The Narratives
of Indonesian
Dancescape

IN / ENG

Eivria  / Tangerang – Banten

“Terapi Menyelaraskan Tari”

“Terapi Menyelaraskan Tari”

Eivria Ardianti

Tangerang – Banten

Pengantar

Tahun 2019, aku kembali ke Yogyakarta. Aku memilih mengistirahatkan diri dan mengambil kelas menari pertamaku setelah mengundurkan diri dari pekerjaanku sebagai konselor di Jakarta. Usiaku saat itu 25 tahun. Aku kelahiran Sunda-Bengkulu, dan kelas tari pertamaku ketika itu adalah kelas tari klasik gaya Yogyakarta di Sanggar Seni Kinanti Sekar. Nawung Sekar, sebuah tarian yang lembut dan memanggil ingatan masa kecilku, saat berlatih di sanggar aku merasa kembali menjadi seperti kanak-kanak yang baru belajar tari.

Nisa, seorang penari lulusan ISI Yogyakarta, adalah guruku di sanggar itu. Dia seorang guru muda yang sabar selama melatihku yang kala itu tidak memiliki pengetahuan menari gaya Yogyakarta. Aku sering menangis dan mengkritik diri saat tiba di kos setelah pulang latihan karena merasa perkembanganku sangat lambat di antara teman-teman yang lain. Namun, di saat bersamaan juga ada kegembiraan yang kurasakan saat menari. Nisa tidak hanya mengajarkan teknik menari, tapi juga mewujudkan kelembutannya dalam berperan sebagai guru yang mendampingiku selama aku belajar. Semangat dan kesabaran yang diberikan Nisa dalam menemaniku memupuk rasa percaya diriku secara perlahan. 

Proses belajar menari sering membawaku pada pengalaman emosional yang ambivalen. Perasaan ingin menyerah karena tidak percaya diri seperti menjadi nyanyian pengantar tidur di malam hari dan nyanyian itu menjadi semakin sering saat mendekati waktu pementasan. 

Hari pementasan pun tiba, suhu di ujung tubuhku seketika mendingin padahal saat itu Yogyakarta sedang panas dan ruang tata rias sedang penuh oleh murid-murid sanggar. Saat aku diliputi demam panggung dan merasa bergerak tak seindah dan gemulai teman-teman lain selama pementasan, usai pentas Nisa menghampiri kami dan memberikan ucapan kepada kami, “Terima kasih, ya, terima kasih sudah mengizinkan tubuh kalian bergerak untuk menari malam ini.” 

Nisa memberikan ucapan selamat dan memeluk kami satu per satu. Ucapan dan pelukan Nisa masih dapat kurasakan dan kenang sampai saat ini, ucapan yang menyadarkanku bahwa mengizinkan tubuhku menari sama seperti mengizinkan diriku untuk merasakan dan mengalami sukacita.

Satu setengah tahun berlalu, kemudian tahun 2020 aku pindah ke Depok, Jawa barat karena pendapat tawaran pekerjaan sebagai terapis untuk anak dengan autisme. Aku bekerja selama 8 jam dari Senin sampai Jumat di rumah anak tersebut. Aku diminta hanya bekerja untuk satu anak dan disupervisi oleh terapis senior di sebuah lembaga tumbuh kembang anak. Bekerja sebagai terapis anak berkebutuhan khusus sering membuat hari-hariku menjadi sangat menantang apalagi saat anak sedang tidak dalam kondisi stabil. Digigit, dipukul, ditendang sampai dilempar benda-benda yang ada di ruang terapi bisa menjadi risiko yang kuhadapi selama bekerja. Terkadang risiko pekerjaanku meninggalkan bekas lebam di lengan ataupun kaki.

Saat melihat lebam di tubuhku, aku teringat akan pengalaman lebam yang juga dapat dihasilkan saat menari. Untuk menghibur diri dan memberikan pemaknaan baru tentang pengalaman tubuh yang lebam. Aku kembali mencoba mendaftarkan diri di Jenaka Learning Space untuk mengikuti kelas balet bagi pemula. Guru baletku bernama Mariska. Mariska seorang seniman dan guru tari yang cerdas dan disiplin. Ia menyimpan kekuatan sekaligus kelembutan saat menari. 

