The Narratives
of Indonesian
Dancescape

IN / ENG

M. Ilham Mustain Murda  / Jayapura – Papua

“Bintang Penuntun”

“Bintang Penuntun”

M. Ilham Mustain Murda

Jayapura – Papua

Saat malam menyelimuti Jayapura dengan keheningan yang mendalam dan bintang-bintang berkelip di atas sana, pikiranku terempas ke masa lalu, menyusuri memori-memori yang terus menghantui. Setiap sudut jalan, setiap kilauan lampu yang samar-samar menerangi, membawaku kembali pada masa-masa penuh liku, tempat harapan dan ketabahan menjadi penopang di tengah segala rintangan. Cerita ini bukan hanya tentang diriku, tapi tentang semua yang pernah berjuang dan bertahan di tanah surga yang indah tapi penuh tantangan ini.

Aku, seorang pencari inspirasi di tengah keringnya lahan seni di Papua, menemukan diriku terjebak dalam labirin ketidakpastian. Tiap langkahku seperti terbelenggu oleh rantai keputusasaan, khususnya saat aku menatap Malaika, putri kecilku yang lahir dengan kondisi fisik kaki dan tangan kanan yang spesial atau biasa disebut Hemimelia Fibular—sebuah kondisi kelainan bawaan yang ditandai dengan ketidakhadiran sebagian atau seluruh tulang fibula, salah satu dari dua tulang panjang di kaki bagian bawah (tulang betis). Kondisi ini dapat menyebabkan berbagai masalah pada perkembangan dan fungsi kaki. Namun, semangatnya tak tergoyahkan walaupun belum bisa berjalan saat usianya sudah hampir 3 tahun. Dia adalah cahaya di tengah kegelapan, tapi juga cermin dari ketidakberdayaan yang kutemui di setiap sudut Jayapura.

Di tengah kegalauanku, datanglah ingatan kepada Bang Sabil, seperti angin segar di padang gurun. Dia bukan hanya seorang guru kehidupan, tetapi juga sosok yang mengubah pandanganku terhadap seni dan eksistensi. Dari Bang Sabil, aku belajar bahwa seni bukan hanya tentang ekspresi diri, melainkan juga tentang keberanian untuk berdiri di hadapan ketidakadilan, serta keuletan untuk meretas jalan di tengah badai kehidupan.


Malaika dan Bang Sabil: Mengarungi Labirin Ketidakpastian Menuju Keberanian

Sosok Bang Sabil mengingatkanku pada nilai-nilai keikhlasan dan ketabahan yang pernah diajarkan olehnya. Dia adalah penjaga api dalam gelapnya malam, mengarahkan langkahku dengan kebijaksanaan dan memotivasi untuk tetap berjuang, meski jalanku penuh dengan duri dan reruntuhan.

Dengan semangat baru, aku memutuskan untuk tidak lagi terjebak dalam belenggu keputusasaan. Bersama Malaika yang tak pernah berhenti tersenyum meski dalam keterbatasan, aku menemukan kekuatan untuk terus melangkah maju, menantang arus yang mengempaskan dan membelah.

Maka, di bawah langit Jayapura yang penuh misteri, aku bersumpah untuk menjadi pelopor perubahan, membawa sinar harapan bagi mereka yang tenggelam dalam keputusasaan, dan menjadi teladan bagi generasi mendatang khususnya Malaika bidadari kecilku. Karena, di setiap sudut kehidupan, selalu ada cerita yang menanti untuk diabadikan, dan di setiap kesulitan, selalu ada pelajaran yang berharga untuk dipetik.

Perjalanan ini membawaku melewati gurun-gurun keputusasaan, tetapi juga mengantarkanku ke oasis keberanian dan keberanian yang tak terduga. Setiap langkahku diiringi oleh sorot mata Malaika, mengingatkanku akan tujuan yang lebih tinggi, yang menghalau bayang-bayang ketakutan dan memicu nyala semangat dalam diriku.

