The Narratives
of Indonesian
Dancescape

IN / ENG

Ahmad Susantri  / Lampung Barat – Lampung

“Terimakasih, Tari”

“Terimakasih, Tari”

Ahmad Susantri

Lampung Barat – Lampung

 

Sekapur sirih

Saat ini, saya bekerja sebagai praktisi yang sedia mengajarkan tari ke mana saja—berbeda dengan harapan awal saat mengambil kuliah tari agar dapat menjadi seorang koreografer, penari, atau apa pun yang berkaitan dengan pemanggungan profesional. Di kampung halaman, saya justru kembali untuk mengajar siswa-siswi sekolah, sanggar maupun komunitas, mahasiswa di kampus, atau siapa pun yang ingin belajar menari. Saat ini, saya ingin menjadi pelatih yang memberikan keceriaan, membuat mereka merasa nyaman belajar tentang tari. Dengan cara itu, saya bisa membagikan apa yang saya dapat dari proses menari selama ini.

Keinginan menjadi pengajar tari bukan motivasi yang mendorong saya untuk terlibat dalam dunia tari. Saat dulu mulai belajar untuk menjadi seorang koreografer di bangku kuliah, saya lebih banyak memilih pengalaman empiris untuk menuangkan gagasan dalam berkarya, menciptakan beberapa judul karya yang memuat kisah-kisah personal yang saya refleksikan ulang melalui kajian dan penafsiran terhadapnya, berimbas pada pemaknaan ulang atas peristiwa-peristiwa yang pernah dilalui ataupun harapan yang ingin digapai di kemudian hari. Lewat proses berkarya ini, saya bisa menerima ataupun meninggalkan hal yang telah lalu dan memproyeksikan apa yang seharusnya dilakukan untuk menyambut hari depan. Manisnya berkarya menyadarkan bahwa proses berkesenian dapat menyenangkan dan juga menyadarkan. Temuan inilah yang kemudian menjadi bekal saya dalam proses mengajar dan mengenalkan tari yang paling ideal di dalam kelas-kelas yang saya ampu.

Pada 2020, saat kembali ke kampung halaman setelah delapan tahun (2012-2020) merantau menimba ilmu di Daerah Istimewa Yogyakarta, rasanya memang Istimewa. Banyak hal yang saya bawa untuk ditularkan di kampung halaman, perihal etos berlatih, kemauan untuk berkreativitas, serta berani menjadi menarik. Satu tahun pertama saat kembali ke Liwa, saya mengabdikan diri untuk melatih anak-anak di Sanggar Seni Setiwang, sanggar tempat kali pertama saya mempelajari tari. 

Saat COVID-19 sedang melanda, kegiatan belajar-mengajar di sanggar tetap dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang mendukung. Sebelum kelas dimulai saya membiasakan diri untuk menyapu lantai agar anak-anak yang datang bisa duduk dan berlatih dengan nyaman, kami juga memulai latihan dengan beberapa jenis olah rasa: seperti menceritakan apa yang dilakukan hari ini atau menuliskan perasaan mereka beberapa hari terakhir, berlatih di alam terbuka sambil meminta kesediaan memunguti sampah yang berujung dengan pertanyaan bagaimana perasaan mereka melakukan kegiatan tersebut. Semua pertanyaan ini merupakan langkah-langkah kecil melatih kepekaan mereka terhadap lingkungan sekitar. Selain memberikan olah tubuh dan beberapa repertoar tarian para anggota sanggar juga diajak mempelajari persiapan di belakang panggung, seperti mempersiapkan penampilan yang dimulai dari produksi acara hingga mengatur alur pertunjukan. Hal yang dulu tidak saya dapatkan saat “nyantri” di sanggar, tetapi setelah berkuliah rasanya perlu dipelajari sejak dini. 