Darinya aku belajar, tari tidak hanya menjadi disiplin ilmu yang mengasyikkan dan menantang, tapi juga mampu memberi kebahagiaan dan keindahan dalam memproses rasa sakit. Di kelas balet dengan Mariska, aku memproses dan memaknai ulang rasa sakit dengan keindahan dalam gerakan-gerakan balet yang diajarkannya. Kehadiran Nisa dan Mariska sebagai guru tari di perjalananku memberikan dampak yang tidak hanya menumbuhkan rasa cintaku pada tari tapi juga rasa cintaku pada proses-proses hidup yang lebih luas.

 

Seni dan ruang bercerita seorang anak dengan autistik

Januari tahun 2022, aku mengundurkan diri sebagai terapis, aku mulai kembali mempersiapkan diri dan mencoba mengambil sekolah profesi psikologi klinis. Aku melanjutkan pendidikan magister profesiku di Universitas Persada Indonesia Y.A.I Jakarta. Di semester dua, aku mulai ditempatkan di beberapa rumah sakit untuk melakukan praktek kerja profesi psikologi (PKPP). Aku mendapat area magang di kawasan Jakarta dan Bogor. 

Di tengah kebosanan dengan dengan rutinitas kuliah dan PKPP, orang tua dari anak yang pernah menjadi klienku saat menjadi terapis dulu, menghubungiku kembali dan memintaku untuk menjenguk anaknya di rumah mereka. K (inisial nama anak) masih mengenalku dengan baik. Saat aku datang, ia menghampiriku memberikan senyuman, memegang tanganku menuju ruang makan dan meminta ditemani. Beberapa hari setelah bertemu K, aku berdiskusi dengan orang tua K dan mengusulkan untuk menemani K melukis selama satu jam di setiap Minggu sore.

K senang bermain dengan menggunakan cat atau media-media yang sifatnya cair. Ia senang memadukan berbagai warna diatas kanvas dengan gerakan-gerakan spontannya. Sepanjang bermain dengan cat ia suka berlari-lari, melakukan gerakan stimming (gerakan tubuh dan suara serta menggerakkan benda secara repetitif). Jika aku memberikan kanvas besar, ia tidak banyak berlari meninggalkan kanvas, tapi ia akan banyak melakukan gerakan-gerakan di atas kanvas seperti berputar, menyapu cat dengan tangan dan kakinya dan mencipratkan cat di atas kanvas. 

Melalui kegiatan melukis, aku banyak memberikan ruang untuknya bergerak dan melakukan eksplorasi yang membantunya melatih perkembangan keterampilan motorik dan koordinasi kinestetiknya. K memiliki profil sensori yang cukup sensitif yang berdampak membuat K lebih rentan mengalami meltdown, yaitu suatu reaksi atas suatu dorongan yang dilakukan oleh anak ketika mereka merasa kewalahan dengan perasaannya sendiri. Secara bertahap, aku memanfaatkan aktivitas melukis ini dengan mengenalkan pada K, bahan dan tekstur cat yang berbeda-beda. Materi-materi seni ini dapat dimanipulasi, disentuh, dan dieoksplorasi, sehingga dapat membantu K dalam menggunakan indra-indranya. Dengan mengatas kepekaan sensorik melalui eksplorasi tekstur, gerak, dan material, serta menggunakan warna dan rangsangan visual, seni memberikan pendekatan yang lebih efektif untuk mendukung K. Ini menciptakan ruang yang aman dan ramah untuk eksplorasi sensorik dan ekspresi diri, mendorong pertumbuhan emosional, pengembangan keterampilan, dan pengaturan diri.

K menawarkan cara menikmati hidup dengan kondisi yang tidak umum, terkadang hal-hal yang ditawarkan oleh K membuatku ingin kembali mempelajari hal-hal-hal yang tidak selalu tertulis dalam teks-teks buku ajar psikologi. Ia tidak hanya membuatku penasaran, tapi juga mempertanyakan ulang bagaimana suatu metode pendekatan belajar memiliki banyak aspek serta membuka ruang dalam membedah banyak hal dalam hidup.