Duduk di depan teras, sambil menatap tetesan hujan yang membasahi tanah, aku dan Malaika berbicara dengan bahasa yang sederhana tapi penuh makna. Aku memeluknya erat dan berkata dengan lembut, “Malaika anak sholehanya Bapak, lihatlah hujan itu, seperti air mata yang membersihkan dunia. Kita harus kuat dan terus tumbuh, ya. Bapak dan Mama akan selalu ada di sini untuk mendukungmu. Bersama-sama, kita akan menghadapi segala badai dan menikmati setiap langkah perjalanan kita.”

Malaika tersenyum lebar dan menjawab “Iye, Pappa,” dengan penuh kehangatan, sebagai tanda bahwa dia juga memahami setiap kata yang kujelaskan. Dia meraih tanganku dengan penuh kebahagiaan, dan sesekali mengusap keempat jari spesialnya di keningku, seolah-olah menguatkan tekad bahwa kami akan melewati segala rintangan bersama-sama. Dalam tatapan matanya yang bersinar, aku merasakan keteguhan dan keberanian yang luar biasa, meskipun dia masih begitu muda.


Perjalanan Kembali ke Akar: Mencari Cahaya dalam Kegelapan

Semua ini diawali dengan realitas pahit yang menyambutku ketika kembali ke Jayapura di awal 2015 lalu, tanah kelahiranku. Meski cinta pada seni tetap berkobar, kenyataannya kami menghadapi minimnya wadah yang memadai untuk menyalurkan bakat dan minat seni. Kegiatan yang dulu meriah mulai meredup, dan semangat untuk melestarikan seni tari semakin memudar di tengah keterbatasan. Seolah sebuah mimpi yang terguncang dari tidurnya, tanah subur ini terasa kering dari hujan kecintaan pada seni yang kami miliki.

Setiap sudut kota yang dulu dipenuhi dengan gelak tawa dan gemuruh tepuk tangan kini sunyi, hanya ditemani oleh bayang-bayang masa lalu yang masih bergelayut di pikiran. Aku teringat saat pertama kali menari di sebuah festival kecil di tengah kota, saat melihat semangat dan antusiasme para penonton membakar semangatku untuk terus berkarya. Namun, sekarang, rasanya semangat itu hilang, tersapu oleh perubahan zaman dan pergeseran minat generasi muda.

Akan tetapi, di tengah gelapnya malam, seberkas cahaya harapan muncul di cakrawala. Teringat kembali saat bergabung dengan komunitas Freedom 99 di tahun 1999 dan kemudian berubah nama menjadi Freedom Squad di Makassar pada 2006, aku menemukan bukan hanya teman sejati, tetapi juga inspirasi yang membara untuk meraih prestasi nasional maupun internasional dan menaklukkan panggung-panggung kota yang lain. Bersama mereka, setiap langkahku menjadi sebuah perjalanan menuju keberanian, kebersamaan, dan kemuliaan dalam seni. Di sana, aku bertemu dengan Echon Luturmase, seorang penari yang memperkenalkan kami pada teknik-teknik baru, menggabungkan gerakan tradisional dengan modern, menciptakan koreografi yang memukau. Akhirnya, aku menemukan kembali api yang sempat redup, melihat bagaimana semangat dan dedikasi teman-teman baru menghidupkan kembali gairahku dalam melewati masa remajaku.

Kilas balik ke tahun 2000-an, aku masih ingat betapa bersemangatnya kami saat berlatih di jalanan di tengah kompleks Entrop. Jalanan yang sempit dan berdebu menjadi saksi bisu perjalanan kami menuju kebesaran. Setiap malam, setelah hari yang panjang, kami berkumpul di bawah lampu rumah tetangga yang redup. Anak-anak kompleks berkumpul di sekitar kami, menonton dengan mata penuh kekaguman saat kami berlatih gerakan demi gerakan. Kami tidak punya studio mewah atau fasilitas modern, hanya semangat yang menyala-nyala dan tekad yang tak tergoyahkan.

