari semangat Bapak untuk terus menghidupkan sanggar ini, saya terus mengingat upaya Bapak bahkan sedari saya kecil untuk memperkenalkan berbagai ekspresi berkesenian.

Benih dan Bapak

Sejak kecil, saya telah disuguhi berbagai ungkapan kesenian oleh Bapak, berkeliling dari desa ke desa, kota ke kota, bahkan mengunjungi pelaku seni dari pintu ke pintu, seolah benih kecil ini dipupuk dan disiram berjuta kasih berharap tumbuh menjadi pohon harapan, yang dulu tak sempat Bapak tumbuhkan dengan subur semasa ia muda. Tak terasa benih itu kini tumbuh menjadi pohon yang mencoba menguatkan akarnya melalui celah-celah bebatuan demi mencari sari-sari nutrisi.

Masa kecil saya dipenuhi petualangan kesenian yang dipandu Bapak. Sebelum masuk ke taman kanak-kanak, Bapak sudah mengajak menjelajah berkeliling ke tempat-tempat seni. Berkunjung ke pasar seni melihat beragam bentuk kerajinan yang menghiasi dinding dan halaman toko dengan penuh warna-warni menjadi kegiatan favorit. Topeng-topeng yang bergelantungan seolah menatap kedatangan kami. Tangan Bapak yang sedikit kasar dan gemetar kelelahan, mengambil topeng itu dan memakaikannya pada wajah putra kecilnya. Sedikit malu-malu, tubuh saya pun bergerak mengalir mengikuti irama yang dilantunkan spontan oleh Bapak dibarengi penjaga toko dengan tepuk tangannya.

Langit jingga yang mulai meredup menemani perjalanan kami pulang, deru suara motor yang mengganggu obrolan sembari berkendara semakin mengeratkan pelukan pada Bapak. Mengajak belajar macapat adalah cara Bapak untuk mengalihkan perhatian saya yang bosan akan perjalanan jauh. Macapat merupakan salah satu jenis seni tarik suara di Bali. Suara  yang tidak begitu merdu tak mengganggu telinga Bapak, justru ia merasa senang, gembira, dan menikmati momen ketika saya batuk dan tersedak akibat terlalu bersemangat.

Pengalaman pertama kali menari terjadi saat acara perpisahan di Taman Kanak-Kanak (TK) Putra Pertiwi. Kala itu saya menarikan Tari Wirayuda, sebuah tari yang menggambarkan sekelompok pasukan bersenjatakan tombak. Dengan wajah yang lugu dan tubuh yang menari tanpa bentuk teknik yang baik, merasa kaku tak sepandai pohon kelapa yang menari diterpa angin, melenggak-lenggok di atas pentas hingga tarian berakhir. Nampak senyum tulus dari raut wajah Bapak, ia rasanya sangat senang melihat putranya menari. Masih teringat kala itu Bapak begitu mengapresiasi keberanian saya menari, namun berbeda dengan apa yang saya rasakan. Saat itu, menari hanya hasil dari sebuah keterpaksaan, karena menari menjadi kegiatan yang sangat melelahkan bagi tubuh kecil ini.

Menginjak umur 6 tahun, kelas 1 Sekolah Dasar menjadi momen kali pertama saya masuk ke sanggar tari Bali. Sanggar Kayonan, jaraknya cukup jauh dari rumah. Awalnya memang merasa terpaksa, tapi Bapak selalu punya cara agar saya tetap datang dan berlatih disana. Tak jarang merengek dan menangis, mengeluhkan tubuh ini lelah dengan berbagai alasan. Bapak tak pernah menyerah, ia selalu mampu meluluhkan hati saya dengan berbagai cara. Bujuk rayunya seolah mengajak masuk pada dunia yang begitu menyenangkan,  berjanji jalan-jalan atau dengan membelikan makanan kesukaan. Hingga saya menikmatinya dan berujung jatuh hati pada dunia tari.