Awalnya orientasiku memang ingin menjadi psikolog klinis. Kemudian, duniaku mulai berbalik ketika berdinamika bersama K, keterlibatan seni yang ia tuangkan menjadi gerbang pembuka yang menarik perhatianku. Pada proses ini, aku mulai memberikan perhatian pada proses kreatif dan pemulihan.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   

Menemukan Sekolah Terapi Tari di Singapura

Saat mencari kelas pelatihan, aku menemukan kursus pendek dance movement therapy di Singapura. Tanpa pikir panjang, aku mengecek dan menghitung uang yang dimiliki untuk membayar kursus dan biaya tiket pesawat. Saat itu, aku hanya berpikir ingin mendapat pengalaman dan belajar sesuatu yang baru, jadi aku mendaftar untuk mengambil kursus pendek dance movement therapy (terapi gerak tari) di Lasalle College Of The Art, Singapore. 

Kelas dimulai pada tanggal 26 Agustus – 14 Oktober 2023, aku memulai kelas dance movement therapy di setiap Sabtu. Di bulan yang bersamaan, saat itu aku sedang PKPP di RSKO, Jakarta timur. Saat itu, jam magang di RSKO setiap hari Senin-Jumat dari pukul 08.00-16.00 WIB. Setelah mengisi absen pulang, aku langsung menuju bandara Soekarno Hatta, Tangerang untuk mengejar penerbangan ke Singapura. Aku memilih tidur di Bandara Changi, terkadang di sofa bandara atau di karpet, tergantung keberuntungan malam itu. Jika sofa sedang penuh, aku akan tidur di karpet bandara agar tidak mengeluarkan uang untuk penginapan saat di Singapura. Sabtu pagi, aku melanjutkan perjalanan ke Lasalle menggunakan MRT untuk mengikuti kelas sampai siang dan kembali pulang ke Indonesia dengan jadwal penerbangan malam.

Sabtu 26 Agustus 2024 pagi, aku terbangun dari sofa Bandara Changi, lalu membersihkan diri dan melanjutkan perjalanan menuju Lasalle menggunakan MRT. Aku turun di stasiun Rochor, kemudian berjalan kaki untuk berkumpul di lapangan kampus menunggu semua peserta hadir sebelum naik ke ruang studio. Kelas difasilitasi oleh seorang terapis tari bernama Cerise Tean. Cerise memulai kelas dengan mengajak kami saling berkenalan dengan berdiri dan melingkar, ia menanyakan bagaimana perasaan kami di awal kelas dan dimulai satu per satu secara bergiliran. Setelah satu orang memberikan gerak, semua peserta diminta untuk mengulang gerakan tersebut secara bersamaan. Para peserta di kelas diminta untuk menjawab menggunakan satu gerakan yang merepresentasikan perasaan dan kabar mereka masing-masing. 

Di hari pertama kelas, kami belajar untuk merasakan dan terhubung dengan tubuh kami. Ia mengajak kami untuk membayangkan dan fokus merasakan di ujung tangan kanan kami ada sebuah bola pingpong, kemudian bola pingpong tersebut bergerak secara perlahan di atas kulit kami. Saat bola pingpong bergerak, kami diminta untuk menggerakkan tubuh ke arah bola pingpong bergerak. Ia meminta kami bergerak selama bersamaan selama beberapa menit. Setelah itu, kami beristirahat sebentar dan kembali pada materi selanjutnya. 

Selanjutnya, Cerise mempresentasikan beragam emosi yang umumnya dirasakan oleh manusia dalam keseharian. Ia membagi gerakan untuk mengekspresikan emosi tersebut melalui metafora empat elemen, yaitu elemen air, udara, tanah, api. 

Kami diajak membayangkan elemen air dan sifat bergerak dari elemen tersebut. Setelah kami selesai membayangkan elemen air, kami diminta bergerak secara bersamaan dan bergerak mengikuti sifat air. Begitu pun dengan elemen udara, tanah, dan api. Kemudian masing-masing dari kami diminta memilih satu emosi yang ingin kami ekspresikan pada hari itu melalui gerakan elemen tersebut. Kami bergerak secara bersamaan dengan fokus merasakan tubuh dan gerakan kami sesuai dengan elemen-elemen yang kami pilih selama beberapa menit. Kami dibebaskan untuk berpindah posisi ataupun diam di tempat dalam bergerak, tapi tidak boleh saling menabrak satu sama lain. Saat kelas berakhir, Cerise menutup sesi dengan mengajak kami kembali membuat lingkaran dan kembali menanyakan bagaimana perasaan kami saat itu melalui satu gerak secara bergantian.

