The Narratives
of Indonesian
Dancescape

IN / ENG

Yussi Ambar Sari  / Sumbawa – Nusa Tenggara Barat

“Kembali Berkarya Lewat Kreasi Tari Sumbawa”

“Kembali Berkarya Melalui Kreasi Tari Sumbawa”

Yussi Ambar Sari

Sumbawa – Nusa Tenggara Barat

September 2022, kali pertama saya melangkahkan kaki ke Sumbawa. 

”Coba kosongkan gelas dan terima apa yang masuk dalam gelasmu!” Melangkahkan kaki ke tanah Sumbawa, tanah yang baru kali pertama saya pijak, membuat saya lebih meresapi makna pernyataan itu. Seperti halnya bayi yang baru lahir, mereka tidak tahu apa-apa tentang dunia ini. Mereka bagaikan gelas kosong, dan akhirnya orang tua atau keluarga memberikan isi dalam gelas kosong tersebut. Semakin hari, gelas itu semakin memiliki isi yang beraneka ragam, dan semakin hari isi semakin penuh.

Saya Yussi Ambar Sari, atau biasa dipanggil Kencus, anak pertama dan terakhir dalam keluarga, lahir di Tulungagung tahun 1994 silam. Saya mengenyam pendidikan tari sejak di Taman Kanak-Kanak melalui Sanggar Tari Kembang Sore. Di sana, saya mempelajari tari tradisi dan kreasi. Hingga tamat SMA pada 2013, akhirnya saya melanjutkan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, di Jurusan Seni Tari. Saya mulai beradaptasi dengan lingkungan, adat, budaya, dan pengetahuan di sana. Berbagai jenis tarian dan pengetahuan tentang dunia tari membuat saya semakin mencintai tari. Selepas kuliah, saya kembali melanjutkan kuliah di Pascasarjana Seni Tari di kampus yang sama. Tahun 2020, saya menyelesaikan S2 dengan tesis karya tari “Tinta Hijau” melalui video, karena saat itu sedang tersebar virus COVID-19.

Latar belakang saya adalah seorang koreografer sekaligus penari. Setelah lulus pada 2020, saya sempat menjelajah ke sana kemari untuk mencari pekerjaan, selain itu kegiatan berkesenian terus berjalan. Tetap produktif walaupun hanya di rumah saja, karena semasa pandemi banyak kegiatan berkesenian yang dapat dilakukan secara daring. Penciptaan karya tari yang saya ciptakan hanya saya ciptakan sendiri dibantu dengan beberapa rekan. Yang terpenting waktu itu adalah konsep karya, koreografer, penari, dan pendukungnya seperti videografer. Waktu demi waktu berlalu, hingga akhirnya saya melangkahkan kaki menuju Sumbawa. Daerah yang sama sekali belum pernah saya singgahi. Tahun 2022, saya pergi ke Sumbawa, peran saya sebagai pengajar, koreografer, dan penari. Saya mulai belajar tarian Sumbawa dan belajar budaya yang ada di Sumbawa.

Mengenali Sumbawa, Mengenali Berbagai Tariannya

Ketika mencari tahu tentang Sumbawa dari berbagai media, saya berpikir bisa saja menjalani hidup di sana. Bersama kedua teman satu almamater, kami pergi merantau ke Sumbawa. Pada kesan pertama, saya disambut dengan pemandangan yang indah dan asri, meski matahari terasa lebih terik di Sumbawa. Warga setempat bahkan sering berkelakar bahwa Sumbawa memiliki ‘lima matahari’. Hal tersebut tidak menjadi tantangan berarti bagi saya dan teman-teman. Kami terus melanjutkan pengabdian di tanah rantau ini. 

