The Narratives
of Indonesian
Dancescape

IN / ENG

Kustiana / Bandung – Jawa Barat

“Mak Karmi, Mewariskan Jalan Tari”

“Mak Karmi, Mewariskan Jalan Tari”

Kustiana

Bandung – Jawa Barat

Diasuh, Diasah, Diasih Mak Karmi

“Mengapa tari dan menjadi penari?” 

Pertanyaan itu kerap muncul seiring dengan meningkatnya keterlibatan saya dalam dunia tari. Setiap merenung untuk mencari alasan, hampir tak pernah mendapatkan jawaban yang pasti mengapa memilih tari, karena prosesnya yang mengalir begitu saja. Perenungan yang akhirnya membuka memori dan masuk ke ruang nostalgia masa kecil saat pertama kali mengenal dunia tari.

 

Di suatu desa daerah Ibun Majalaya, terdapat sebuah rumah panggung dengan cat hijau. Di samping kanan mengalir sungai kecil (susukan) dan rumpun bambu yang sejuk. Di rumah inilah saya memulai kisah ini. Saya dilahirkan dari pasangan Tatang dan Entit Maryati. Kami tinggal di Kp. Widara, Desa Dukuh, Ibun Majalaya, Kabupaten Bandung. Bobot saya saat dilahirkan mencapai 5 kilogram, cukup besar untuk ukuran bayi. Akibatnya Emak sampai pendarahan hebat, hingga dokter melarangnya untuk punya keturunan lagi. Saya adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, masing-masing diberi nama Kustiadi, Ristawati, dan Kustiana, tetapi saya lebih sering dipanggil dengan nama Iyang atau Yayang.

 

Saat masih kecil, saya diasuh oleh nenek yang bernama Mak Karmi. Emak dan Bapak yang sibuk bekerja menjadi alasan saya dititipkan di sana, bahkan tak jarang saya menginap di rumah Nenek. Selama menginap di sana, banyak hal yang dilakukan, seperti membuat rumah-rumahan dari tanah, membuat boneka dari tanah, atau mengikuti kegiatan yang nenek lakukan, menyapu halaman, membersihkan kebun, dan memetik sayuran bila sudah ada yang bisa dipetik. Di rumah Nenek tak ada kamar mandi, jika ingin ke toilet kami harus ke sungai kecil (susukan) di pinggir rumah. Semua kegiatan mencuci pakaian, mencuci beras, mandi, dan yang lainnya dilakukan di sana.
 

Saat malam hari, setelah Nenek selesai melakukan salat Isya, ia akan mengajak cucunya untuk tidur. Ranjang yang terbuat dari besi dengan ditutupi kelambu, lagu sunda atau wayang catur yang diputar di radio, adalah kenangan yang tak dapat dilupakan. Sebelum tidur, Nenek sering menceritakan tentang dongeng-dongeng Sunda, jika Nenek sedang tidak ingin bercerita dan cucunya minta dibacakan dongeng, maka ia akan bernyanyi “dongengek-dongengek liang tai kapoekan damaran-damaran embung bau!” (Bahasa Sunda: “Dongengek-dongengek lubang pantat kegelapan (cahaya), beri cahaya pelita, tak mau bau!”) Pernah suatu waktu saya terbangun oleh suara tawa Nenek di tengah malam, rupanya ia tertawa karena sedang mendengarkan wayang bodoran Asep Sunandar Sunarya yang berperan sebagai Cepot, Bi Ijem, dan Imas yang diperankan oleh Asep Truna. Cerita lucu tentang peristiwa yang terjadi dalam rumah tangga dengan dua istri. Akhirnya, saya pun ikut tertawa bersama Nenek mendengarkan lawakan mereka, terutama suara Ijem yang khas.