Pada minggu kedua, 2 September 2023. Cerise memulai kelas seperti biasa dengan membuat lingkaran dan menanyakan perasaan kami satu per satu melalui satu gerak yang kami ekspresikan. Selanjutnya, Cerise mengenalkan beberapa perpindahan gerakan dasar seperti bergerak maju, bergerak mundur, bergerak ke arah atas, dan bergerak ke arah bawah. Lalu, kami diminta bergerak dan berfokus untuk merasakan saat tubuh bergerak dan melakukan perpindahan. 

Pertama-tama, ia meminta kami bergerak secara bersamaan dengan gerakan maju dan tidak boleh saling menabrak selama beberapa menit. Lalu ia mengganti instruksi untuk meminta kami bergerak mundur secara bersamaan dan tidak boleh saling menabrak. Kemudian ia kembali mengganti instruksi agar kami bergerak menyerong secara bersamaan dan tidak boleh saling menabrak. Terakhir, ia memberi instruksi kembali dengan meminta kami memilih menggerakkan tubuh maju, mundur, menyerong secara bersama-sama dan tidak boleh saling menabrak selama beberapa waktu. Di materi gerakan ini, kami diajak untuk merasakan dan menyadari keberadaan tubuh kami, keberadaan tubuh orang lain, dan juga bagaimana kami berbagi ruang pada diri sendiri dan orang lain.

Cerise memberikan kami waktu beristirahat selama 5 menit sebelum melanjutkan materi selanjutnya. Setelah selesai beristirahat, kami kembali berkumpul. Ia mengajak kami mengenal bagaimana dalam keseharian tubuh menerima banyak stimulus melalui panca indera kami, saat rangsangan stimulus menjadi sangat kuat tubuh menjadi lebih mudah untuk mengalami kelelahan. Kemudian, kami diajak sejenak mengambil waktu untuk mengistirahatkan tubuh dan mengirim sinyal kasih sayang melalui teknik interoception. Interoception sendiri mengacu pada suatu proses di mana sistem saraf merasakan, menafsirkan, dan mengintegrasikan sinyal yang bberasal dari dalam tubuh, memberikan pemetaan lanskap internal tubuh dari wwaktu ke waktu di tingkat sadar dan tidak sadar. Teknik ini dilakukan dengan tangan kanan ditempelkan di dada, dan tangan kiri ditempelkan pada bagian tubuh yang kami rasakan sering terasa sakit/pegal. Kami diajak untuk membayangkan aliran darah yang ada di dalam tangan kanan kami untuk mengalir aliran cinta kasih menuju tangan kiri yang sedang menyentuh anggota tubuh yang sedang lelah. Saat kami sudah dapat merasa aman dan nyaman saat menyentuh tubuh, Cerise memperbolehkan kami untuk memijat tubuh kami masing-masing dengan menyesuaikan tekanan yang tubuh kami butuhkan agar merasa lebih tenang. Terakhir, setelah memijat, ia meminta kami melakukan brushing off yaitu gerakan seperti menggosok tubuh dan menghempaskan.

Selanjutnya, kami diajak untuk bergerak menggunakan benda-benda yang ada di dalam studio. Cerise membawa beberapa objek lain seperti batu dan selendang yang bisa kami gunakan dan eksplorasi. Seorang teman memilih bergerak menuju cermin dan menutup tubuhnya di balik tirai. Teman lain ada yang bergerak ke arah piano dan menekan not piano dengan acak. Ada yang bergerak meliuk-liuk mengikuti bentuk balok. Ada yang melakukan gerakan mendorong ke arah tembok. Ada yang bergerak mengentak-entakkan kaki ke lantai. Ada yang melakukan pose savasana (tidur telentang) dan aku memilih bergerak menggunakan selendang. Saat itu, warna-warna selendang yang dibawa Cerise menarik perhatianku untuk bergerak. Aku menggunakan selendang berwarna pink yang transparan. Di balik selendang, sesekali aku melihat teman-teman lain yang juga sedang bergerak dengan ruang dan cara yang berbeda. Aku menikmati gerakanku dan memberikan ruang pada diri sendiri untuk mengeksplorasi imajinasiku dan objek-objek yang ada di dalam ruang studio tersebut. 