Setelah satu tahun menjadi pelatih di Sanggar Seni Setiwang, di tahun 2022 sampai 2024 saya menjadi fasilitator tari di Sekolah Seni TUBABA, sebuah yayasan Pendidikan Seni dan Ekologi yang berada di kabupaten Tulang Bawang Barat, berjarak 186,6 kilometer dari kediaman saya di kota Liwa. Di sini kebudayaan memiliki peran penting dalam pembangunan karakter masyarakatnya, kurang lebih seperti itulah harapan mantan bupati Tubaba, Umar Ahmad, yang juga merupakan pembina yayasan dalam setiap kesempatan pidatonya yang saya simak. Di sini kami melatih anak-anak Tulang Bawang Barat atau siapa pun saja untuk menari di pekarangan Tubaba, mengajak mereka mengenal tanah, rumah, bebatuan, pasar, taman, hingga kebun karet sebagai tempat mereka menari, harapannya agar mereka dapat bercerita tentang Tubaba ke siapa pun melalui pengalaman tubuh. Tubuh yang telah akrab dengan pekarangan Tubaba, yang setiap harinya mengunjunginya sebagai tempat berlatih juga pentasnya, agar mereka akrab dan tidak terbata-bata saat memperbincangkannya.

Pengalaman mengajar di Sekolah Seni TUBABA dan Sanggar Seni Setiwang merupakan refleksi dari apa yang saya dapatkan selama berkuliah, bahwa dalam mempelajari tari bukan perihal pengajaran saja yang dikedepankan, melainkan juga tentang penyadaran, bukan tentang menghafal dan mementaskan, melainkan mau untuk memahami dan menaruh empati. Tari mengajarkan saya agar mau mendengarkan, mencermati, mengapresiasi, dan berbahagia untuk orang lain, bahwa dunia tidak hanya berputar untuk diri sendiri, tetapi ada banyak kehidupan di luar diri yang perlu dihargai.

 

Dari nyelekit, menjadi spirit

Saat kecil saya adalah anak lelaki yang kemayu, terbiasa berteman dengan anak-anak perempuan, juga terbiasa memainkan mainan yang lebih lumrah dimainkan anak-anak perempuan sepantaran, saya tidak terlalu menggemari aktivitas yang lumrah dilakukan anak laki-laki lainnya. Pokoknya main boneka, masak-masakan, atau beradu peran layaknya pemain sinetron adalah lakon-lakon yang saya perankan sehari-hari di masa kecil. Mungkin perilaku inilah yang menjadi cap bagi saya hingga dilabeli orang-orang di sekitar dengan sapaan banci, bencong, atau apa pun penamaan sejenisnya. 

Saat masih duduk di bangku SD, saya belum mengenal tari, hanya mendengarkan sesekali cerita sahabat bernama Dinda perihal keseruannya belajar menari, sepintas lewat saja, sisanya kami lanjutkan dengan bermain membangun rumah dari tanah yang disusun dengan kedua jari telunjuk. Di penghujung SMP kami diwajibkan untuk menampilkan pertunjukan seni sebagai syarat kelulusan memenuhi nilai ujian akhir mata pelajaran seni dan budaya, tidak ada pilihan lain yang dapat saya lakukan selain menari, inilah yang menjadi titik awal saya mengenal tari, Ratoh Jaroe merupakan tarian pertama yang saya pelajari, waktu itu pelatihnya adalah Kak Bambang, Bang Heri, dan Kak Rudi yang kemudian hari saya kenal sebagai pentolan sanggar di tempat saya mempelajari tari lebih lanjut. 

Ratoh Jaroe merupakan tarian Aceh yang dilakukan dengan posisi duduk bersimpuh sembari mengejutkan badan, saya pelajari di atas rumah panggung dengan posisi lantai papan yang tidak rata, setiap usai latihan ada saja kulit kaki atau dengkul yang terkelupas. Beberapa minggu persiapan sampai akhirnya pementasan dilakukan, tepuk tangan penonton hingga senyuman yang dilemparkan kepada kami menjadikan satu hari itu sebagai peristiwa yang tidak terlupakan, rasanya lega sekali dapat mempertunjukan sebuah hasil dari usaha yang waktu itu terasa tidak biasa-biasa saja. 

Di bangku SMA, saya putuskan untuk lebih serius mempelajari tari dengan masuk ke Sanggar Seni Setiwang Lampung Barat. Mempelajari tari kreasi Lampung dari Bapak dan Ibu Nyoman, kebetulan kedua-duanya memiliki nama yang sama. Bapak dan Ibu adalah pengajar yang tegas juga penyayang, saat berlatih Pak Nyoman menjadi sosok pelatih yang tegas, harus benar, tidak boleh menye-menye, dan tepat waktu. Di luar jam latihan, Pak adalah sosok yang humoris, gemar menggoda ibu dan suka membelikan gorengan untuk anak-anak sanggarnya. Perasaan nyaman dan pengalaman dapat pentas di banyak panggung membuat saya tertarik untuk lebih mendalami tari di jenjang perkuliahan. 