Latihan di jalanan memberikan kami kekuatan yang unik. Di sana, kami belajar tentang ketangguhan dan kebersamaan. Setiap gerakan, setiap putaran, dan setiap lompatan adalah wujud dari mimpi-mimpi kami yang perlahan mulai menjadi nyata. Kami menari di atas aspal yang keras, mendengarkan ritme kehidupan kompleks yang berpadu dengan suara musik dari radio tua yang sering kami bawa. Di sana, di tengah jalanan yang sederhana, kami menemukan kebahagiaan sejati dalam menari.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah kejuruan, aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Makassar. Keputusan ini tidak didukung oleh ayahku, yang merasa khawatir tentang pengaruh buruk kota besar dan takut aku akan melupakan tujuan utamaku, yaitu menyelesaikan pendidikan. Tegangan antara kami begitu seringnya, sampai puncaknya ketika Ayah menghadapi kondisi sulit, terlilit utang, dan kami terlibat dalam pertengkaran hebat.

Dalam kondisi penuh emosi, aku memutuskan untuk tidak berkomunikasi dengan Ayah selama satu minggu. Namun, saat itu aku tidak menyadari bahwa Ayah mulai sakit dan mengalami gejala stroke ringan. Ketika aku mendengar kabar bahwa Ayah sakit, aku merasa sangat menyesal atas semua pertengkaran yang terjadi. Aku memutuskan untuk kembali ke Jayapura untuk membantu Ayah. Meski begitu, Ayah dengan bijaksana menolak tawaranku untuk berhenti kuliah dan membantu bisnisnya. Dia menginginkan yang terbaik untukku, yaitu untuk tetap fokus pada pendidikanku sambil membantu bisnisnya di Jayapura.

Dalam perjalanan karier tari, aku berhasil meraih mimpi mengikuti sebuah kegiatan di stasiun TV dan mendapatkan uang yang cukup besar. Uang tersebut kuniatkan untuk membawa Ayah berobat ke Makassar. Sayangnya, sakit Ayah tidak kunjung sembuh dan akhirnya ia meminta pulang ke Jayapura. Semangat hidup Ayah semakin hari semakin menurun, dan akhirnya aku memilih diam-diam pergi ke Jakarta untuk mengembangkan potensi tariku agar bisa menghasilkan uang sendiri dan melanjutkan kuliah di sana.

Akan tetapi, baru seminggu di Jakarta dan Bandung, aku menerima kabar bahwa Ayah sedang sakratul maut dan akhirnya meninggal saat aku dalam perjalanan balik ke Jayapura. Kejadian ini sangat menghancurkan hatiku, tapi juga memotivasiku untuk terus berjuang. Aku kembali ke Makassar untuk melanjutkan kuliah dan mengejar mimpi sebagai penari yang memiliki prestasi nasional hingga tingkat internasional.


Cahaya dalam Kegelapan: Menemukan Warisan Budaya dan Makna Hidup

Perjalanan tak berhenti di Makassar. Pada 2010, aku melangkahkan kaki menuju ibu kota, Jakarta. Di kota yang hiruk-pikuk ini, di tengah gemerlap lampu-lampu kota dan dinamika kehidupan yang begitu cepat, aku mencari peluang lebih besar, pengalaman lebih luas, dan inspirasi yang lebih mendalam. Jakarta adalah tempat mimpi-mimpi besar terwujud, tetapi juga tempat tantangan terbesar menghadang.

Di Jakarta, aku bertemu dengan Bang Sabil di kos “Opung”, bersama komunitas Papua yang berjuang menghadapi masalah, kami belajar banyak tentang ketahanan, kesabaran, dan tekad untuk meraih impian. Pertemuan dengan Bang Sabil merupakan titik balik dalam hidupku. Dengan mata yang penuh dengan pengalaman dan hati yang luas, ia mengarahkan langkahku dengan bijaksana, memotivasi untuk tidak hanya meraih kesuksesan, tetapi juga menyentuh hati orang lain dengan karya-karya yang dihasilkan. Bang Sabil mengajarkanku bahwa seni adalah tentang kemanusiaan, tentang bagaimana kita bisa menjadi cermin bagi masyarakat, menyuarakan kegelisahan, harapan, dan mimpi mereka.