 

Kecamatan Ibun sekitar tahun 2000-an belum terlalu banyak bangunan, rumah panggung masih mendominasi bila dibandingkan dengan rumah yang dibuat permanen. Letaknya yang berada di kaki Gunung Sangar dan dekat dengan daerah Kamojang, membuat Ibun berhawa sejuk. Hamparan sawah dan kebun menjadi pemandangan sehari-sehari. Bila musim panen tiba, saya akan diajak Nenek untuk memunguti sisa sayuran yang tidak dibawa oleh para petani. Salah satunya ialah cabai keriting, atau cabai rawit. Cabai yang sudah dikumpulkan akan dijemur sampai kering, disangrai, ditambah bumbu garam, merica, gula, terasi, dan dibuat menjadi sambal kebul dengan cara ditumbuk. Nenek juga memiliki kebun di belakang rumahnya, tanaman yang biasa ditanam di sana di antaranya; leunca, kacang benguk, serai, singkong, ganyol, dan talas. Di samping rumah Nenek juga ada pohon jambu biji. Dulu saya sering naik ke atas pohon untuk memetik buah dan bernyanyi.

 

Nenek saya, Mak Karmi, sangat menyayangi cucu-cucunya, termasuk saya, tetapi tidak dengan cara berlebihan. Perangainya sangat halus, terutama saat menerapkan pola kebiasaan hidup sederhana pada cucu-cucunya. Salah satu contohnya adalah saat Nenek mengajarkan kami untuk berhemat, Nenek memberitahukannya saat menyuapi kami makan, “Ujang, kasep, sapalihna kanggo enjing nya!” (Bahasa Sunda: Anak tampan, sebagian untuk besok, ya!”) ujar Nenek jika cucunya makan dengan ayam goreng. Satu potong ayam goreng bisa untuk tiga kali makan. Pola hidup yang sederhana itu juga diceritakan oleh Emak, ibu saya yang selama belasan tahun hidupnya tumbuh besar dengan Nenek, jika Nenek akan menanak nasi satu liter, maka ia akan mengambil satu cangkir dari satu liter itu untuk disimpan. Baginya hasil beras yang disimpan saat menanak nasi itu akan dapat digunakan lagi saat musim paceklik, ketika beras susah didapat, atau dibarter dengan bahan makanan lain.

 

Beras baginya bukan hanya sebutir buah padi, tetapi lebih dari itu, beras baginya adalah Kersa Nyai, sebutan lain bagi Dewi Sri, “Da nyai mah sagala kersa, bade disangu mangga, dibubur mangga, bade di damel nanaon oge mangga, (Bahasa Sunda: “Nyai (Dewi Sri) segala bisa, dibuat jadi nasi silahkan, dibuat jadi bubur silahkan, dibuat jadi apa pun dia bersedia”) suatu bentuk kepasrahan dari sebutir beras. Oleh karena itu, setiap malam Selasa dan malam Jumat, Mak Karmi selalu ngukus (Bahasa Sunda: bakar kemenyan) atau memberikan sesaji sebagai bentuk penghormatan. Sesaji sederhana yang biasa disimpan di dekat padaringan (Bahasa Sunda: gentong atau wadah tempat menyimpan beras) di antaranya kopi pahit, air teh, air bening, seupaheun, rurujakeun (Bahasa Sunda: seupaheun = sirih pinang, rurujakan: racikan roti tawar yang dicampur dengan kelapa dan air gula), rokok.

 

Mengapa Nenek menerapkan pola hidup sederhana? Nenek melakukannya karena ia merasakan betapa susahnya mencari makanan di masa kolonial, bahkan ia sering bercerita bahwa dulu baju pun terbuat dari karung goni, makanan dimasak hanya dengan garam dan gula, serta daging ayam adalah makanan yang mewah, hanya dapat dimakan pada waktu tertentu saja. ”Tuang mah jang hirup, lain hirup jang barang tuang. Jaga mah bakal loba tuangeun teu katuang, loba baju teu kapake,” (Bahasa Sunda: “Makan itu untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Nanti di masa depan akan banyak makanan yang tak bisa dimakan, banyak baju yang tak dapat dipakai”) ujarnya.

 

Layaknya seorang peramal, ia bahkan mengatakan bahwa di masa depan akan ada banyak sekali jenis makanan, tetapi tak dapat dimakan, akan banyak sekali muncul mode pakaian, tapi tak dapat dipakai. Jika kita selaraskan dengan kehidupan kita saat ini, banyak restoran mewah dengan makanannya yang variatif, tetapi tak semua orang dapat memakannya karena banyak keterbatasan. Toko baju juga tak kurang, dari toko baju baru sampai toko “cimol” serba ada, tetapi tak semua orang dapat memakainya.