Sewaktu saya mengutarakan keinginan melanjutkan kuliah di ISI Yogyakarta, Pak Nyoman tampak sangat senang, masih terbayang Bapak senyum-senyum sembari melirik Ibu. Waktu itu, saya masih kelas 3 SMA, Bapak mengajak saya ke Yogya melihat kampus yang saya dambakan, pergilah kami ke sana mengendarai mobil kijang berwarna hijau milik Pak Nyoman. Saat akan melakukan pendaftaran Bapak membuatkan surat rekomendasi yang ia tandatangani sendiri, bahkan subuh sebelum saya berangkat ke Yogya untuk mendaftar, saya masih bermalam di kediamannya, hingga akhirnya saya diterima sebagai mahasiswa Jurusan Seni Tari ISI Yogyakarta.

Proses mengenal tari lebih dalam saya jalani sedari tahun 2012, tahun pertama saya menjadi mahasiswa. Dunia perkuliahan tari persis seperti yang saya bayangkan; porsi praktik yang banyak, bisa berbusana santai ke kampus, seringnya menyaksikan pertunjukan, mempelajari banyak jenis tarian. Namun, ada satu hal yang sulit saya gapai sebagai mahasiswa baru waktu itu, yaitu menjadi penari karya kakak kelas yang menjadi sebuah kebanggan tersendiri bagi mahasiswa baru. Saya justru mengawali proses berkesenian di kampus dengan menjadi kru konsumsi, bertugas menyediakan dan memastikan amunisi makanan serta minuman bagi para pendukung karya terpenuhi, barulah di semester tiga saya menjadi penari karya tugas akhir Bang Usman, sebuah pengalaman berkarya yang sangat berarti bagi saya. Bang Usman berperan penting dalam pencarian ketubuhan saya, cara berlatihnya yang imajinatif dan pencarian gerak yang unik sangat berbekas, hal ini mempengaruhi saya dalam pencarian gerak berikut motivasi dalam melakukannya.

Bersama sahabat yang saya jumpai di Yogyakarta, yaitu Bundo Ari dan Bang Rafi, kami membuat sebuah grup  yang diberi nama 3SOEM atau tiga soematra. Alasan penamaan ini karena kami berasal dari Sumatera Barat, Lampung, dan Riau yang ketiganya berada di pulau Sumatera. Kelompok ini terbiasa mengikuti kompetisi tari dengan gaya girly. Kedekatan kami berlanjut dalam kehidupan sehari-hari, menjadi teman yang saling melengkapi, menghabiskan waktu bersama dan juga saling membantu di berbagai kondisi. Karena kedekatan ini pulalah saat menempuh Tugas Akhir S1, saya memutuskan karya “Dingin” yang saya ciptakan ditarikan oleh personil 3SOEM, komposisi yang terasa pas untuk sebuah karya yang menampilkan sisi keintiman dalam hubungan. 

Sekali waktu saya menghubungi Bundo Ari melalui telepon, rasa penasaran tiba-tiba menyeruak mempertanyakan mengapa waktu itu Bundo tertarik mengajak saya membentuk sebuah grup tari, Bundo bilang: saat ia menjadi panitia ospek yang menangani kami sebagai mahasiswa baru, ia melihat sosok yang menarik perhatian dari puluhan orang lainnya, anak yang ceria, nyentrik, tutur katanya memikat, dan suka spontan merespons sesuatu dengan cepat yang berujung menarik perhatian, ia adalah Susan, mahasiswa baru berpostur kurus dan rambut kering yang menggantung sampai telinga. Setelah Bundo mengulik dari mana asalnya dan bagaimana kisah hidupnya, Bundo menemukan kesamaan bahwasanya orang yang menampilkan keceriaan dalam kehidupan sehari-harinya biasanya menutupi kegelisahan dan kesedihan dengan tampil riang gembira, bahwa kami bertiga memiliki masa lalu sebagai orang-orang yang terpinggirkan. 

Perasaan terhubung yang kuat membentuk bonding yang sampai hari ini terus terjaga dengan baik. Sosok Bundo bagi saya adalah kakak yang bisa digugu dan ditiru, banyak hal sederhana dalam pola hidupnya yang saya ikuti, semisal jika kami berpergian pentas keluar kota, ia memisahkan benda-benda kecil di dalam kantongnya, memilah alat kosmetik, obat-obatan, perlengkapan bebersih instan seperti tisu kering dan tisu basah, menjadi lebih ringkas dan mudah dijangkau, atau saat latihan menari bundo berusaha untuk menggerakkannya dengan selalu maksimal, saat berkarya pun ia tidak tanggung-tanggung mengusahakan agar semuanya menjadi yang terbaik, mulai dari konsumsi, kostum, pendukung karya, dan detail-detail lainya. 