Setiap nasihat dan dorongan dari Bang Sabil menjadi bahan bakar yang menggerakkan langkahku. Ia tidak hanya mengajarkanku teknik dan keterampilan, tetapi juga nilai-nilai keberanian, kebersamaan, dan kemuliaan. Dari Bang Sabil, aku belajar bahwa menjadi seniman berarti memiliki tanggung jawab untuk membawa perubahan positif, untuk menjadi cahaya di tengah kegelapan.

Kini, aku berdiri di atas panggung dengan keyakinan baru, dengan semangat yang kembali menyala. Setiap pergerakanku adalah bentuk penghormatan kepada tanah kelahiranku, kepada Jayapura, dan kepada semua orang yang pernah percaya padaku. Dengan penuh harap, aku bertekad untuk membawa kembali gemerlap seni ke tanah kelahiranku, untuk menginspirasi generasi muda agar tidak pernah berhenti bermimpi, dan untuk terus menari di bawah cahaya bintang, menggapai mimpi dan mewujudkan harapan.Di tengah hiruk-pikuk Jakarta yang gemerlap, aku merasakan diriku seperti orang yang tersesat di lautan yang tak berujung. Semua terasa begitu kosong dan tak berarti. Aku adalah seorang perantau, mengikuti jejak orang tuaku yang berlayar dari Enrekang, Sulawesi Selatan, hingga akhirnya mendarat di Jayapura, Papua. Namun, di tengah keramaian ibu kota ini, aku merasa sepi dan terasing.

Keluargaku tidak banyak berbicara tentang warisan budaya dan falsafah orang Bugis Makassar yang melekat dalam diri mereka. Mereka adalah perantau dari desa kecil yang mencari kehidupan yang lebih baik di tanah yang jauh dari akarnya. Pada dasarnya, mereka adalah pekerja keras yang mencoba bertahan dalam gelombang kehidupan yang terus berubah.

Akan tetapi, ada kekosongan yang terus menggerogoti hatiku. Aku merindukan kedamaian dan kebijaksanaan nenek moyangku yang tercermin dalam kearifan orang Bugis Makassar. Aku ingin memahami lebih dalam tentang makna sejati kehidupan, tentang nilai-nilai yang lebih abadi daripada sekadar pencapaian materi.

Di balik senyumnya yang hangat, aku mulai melihat bayang-bayang kesedihan yang tersembunyi. Bang Sabil adalah seorang yang kesepian. Terpisah dari istri dan anaknya yang tinggal di Makassar, dia harus menghadapi dinginnya malam Jakarta seorang diri. Meskipun demikian, dia selalu berusaha menyembunyikan kesedihannya di balik senyum yang tak pernah surut.

Dalam seninya, Bang Sabil menumpahkan emosinya. Dia menciptakan karya-karya yang penuh dengan makna dan kekuatan. Setiap gerakan tariannya adalah bentuk ekspresi dari perjalanan hidupnya yang penuh dengan liku dan tantangan. Melalui karya-karyanya, dia tidak hanya menyampaikan cerita, tetapi juga memberikan kekuatan bagi yang lain.

Pertemuanku dengan Bang Sabil mengubah cara pandangku terhadap kehidupan. Dia mengajarkan bahwa hidup bukanlah sekadar tentang mencari rezeki, tetapi juga tentang memberi makna dan memberikan manfaat bagi dunia ini. Kata-katanya yang puitis dan filosofis membuka mataku pada nilai-nilai yang lebih dalam mengenai kehidupan.

Aku mulai memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat ditemukan dalam kesuksesan materi, tetapi dalam kesederhanaan, ketulusan, dan kebaikan hati. Nilai-nilai ini, meskipun tidak banyak diajarkan oleh orang tuaku, ternyata sangat mirip dengan filsafat orang Bugis Makassar yang melekat dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Sipakatau (rendah hati), sipakainge (memberikan yang terbaik), dan sipakalebbi (kesediaan untuk berbagi) menjadi landasan kuat dalam menjalani kehidupan. Melalui pertemuan dengan Bang Sabil, aku kembali menyadari kearifan dan kebijaksanaan yang terkandung dalam warisan budaya nenek moyangku.