Tidak hanya belajar tari Bali dan mengikuti sanggar tari Bali, bahkan tumbuh keinginan untuk belajar gamelan Bali. Masih lekat di ingatan, saat kami berkunjung ke rumah Pekak Jumu, seorang praktisi gamelan Gender Wayang di desa tempat kami tinggal. Duduk di pangkuan hangat Bapak, ia memegang tangan kecil ini, membantu jemari yang sedikit kesulitan mengarahkan pukulan pada bilah nada demi nada. Pekak Jumu tertawa melihat tubuh kecil ini yang sulit menggapai bilah itu, hingga ia membuatkan kursi kecil sederhana dari sisa kayu di belakang rumahnya. Berawal dari itu, Bapak juga mengenalkan gamelan Bali lainnya hingga saya memilih untuk ikut bergabung pada beberapa sanggar gamelan Bali seperti Gurnitha Sandhi, Pangus, dan Sanggar Lingga Yoni di Kabupaten Klungkung.

Tanpa meninggalkan kebiasaannya mengajak saya berpetualang, menonton acara Pesta Kesenian Bali menjadi agenda rutin keluarga kami. Tahun 2012 adalah pengalaman pertama saya datang ke acara tersebut. Institut Seni Indonesia Denpasar yang bersebelahan dengan Taman Werdhi Budaya Art Center sebagai tempat diselenggarakannya acara Pesta Kesenian Bali. Kami memarkir motor di sana, di sebuah lorong yang diapit dua gedung perkuliahan. Orang-orang sangat antusias hingga tak sadar lengan mereka saling bergesek, saya dan keluarga kecil ini, berkeliling area kampus sembari memegang erat tangan Bapak dan menariknya terburu-buru.

Pak! Pokokne Dhira yen sube kelih, pang ngidang masuk dini!” (Bahasa Bali: “Pak! Kalau sudah besar nanti, Dhira Harus Belajar di sini!” ) Jemari kecil ini menunjuk ke arah sebuah gedung di sana. Bapak membalas dengan senyuman dan menggendong saya, kami pun melanjutkan berkeliling Art Center dan menonton pertunjukan di panggung terbuka Ardha Candra.

Pak, kengken je carane pokokne Dhira pang ngidang ngigel ditu nyejek karpet barak e ento!” (Bahasa Bali: “Bapak, bagaimanapun caranya, Dhira harus pernah menari dan menginjakkan kaki di karpet merah itu!”) bibir ini mengucap dengan jelas. Mata saya terpana memandangi megahnya panggung Ardha Candra yang menjadi panggung utama di acara Pesta Kesenian Bali.

Tuhan selalu punya kejutan, doa pun terkabul, datang kesempatan untuk tampil di acara Pesta Kesenian Bali di tahun 2016. Kali pertama impian saya terwujud untuk menginjakkan kaki di acara bergengsi ini. Pengalaman menjadi penari kera di acara itu menjadi jalan pembuka pikiran ini memantapkan diri dan berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah seni. 

Inget dugas pidan ning ngorahang nagih ngigel dini? (Bahasa Bali: “Ingat dulu kamu pernah bilang berkeinginan menari di sini, Nak?”) ujar Bapak dengan penuh senyum menatap mata putranya di belakang panggung seusai pementasan selesai. Rasanya ini sangat mustahil, seorang anak kecil lugu yang entah sadar atau tidak mengucapkan keinginannya yang kini telah terkabul. Sejak saat itu, keinginan untuk benar-benar mendalami dunia tari menjadi semakin mantap.

Dari kecintaan Bapak pada seni dan bagaimana ia mendidik anaknya, sebenarnya saya selalu bertanya-tanya, bagaimana ia dibesarkan? Apakah wawasan berkesenian Bapak diwarisinya dari pengalaman masa kecilnya bergumul dengan kesenian juga?

Masa Kecil Bapak

Bercahayakan gemerlap lampu sorot, ditemani riuh suara gamelan, beribu pasang mata memandang hingga menjelajah dari panggung ke panggung. Mungkin itu yang banyak dirasakan oleh para pelaku seni tapi sayang, tak sempat menerbangkan harapan itu seolah dikubur waktu tak disiram dan dipupuk, begitulah yang ia rasakan. 