 

Selain pola hidup yang sederhana, Mak Karmi juga mengajarkan undak usuk Basa Sunda kepada saya, “Teu kenging nyarios kasar, pamali! nyarios teh kedah adab,” (Bahasa Sunda: “Jangan berbicara kasar, pamali! bicara itu harus santun”) kata-kata itu sering diucapkan apabila cucunya berkata kasar, baginya etika berbicara harus diterapkan sejak dini, apalagi saat berbicara dengan orang yang lebih tua. Tak hanya pada cucunya, Nenek pun tak segan akan menegur anak lain yang berbicara kasar di hadapannya. Aturan-aturan lain juga diterapkan tetapi secara siloka (Bahasa Sunda: Siloka termasuk bahasa kias, bahasa yang harus dipikirkan kembali tentang isi sebenarnya dan mengandung arti yang mendalam (Asep Salahudin, 2017:25)), dan ditakut-takuti dengan kata “pamali” misalnya; “Tong tuang bari ngagoler, pamali bisi jadi hileud gede, tong nepakan beuteung peuting bisi disangka nangka asak, engke aya nu nyabet ti kolong, tong heheotan peuting bisi ditembalan jurig,” (Bahasa Sunda: “Jangan makan sambil tiduran, pamali, nanti jadi ulat besar, jangan menepuk-nepuk perut, nanti disangka buah nangka matang, nanti ada yang nebas dari kolong rumah, jangan bersiul malam hari, nanti disahuti hantu”) dan masih banyak yang lainnya. Semua itu dilakukan untuk mendisiplinkan cucunya.

 

Meski hanya tinggal sendiri, rumah Mak Karmi tak pernah sepi. Radio di rumahnya selalu memutar lagu-lagu tradisional Sunda dari kaset pita seperti album Kiliningan “Salam ka Kabogoh” (Bahasa Sunda: salam kepada pacar) dengan sinden Emi Nurhayati dan album Pencak Kawih “Kagoda” (Bahasa Sunda: terpikat) dengan sinden Yoyoh Supriatin. Kaset pita ini tak pernah berhenti diputar, bahkan sampai diulang-ulang. Lagu-lagu inilah yang kemudian menyertai saya saat bermain di rumah. Salah satu lagu yang terngiang-ngiang dalam ingatan adalah lagu Cangkurileung (Bahasa Sunda: burung kutilang);

Cangkurileung, Cangkurileung, culang-cileung,,,

Euntreup dina tangkal awi,,,

Pami melang, pami melang, pami nineung,,,

Sumping bae, ka bumi abdi,,

Terjemahan:

Burung kutilang, burung kutilang, nengok kanan kiri

Hinggap di pohon bambu 

Kalau khawatir, kalau kangen 

Datang saja ke rumah saya.

Lagu Cangkurileung kerap dinyanyikan, bahkan saat paman saya yang bernama Mang Ade memainkan gitar, lagu yang saya nyanyikan bukan lagu pop, tapi lagu Cangkurileung. Mak Karmi juga sering membersamai cucunya menyanyi, tak jarang ia juga mengajarkan lagu-lagu kaulinan (Bahasa Sunda: permainan), seperti; pupuh kinanti, ayang-ayang gung, bang-bang ka lima gobang, sur-ser, ucang angge, dan lagu kaulinan lainnya. Ayang-ayang gung adalah salah satu lagu yang paling saya ingat, bahkan saat dikomparasikan dengan lagu ayang-ayang gung yang ada di Bandung, lagu yang diajarkan Mak Karmi sedikit lebih panjang.

Ayang-ayang gung versi Mak Karmi

Ayang-ayang gung di Bandung

Ayang-ayang gung

Gung goongna rame

Menak Ki Mas Tanu nu jadi wadana

Naha maneh kitu tukang olo-olo

Loba anu giruk ruket jeung kumpeni

Niat jadi pangkat katon kagorengan

Nganteur mulang ngulah langkah munding bule

Ledeh kahujanan nanjak mapay gunung

Nungtut jadi ratu tuan besar senang

Nangtang anu butuh tuh tahlil Tumenggung

Lempa, lempi, lempong, ngadu pipi jeung nu ompong 

 

Terjemahan:

Ayang-ayang gung

Bunyi gongnya ramai

Seorang ningrat bernama Ki Mas Tanu

Yang pernah menjadi Wedana (jabatan publik)

Kenapa begitu, dia seorang yang congkak (atau penjilat)

Banyak yang tidak suka

Dekat dengan kompeni (penjajah)

Ingin berpangkat

Terlihat keburukannya

Mengantarkan pulang, langkah kerbau bule

Basah kuyup kehujanan, nanjak menyusuri gunung

Menuntut jadi Ratu/penguasa, tuan besar senang

Nantang yang membutuhkan

Itu tahlil tumenggung

Lempa-lempi lempong 

Beradu pipi dengan yang ompong.