Kini, setiap langkahku dijalani dengan penuh keyakinan dan kesadaran akan nilai-nilai yang kuterima dari Bang Sabil dan warisan budaya nenek moyangku. Aku berharap dapat menjadi cahaya yang menyinari orang-orang di sekitarku, membawa kebaikan dan keberkahan dalam setiap langkah hidupku.


Harmoni dalam Teriakan Kota: Kisah Kekuatan Di Balik Ketakutan

Saat aku melangkah di jalanan ramai Jakarta, aku selalu merasa terhanyut dalam kebisingan kota. Aku tidak tahu harus mulai dari mana untuk merealisasikan impianku. Di tengah kebingungan itu, datanglah kesempatan yang tak terduga. Aku direkrut oleh Jecko’s Dance Company di awal tahun 2011 dan memulai perjalanan yang membuka mataku akan keindahan dan kekuatan seni dalam menyatukan berbagai budaya. 

Akan tetapi, perjalanan penuh tantangan belum berakhir. Saat aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), masalah keuangan kembali menghantuiku. Di tengah ketidakpastian, Bang Sabil hadir dengan bantuan yang sangat berharga, sebuah tanda kasih dan kepedulian yang membuat air mata haru mengalir di pipiku.

Tidak hanya masalah keuangan, tetapi juga tantangan akan penerimaan di program pascasarjana yang membuat hatiku resah tentang linieritas. Namun, dengan dukungan dari bang Sabil, aku memilih untuk menapaki jalanku tanpa ragu. Pertemuan dengan para guru, di antaranya Prof. Sardono W. Kusumo dan Prof. Sapardi Djoko Damono (alm.) memberikan kesempatan tak ternilai, menambah keyakinanku bahwa aku bisa mengatasi segala rintangan.

Dalam setiap proyek seninya, Bang Sabil selalu mengajarkan kami bahwa karya bukanlah sekadar soal materi atau pujian, melainkan sebuah ungkapan cinta dan dedikasi yang tulus. Di tengah ketidakpastian, kekuatan di balik kata-kata bijak Bang Sabil kembali nyata. Aku mendapatkan beasiswa yang menutupi biaya pendidikanku, sebuah tanda bahwa ketakutan hanyalah bayangan yang akan sirna jika kita berani melangkah maju.

Perjalanan ini bagaikan sebuah layar yang terkembang di lautan kehidupan, dengan kemudi yang teguh terpasang, aku memilih untuk mengarungi mimpi daripada tenggelam oleh gelombang ketakutan. Dalam persiapan menghadapi ujian akhir penciptaan, aku memutuskan untuk melakukan riset di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Tangerang dan menciptakan karya di sana bersama 30 orang warga binaan dengan masa hukuman yang beragam, di antaranya seumur hidup dan hukuman mati.

Tantangan yang kami hadapi begitu banyak, dari jarak yang harus kami tempuh dari Jakarta ke Tangerang, hingga ketidakpercayaan yang dirasakan oleh para narapidana terhadap kehadiran kami, serta keterbatasan waktu untuk latihan dan kesulitan dalam memusatkan perhatian mereka selama proses pembelajaran. Di tengah-tengah segala kesulitan itu, para narapidana sendiri juga menghadapi banyak keresahan, mulai dari ruang yang sempit, kerinduan akan orang-orang tercinta, hingga ketakutan akan eksekusi yang mengintai, terutama oleh dua narapidana yang bernama Rani Andriani dan Merry Utami. Semua tekanan dan ketakutan itu mempengaruhi kehidupan mereka di dalam penjara.