Bapak seperti kepala keluarga lainnya, menghidupi keluarga dengan bercucur keringat hingga tangan menjadi kasar dan pundak yang letih menopang beban. Ya, ia adalah Bapak saya, masa kecilnya berdampingan dengan kakek saya yang menjadi salah satu pemain seruling pada pementasan Tari Joged Bungbung yang mampu membawanya berkeliling dari desa ke desa dan melihat kesenian lainnya. 

Tari Joged Bungbung adalah salah satu tari pergaulan yang berkembang di kalangan masyarakat Bali. Tari ini biasanya hadir pada acara-acara yang diselenggarakan oleh kelompok pemuda, acara pernikahan ataupun perayaan upacara yang berkaitan dengan kemanusiaan. Seolah lingkungannya mendukung dan memberi jalan untuk terjun ke dunia seni, tetapi sayang tembok besar dari nenek saya menghalangi keinginannya. Bapak tak mendapat restu untuk menyelami lautan kesenian, ia pun memilih untuk mengurungkan niat mendalami dunia seni.

Dunia pariwisata adalah tempat berlabuh baginya, dengan membawa kantong kecil berisi harapan lain yang tak pernah ia tunjukkan lagi isinya. Namun, saat saya lahir, kantong harapan berkesenian Bapak itu terasa penuh. Ia tampak sangat ingin menumpahkan semua isinya keluar, mewariskannya kepada saya. Serasa ia hidup kembali menyirami masa kecilnya yang tumbuh dengan harapan berkesenian, isi kantong yang penuh dengan harapan itu pun ditumpahkan pada anak-anaknya. Pada gilirannya, Bapak selalu mendukung saya untuk bergelut di dunia seni terutama tari, memberi restu penuh pada saya untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah seni, berusaha hadir pada setiap proses atau pementasan sang anak, bahkan ia membeli banyak perlengkapan seni yang tak jarang ia pun tak bisa menggunakan atau memainkannya dengan lihai.

Ibu pernah bercerita, kalau Bapak sempat berlatih tari Bali dan gamelan Bali di usianya yang akan memasuki kepala empat. Walau Bapak sangat kesulitan, tapi ia tetap berlatih dengan kemampuan yang seadanya. Karena kesibukannya bekerja, Bapak mulai jarang berlatih hingga ia melimpahkan semangatnya pada anak-anaknya. Kedua adik saya juga mendapat perlakuan yang sama tanpa pilih kasih, sama-sama mendapat dukungan penuh dari Bapak hingga kami mampu berkeliling mandiri dengan keahlian berkesenian yang kami miliki, yang tentu tidak lepas dari dorongan dan dukungan Bapak. Bapak tentu berharap benih berkesenian yang tak sempat ia siram dahulu dapat tumbuh kembali dengan subur menjadi pohon besar yang mampu memanjangkan rantingnya ke berbagai arah. 

Menelusuri jalan pedesaan di tengah gemericik hujan, tubuh kami sedikit menggigil. Tas berisikan kostum tari yang akan kami gunakan sedikit basah. Bersembunyi di balik jas hujan sembari memeluk pinggangnya, “Pak! Biin joh ae?” (Bahasa Bali: “Pak! Masih jauhkah perjalanannya?”) teriak saya tidak sabar menari berdua di sebuah desa kecil di pinggir perbatasan Kabupaten Klungkung. “Bin paek ning, bin kejep gen ked sube,” (Bahasa Bali: “Sudah dekat, Nak, sebentar lagi sampai.”) ujar Bapak. Ia selalu menenangkan, menjaga perasaan ini agar nanti tidak merengek dan tiba-tiba menolak untuk menari. Sangat besar kasih yang Bapak berikan, benih ini sungguh disiram dan dirawat dengan subur olehnya. Namun, benih yang sempat ditanam Bapak di masa kecil saya, sempat pula terhalang oleh tembok pembatas. Ada fase-fase ketika kehangatan itu mulai pudar.