Saat bertelepon dengan Bundo, kusampaikan hal ini dengan gamblang kepadanya. Bundo berujar, “Mungkin kita belajar seni kali, ya. Ada kepekaan yang dibangun pada akhirnya, ada juga loh orang yang bener-bener diajarin dengan kata-kata, tapi enggak mudeng-mudeng juga. Kamu tanpa harus diomongin udah bisa memilah mana yang bisa ditiru agar punya perubahan yang baik ke depan.” Benar rasanya, bahwa belajar seni menghantarkan diri untuk lebih peka mencermati dan akhirnya sadar untuk menyikapi. Obrolan makin hangat, terakhir kami bertemu secara langsung di tahun 2021, saat itu kami saling mengunjungi, Bundo datang ke Liwa dan aku datang ke Pasaman Barat kampung halaman Bundo, maka waktu bertelepon yang tidak telalu sering menjadi obat rindu yang terasa hangat. 

Saya juga bertanya bagaimana tanggapan Bundo perihal karya-karya yang saya buat, kebetulan Bundo hampir selalu terlibat di karya-karya yang saya buat dalam ranah akademik. Bundo bilang, “Ya, itu karya Susan banget, orang lain belum tentu bisa bikin karya kayak begitu karena belum tentu orang lain mengalami dan mengilahami kejadiannya, karyanya spesial jadinya otentik, karyanya hanya ingin berbagi cerita dengan orang-orang menggunakan simbolisasi, mengajak orang untuk menebak-nebak maksudnya, serta memiliki keunikan dalam pemilihan gerak, penataan gerak, pilihan properti, hingga pencahayaan. Bikin orang yang enggak kenal Susan jadi kepo dan yang kenal semakin mengiyakan kalau itu Susan banget, walaupun orangnya suka telat, suasana hati yang variasinya cepat berganti, dan lewah pikir.” Kesaksian Bundo tersebut meyakinkan bahwa saat berkarya saya menempatkan penyelidikan fenomenologi dengan gagasan pengalaman empiris dalam berkarya yang menghasilkan karya yang otentik dan menjadi citra dari pemilik karyanya. 

Di tahun 2019, saya menyelesaikan pendidikan magister yang ditempuh selama dua tahun, satu tahun setelahnya saya memutuskan untuk pulang ke kampung halaman menepati janji kepada Ayah untuk menemaninya di usia tua. Awalnya saya mengira, setelah lulus sebagai sarjana tari, saya akan meniti karier serius dalam dunia pementasan, nyatanya saat kembali ke kampung halaman, tari membawa saya ke ranah berbagi pengetahuan. Kembali ke kota Liwa dengan ketinggian rata-rata 900 mdpl, yang merupakan daerah terdingin di Lampung, tidak membekukan keinginan saya untuk terus bergerak, melangkahkan kaki seluas-luasnya di tanah kelahiran. Ada banyak perjumpaan yang saya lakukan dalam berbagi ilmu tari, seperti melatih ibu-ibu Bhayangkari untuk perlombaan, mengajarkan tari garapan untuk anak-anak SD maupun SMA entah itu untuk berlomba maupun beragam program dari kementerian, menjadi praktisi mengajar di salah satu kampus, atau mengisi lokakarya di beberapa sekolah dan universitas, serta menjadi fasilitator tari di sebuah yayasan.

 

Belajar mengenal ulang tari

Saat berkuliah, tari menyadarkan saya untuk meresapi kehidupan, tari mengajak saya untuk dapat berdamai dengan segala ironi maupun tragedi yang rasanya pelik dijalani, tapi terasa indah bila dihayati, dari pengalaman mencipta tari saya dapat memilah mana hal yang seharusnya saya syukuri. Mengerjakan tugas-tugas penciptaan di kampus, kebanyakan repertoar tari yang saya ciptakan berangkat dari gagasan pengalaman empiris, dibedah sedalam-dalamnya sebagai wujud refleksi dan dipaparkan ke dalam sajian pertunjukan yang terkadang menawarkan solusi atau sekadar curahan hati personal untuk dibagikan. Biasanya karya-karya yang berangkat dari pendekatan fenomenologi ini diakhiri dengan perasaan lega setelah memeras berbagai kemungkinan penampilan yang dibarengi dengan pendalaman pesan, tak jarang beragam asumsi dan sudut pandang justru memperkaya pemahaman tentang apa yang sedang dihadapi atau pernah terlewati, proses panjang pembuatan karya menuntun saya untuk memahami apa yang sedang dialami dan berlabuh pada penerimaan atau melepaskan. 