Kata-kata Bang Sabil, ‘Jangan mo ko takut, Iam. Karya itu tidak terikat ji pada tempat atau keadaan, melainkan pada hati dan niat,’ menjadi cahaya terang dalam kegelapan yang menyelimuti pikiran. Dengan keberanian yang tersulut dan petunjuk yang diberikan oleh Bang Sabil, aku melangkah dengan mantap di antara tembok-tembok penjara dan jalur-jalur kreativitas, menyadari bahwa kreativitas tidak terkekang oleh batasan-batasan fisik, melainkan membebaskan jiwa dari segala kungkungan. 

Akhirnya, setelah setahun setengah penuh dengan perjalanan emosional dan kolaborasi yang tak terhitung, kami mencapai sebuah titik terang yang kami beri judul “Kekuatan Di Balik Ketakutan”. Inspirasi kami berasal dari kisah Merry Utami, yang setiap malam menunggu datangnya ajal. “Tok… tok…” Suara itu tiba-tiba memecah keheningan, membawanya kembali ke kenyataan. Itu adalah tanda, di saat itulah stres Merry Utami memuncak. Antara sweeping atau ke Nusakambangan, pilihan yang tak pernah bisa diprediksi.

Ketika hari ujian tiba, suasana di dalam lapas terasa berbeda. Para narapidana yang sebelumnya terlihat tegang dan cemas, kini terlihat penuh antusiasme dan semangat. Mereka merasa terhubung dengan karya kami, merasakan bahwa setiap individu memiliki potensi untuk berkarya dan mengubah kehidupannya.

Dengan senyum ramah dan kata-kata penuh semangat, Bang Sabil membimbingku melalui setiap tahap ujian. Dukungan dan kehadirannya memberikan harapan baru, tidak hanya bagiku pribadi, tetapi juga bagi semua yang terlibat dalam proyek ini.

Saat tiba waktunya untuk mempresentasikan karya kami, rasa gugup dan percaya diri bergandengan tangan di dalam hatiku. Di dalam ruang presentasi, aku membagikan perjalanan kreatif kami, tantangan yang kami hadapi, dan harapan kami untuk membawa dampak positif melalui seni. Setiap kata yang keluar dari bibirku terhanyut dalam semangat dan dukungan yang diberikan oleh Bang Sabil di sisiku.

Hasilnya, karya kami diterima dengan hangat oleh para penonton, termasuk dosen pembimbing, penguji, petugas lapas dan warga binaan lainnya. Mereka terinspirasi oleh keberanian kami untuk mengekspresikan diri melalui seni, melihatnya sebagai bukti bahwa setiap individu, di mana pun berada, memiliki potensi untuk berkarya dan membuat perubahan.

Ujian akhir itu, suatu momen berkesan dalam hidupku. Aku menyaksikan bagaimana seni dapat menjadi alat rehabilitasi yang kuat, memberikan harapan dan semangat baru bagi mereka yang terpuruk dalam keterbatasan. Karya itu, sebuah manifestasi nyata dari nasihat Bang Sabil bahwa ketakutan hanyalah bayangan yang akan hilang jika kita berani maju.

Melalui karya kami, kami berusaha memberikan semangat kepada Merry Utami dan individu-individu lain yang menghadapi tantangan serupa, bahwa di tengah segala ketakutan dan keterbatasan, masih ada ruang untuk pertumbuhan dan pemulihan psikologis melalui seni.

Dalam ungkapan yang menggugah disaat perpisahan kami dalam sesi wawancara yang tidak bisa dilupakan adalah ketika Merry Utami menyingkapkan rahasia keberanian yang tersembunyi di balik kontras antara 99% ketakutan dan 1% kekuatan yang mampu mengatasi vonis hukuman mati. Melalui kata-katanya, ia mengajarkan bahwa kadang-kadang, ketakutan yang melanda jiwa manusia dapat menggiringnya ke jurang keputusasaan yang tak terbayangkan. Namun, dalam keheningan gelap itu, bahkan sekecil apa pun percikan kekuatan batin yang tersisa memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menyalakan bara harapan di tengah kegelapan. Bagiku, kata-kata ini bukan hanya sekadar renungan, melainkan panggilan untuk merenungkan betapa pentingnya memelihara api kekuatan di dalam diri kita, seberapa kecil pun ia mungkin terlihat. Di perjalanan hidup bersama Bang Sabil, aku menemukan bahwa dalam setiap langkah yang kuambil, bahkan yang paling genting sekalipun, kekuatan itu selalu hadir, sebagai pengingat bahwa kita memiliki keberanian untuk melangkah maju, meskipun di hadapan ketakutan yang paling menggemparkan.