Fase Berjarak dengan Bapak

Sejak kecil, sebetulnya saya tidak terlalu merasa dekat dengan Bapak karena sulit mengekspresikan diri. Saat tumbuh besar, hubungan kami justru semakin berjarak. Pulang dari bersekolah, saya selalu memilih untuk keluar rumah dan menghabiskan waktu lebih banyak dengan teman-teman. Semasa berkuliah pun, dengan jarak yang semakin jauh, begitu juga kesibukan di kampus, dan jarang mengekspresikan diri dengan bertutur atau sekedar bertukar pesan, juga orang tua yang sudah paham dengan sikap putranya yang cuek dan emosional, hingga rumah hanya menjadi tempat singgah dan merehatkan badan sejenak bagi saya.

Pada 2016, saya memilih bersekolah di SMKI Bali yang jaraknya cukup jauh dengan rumah. Tempat ini membuka jalan saya untuk mendalami dunia seni pertunjukan terutama tari. Layaknya anak sekolahan pada umumnya, selalu penuh dengan kegiatan hingga kantung mata menghitam, baju yang basah menyerap kucuran keringat deras, bahu dan kaki yang kebas, bahkan emosi yang semakin goyah. Rumah hanya saya anggap sebagai tempat singgah sejenak untuk sekadar memejamkan mata, tiap menginjakkan kaki di antara dua gapura kecil depan rumah, selalu disambut hangat oleh Bapak dengan rasa rindu pada anak yang terlihat dari matanya.

“Engken kabare ning? Sube medahar?” (Bahasa Bali: “Bagaimana kabarmu, Nak? Sudah makan?”) Pertanyaan itu selalu saya jawab dengan alis yang mengkerut dan nada risih, tubuh ini seolah menolak siapa pun untuk bicara, hanya ingin pulang dan istirahat. Nyatanya kini justru pertanyaan itu yang sangat saya rindukan, mungkin terlihat sederhana tapi pertanyaan itu ternyata salah satu ungkapan kasih sayang Bapak menanyakan biji yang ia siram dan pupuk sudah tumbuh sejauh mana. 

Saat itu besar keinginan untuk melanjutkan pendidikan S1 di Institut Seni Indonesia Denpasar. Sebagai putra sulung, keinginan untuk melanjutkan studi menjadi ragu, isi kepala begitu bising memikirkan apakah mampu untuk lanjut dengan kondisi ekonomi keluarga yang sangat tidak stabil kala itu. Meja makan menjadi saksi keluh-kesah dan air mata di hadapan Bapak. Saya tahu, Bapak tidak akan menyerah begitu saja mendengar suara hati putranya, tapi sungguh, kala itu pilihan untuk melanjutkan studi sangatlah berat.

Ning, de bes liu mekeneh, Bapak tusing lakar ngelebang, masuk gen malu pasti ade jalan, pasti ade rejeki, nyanan bapak masih lakar nulungin, (Bahasa Bali: “Nak, jangan terlalu banyak memikirkan ini, Bapak tidak akan lepas tangan, sekolah saja dulu pasti ada jalan dan pasti ada rejeki, Bapak akan selalu membantumu.”) ujar Bapak sembari tangannya mengelus halus pundak saya dengan mata sayunya menatap lembut. Walau berat, dengan penuh pertimbangan, benih ini memilih untuk memanjangkan akar dan rantingnya.

Melanjutkan kuliah di ISI Denpasar semakin menyibukkan saya dengan kegiatan kampus ataupun kegiatan luar kampus. Tidak pulang dan tidur di kampus sudah menjadi hal biasa, hingga saat itu kampus menjadi rumah kedua untuk sekedar menyenderkan lelah. Memulai aktivitas, beraktivitas, bahkan mengakhiri aktivitas di kampus sudah sangat sering saya lakukan. Pulang ke rumah menjadi sebuah pilihan karena memang keperluan yang mengharuskan, bukan hati atau rindu kala itu yang mendorong saya untuk pulang.

Notifikasi pesan Bapak sering muncul di layar telepon, terkadang ia menanyakan kabar dan kadang menelepon menanyakan kapan pulang. Saya menyadari ia rindu kepulangan anaknya, rindu akan wajah putra sulung yang jarang ia lihat. Saya juga rindu, tapi entah mengapa perasaan itu ditutupi rasa lelah dan pikiran berjarak yang cukup jauh dengan rumah.