Ayang-ayang gung

Gung goongna rame

Menak Ki Mas Tanu nu jadi wadana

Naha maneh kitu tukang olo-olo

Loba anu giruk ruket jeung kumpeni

Niat jadi pangkat katon kagorengan

Ngantos kanjeng dalem lempa, lempi, lempong

Jalan ka Batawi ngemplong

Ngadu pipi jeung nu ompong 

Terjemahan: 

Ayang-ayang gung

Bunyi gongnya ramai

Seorang ningrat bernama Ki Mas Tanu

Yang pernah menjadi Wedana (jabatan publik)

Kenapa begitu, dia seorang yang congkak (atau penjilat)

Banyak yang tidak suka

Dekat dengan kompeni (penjajah)

Ingin berpangkat

Terlihat keburukannya

Menunggu pejabat tinggi

Lempa-lempi lempong 

jalan ke Betawi kosong

Beradu pipi dengan yang ompong.

Setelah dewasa saya baru menyadari bahwa ayang-ayang gung tidak hanya sekadar lagu permainan anak, tetapi ada unsur satire di dalamnya. Sierk Coolsma (1913:8) dalam Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek menyebutkan bahwa “Ajang-ajanggoeng, elkander den arm om den hals geslagen houden, elkander omstrengeld houden (van twee of meer personen onder ‘t gaan)”. Ayang-ayang goeng berarti mengalungkan lengan di leher, saling bertautan antara dua orang atau lebih sambil berjalan. Lagu kaulinan barudak (Permainan anak-anak) ini sebenarnya merupakan sindiran bagi seorang pejabat daerah bernama Ki Mas Tanu yang berambisi tinggi dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan jabatan di Batavia. Ki Mas Tanu yang dimaksud, kemungkinan besar adalah Tanuwijaya seorang menak bangsawan asal Sumedang yang menjadi Letnan Kompeni sekitar tahun 1680-1700-an (Yusandi, 2020:7). Ia sangat dekat dengan orang Belanda sehingga banyak dibenci oleh masyarakat.

 

Beberapa lagu permainan anak lain juga diajarkan, bahkan ada juga yang disatukan dengan cerita dongeng seperti dalam dongeng Si Leungli, Simeut Meuting, dan dongeng Nini Aki. Nenek sering mendongeng saat akan menidurkan cucunya. Di akhir cerita, Nenek akan memberikan wejangan bahwa intisari dari dongeng yang diceritakan berkaitan dengan tingkah laku yang harus selalu baik, dan orang baik akan mendapatkan keselamatan.

 

Mengenal Tari dari Mak Karmi

 

Saat dulu diasuh oleh Mak Karmi saya juga diajarkan menari. Gerak tariannya sangat sederhana, bahkan cenderung hanya pengulangan gerak yang sama. Terkadang di sela-sela latihan Nenek bercerita tentang masa mudanya saat menjadi seorang ronggeng atau doger. Ronggeng adalah sebutan bagi perempuan yang bisa menari dan menyanyi. Jika jumlah penarinya satu, disebut ronggeng tetapi apabila lebih maka sering disebut dengan doger. Istilah Ronggeng berasal dari kirata basa (Bahasa Sunda: singkatan dari dikira-kira nyata artinya bahasa yang dtebak atau dikira-kira, atau gabungan antara awal atau akhir kata benda.) yang berarti “dirong-rong ditonggeng-tonggeng” (Bahasa Sunda: dilihat banyak orang sambil nungging) sedangkan Doger berarti “Ngadogdogan anu beger”(Bahasa Sunda: menunggui yang sedang kasmaran)(Wachjudi, 1953:17).