Mercusuar dalam Gelap: Warisan Filosofis Bang Sabil

Setelah menyelesaikan S2 pada akhir 2013, aku dihadapkan pada tantangan baru dalam mencari pekerjaan. Hampir satu tahun lamanya aku berjuang, mencari tempat yang sesuai dengan minat dan bakatku. Namun, di tengah kegagalan dan kerinduan akan Ibu, Bang Sabil kembali hadir sebagai penerang dalam kegelapan. Mengingat Ibu yang menjalani hidup tanpa pendamping hidup membuat hatiku semakin teriris, tapi Bang Sabil datang dengan nasihatnya yang penuh hikmah. Dia mengingatkanku bahwa pulang ke kota kelahiran adalah pilihan yang bijak. Meskipun takut memulai dari awal, dia meyakinkanku bahwa saatnya untuk mengibarkan bendera kesenian di Papua, meski mungkin kecil di antara bendera-bendera seni yang besar dan tinggi di tempat lain.

Dalam perjalanan hidupku bersama Bang Sabil, aku tidak hanya belajar dari kebijaksanaannya sebagai seorang seniman dan pria yang baik, tetapi juga terinspirasi oleh nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam budaya Bugis Makassar yang dibawanya. Bang Sabil sering kali menyelipkan ajaran-ajaran kearifan lokal itu dalam nasihat dan kata-kata bijaknya, yang kemudian menjadi pijakan dalam setiap langkahku. Salah satu nilai yang sangat melekat adalah konsep “Macca na malempu’,” yang menggambarkan seseorang yang pintar dan jujur. Dalam budaya Bugis Makassar, kecerdasan bukan hanya tentang sisi intelektual, melainkan juga tentang kebijaksanaan dalam bertindak dan kejujuran dalam berinteraksi dengan orang lain. Bang Sabil selalu menekankan pentingnya menjadi seseorang yang memiliki integritas tinggi, yang tidak hanya cerdas dalam menghasilkan karya, tetapi juga jujur dalam segala hal.

Selain itu, Bang Sabil memperkenalkanku pada peribahasa Bugis yang begitu menggugah: “pura babbara sompe’ku’, pura tangkisi’ golikku, ulebbirenni tellenngé nato’walié.” Peribahasa ini mengartikan “layar sudah terkembang, kemudi sudah terpasang, aku lebih baik tenggelam dari surut langkah.” Nilai ini mengajarkan keberanian dan keteguhan dalam menghadapi tantangan hidup. Saat kita sudah memulai sesuatu, kita harus berkomitmen penuh, siap menghadapi segala rintangan tanpa mundur. Peribahasa ini menjadi semboyan dalam setiap langkahku, mengingatkanku untuk terus maju meskipun menghadapi tantangan besar, karena mundur bukanlah pilihan.

Di tengah dilema antara menetap dan berkarier di Jakarta atau kembali ke Jayapura, aku menyadari bahwa pilihan ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang penuh dengan keputusan-keputusan besar. Keputusan untuk menetap di Jakarta menawarkan kesempatan dan tantangan yang luas di pusat seni dan budaya Indonesia. Namun, pilihan untuk kembali ke Jayapura membawa makna yang lebih dalam, yaitu kembali ke akar dan memberikan kontribusi bagi tanah kelahiran. Ke mana pun langkahku membawa, aku belajar bahwa perjalanan hidup ini akan terus berlanjut sampai kita mati, mengarungi samudra kehidupan dengan layar terkembang dan kemudi terpasang.