Kami mulai menghabiskan waktu dengan kesibukan kami masing-masing, saya yang sangat sibuk dengan perkuliahan dan Bapak yang semakin padat kegiatannya dalam membangun kembali pengembangan objek Aan Secret Waterfall pasca-pandemi COVID-19. Jarang menyempatkan diri untuk pulang dan orang tua menjadi jarang menghubungi anaknya karena takut mengganggu kegiatan, hingga sisi emosional ini yang susah untuk dikontrol semakin membuat jarak yang cukup jauh di antara kami.

Waktu pun berlalu, pilihan saya melanjutkan pendidikan di kota Solo membuat jarak semakin jauh dengan rumah. Solo bukan hanya nama kota, Solo menjadi tempat saya merasakan kesendirian. Terbaring ditemani letih di bawah plafon dengan batas tembok persegi yang tak cukup luas, pikiran terasa kosong, rindu itu muncul lagi. Baru menyadari kalau saya sudah terlalu jauh, jauh dengan rumah, Bapak dan keluarga yang begitu hangatnya merangkul. Mengingat pelukan hangat Bapak yang beralih pada sebuah bantal, air mata pun turut membasahi bantal itu.

Terkadang pikiran itu menjadi penyesalan, kenapa hubungan kami tidak terbangun dengan erat. Saya rindu, berkeinginan untuk merasakan kembali momen berharga yang tak pernah saya sadari selalu hadir pada tiap detiknya. Tentu waktu tak dapat diulang kembali, hanya bisa menjadikan yang lalu sebagai introspeksi dan membangun yang kini menjadi lebih baik. Saya menyadari, jarak hanya menjadi batas antar ruang, tapi tak menjadi batas pada rasa dan batin yang terhubung serta hati yang rindu untuk bicara.

Lambat laun, karena renungan ini, hubungan kami semakin dekat, saya yang dulu jarang menanyakan kabar Bapak dan keluarga pun kini selalu berbalas pesan lewat telepon genggam. Obrolan intim yang dulu tak pernah saya rasakan kini justru terjalin begitu erat dan hangat. Melihat foto-foto yang selalu Bapak kirim lewat grup WhatsApp keluarga, semakin menambah rindu akan tiap kebersamaan yang jarang kami alami.

Penemuan Air Terjun

Tak hanya cukup menabur harapan pada anaknya, Tuhan pun memberi jalan yang mengantarkannya Bapak untuk berbuat jauh lebih besar lagi. Benih itu tak hanya diam, selalu ada cara untuk benih itu bertumbuh. Pada tahun 2018, Bapak yang dikenal masyarakat dengan panggilan Pak Dhira tertarik akan sebuah tempat di dekat kediamannya yang memiliki keindahan alam berupa air terjun, sebuah tempat yang kini dikenal sebagai Aan Secret Waterfall. Gemericik air dan angin sendu ditemani tarian dedaunan menemani perjalanan Bapak menyusuri dasar tembok tebing yang curam, tapi sayang seribu sayang, pandangan matanya kerap terganggu melihat sisa kotoran dari laku masyarakat sekitar yang menyelip di sela bebatuan dan batang pohon.

Saking banyaknya sampah, hingga mengendap di dasar sungai mengganggu telapak kaki merasakan bumi. Entah mengapa Bapak merasa terpanggil, seolah ia merasakan dirinya ditimbun oleh tumpukan sampah. Dari sanalah, dia menganggap alam juga bagian dari keluarganya dan mulai memilih berkomitmen mengabdikan diri pada alam. 

Langkah awal untuk membersihkan tempat itu dan mengembangkannya menjadi objek wisata sungguh penuh lika-liku, banyak pertentangan dari masyarakat, bahkan keinginan Bapak terhalang oleh para pengurus desa yang kurang mendukungnya. Upayanya ini pun sempat vakum lantaran pandemi.

Tahun 2019, saat COVID-19 muncul, wisatawan yang berkunjung menurun drastis. Memasuki tahun 2020, tim yang dibentuk oleh Bapak untuk mengelola air terjun mulai menghilang satu per satu. Mereka seolah menganggap usaha Bapak itu tidak akan menghasilkan apa-apa, dan tak akan ada perputaran ekonomi berikutnya dari sana. 