Di akhir kelas, Cerise kembali menutup kelas dengan kembali membuat lingkaran dan menanyakan kabar kami masing-masing yang diekspresikan melalui satu gerakan secara bergantian.

Pada pertemuan selanjutnya 9 September 2023. Cerise membuka presentasi mengenai teori 5 bahasa cinta yang umumnya diekspresikan oleh manusia. Bagaimana kita mengekspresikan bahasa cinta kepada orang-orang di sekitar kita sebagaimana kita ingin menerima cinta dari mereka. Terkadang, kebutuhan mencintai dan dicintai yang berbeda pada setiap orang dapat menciptakan kesalahpahaman satu sama lain dalam memberi dan menerima cinta. Ia merujuk pada teori Dr. Gary Chapman, yang membagi bahasa cinta menjadi lima jenis yaitu words of affirmation, acts of service, quality time, receiving gifts, dan physical touch.

Individu yang memiliki kebutuhan mengekspresikan cinta dengan jenis words of affirmation biasanya sangat menghargai ekspresi melalui kata-kata verbal seperti memberikan pujian dengan tulus dan menyukai memberikan dorongan dengan kalimat afirmatif. Berbeda dengan individu yang memiliki kebutuhan mengekspresikan cinta dengan jenis acts of service, mereka dapat merasa dicintai ketika seseorang melakukan tindakan secara langsung dalam membantu mereka ketika menghadapi kesulitan. Bagi seseorang yang mengidentifikasi quality time sebagai bahasa cinta mereka, cinta dan kasih sayang diungkapkan melalui perhatian penuh melalui kehadiran saat meluangkan waktu bersama. Seseorang dengan bahasa cinta receiving gifts umumnya senang mengekspresikan dengan memberi dan menerima cinta melalui pemberian hadiah. Nilai hadiah ini biasanya bukanlah hal utama, melainkan fokus pada perhatiannya dan terakhir seseorang dengan bahasa cinta physical touch merasa dicintai melalui kasih sayang yang melibatkan adanya kontak fisik seperti memberikan perhatian melalui pelukan, menggandeng tangan dan juga memijat dalam menunjukan rasa peduli.

Cerise meminta kami mengidentifikai kelima bahasa cinta tersebut ke dalam gerakan kami dan menyadari sensasi perasaan yang muncul melalui tubuh kami. Setelah itu, kami diminta untuk mengidentifikasi seberapa lama kami dapat bergerak dengan kebutuhan dari bahasa cinta kami masing-masing, apa yang menjadi bahasa cinta kami yang paling utama (primary) dan yang mana yang merupakan pelengkap (secondary)s bahasa cinta kami.

Aku mengidentifikasi gerakan words of affirmation sebagai bahasa cintaku yang utama dan receiving gifts sebagai pelengkap bahasa cintaku. Menyadari hal ini ternyata secara tidak langsung sering mempengaruhiku juga bagaimana aku ingin menerima cinta dari orang-orang sekitar, dan menyadari mengapa aku sering merasa terbebani saat mendapatkan hadiah. Cerise mengajak kami mengenali dan melihat ulang respons tubuh kami saat memberi dan menerima cinta melalui ekspresi bahasa cinta yang berbeda-beda untuk setiap orang. Saat orang lain memiliki bahasa cinta yang berbeda dengan diri sendiri, kami diajak untuk melatih kemampuan kami secara mandiri untuk merasakan dan menemukan kombinasi pengalaman secara langsung melalui ekspresi gerakan tubuh dalam memberi dan menerima cinta.

Hari ini kami memasuki minggu kelas keempat, 16 September 2023. Pada materi kelas hari ini, Cerise membawa tema koneksi dan respons. Seperti biasanya sebelum sesi kelas dimulai, Cerise menanyakan bagaimana kabar kami dalam gerak yang bergantian. Selanjutnya, kami diminta untuk keluar dari lingkaran dan memilih titik berdiri kami. Cerise meminta kami untuk berjalan dengan gerakan maju menjelajahi ruangan studio secara bersamaan tapi tidak boleh saling menabrak satu sama lain dan jika kami berpapasan dengan teman lain, kami diminta untuk saling melakukan kontak mata kemudian kembali melanjutkan gerakan kami.