 

Mak Karmi dilahirkan sekitar tahun 1922 dari pasangan Aki Salwiasan dan Mak Lenti. Saat masih kecil, ia diangkat sebagai anak oleh Mak Sarwiyah atau dikenal dengan Mak Iyah, seorang ronggeng terkenal. Ia tak punya anak, sehingga mengangkat Karmi dan Dana sebagai anak angkatnya. Mak Iyah sering disebut Nini Gedag, karena setiap laki-laki yang menari dengannya banyak yang terpikat, sampai terbayang-bayang wajah Mak Iyah (Wawancara Ita (anak Mak Karmi) pada 25 Mei 2024, pukul 10.00-11.00). Di masa lalu, banyak di antara sinden atau ronggeng yang menggunakan nama-nama panggung seperti Nyi Gedag, Nyi Kalong, Nyi Jaer, bahkan sampai sekarang banyak sinden dan penari yang menggunakan nama panggung, sebut saja Titin Dongkrak, Mamah Termos, Mamah Piit, Mamah Kapinis, Enok Pelor, Mamah Layung, Mamah Badag Jum, hingga Idha Jipo.

 

Menjadi seorang ronggeng bukan perkara mudah, beberapa syarat dan laku harus dijalankan untuk menunjang penampilannya saat menari. Mak Karmi sering melakukan puasa dengan berbagai tujuan, salah satunya ialah untuk membeli jangjawokan (Bahasa Sunda: Mantra yang berkembang dalam masyarakat Sunda yang berfungsi sebagai pengantar doa dan harapan dalam setiap aktivitas keseharian) atau mantra-mantra yang dirapalkan sebelum menari. Satu jangjawokan kinasihan atau asihan (Bahasa Sunda: kinasihan atau asihan adalah mantra yang berfungsi untuk menarik hati lawan jenis atau orang lain di luar pemakainya), harus ditebus dengan puasa selama empat puluh hari, atau puasa pati geni (puasa yang buka dan tutupnya di waktu yang sama). Mantra untuk senyum, untuk berjalan melenggang, dan lain sebagainya dipelajari Mak Karmi dari Mak Iyah. Berikut beberapa Jangjawokan yang didapatkan dari anak-anak Mak Karmi. Mereka diwarisi mantra-mantra tersebut, termasuk panyinglar, sebuah mantra untuk menyembuhkan penyakit. Dari lima belas kinasihan yang didapat hanya akan dituliskan tiga kinasihan saja. Berikut kinasihan Pangruncang, kinasihan paranti seuri, dan kinasihan turun ti imah (keluar dari rumah)

Kinasihan Pangruncang:

 

Asihan aing si runcang kunang

Si runcang kunang kabawa leumpang

Sariring-riring ngajingjing

Saringkang-ringkang nogencang

Maung pundung datang deku

Gajah galak numpang depa

Oray laki datang numpi

Nu mendung dina jajantung

Nu hibar na kalilipah

Anu ngait na tali ari-ari

Nu nyangreud dina puser

Sabulan acina ngaherang

Dua mulenggang

Tilu gumulung

Opat mangrupa

Lima usik

Genep malik

Tujuh kolot

Dalapan ngora

Ka salapan sia medal

Sing asih ka awaking

Sing asih ka badan aing.

 

Kinasihan paranti seuri:

Biwir aing bangbang kuning

Letah aing bang-bang siang

Diciduhkeun sada guntur 

Diluahkeun sada gelap

Ai seuri bur baranyay

Pat Kolenyay

 

Kinasihan turun ti imah:

Jut turun kalintung-lintung

Cat unggah kalentang-lentang

Awak katabur ku bentang

Nyuhun-nyuhun sarangenge

Puyuh ngupuk dina punduk

Merak ngibing dina jabing

Nya pipi katumbirian

Tarang lancah mentrangan

Irung kuwung-kuwungan

Nu ngariung siga lutung

Nu ngareg-reg siga monyet

Aing ngadeg sorangan

Wong sajagad kabeh

Asih ka awaking

Sing asih ka badan aing

Terjemahan:

 

Asihan saya si runcang kunang
(Runcang adalah bagian lekukan yang berada
diantara bibir dan hidung)

Si runcang kunang terbawa jalan

Beriring-iring menenteng

Setiap melangkah membawa keranjang

Harimau marah datang bersimpuh

Gajah galak datang duduk 

Ular laki datang keluar dari sarangnya

Yang mendung di dalam jantung

Cahaya langit yang ada di kalilipah

Yang tersangkut di tali ari-ari

Yang menyimpul di pusar

Satu bulan airnya bening

Dua mulenggang

Tiga menggulung

Empat berbentuk

Lima bergerak

Enam berbalik

Tujuh tua

Delapan muda

Ke sembilan dia lahir

Semoga asih kepada saya

Semoga asih ke badan saya.