Sampai saat ini, saya masih belajar dan beradaptasi dengan budaya tanah Samawa. Tanah Samawa merupakan sebutan Kabupaten Sumbawa yang dituturkan oleh penduduk lokal. Posisi Sumbawa yang berada di antara beragam kultur besar lainnya memiliki arti penting dalam hubungan historis antara pulau Sumbawa bagian barat (Sumbawa), dengan Pulau Lombok, dan Pulau Sumbawa bagian Timur yaitu Bima dengan Flores (Manggarai). Posisi secara makro dilihat dari sudut geo-politik, Pulau Sumbawa berada di antara dua pengaruh besar politik dan kultural Jawa dari barat dan Makassar. Hinduisme dari Jawa masih meninggalkan bekas di Pulau Sumbawa, begitu pula dengan masuknya agama Islam yang masuk Sumbawa dari Jawa melalui Lombok. Secara politis, Jawa memeperkenalkan sistem kerajaan dan Makasar mengintroduksikan mengenai gelar serta pangkat kerajaan di pulau Sumbawa. Oleh karena itu, corak masyarakat di Sumbawa memiliki enam unit politik berupa kerajaan atau kesultanan di antaranya Bima, Dompu, Sumbawa, Sanggar, Tambora, dan Papekat. Menurut bahasa daerah yang dipakai, ada dua kelompok besar, kelompok bahasa Sumbawa (basa Samawa) yang digunakan oleh masyarakat Sumbawa, dan yang kedua adalah bahasa Bima (nggahi mbojo) yang digunakan oleh masyarakat Bima, Dompu, dan Sanggar (Sjamsuddin, 2013:68). 

Dengan keadaan masyarakat yang relatif beragam, kami banyak menghadapi tantangan di sini. Selain beradaptasi dengan lingkungan, kami merasa sangat sulit bagi kami untuk memperoleh sumber informasi ketika melakukan penelitian. Jelas bahwa kondisi di Sumbawa berbeda dengan di Jawa, seberapa banyak pun usaha dan upaya kami lakukan. Di Jawa, sumber bisa diperoleh dengan mudah, dari seniman, buku, berbagai sanggar atau komunitas yang bisa dijadikan narasumber. Dengan segala upaya kesungguhan dan kegigihan akhirnya jalan tersebut semakin mencapai titik terang. Kami bertemu dengan seniman, sanggar, dan komunitas di Sumbawa dan belajar banyak mengenai tradisi Samawa.

Sebagai pendatang, kami berproses dan menggali budaya yang kami tempati. Kami mengolah berbagai budaya baru di tanah Samawa yang kami pelajari, Tari Nguri, Sambava, dan Selendang Dedara Samawa, ke dalam bentuk koreografi tari. Tari Sambava merupakan salah satu karya saya yang tercipta di tahun 2023 di SMKN 3 Sumbawa Besar. Tarian sebagai penyambutan tamu ini menggunakan properti tepi atau tampah (perabot rumah tangga yang dibuat dari anyaman bambu yang berbentuk bulat, yang biasanya digunakan untuk membersihkan beras), dan ditarikan oleh delapan penari yang terdiri dari tujuh penari perempuan dan satu penari laki-laki. 

Tari Selendang Dedara Samawa diciptakan oleh seorang koreografer berasal dari Riau bernama Suvina. Tarian ini terinspirasi dari aktivitas mencuci masyarakat Sumbawa, yang akhirnya terciptalah gerak mopo (mencuci pakaian). Tarian ini ditarikan secara berkelompok oleh penari perempuan. Tari Nguri bagi saya adalah tari yang paling menunjukkan identitas dan warisan budaya Sumbawa—salah satu tarian khas Sumbawa yang berfungsi sebagai tarian penyambutan tamu-tamu yang hadir ketika berlangsung sebuah acara di Sumbawa. Tarian ini diciptakan oleh H. Mahmud Dea Betekal, biasanya ditarikan oleh lima orang penari perempuan atau bisa lebih. Gerak-gerak tarian Sumbawa masih ada kemiripan dengan tarian di Provinsi Sulawesi. Dari informasi yang didapat dahulu, banyak orang Bugis yang datang ke Sumbawa untuk berdagang, tetapi lama-kelamaan mereka menetap dan banyak di antara mereka yang menikah dengan warga Sumbawa. Percampuran budaya terbentuk dari yang awalnya proses berdagang. Sumbawa sendiri terdiri dari tiga bahasa, yaitu Sasak, Mbojo, dan Samawa. Tarian Sumbawa yang selama ini diamati lebih kental dengan warna dari tradisi Bugis. Mulai dari gerakan yang gemulai, lembut, dan musik yang lebih mendominasi.