Setelah beberapa menit, Cerise mengganti instruksi. Mula-mula, berjalan dengan gerakan mundur, dengan aturan yang sama melakukan kontak mata setiap kali berpapasan dengan teman lain tanpa saling menabrak. Kemudian, Cerise kembali mengganti instruksi dengan berjalan bergerak menyerong, melakukan kontak mata saat berpapasan dan tidak saling menabrak satu sama lain. Terakhir, Cerise meminta kami untuk memilih bergerak dengan gerakan maju, mundur, atau menyerong secara serentak dan tetap melakukan kontak mata saat berpapasan tanpa boleh saling menabrak satu sama lain. Pada instruksi terakhir menurutku Cerise sedang mengajak kami untuk perlahan saling mengenal antar teman satu sama lain, membangun koneksi melalui kontak mata, memberikan kesediaan diri untuk berbagi ruang studio bersama dan menyadari keberadaan tubuh lain yang sedang bergerak serta menghormati pilihan gerak masing-masing individu yang berbeda dengan mengambil posisi berbagi kepercayaan untuk tidak saling menabrak ruang saat bergerak serentak.

Pada materi berikutnya, masing-masing dari kami diminta untuk memilih kelompok yang berisi tiga orang. Kami diajak untuk membayangkan bahwa kami adalah tiga orang yang tinggal dalam satu rumah dan berbagi ruang gerak dalam keseharian kami. Cerise membagi posisi gerak menjadi tiga bentuk, yaitu gerakan posisi rendah/bawah, gerakan posisi tengah/posisi medium, dan gerakan posisi atas. Setiap kelompok mendapat kesempatan bergerak secara bergantian. Saat satu kelompok sedang mempresentasikan gerakannya, maka peserta dari kelompok lain hanya menonton dan menunggu giliran.

Cerise meminta kami berlantih memunculkan gerakan dan merespons gerakan satu sama lain. Misalnya, saat aku memilih bergerak dengan mengambil posisi bawah, maka kedua temanku tidak boleh memilih posisi gerak yang sama, satu di antara mereka perlu mengambil gerakan dalam posisi tengan dan seorang lain mengambil gerakan pada posisi atas. Awalnya, Cerise memberikan instruksi dengan ritme lambat, setelah ia meerasa kami dapat saling menyeimbangkan posisi gerakan satu sama lain, instruksi ritme mulai dipercepat dan semakin dipercepat. Dari yang awal mula kami beradaptasi memilih gerak untuk diri kami sendiri, perlahan tubuh kami mulai secara spontan memberikan respons untuk mengambil posisi menyeimbangkan gerakan tubuh kedua teman kami. Ketika instruksi ritme semakin dipercepat, kesadaran kami meluas untuk memperhatikan gerakan kedua teman kami yang secara spontan menyampaikan keinginan tubuh kami membagi ruang bergerak dan saling mengimbangi satu sama lain. Setelah selesai kami saling mengucapkan terima kasih dan diberikan waktu untuk beristirahat.

Setelah beristirahat, Cerise meminta kami memilih satu orang yang kami merasa cukup nyaman untuk bercerita melalui gerakan yang ingin kami ungkapkan. Aku memilih dan dipilih oleh seorang teman yang dalam keseharian ia bekerja sebagai staf keuangan di sebuah bank di Singapore. Ia mengambil kelas menari dan yoga di sela-sela kesibukannya saat libur kerja untuk melakukan perawatan diri bersama teman-temannya. Kami semua diminta bergerak secara bersamaan dengan pasangan menari kami masing-masing. Cerise meminta kami menceritakan keseharian kami atau apapun yang ingin kami ceritakan dan merupakan cara untuk memfasilitasi kami menceritakan ungkapan verbal yang terkondisikan dalam bahasa non verbal melalui tubuh kami, tapi tetap merasa saling terhubung tanpa perlu menciptakan koneksi yang terlalu mendalam, sehingga masing-masing dari kami masih memiliki ruang kendali atas hal-hal yang belum siap kami bagi pada orang lain. Cerise menghitung mundur memberi aba-aba yang menandakan waktu bercerita pada sesi ini sudah akan habis dan berganti dengan instruksi selanjutnya. Setelah hitungan mundur dari 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1, maka instruksi berganti.