Apa yang dilakukan Bapak? Ia tetap tegar dan konsisten pada komitmen yang telah ia buat, walau hanya seorang diri dan didukung hanya oleh keluarga kecilnya, ia percaya bahwa dengan ketulusan dan keikhlasan nantinya alam akan membantunya.

Proses yang tidak mudah dilalui Bapak untuk mengembangkan Aan Secret Waterfall, walau hanya seorang diri, api semangat Bapak tidak pernah padam untuk mengembangkan objek wisata ini. Banyak usaha yang Bapak lakukan, tidak hanya tentang membersihkan sampah dari tempat itu, tapi juga membangun relasi untuk mengenalkan objek wisata ini pada masyarakat luas. Ia mengikuti berbagai macam pelatihan pengembangan pariwisata, mengenalkannya pada generasi muda dengan mengajak kelompok-kelompok peduli lingkunga dan membuka ruang bagi mahasiswa untuk menjalankan program kerjanya.

Selain itu banyak orang yang meliput Bapak dan Aan Secret Waterfall sebagai objek kompetisi berbasis pariwisata, diliput media lokal maupun media asing hingga mampu membuat Aan Secret Waterfall dikenal tak hanya di kalangan wisatawan domestik tapi juga wisatawan internasional. Alam pun membantu Bapak dengan banyak cara, menyadarkan masyarakat hingga masyarakat menerima dan peduli pada apa yang dilakukan Bapak, bahkan banyak wisatawan asing yang peduli dan ikut memberikan kontribusinya pada Bapak dan Aan Secret Waterfall.

Mengikuti proses dari penemuan air terjun hingga berkembang seperti saat ini, saya sungguh melihat bagaimana ia membanting tulang mengelap keringat dan menyandarkan lelahnya pada tiang gubuk di tepian sawah. Bapak sering meminta saya untuk membantu kesehariannya merawat air terjun. Menggesekkan kumpulan lidi pada dedaunan dan warna plastik yang mencolok. Memang benar, saya pun merasakan lelahnya merawat tempat ini. Disetiap langkah kami menyusuri tebing dan mengikuti aliran air, Bapak sering bercerita tentang apa yang akan ia lakukan lagi pada Aan Secret Waterfall.

Saya ingat, di masa-masa awal dulu, tak jarang ia sesekali mencurahkan isi hati, melontarkan keluh kesahnya, atau juga bercerita tentang pengalaman wisatawan yang berkunjung ke tempat itu. Saya mendengarkan ceritanya, tapi hanya membalas seenaknya. Tak jarang saya menganggap obrolannya sebagai angin lalu, begitulah jarak mempengaruhi kedekatan kami.

Sekian waktu berlalu, usaha Bapak tak sia-sia dan kini objek wisata Aan Secret Waterfall telah berkembang menjadi salah satu objek wisata favorit di Kabupaten Klungkung, Bali. Banyak dampak positif yang timbul dari tempat ini, bahkan masyarakatnya mulai menerima keberadaan objek wisata ini. Kebiasaan buang sampah sembarangan masyarakat sekitar mulai berkurang, tempat pembuangan akhir telah dibangun, organisasi pengelola sampah rumah tangga pun telah dibentuk. 

Akhirnya, Benih itu Tumbuh

Tak hanya itu, kelompok sadar pariwisata (Pokdarwis) dibentuk untuk mengelola pariwisata di desa itu hingga kini Desa Aan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, Bali ditetapkan sebagai salah satu Desa Wisata di Kabupaten Klungkung. Dari para pengunjung yang jatuh hati pada Aan Secret Waterfall dan mengapresiasi konsistensi aksi preservasi yang dilakukan Bapak, berdampak pula pada keberlangsungan regenerasi kesenian di Desa Aan. Aan Secret Waterfall menuntun Bapak untuk berbuat lebih dan lebih, menghidupkan kembali Sanggar Dhira Pradiva, yang telah ia dirikan sejak 2017.