 

Terjemahan:

Bibir saya bangbang kuning

Lidah saya bangbang siang

Diludahkan suara guntur

Diluahkan suara petir

Saat senyum bur baranyay

Pat kolenyay

 

Terjemahan:

Jut turun kalintung-lintung

Cat naik kalentang-lentang

Badan ditaburi bintang

Matahari di atas kepala

Burung puyuh mengepakan sayap di pundak

Merak menari di rambut yang menutupi telinga

Ya pipi seperti pelangi

Dahi bersinar terang

Hidung mancung seperti pelangi

Yang berkerumun seperti lutung

Yang berkumpul seperti monyet

Saya berdiri sendiri

Orang sejagat semua

Asih kepada saya

Semoga asih ke badan saya.

Semua kinasihan ini dimaksudkan agar banyak orang yang menyukai dan menyayangi, serta untuk menambah rasa percaya diri baik itu saat menari, ataupun saat melakukan kegiatan di luar rumah. Cucu-cucunya yang lebih tua dan Emak saya juga mendapat mantra pengasihan, sementara saya tidak diajarkan karena usia yang masih kecil saat itu. Di masa lalu, ronggeng tak hanya menari dan menyanyi, tetapi juga mereka dianggap dapat menyembuhkan penyakit tertentu, termasuk juga Mak Karmi, sampai masa tuanya banyak masyarakat yang meminta untuk didoakan saat sakit, atau untuk mendapatkan jodoh. Menurutnya doa niat salat juga berbeda-beda tergantung tempat salat itu dilaksanakan, seperti salat di atas batu, salat di saung, salat di atas daun, semua memiliki doanya tersendiri. Sayangnya doa niat salat ini tak diajarkan kepada anak-anaknya.

 

Saat Mak Karmi menari, banyak laki-laki yang ingin ikut menari dengannya, tak jarang badannya penuh dengan barang-barang milik para pamogor (Bahasa Sunda: sebutan untuk penari pria yang menari dalam kesenian ketuk tilu) atau para penari pria. Barang-barang yang disimpan di badan ronggeng akan dikembalikan lagi pada pemiliknya, dan diganti dengan uang sebagai upah karena sudah menari bersamanya. Tak hanya itu, beragam cara dilakukan saat memberikan uang saweran kepada ronggeng. Salah satu anak Mak Karmi bernama Ita menuturkan bahwa dulu saat Mak Karmi menari banyak pamogor yang memberikan uang dengan cara digigit, maka Mak Karmi harus menerimanya dengan cara digigit kembali. Terkadang si penyawer juga menyimpan uang dalam sapu tangan atau careced (Bahasa Sunda: sapu tangan) atau dalam karembong dengan cara diikat, bahkan yang lebih ekstrem tak jarang uang diberikan dengan cara memasukan tangan pada bagian dada. (Wawancara Ita (anak Mak Karmi) pada 25 Mei 2024, pukul 10.00-11.00 WIB)

 

Di antara ronggeng yang lain, Mak Karmi dapat dikatakan bentang-nya (Bahasa Sunda: bintang panggung, atau penari utama), dia sang bintang. Tak jarang ia mendengar temannya bergumam, “Si eta mah loba lalaki anu resepen, loba anu mere duitna, alus pangasihna,”(Bahasa Sunda: dia itu banyak disukai oleh laki-laki, banyak yang memberikan uang, bagus mantra pengasihnya.) begitu yang dikatakan Entit anak Mak Karmi (Wawancara Entit (anak Mak Karmi) pada 23 Mei 2024, pukul 17.15-18.00 WIB). Geboy (Bahasa Sunda: istilah Geboy berasal dari gerakan ikan yang besar) adalah salah satu lagu tradisi dalam ketuk tilu yang menjadi kalangenan atau kesukaannya, konon Mak karmi sering menari dengan diiringi lagu ini. Lagu geboy juga sering dilantunkan saat mengajarkan tari kepada Kus kecil.