Selanjutnya, Cerise meminta kami untuk saling berhadapan satu sama lain, kami diminta untuk melakukan gerakan bercermin (mirroring), yaitu mengikuti gerakan pasangan menari kami saat ia menggerakan tubuhnya. Sepanjang melakukan gerakan mirroring, kami diwajibkan melakukan kontak mata sampai musik berhenti dan dilakukan dengan bergantian. Gerakan mirroring dan kontak mata menjadi situasi yang lebih intim untuk membuat kami berlatih memberikan kepercayaan kepada orang lain, seberapa nyaman kami bisa percayaya pada orang lain, dan seberapa banyak kami ingin membuka diri membagi bagian diri untuk dileburkan. Saat kami bergerak mirroring untuk pasangan menari kami, kami berlatih menenempatkan diri kami pada situasi dan kondisi pasangan menari kami sehingga hal ini memungkinkan kami untuk mengembangkan empati dan merasakan bagaimana orang lain memilih pilihan-pilihan daya juangnya yang mungkin bisa sangat berbeda dengan diri kita dari tantangan-tantangan hidupnya. Pada instruksi terakhir, Cerise meminta kami untuk saling menyentuh dan membuat pose akhir yang menggambarkan dinamika kami sebagai untkapan ekspresi terima kasih.

Pada kelas di minggu kelima, 23 September 2023. tema topik pada kelas hari ini banyak mengenai emosi dan membuat gerakan untuk mengekspresikan emosi. Ada enam tema emosi utama yang akan coba diekspresikan melalui gerakan, yaitu takut, terkejut, marah, cinta, perasaan tidak aman, dan sukacita.

Pada instruksi pertama, Cerise meminta kami mengekspresikan emosi takut melaluui gerakan kami masing-masing secara serentak, kemudian setiap kali satu gerakan emosi selesai diekspresikan, kami diwajibkan untuk melakukan gerakan brushing off (menggosok tubuh dan gerakan menghempas) setelah itu instruksi berganti dengan emosi terkejut, marah, cinta, perasaan tidak aman dan terakhir ekspresi dalam gerakan merasakan sukacita.

Saat kami sudah dapat mengidentifikasi emosi-emosi kami dan bagaimana bentuk gerakan kami dalam menuangkan emosi-emosi tersebut, Cerise meminta kami untuk memilih pasangan menari dan melakukan gerakan mirroring dengan mengulang membuuat gerakan pada setiap emosi takut, terkejut, marah, cinta, perasaan tidak aman, dan sukacita secara bergantian.

Setelah itu, Cerise memberikan instruksi untuk berbagi pengalaman emosi melalui gerakan bersama menari yang kami pilih secara bergantian. Saat aku membuat gerakan-gerakan untuk mengekspresikan emosiku, pasangan menariku akan memberikan gerakan respons yang menunjukkan kepedulian dan empati melalui gerakannya. Begitupun sebaliknya, saat temanku membuat gerakan untuk mengekspresikan emosinya, maka aku diwajibkan untuk memberikan gerakan respons yang menunjukkan kepedulian dan empati melalui gerakanku.

Pada sesi kelas di minggu keenam dan ketujuh, aku tidak masuk kelas karena sakit dan sedang rawat inap di RS serta memerlukan pemulihan sehingga aku baru kembali masuk kelas pada sesi di minggu kedelapan 14 Oktober 2023. Topik pada tema kelas hari ini adalah gerakan otentik yang ingin coba diekspresikan melalui tubuh. Cerise mengajak kami untuk memilih satu sampai tiga gerakan yang dialami oleh tubuh kami di masa lalu. Setelah itu, kami diminta untuk menggerakan tubuh kami dengan gerakan terbuka dan tertutup selama beberapa menit secara bersamaan, pada sesi ini Cerise ikut menari bersama kami. Cerise akan menghampiri kami dengan gerakannya untuk merespons gerakan kami. Gerakan Cerise berfungsi sebagai pagar atau gerakan pembatas. Sehingga saat kami terlihat terlalu hanyut dalam gerakan kami, maka kami dapat kembali sadar pada gerakan kami dan perlu melakukan perubahan gerakan hingga secara perlahan diajak kembali bergerak pada masa sekarang. Saat kami sudah bergerak dari masa lalu menuju gerak di masa sekarang, Cerise memberikan instruksi untuk fokus pada gerakan grounding (gerakan yang memberikan penekanan pada lantai, mendorong tembok, dan merasakan tekstur secara sadar) kami diminta terus melakukan gerakan grounding sampai musik yang diputar selesai. Setelah itu Cerise memberikan kami waktu untuk beristirahat.