Secara singkat pendekatan fenomenologi dapat diartikan sebagai pemikiran untuk meneliti perihal pengalaman. Untuk mencerap pengalaman (experience), manusia menempat posisi sentral bagi penyelidikan, sehingga fenomenologi kemudian secara umum dimengerti sebagai kajian ilmiah tentang pengalaman, ‘the scientific study of experience’ (Jackson, 1993:2). Dalam ranah kepenarian, penyelidikan yang terasa pas untuk digunakan adalah perspektif fenomenologi pragmatik yang memusatkan perhatian pada penyelidikan tentang pengalaman ketubuhan. Pemikiran ini menyatakan bahwa perjumpaan manusia dengan dunia pertama-tama diawali dan diperantarai oleh tubuhnya dan bukan melalui pemikirannya, keberadaan tubuh menjadi media paling awal untuk  berinteraksi dengan dunia material, dunia sosial, maupun dunia mental-spiritual. 

Oleh karenanya, peristiwa-peristiwa yang telah dialami bukan hanya sekedar diingat untuk diceritakan, tapi turut memikirkan ulang, membayangkan, lalu menafsirkannya ke dalam bentuk pengkaryaan. Kejadian perisakan (bullying) di masa kecil yang saya alami tidak hanya menjadi pengalaman perasaan, tetapi juga berimbas pada reaksi tubuh; memilih untuk menyendiri, menghabiskan waktu sendiri, atau memisahkan diri saat berada di keramaian. Menjadi respons dengan laku tubuh tertentu, secara keruangan, tubuh lebih sering menyudut seakan melakukan penolakan saat berada di lingkungan yang ramai. Penyadaran akan hal-hal di atas kemudian diselidiki menjadi acuan-acuan dalam berkarya, mengingat dan menginterpretasikan ulang ke dalam bentukan karya dengan beberapa judul.

 

Tarian “Lelaki Penyiram Bunga”

Dulu sekali saat masih duduk di bangku SD, saya sering membantu Ayah menyiram bunga, sebagai pegawai negeri Ayah memiliki usaha sampingan menjual bunga hias dan mendekor taman bunga, tentunya sebagai anak bungsu saya kedapatan tugas untuk merawat bunga-bunga tersebut. Setelah dewasa, kenangan tersebut muncul kembali untuk dituangkan menjadi karya, sebagai lelaki yang dari kecil kemayu dan sering diolok banci, saya merasa tidak ragu untuk membawa pengalaman-pengalaman getir ini kedalam karya, beberapa kali menciptakan karya perihal penerimaan diri yang kemudian saya beri judul “Lelaki Penyiram Bunga” karya ini secara intens terus bergulir dari tahun 2014 sampai 2019 dan terus disempurnakan melalui pengkaryaan tugas-tugas di kampus, orientasi karya ini berbicara tentang bagaimana saya mensyukuri apa yang terjadi dalam hidup saya, sampai pada puncaknya berterima kasih atas segala pengalaman hidup sebagai seseorang yang memiliki sisi feminin dalam tubuh prianya.

Karya ini kali pertama dibuat pada 2014, ia ditampilkan sebagai tugas penciptaan 1 koreografi, menggunakan narasi verbal sebagai iringannya dengan cerita rutinitas menyiram bunga, rutinitas yang pada akhirnya diinterpretasikan sebagai bentuk pengajaran Ayah agar memahami kedisiplinan dan bertanggung jawab atas tugas yang diemban. Selanjutnya, karya ini tumbuh menjadi koreografi lingkungan yang dipentaskan di Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogya (PASTY) setahun setelahnya, dengan judul yang sama, karya ini berusaha menyampaikan keinginan anak untuk mendapatkan kesempatan mengutarakan isi hati kepada ayahnya, menyampaikan apa yang diinginkan, agar lebih didengarkan. Setelahnya, karya ini muncul kembali di tahun 2019 dengan judul “Hari Spesial Lelaki Penyiram Bunga” yang di tahun-tahun sebelumnya telah dicicil dengan tema yang serupa perihal penerimaan diri sendiri dengan judul yang berbeda. 