Selama kurang lebih satu tahun di Sumbawa, saya yang sebenarnya juga berprofesi sebagai koreografer hanya bertindak sebagai penari, saya mengikuti saja dan mempelajari semua tari di Sumbawa. Saya mengamati dan mengimitasi, sebagai proses atau langkah awal bagi saya mengenali dunia tari di Sumbawa. Pada saat awal di Sumbawa, saya mendapat tawaran pentas yang memang sangat membutuhkan peran seorang penari. Terlebih dengan apa yang      dikembangkan dalam lingkungan kampus Universitas Teknologi Sumbawa.

 

Teatrikal Jas Merah Nusantara: Kembali Berkarya

Pada Agustus 2023, saya akhirnya mendapat kesempatan berkarya kembali. Dalam “Teatrikal Jas Merah Nusantara”, saya menciptakan karya ini untuk memeriahkan perayaan hari kemerdekaan Indonesia di SMKN 1 Sumbawa Besar. Karya ini merupakan karya teatrikal, hasil kolaborasi antara kegiatan ekstrakurikuler tari dan teater. Karya ini sebenarnya adalah sebuah perpaduan antara seni teater, tari dan musikal, dimana Vicky Cahya Ramadan selaku konseptor dan sutradara memberi kesan baru terhadap siswa dan siswanya untuk mengembangkan nilai seni yang sudah lama hilang, sekaligus mengajarkan tentang beragam budaya yang ada di Indonesia sehingga mereka tidak terpaku pada tradisi daerahnya saja. 

Dalam proses karya “Teatrikal Jas Merah Nusantara”, Vicky Cahya Ramadan selaku sutradara, mengajak saya untuk berkolaborasi sebagai koreografer di karya tersebut. Karya ini dilakukan oleh siswa dan siswi SMK Negeri 1 Sumbawa Besar, rata-rata dari mereka belum pernah mendapat pembelajaran praktik seni di sekolah. Proses pembelajaran dimulai dari nol kepada siswa dan siswi SMK Negeri 1 Sumbawa Besar, seperti mengajarkan fragmen tarian nusantara yang akan ditampilkan dalam karya “Teatrikal Jas Merah Nusantara” yaitu, Tari Bali, Tari Jawa, Tari Kalimantan, Tari Batak (Medan), Tari Ambon, Tari Sulawesi, dan Tari Oseng (Madura). 

Proses pemaduan antara tari, teater, dan musik punya kesulitan tersendiri, tapi konseptor sudah membagi siswa-siswinya dalam karya tersebut. Kostum dalam karya “Teatrikal Jas Merah Nusantara” menggunakan kolaborasi kostum adat tradisi Sumbawa dan berbagai kreasi ciri khas dari daerah lain sesuai dengan jenis tariannya. Cara memadukan kostum tersebut cukup sederhana. Konseptor dan koreografer mengambil ikon sederhana dari tiap daerah. seperti Bali dan Jawa disimbolkan dengan make up dan kain, Kalimantan dan Sulawesi dari properti dan mahkota, begitu juga dengan yang lain. Oleh karena itu, tarian khas dari daerah lain dapat selaras dengan karya yang diinginkan. 

Ini menjadi langkah awal yang baik bagi saya untuk berproses dan dikenal di satu sekolah. Selanjutnya, kami kembali berproses di sekolah kedua, SMKN 3 Sumbawa Besar. Di sana saya dipercaya untuk membuat karya yang cukup singkat, dan karya tersebut dipentaskan untuk penyambutan tamu penting ke sekolah tersebut. Waktu yang sangat singkat, dengan SDM yang menurut saya harus banyak dilatih. Para penari tersebut merupakan siswa sekolah tersebut, dan menggunakan kostum adat Sumbawa.Tari Sambava merupakan salah satu karya saya yang tercipta di tahun 2023 di SMKN 3 Sumbawa Besar. Tarian ini dipertunjukkan sebagai penyambutan tamu, menggunakan properti tepi atau tampah (perabot rumah tangga yang dibuat dari anyaman bambu yang berbentuk bulat, yang biasanya digunakan untuk membersihkan beras), dan ditarikan oleh delapan penari yang terdiri dari tujuh penari perempuan dan satu penari laki-laki.