Aktivitas berkesenian di sanggar itu kini dilakukan secara terus-menerus tanpa adanya biaya yang keluar dari kantong pribadi sepeser pun. Pelatihan tari Bali, gamelan Bali, penulisan aksara Bali dan bahkan belajar bahasa Inggris menjadi kegiatan rutin di sanggar ini.

Demen sajan atin bapake nepukin cenik-cenike ngidang melajah ngigel jani dijumah ning,” (Bahasa Bali: “senang sekali hati bapak, melihat anak-anak bisa belajar menari di rumah”) ujar Bapak sembari menatap anak-anak yang berlatih menari.

Aan Secret Waterfall dan Sanggar Dhira Pradiva menjadi bentuk dari kasih seorang Bapak yang saya kenal. Ia tidak akan berhenti berusaha, ia tak pernah lelah dengan perjuanganya, tak henti dengan satu tujuan, tapi terus menyiramnya hingga banyak orang bisa merasakan manisnya buah dari tiap rantingnya. Begitu pula dengan saya, saya tumbuh hingga saat ini di dunia tari tak akan terlepas dari kasih yang Bapak berikan. Perjalanan mengejar tiap tujuan, melewati tiap tahap, mewujudkan tiap doa adalah bagian dari rasa kagum dan terima kasih saya pada Bapak. 

Di balik hubungan kedekatan saya dengan Bapak yang pasang surut, kami tumbuh bersama. sebagai pohon yang menjatuhkan benih dan memberi keteduhan kasih hingga benih itu ikut tumbuh bersama. Ia yang begitu mengasihi saya dengan caranya sendiri, merawat, membangun dan menumbuhkan benih kesenian dalam diri saya dengan begitu susah payah. 

Bapak barangkali mengidamkan masa-masa ia bisa ikut belajar menari. Namun, saya pun tahu, Bapak telah membiarkan masa lalu berlalu. Ia tak pernah menyerah, jiwa seninya tetap ada dalam lubuk hatinya, tumbuh dan bertumbuh dengan berbagai cara.

“Ning, mirib ulian Bapak tulus ngayah di air terjun, liu jani rejekine, liu maan timpal ditu. Kanti jani liu cerik-cerike jumah nyak melajah megenepan di sanggar.” ( Bahasa Bali: “Nak, mungkin karena Bapak tulus mengabdi pada air terjun, kini banyak berkah yang datang, banyak mendapat teman dan relasi, hingga sekarang banyak anak-anak di lingkungan sekitar yang mau belajar segala hal di sanggar.”) Terlihat pada senyumnya bahwa Bapak percaya semua ini adalah balasan dari alam atas ketulusan dan keikhlasannya mengabdikan diri pada alam.

Bapak, ia menyiram benih berkesenian yang telah ia tanam dengan air kegigihan hingga menumbuhkan ranting-ranting harapan baru. Impian yang dahulu tak dapat ia gapai kini justru bisa menghadirkan harapan-harapan baru yang bisa ia realisasikan bahkan untuk masyarakat yang lebih luas. Kini, Sanggar Dhira Pradiva menjadi kebun harapan regenerasi pelaku kesenian terutama di Desa Aan, Klungkung, Bali.

Benih tidak langsung tumbuh menjadi pohon yang menjunjung langit. Terkadang ia harus menyelinap di antara bebatuan, tak jarang diinjak, dihempas angin kencang, atau mungkin juga ditebang. Tapi akarnya yang kuat membantunya untuk terus menjalani hidup, menumbuhkan ranting-ranting dan menjulurkannya ke segala arah. Saya dan Bapak seperti akar dan batang pohon itu, kami bertumbuh bersama, walau terkadang ujung akar dengan ujung batang berjauhan, tapi kami selalu ada titik temu, kami dekat, dan sangat terhubung. Ranting dan dedaunan kami tumbuhkan bersama. Benih itu kini menjadi pohon yang rindang, tumbuh dan terus-menerus bertumbuh hingga banyak yang merasakan sejuk dan teduhnya pohon itu.

Terima Kasih, Bapak.

The Narratives
of Indonesian
Dancescape