“Hari Spesial Lelaki Penyiram Bunga” tercipta untuk menyelesaikan gelar magister tari yang saya tempuh, dimulai tepat pukul delapan malam saat para penonton telah hadir setengah atau satu jam sebelum pementasan dimulai, mereka duduk di bangku-bangku besi yang juga disusun sebagai instalasi, ada tiga tampah berisi gorengan dan teh hangat yang disajikan untuk menyamankan mereka menunggu pertunjukan dimulai, walaupun mungkin mereka jengkel karena pertunjukan terlambat dimulai padahal memang itu disengaja. Waktu itu, pementasan dilakukan di galeri Pascasarjana ISI Yogyakarta, tepat pukul delapan malam saya hadir menggunakan gaun kuning genteng dengan tas berwarna merah dan wig curly pendek berwarna merah muda. 

Seperti ingin menunjukan kebiasaan, saya menyapa para hadirin dengan kata-kata; “Halo, selamat malam, maaf saya telat seperti biasanya, sudah menunggu lama, ya? Aaahhh, apa kabar teman-teman perempuanku. Waah, ada juga rekan-rekan pria yang hadir, hayyu hayyu, masuk acara akan segera kita mulai.” Sapaan ini menjadi pertanda dimulainya pertunjukan. Setelah hadirin masuk dan duduk dengan rapi (walaupun tidak semua mendapatkan tempat duduk) pertunjukan dilanjutkan dengan tiga penari yang berada di area pentas berlatar tembok berwarna kuning. 

Pertunjukan ini dipenuhi busana ramai warna, gaun tutu berwarna kuning genteng dan merah muda, baju polkadot biru-putih dengan bawahan high waist emas-biru dongker, rok dengan motif garis-garis berwarna hijau-kuning dengan atasan merah menyala, serta satu setel kaus berkerah dan celana berwarna jingga dengan sedikit motif warna-warni di bagian atasnya. Ada adegan membuat kue dan melemparkan tomat, saat para penari mengadon kue mereka menghempaskan adonan tepung di atas setumpuk bedak bayi yang memberikan efek tepuk berterbangan dengan lembut, lalu penonton diajak untuk melemparkan tomat ke seorang penari, satu karung besar tomat digulirkan yang akhirnya dipilih untuk melemparinya, di akhir penonton menyaksikan penari memakan roti berselai tomat, kurang lebih seperti itulah gambaran visualnya. Karya ini secara runtut menceritakan tentang perasaan tersudutkan, penderitaan, lalu penerimaan. 

“Hari Spesial Lelaki Penyiram Bunga” adalah cara mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya atas pengalaman luka, ditinggal, rapuh, dan kecewa atas sifat kemayu yang melekat pada diri saya, tapi bukan hanya tentang itu, selama ini saya dihadapkan dengan kebahagian bertemu dengan orang-orang dan kesempatan yang baik, kalau bukan karena mencipta tari mungkin saya tidak akan menyadari hal ini, nikmatnya berdamai dengan diri sendiri. Rasanya cukup menjadi diri sendiri untuk menjalani hidup di dunia yang fana ini. Saya berbahagia dengan pilihan-pilihan hidup yang mengutuhkan saya sampai detik ini. Kalau tari berwujud manusia, saya ingin lari kencang untuk memeluknya dengan erat, setelah puas mewek saya mau bilang, “Makasih ya, berkat kamu aku jadi jatuh hati berulang-ulang ke diriku sendiri.”

 

Penyadaran yang ingin saya bagi

Tahun 2020, saya kembali ke kampung halaman. Pada kesempatan itu, saya merasa ingin berbagi melalui tari seluas yang saya bisa, bahwa tari bukan sekadar perihal pementasan, ia juga dapat menjadi media untuk menyampaikan hal yang manis maupun getir, melatih empati agar digunakan pada banyak sisi kehidupan. Jika dirinci selama empat tahun terakhir, saya dapat memetakan proses melatih menjadi beberapa bagian.