 

Menampilkan Tari Ponan di Luar Pulau Sumbawa

Berbagai pengalaman penciptaan karya tari itu membuat saya kembali berkarya dan lebih bergaya. Pengalaman-pengalaman itu membuka jalan bagi saya. Selanjutnya, saya berkesempatan untuk kembali menciptakan sebuah karya tari dalam acara di luar Sumbawa. Pengalaman ini memberi kebahagiaan, karena sewaktu-waktu dapat memberi kesempatan melancong ke luar Pulau Sumbawa. Selama di Sumbawa, saya begitu merindukan suasana perkotaan yang riuh, padat, dan macet. Acara Gebyar Seni Pelajar digelar di Taman Budaya NTB pada 10-13 Oktober 2023. Acara tersebut merupakan acara tahunan yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTB. Acara tersebut digelar untuk memberikan ruang kepada peserta didik untuk menampilkan karya seni yang diunggulkan oleh sekolahnya. Dalam hal ini, saya sebagai koreografer mewakili sekolah SMKN 3 Sumbawa Besar untuk mempertunjukkan Tari Ponan. 

Bersumber dari tradisi Ponan yang merupakan ritual tahunan, menurut Hasanudin (Seniman Sumbawa) terbagi di wilayah tiga desa yaitu Desa Poto, Lengas, dan Malili di Kecamatan Moyo Hilir, Kabupaten Sumbawa. Pesta Ponan memiliki nilai adat, keagamaan, nilai sosial, dan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat terhadap hasil panen. Upacara ini tergolong sebagai ritus adat dan sangat diyakini oleh masyarakat setempat. Konon apabila acara ini tidak dilakukan dalam satu tahun sekali akan mendatangkan bencana sosial seperti konflik antarwarga, gangguan hama, dan ancaman kekeringan pada lahan pertanian di wilayah tersebut. Di Tulungagung tempat saya berasal juga terdapat tradisi yang serupa dengan Ponan, yaitu tradisi sedekah bumi. Sedekah bumi dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, atas hasil bumi yang diperoleh. Istilah “sedekah bumi” berasal dari kata “sedekah” yang berarti memberikan atau menyumbangkan sesuatu secara sukarela dan “bumi” yang berarti tanah atau hasil bumi. Tradisi sedekah bumi dilakukan dengan cara menyelenggarakan sebuah upacara, yang melibatkan para petani atau pemilik lahan pertanian. Upacara ini biasanya dilakukan setelah panen sebagai bentuk rasa syukur atas hasil yang diperoleh dari tanah. Sedekah bumi bertujuan untuk memohon berkah dan perlindungan dari Tuhan agar hasil bumi selanjutnya bisa lebih melimpah.

Secara konseptual, Pesta Ponan merupakan upacara untuk mendoakan keselamatan bagi tumbuhan. Kata “Po” dalam bahasa Sumbawa berarti mangga, sedangkan “nan” artinya itu. Menurut informasi di Bukit Ponan pernah tumbuh pohon mangga yang besar, dan pohon tersebut menjadi angker karena di bawahnya merupakan tempat makam Haji Batu. Sisi menarik diadakannya Pesta Ponan adalah kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya serta keseimbangan alam tercermin dalam setiap tahapan pesta (Made Purna, 2012:10). Salah satunya persiapan makanan untuk disajikan, jenis masakan yang dimasak biasanya berupa buras, lepat, patikal, dan ketupat. Menurut Hasanudin, dalam proses memasak dilakukan secara gotong royong, secara filosofis proses memasak menggunakan teknik merebus harapannya mendatangkan berkah hujan dan menjaga kesuburan tanaman petani.