“geboy deui, geboy deui, ngageboy….. bari ngalenghoy…..”

Solasih sareng mangandeuh

Ngali cikur sisi gawir

Mika asih mika deudeuh

Ngan saukur dina biwir

Eeeee…….

Turiang dina babatu

Melak pandan di basisir

Mikahayang nu can tangtu

Matak jadi gering pikir

Terjemahan:

Geboy lagi, geboy lagi, nganggeboy sambil ngalenghoy

Selasih dan mangandeuh

Menggali kencur di pinggir tebing

Kalau sayang, kalau kasihan

Hanya di bibir saja

Eeee….

Padi baru tumbuh di batu

Menanam pandan di pinggir pantai

Menginginkan sesuatu yang belum tentu

Akan jadi sakit pikiran

Mak Karmi konsisten menjadi ronggeng sejak usia 13 atau 14-an, sekitar tahun 1935 atau 1936. Pada zaman pendudukan Jepang, ia masih juga masih menjadi ronggeng. Mak Karmi berhenti menjadi ronggeng setelah Mak Iyah meninggal, sekitar 1960-an. Menurut penuturan Ita, anak Mak Karmi, rumah dan tanah yang ditempati oleh Mak Karmi adalah warisan dari Mak Iyah, rumah tempat saya diasuh dan diajarkan tari. (Wawancara Ita (anak Mak Karmi) pada 25 Mei 2024, pukul 10.00-11.00 WIB.) Saat mengajarkan tari, Mak Karmi hanya mencontohkan saja dan saya menirukannya. “Tong nonggongan nu lalajo pamali! (Jangan membelakangi penonton, pamali!) ujar Nenek sambil menonton cucunya menari. Sambil ngawih (Bernyanyi atau menyanyikan lagu tradisional), Nenek memperhatikan saya bergerak. Jika Nenek berhenti ngawih, saya juga berhenti menari. Pernah suatu waktu Nenek memberikan karembong berwarna hijau untuk sang cucu.

Nenek: “Kus, ieu karembong, angge.”

(Kus, ini selendang, pakai.)

Kus : “Kangge naon ni?”

(Untuk apa, Nek?)

Nenek : “Kangge ngibing.”

(Untuk menari.)

Saya merasa bahagia sekali saat diberikan karembong (selendang) yang dikalungkan di leher, seketika ia minta dipakaikan sinjang (kain batik panjang) dan kembali menari. Karembong berwarna hijau yang sebenarnya adalah kerudung itu sering dipakai bermain juga. Pernah suatu waktu Bapak merah besar karena melihat anaknya menggunakan kerudung hijau itu saat ada tamu. Saya hanya diam dan merasa bingung, “Kenapa Bapak marah? Padahal saya hanya pakai karembong? Kemarahan Bapak akhirnya berbuntut panjang, karena beberapa waktu kemudian karembong yang diberikan Nenek akhirnya dirobek dan dijadikan tali jemuran baju tanpa sepengetahuan saya.

 

Perkenalan saya dengan tari yang diawali oleh Nenek, membuat saya semakin suka dengan tari, bila ada video tari di TVRI (Televisi Republik Indonesia) Bandung, spontan saya pun menirukan gerakannya. Setiap mendengar lagu kliningan atau jaipongan di rumah tetangga, saya akan menari di halaman rumah tetangga dan senang jika ditonton banyak orang. Saya mencintai seni tradisional karena dikenalkan sejak kecil. Selera musik pun berbeda dengan lingkungan yang seusia saya, bahkan semua itu berlanjut sampai sekarang.

 

Pada 15 Februari 2002, Mak Karmi meninggal dunia. Kepergian Mak Karmi membuat saya kehilangan sosok yang sangat menyayangi dan melindungi saya, orang yang kali pertama mengenalkan dunia tari pada saya, mengenalkan lagu-lagu tradisional. Rasa rindu padanya selalu ada, jika sedang rindu pada Mak Karmi maka yang saya memutar lagu Salam ka Kabogoh yang dinyanyikan oleh Emi Nurhayati, dan saya akan mulai masuk ke ruang nostalgia, kembali bertemu dengannya, sang nenek tercinta Mak Karmi.