Pertama, mengajar di Sanggar Seni Setiwang Lampung Barat. Kedua, menjadi Fasilitator Sekolah Seni TUBABA. Ketiga, melatih anak-anak sekolah di program Gerakan Seniman Masuk Sekolah. Keempat, menjadi Praktisi Mengajar. Kelima, mengajari beberapa instansi untuk berlomba. Keenam, berkolaborasi dengan Sanggar DENATA SMA N 1 Liwa. Ketujuh, menjadi narasumber lokakarya. Kedelapan, membicarakan tari di berbagai kesempatan.

Sanggar Seni Setiwang Lampung Barat menjadi tempat pertama saya kembali ke Liwa, mengajar di sana adalah janji yang saya tepati kepada Pak Nyoman saat beberapa tahun sebelum ia kembali ke kampung halamannya di Bali. Pengajaran yang dilakukan bukan hanya tentang repertoar tari maupun olah tubuh, tapi turut melatih olah rasa dengan bercerita, mengamati, dan mengalami peristiwa yang selanjutnya mereka narasikan. Hal ini adalah usaha untuk menyentuh ruang-ruang empati. Selain menari seyogyanya para penari dapat mengenal ruang produksi, memahami hiruk-pikuknya persiapan dan tata kelola pementasan, tujuannya selain dapat mengelola pertunjukan mereka, juga dapat menghargai keterlibatan orang-orang di balik layar pemanggungan.

Sekolah Seni TUBABA menjadi ruang berekspresi yang terasa pas untuk mengimplementasikan idealisme dalam mengajar, ketertarikan saya pada koreografi lingkungan terfasilitasi cukup baik dengan lanskap pembangunan di kawasan ini. Atas arahan Semi sebagai direktur SST, kami para fasilitator diarahkan agar dapat merespons lingkungan dan bangunan-bangunan di TUBABA, misi dari kelas ini adalah membentuk karakter peserta didik untuk menjadi pribadi yang lebih baik, membiasakan mereka dengan rutinitas yang turut membentuk kebiasaan yang mendidik, seperti menyusun alas kaki dengan rapi, memberikan kesempatan bagi mereka untuk memimpin doa sebelum dan sesudah latihan secara bergilir, seusai latihan menyalami semua yang berlatih dengan tertib, membiasakan menanyakan perasaan saat menyudahi latihan, membuka latihan dengan permainan-permainan yang berorientasi pada pemanasan tubuh dan keceriaan, melibatkan kehadiran orang tua pada kelas anak sebagai kesatuan tim yang dapat mendukung anak-anak agar semangat latihan.

Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS) merupakan program yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Kegiatan ini memfasilitasi keterbatasn sekolah dalam menghadirkan guru seni dan budaya yang selama ini masih terasa kurang di satuan sekolah. Prosesnya berlangsung selama tiga bulan pengajaran, mengajarkan siswa-siswi di sekolah untuk menarikan tarian garapan baru. Selama dua kali keterlibatan saya dalam program GSMS, jarak yang ditempuh dari rumah menuju sekolah tempat melatih rata-rata dua jam perjalan berkendara dengan motor. Saya memulai latihan dengan menjelaskan tujuan dan fungsi dari program GSMS, lalu di pertemuan selanjutnya menerangkan pengertian dasar perihal tari, baru mempresentasikan gagasan karya yang akan digarap, termasuk terjalin dialog bagaimana mereka menanggapi gagasan tersebut terhadap diri mereka masing-masing. Setelahnya, setiap latihan dimulai dengan olah tubuh, permainan, juga olah rasa, sampai perlahan-lahan latihan berjalan dengan menciptakan sebuah karya baru. 

Praktisi Mengajar merupakan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang memungkinakan praktisi mendarmabaktikan keahliannya dengan mengajar mahasiswa di kelas kolaborasi. Selama dua semester, saya mengampu mata kuliah Olah Tubuh di Prodi Pendidikan Tari Jurusan Bahasa dan Seni, FKIP Universitas Lampung. Dengan partner di kelas tersebut, kami membersamai angkatan 2023 dari mereka masuk di semester satu sampai berada di semester dua. Dalam kelas sebagai praktisi, tentunya kami menjalankan modul yang telah ditentukan oleh dosen pengampu mata kuliah terkait rencana pengajaran maupun target pencapaian di setiap pertemuan. Rasanya melegakan melihat mereka berprogres dalam menguasai teknik ketubuhan, dari yang sebelumnya tidak mampu menggerakkan suatu teknik hingga menguasai dan mampu mendeskripsikan, dari yang sebelumnya masih terbata-bata mengutarakan pendapat hingga terbiasa saling bertukar argumentasi. Progres ini tentunya didapatkan dengan kesiapan saat memberikan materi, juga keleluasaan para mahasiswa untuk berinteraksi, membahas sedetail-detailnya teknik yang dipelajari, dan membuka ruang bebas untuk dapat menyampaikan pendapat. 