Setelah selesai beristirahat, Cerise meminta kami satu per satu bergerak dalam mata tertutup secara bergantian untuk melakukan gerakan otentik kami selama 3 menit. Dalam gerakan otentik ini, kami didorong untuk memusatkan perhatian kami pada masa kini dan memerankan emosi batin kami melalui gerakan tarian improvisasi dengan mata tertutup. Tujuan dari proses ini adalah agar kami terhubung dengan tubuh dan pikiran kami serta membiarkan pengalaman batin kami bergerak. Pada sesi ini tidak melibatkan koreografi, musik atau rencana. Cerise meminta kami untuk memberikan ruang terhadap perasaan, pengalaman dan keberadaan kami melalui gerakan yang tulus dan ekspresif sehingga memungkinkan kami untuk menyediakan ruang aman agar dapat meningkatkan kesadaran diri, pemulihan dan meningkatkan ekspresi diri. Teman-teman lain memiliki tugas untuk menyebar ke beberapa titik sekaligus menjadi penjaga dan pagar saat teman yang sedang menari tetap aman dan perlu mengubah arah gerak. Pada sesi ini, tidak ada penilaian mengenai estetika, dan juga tidak diperbolehkan untuk memberikan interpretasi pada gerakan yang sedang ditarikan, sehingga tugas murid yang sedang tidak menari adalah hanya menjaga agar teman kami yang pada gilirannya sedang menari dapat menari dengan aman.

Setelah semua peserta selesai mendapat giliran menari, Cerise meminta masing-masing dari kami mengambil benang woll yang ia bawa. Cerise membawa beberapa benang woll dengan warna yang beragam dan masing-masing dari kami mengambil satu gulungan benang woll dengan warna pilihan kami. Kami diminta mengikat ujung benang pada titik benda atau sudut yang kami pilih. Setelah itu, Cerise mengajak kami secara acak bergerak sambil membawa gulungan benang dan mengurainya hingga benang-benang tersebut terbentuk seperti aring laba-laba di ruang studio. Selama beberapa menit, kami diminta untuk melihat sekeliling kami dari titik pemberhentian posisi kami yang berbeda-beda dan bagaimana ruangan menjadi berantakan dipenuhi oleh benang kusut berwarna-warni. Setelah selesai memperhatikan, Cerise memberikan instruksi kembali bergerak sambil menggulung benang yang sedang kami pegang dan menemukan cara melepaskan benang kusut hingga studio kembali bersih dari jaring benang-benang yang kami buat dan tergulung seperti semula.

Di kelas ini, aku merasa dipertemukan dengan teman-teman dari berbagai latar belakang dan kisah hidup. Tidak semua peserta memiliki latar belakang menari dan aku sendiri memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris. Namun, melalui metode gerakan dan dinamika yang diajarkan oleh Cerise, kami dituntun menyerap bahasa universal dalam memproses berbagai kemungkinan yang awalnya terasa asing hingga kemudian menyatukan kami dalam berbagai perbedaan untuk dapat diolah bersama. Sebagai penutup kelas, Cerise membacakan sebuah surat untuk kami semua sebagai ungkapan terima kasih atas kesempatan dan ruang belajar selama kursus ini berlangsung. 


Penutup

Kelas yang difasilitasi oleh Cerise di Lasalle saat itu begitu banyak memberikan dampak bagiku. Cerise menginspirasi dan membuka penglihatanku untuk mencintai tari dalam lingkup yang lain. Tari dan psikologi menjadi dua dunia yang berfungsi sebagai basis yang cukup signifikan dalam hidupku. Aku ingin mempelajari aspek-aspek mengenai terapi tari dan proses kreatif. 

Mungkin saja panggungku tidak selalu berada pada hingar-bingar pertunjukan dan tepuk tangan. Aku menari seperti aku ingin terus mengalami. Aku ingin terus dapat menyimpan ragam peristiwa melalui tari. Menari untuk terus menemukan daya juang dan daya hidup itu sendiri.

 

The Narratives
of Indonesian
Dancescape