 

Ngaronggeng seperti Mak Karmi

 

Seperti halnya Mak Karmi sang nenek, saya juga memilih jalan tari sebagai jalan hidup. Menari dari panggung satu ke panggung lainnya, dari panggung di kampung hingga hotel berbintang pernah saya singgahi. Meski terlahir laki-laki, tetapi saya menerima banyak permintaan dari masyarakat yang lebih menyukai saya menari sebagai perempuan. Pernah beberapa kali menjadi ronggeng atau penari dalam kesenian Bajidoran di Kota Bandung, Subang, bahkan sampai ke daerah Cikotok di Banten.

 

Waktu itu di Bandung, pernah muncul istilah “Bancidor” untuk penari laki-laki yang berperan sebagai penari perempuan dalam seni Bajidoran. Istilah ini berasal dari guyonan para senior di lingkungan kampus. Para bancidor ini sering menjadi tameng bagi para penari wanita yang kadang takut saat didekati bapak-bapak yang ingin menari dengannya. Saya pernah beberapa kali tampil menjadi penari bancidor. Saat manggung di daerah Dago, saya pernah disawer dengan uang diikat di dalam selendang dan sapu tangan. Pernah pula saya menari di daerah Pasir Jambu Ciwidey, di sana saya justru menerima saweran lebih banyak. Seorang kepala desa juga memberikan saweran dan menanyakan, “Siapa penarinya?” saat dijawab bahwa sang penari itu laki-laki, yakni saya, ia kaget dan tak nyawer lagi. Seperti yang dialami Mak Karmi, saya juga pernah menerima sawer uang yang dimasukkan ke belahan dada oleh bapak-bapak, tangan saya kemudian ditarik dan ia ingin membawa saya ke semak-semak, tetapi saya berhasil kabur dan kembali ke atas panggung saat manggung di daerah Banjaran Kabupaten Bandung.

 

Selain menerima panggungan, saya juga kerap menerima permintaan untuk mengajarkan Tari Sunda, terutama tari-tari putri seperti; Sulintang, Dewi, Sekar Putri, dan lain-lain. Saat mengatur pola lantai, saya sering menghindari posisi penari yang membelakangi penonton terlalu lama. Seperti yang dikatakan Mak Karmi bahwa membelakangi penonton kurang bagus jika dilihat. Hal itu juga saya tanamkan kepada murid saya.

 

Pengalaman yang dialami oleh Mak Karmi akhirnya dialami pula oleh saya, cucunya, berpetualang dari satu panggung ke panggung lainnya, menerima uang saweran dari penonton, merasakan bagaimana bersanggul dan berkebaya. Menjadi seorang ronggeng rupanya tak mudah, banyak sekali godaan yang datang dari penonton. Pada akhirnya, Mak Karmi tak hanya mewariskan tariannya, tetapi juga jalan tari yang pernah ia jalani juga diwariskan kepada cucunya.

Sumber Rujukan:

Asep Salahudin. 2017. “Sufisme Sunda: Hubungan Islam dan Budaya dalam 

Masyarakat Sunda”. Bandung: Nuansa.

Coolsma, Sicrk. 1913. “Soendaneesch-Holloandsch Woordenboek”. Leiden: A.W. 

Sijthoff’s Uitgevers-Maatschappij.

Ojel Sansan Yusandi. 2020. “Mega Mendung di Priangan”. Bandung: Kayu Manis 

Utami.

Wachjudi. 1953. “Tari – Sulintang: Seni Tari Tjiptaan Baru dari Djawa Barat”

Majalah Aneka.

Narasumber:

Nama : Ita

Usia : 64 tahun

Alamat : Kp. Batu Sirap, Desa Kecamatan Ibun, Kabupaten 

 Bandung.

Pekerjaan : Buruh harian lepas. Mantan seniman Calung

Wawancara : Dilakukan tanggal 25 Mei 2024, Pukul 10.00-11.00 WIB

Nama : Entit Maryati

Usia : 56 tahun.

Alamat : Kp. Widara, Desa Dukuh, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung.

Pekerjaan : Menenun kain pel. Mantan penari Jaipongan

Wawancara : Dilakukan tanggal 23 Mei 2024, Pukul 17.15-18.00 wib.

The Narratives
of Indonesian
Dancescape