Nilai-nilai filosofis ini membantu membentuk karakterku dan pandangan hidupku. Aku belajar untuk menghargai kebijaksanaan dalam bertindak, keberanian untuk menghadapi tantangan, kejujuran dalam berinteraksi dengan sesama, dan ketulusan dalam setiap perbuatan. Semua itu adalah warisan berharga dari budaya Bugis Makassar yang telah diteruskan oleh Bang Sabil, dan kini menjadi bagian tak terpisahkan dari diriku. Dia membandingkan peran kami sebagai mercusuar yang memberikan cahaya di tengah kegelapan, sebuah analogi yang begitu indah dan bermakna. Seperti mercusuar yang tak pernah lelah memancarkan sinarnya untuk menuntun kapal-kapal yang tersesat, demikianlah peran kami sebagai seniman yang harus terus berkarya, menyebarkan inspirasi, dan memberikan harapan.

Kata-katanya yang puitis dan filosofis merasuk dalam diriku, memberikan kekuatan baru untuk melangkah maju. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya adalah butir-butir mutiara kebijaksanaan yang mengisi kekosongan hatiku, menghilangkan rasa ragu, dan menumbuhkan semangat juang. Dengan keyakinan yang ditebarkannya, aku merasa bahwa setiap langkah yang kuambil adalah bagian dari takdir yang telah digariskan oleh Sang Pencipta. Pilihan antara menetap di Jakarta atau kembali ke Jayapura adalah babak dalam perjalanan hidupku, sebuah perjalanan yang akan terus berlanjut sampai akhir hayat. Setiap keputusan dan langkah adalah bagian dari cerita besar yang kujalani.


Menyulam Makna: Petualangan Bapak dan Malaika di Mercusuar Kehidupan

Kehidupan di Jayapura terus berlanjut dengan dinamika yang tak terduga. Namun, di tengah segala keramaian dan kesibukan, aku menyadari bahwa warisan dan pesan Bang Sabil tetap menjadi pemandu utama dalam hidupku, terutama dalam peran sebagai seorang ayah bagi Malaika.

Setiap hari, aku berusaha menjadi contoh yang baik baginya, menggambarkan nilai-nilai ketulusan, keberanian, dan ketekunan yang Bang Sabil tanamkan padaku. Aku ingin Malaika tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kepekaan terhadap kehidupan di sekitarnya, seperti yang diajarkan oleh Bang Sabil.

Dengan setiap langkah yang kuambil, aku mengingat pesan untuk menjadi agen perubahan, baik bagi diriku sendiri maupun masyarakat di sekitarku. Aku ingin membimbing Malaika untuk memiliki mimpi besar dan berani mengejarnya, sebagaimana Bang Sabil membimbingku.

Seni tetap menjadi bagian penting dalam hidup kami. Aku mengajarkan Malaika bahwa seni bukan hanya tentang ekspresi diri, tetapi juga alat untuk menginspirasi dan mengubah dunia. Kami berdua sering menghabiskan waktu di KedIAMan Indonesia Art Movement, memahami dan mengapresiasi keindahan dan keunikan budaya Papua.

Akan tetapi, di balik segala usaha untuk membentuk Malaika menjadi individu yang tangguh dan berarti, aku selalu ingat bahwa kesuksesan sejati adalah ketika hati seseorang terbuka untuk mencintai dan melayani sesama, seperti yang diajarkan oleh Bang Sabil. Oleh karena itu, aku tidak hanya berfokus pada pembentukan karakter Malaika, tetapi juga memastikan bahwa dia memahami pentingnya berbagi dan peduli terhadap orang lain, serta menjaga harmoni dengan alam semesta.

Dengan bimbingan Bang Sabil yang terus membimbing langkah-langkahku, aku yakin bahwa aku dapat menjadi ayah yang baik bagi Malaika, membimbingnya menuju kehidupan yang bermakna, tawadhu, dan penuh kasih. Dengan demikian, kami dapat meneruskan cahaya yang telah dinyalakan oleh Bang Sabil, menerangi jalan bagi generasi mendatang di tanah Papua yang kami cintai. Terima kasih, Bang Sabil, atas semua warisan dan inspirasi yang telah kau berikan.


The Narratives
of Indonesian
Dancescape