Berdasarkan sisi menarik tersebut, terciptalah ide untuk menciptakan Tari Kreasi berjudul Tari Ponan. Saling bergotong-royong dalam mempersiapkan makanan dan akhirnya pada acara puncaknya, para hadirin bersenang-senang dan menikmati hasil dari masakan tersebut. Proses dalam penciptaan karya tari tersebut sangat singkat, mungkin sekitar satu minggu saja. Proses awal yang saya lakukan tentunya memikirkan tentang konsep karya, mengatur jadwal latihan, dan mengkomposisikan karya. Dengan waktu yang sangat singkat tersebut, akhirnya kami memutuskan untuk berlatih setiap hari, dan dibagi menjadi dua sesi dalam sehari untuk proses latihannya. 

Ketika hari H, mentoring berlangsung, ada beberapa catatan dari mentor. Namun, masukan tersebut kembali lagi pada koreografer menyikapi pendapat tersebut. Pendapat tersebut di antaranya mengenai adegan introduksi penari tidak boleh membelakangi penonton, penggunaan properti tepi (tampah) harus banyak diolah lagi, dan pola lantai bisa kembangkan lagi. Dari evaluasi karya dari mentor, ada beberapa yang memang belum selesai saya kembangkan, di antaranya pengolahan properti tepi dan pengolahan pola lantai menuju akhir pertunjukan. Untuk permasalahan penari yang membelakangi penonton memang dibuat seperti itu, karena mewakili berdoa dan ucap syukur kepada Tuhan yang telah memberikan berkah bagi acara tersebut. Struktur dalam tarian ini terbagi menjadi tiga, yaitu bagian awal (introduksi), bagian tengah, dan bagian akhir (akhir pementasan). Bagian awal merupakan doa bersama yang diwakilkan oleh tujuh orang penari putri dan satu penari putra. Penari putra mewakili tetua adat atau tokoh dalam pelaksanaan Upacara Ponan. Sedangkan penari perempuan berjumlah tujuh merupakan masyarakat yang bergotong-royong dalam menyiapkan makanan yang direbus. Bagian tengah merupakan kegiatan gotong-royong yang dilakukan masyarakat untuk mempersiapkan pesta ponan berlangsung. Bagian akhir pentas merupakan kegembiraan dalam merayakan pesta ponan. 

Penampilan kami di Taman Budaya NTB berlangsung selama satu hari, dan perjalanan kami tempuh dari Sumbawa ke Lombok menggunakan kendaraan bis Damri. Selama di Mataram kami penampil disediakan tempat penginapan di asrama Taman Budaya. Kami diberikan waktu untuk Gladi Bersih di siang hari, sebelum penampilan malam harinya. Waktu penampilan kami pun tiba, semua penari, pemusik, lightingman, dan tim dokumentasi sudah bersiap di teater arena pertunjukan. Dari awal sampai akhir pertunjukan berjalan cukup baik dan lancar. Penonton yang sebelumnya terlihat agak jenuh pun, mulai kembali aktif ketika melihat penampilan karya kami. Beberapa penonton mengaku terpukau menyaksikan pertunjukan malam itu.

Itu adalah permulaan yang cukup baik yang kami bisa persembahkan dalam Gebyar Seni Pelajar 2023. Kepala sekolah dan guru-guru memberikan selamat dan sangat mengapresiasi karya kami. Harapannya dapat menciptakan karya-karya tari yang lebih luar biasa lagi sehingga dapat membawa nama harum bagi sekolah tersebut.”Sedikit demi sedikit gelas yang kubawa semakin terisi dan semakin berisi. Langkah demi langkah dilalui—berjalan menuju kembali…”

 

Kepustakaan

Hadi, Y. Sumandyo. 2003. Aspek-aspek Dasar Koreografi Kelompok. Yogyakarta: eLKAPHI.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. RINEKA CIPTA.

Miroto, Martinus. 2022. Dramaturgi Tari. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.

Purna, I Made. 2012. Pesta Ponan: Kearifan Lokal Masyarakat Samawa. Yogyakarta: Ombak.

Ricoeur, Paul. 2012. Teori Interpretasi. Yogyakarta: IRCiSoD.

Sjamsuddin, Helius. 2013. Memori Pulau Sumbawa Tentang Sejarah, Interaksi Budaya dan Perubahan Sosial Politik di Pulau Sumbawa.Yogyakarta: Ombak.

Sumaryono. 2011. Antropologi Tari.Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.

 

The Narratives
of Indonesian
Dancescape