Pengalaman lainnya adalah melatih beberapa instansi untuk berlomba, memfasilitasi mereka yang ingin berunjuk gigi lewat menari. Dulu saya tumbuh dari panggung-panggung perlombaan, maka rasanya tidak terlalu asing untuk melatih mereka yang mau berlomba tari. Selain strategi pengkaryaan, menyiapkan mental juara juga penting rasanya “jika ingin menang maka harus siap kalah”. Dalam setiap kesempatan, saya selalu menyelipkan pesan bahwa juara adalah bonus dari usaha yang maksimal, persiapan yang matang, dan kekompakan tim. Jika ingin meraihnya, maka kita perlu bekerja sama, bukan hanya satu-dua orang saja, kebersamaan menjadi acuan saya dalam melatih perlombaan, membangun jiwa kekeluargaan dan membangun rasa saling memiliki.

Sanggar DENATA SMAN 1 Liwa merupakan salah satu tempat saya berkarya sejak pertama kali kembali pulang ke Liwa di tahun 2020. Ada banyak kepercayaan yang diberikan Miss Merlin selaku pembina untuk berkarya dan tumbuh bersama DENATA. Saya pikir DENATA menjadi tempat pelarian saat saya ditolak atau menjaga jarak, masa yang pernah saya alami saat berusaha untuk menjadi dewasa dalam berkesenian di kampung halaman. Miss Merlin dan keluarga besar DENATA dengan tangan terbuka menerima saya untuk tetap berkarya bersama mereka, menerima apa pun yang saya tawarkan tentunya dengan diskusi-diskusi yang matang. Saya beruntung sekali mendapatkan tempat di sini, walau tidak menetap, hadirnya pun sekelibat, tapi selalu ada ruang untuk berkarya bersama. 

“Lokakarya Ke Mana Saja” membawa saya pada perjumpaan dengan banyak penari, pemerhati, koreografer, instansi, maupun penikmat seni. Perjumpaan yang terhitung beberapa jam ini, saya usahakan untuk menyiratkan bahwa menjadi penari ataupun pencipta koreografi adalah hal yang menyenangkan, ada metode, tips, dan juga trik yang bisa dipelajari, digunakan, serta disebarluaskan. Beberapa perjumpaan menghantarkan rasa haru dan lega saat melihat peserta tercerahkan bahkan mampu melaksanakan apa yang diutarakan. Juga, pada akhirnya ilmu yang diberikan teringat dan terpakai di kemudian hari, aahh senangnya.

Membicarakan tari di berbagai kesempatan menjadi bonus yang saya dapatkan, ada beberapa siniar maupun perbincangan yang mengundang saya sebagai narasumber, tentunya tari menjadi bahasan yang saya bicarakan. Mulai dari bagaimana kisah memilih tari sebagai alur hidup sampai apa yang tersadarkan dari tari itu sendiri. Ia bisa menjadi penyemangat atau bahkan obat, caranya? Entahlah, saya belum meraciknya dengan bijak, tapi saya selalu berusaha hadir sebagai pelatih yang tulus berbagi, mengusahakan hadir dengan membawa keceriaan, tidak memaksa mereka untuk bergerak—yang pada akhirnya membuat mereka enggan menari—mengupayakan bahwa menari bisa dilakukan oleh siapa saja, mau mendengarkan mereka bercerita tentang hari-hari mereka, memberikan tepuk tangan saat mereka berhasil menghafal 1×8 gerakan, terkadang tegas dengan wajah yang serius tapi tidak mengirit senyum manis menyapa mereka yang datang telat walau itu menjengkelkan. Tari mengajarkan saya untuk mau menyaksikan, mencermati, berbagi, dan berbahagia untuk orang lain, maka rasa itu pula yang ingin saya ceritakan kepada siapa pun yang saya temui. Bahwa saya bisa bertahan hidup sampai sekarang berkat belajar banyak dari tari.

 

 Jika suatu hari nanti saya pergi lebih dulu, saya ingin dikenang sebagai penari.

 

 

The Narratives
of Indonesian
Dancescape