The Narratives
of Indonesian
Dancescape

IN / ENG

Abdul Hadi Sadikin / Bandung – Jawa Barat

Instruksi Retrospektif

Instruksi Retrospektif

oleh Abdul Hadi Sadikin

Bandung – Jawa Barat

Siapa pun yang pernah bepergian dengan menggunakan pesawat, sebelum lepas landas, pastilah pernah mendengar instruksi berikut:

“Please put on your own mask first, before assisting others.”

“Tolong kenakan masker anda terlebih dahulu, sebelum membantu yang lain.”

Analogi tersebut saya rasa tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi pada saya: bahwa saya saat ini sedang tidak baik-baik saja murni karena lupa untuk “memasang masker” terlebih dahulu.

Saya merasa menjalani hidup dengan berlari secara maraton. Bekerja penuh waktu di kantor hari Senin sampai Jumat, ditambah bekerja sebagai seorang pelatih setiap dua hari di akhir pekan. Ritme padat ini bukan situasi yang mudah untuk dikelola.

Situasi kian menantang ketika kita harus berhadapan dengan pandemi, dan dalam sekejap menempatkan diri dalam mental siaga. Mengkalkulasi aksi untuk menghindari komplikasi. Untuk terus bertahan menjadi pengalaman yang universal.

Namun, dinding pertahanan saya runtuh juga dan saya dinyatakan terpapar Covid-19. Peristiwa ini terjadi tepat saat saya sedang menjalani proses Bodies of Care (BoC). Bersama 6 seniman Indonesia dan 3 seniman Jerman, saya terpilih sebagai salah satu kontributor Seri #3 BoC. Covid 19 kemudian tak hanya membuat fisik saya luluh lantak, tapi juga membuat mental jadi kacau balau. Berusaha mengikuti sesi demi sesi pertemuan dengan susah payah, yah demam, yah pusing, yah lemot, dan yah-yah lainnya.

Pasca dinyatakan negatif Covid, ada jejak sensasi fisik absurd yang kerap dirasakan oleh tubuh saya. Tangan dan kaki kadang bergetar meski terasa semu. Otot menjadi kaku, bahkan kinerja otak terasa membeku. Daya kreatifitas seharusnya muncul karena materi-materi dalam BoC menggugah kemunculan kesadaran. Akan tetapi yang saya temui adalah jalan buntu. Seharusnya ide mudah saja dipetik dalam ruang workshop yang saya jalani, tapi tetap tidak ketemu. 

 

**

Saya kemudian berdiskusi dengan tim Dokumentari. Dari diskusi dan percakapan itu lalu muncul ide tentang menggunakan sensasi fisik penyintas Covid sebagai dasar instruksi gerak. Covid yang awalnya menyakiti, dimanipulasi menjadi insruksi yang mungkin dapat mengobati. Instruksi gerak saya rangkum menjadi dua bagian: getaran dan sentuhan.

Getaran terinspirasi dari sensasi gemetar/tremor yang saya alami sebagai penyintas Covid. Dari riset sana sini, saya akhirnya mengetahui bahwa tubuh yang gemetar ini merupakan respon alamiah yang dikenal sebagai neurogenic tremors. Dalam fenomena tersebut, sistem saraf melepaskan sensasi gemetar untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan yang seringkali terperangkap dalam tubuh.

Sayangnya sebagai manusia, kita sudah begitu terpatri untuk meregulasi diri dengan cara mengekang emosi. Oleh karena itu, dalam instruksi yang saya buat, saya mencoba memfasilitasi ruang yang aman dan terbuka untuk peserta menggetarkan tubuh mereka secara sadar dan repetitif. Dengan harapan agar emosi dan reaksi yang kerap tertahan di dalam tubuh dapat terbebaskan.

Pendekatan kedua dalam instruksi saya mengusung sentuhan yang dimediasi oleh kulit. Kulit kita merasakan sensasi, tekstur, dan mengembalikan diri pada kesadaran untuk berada pada momen yang sedang berlangsung saat ini: tidak lebih cepat, tidak lebih lambat, bukan di masa lalu, juga bukan di masa depan. Peserta diarahkan untuk mengenal kembali sosok yang setia menemani mereka: diri sendiri.

“Bisakah dirimu merasakan bagaimana rambutmu mengakar tumbuh dari kulit kepalamu.

Bayangkan bagaimana suara yang didengar disambut oleh gendang telingamu.

Bisakah dirimu merasakan keberadaan setiap kuku yang menempel pada jari-jari tanganmu?

Sadari bagaimana lidahmu kerap mengecap rasa dan membasahi mulutmu.

Bisakah dirimu merasakan beban tubuhmu saat ini seluruhnya bertumpu di telapak kakimu? Dan turut juga rasakan sensasi kulitmu yang bersentuhan dengan permukaan tempatmu berdiri.

Apa yang kulitmu sentuh saat ini?”

Sensasi melalui kulit pun diperluas dan diperkuat dengan membayangkan bahwa kulit bukan hanya bagian luar yang melekat di tubuh kita. Tapi tanah di mana kita berdiri, dinding tempat kita bersandar, hingga langit yang menjadi atap tak terbatas, juga merupakan kulit-kulit yang berada di luar tubuh yang senantiasa berinteraksi dengan tubuh manusia.

Imajinasi dan sensasi tubuh peserta diakomodasi untuk bermain. Keluar dari pikiran-pikiran yang cenderung membatasi diri dengan membayangkan bagaimana “kulit-kulit luar” tadi dimanifestasikan ke dalam suatu makhluk yang memiliki bentuk, tekstur, warna, kulit. Yang identitasnya dapat diimajinasikan secara bebas. Di kesempatan tersebut, peserta diajak untuk membayangkan diri mereka sebagai entitas yang menyatu dan menari bersama dengan wujud “makhluk kulit”. Imajinasi dan sensasi macam tadilah yang menjadikan karya instruksi ini diberi judul The Skin Creatures.

Sebenarnya, apa yang dituangkan dalam instruksi The Skin Creatures ini bukanlah suatu gebrakan baru. Usaha untuk mengembalikan kesadaran diri melalui tubuh yang terhubung dengan momen yang berlangsung saat ini, dan kembali terakar dengan alam sekitar – dalam dunia psikologi dan terapi – dikenal dengan teknik grounding atau teknik membumi.

 

***

Perjalanan proses kreatif dalam Bodies of Care memberi kesempatan bagi saya dan kawan-kawan koreografer untuk mewujudkan instruksi-instruksi yang telah dibuat menjadi aktivasi. Melalui bentuk instructional performance art, saya melibatkan teman-teman partisipan yang diundang secara khusus. Momen tersebut diaktualisasikan pada Sabtu, 25 September 2021, berlangsung di Bandung, Jakarta, Riau, Bali bahkan hingga Perancis, dan Jerman.

Saya bersyukur dapat mengaktivasi karya yang saya cipta di kota tempat saya tumbuh dan berkembang, yaitu Bandung – Kota Kembang. Berlokasi di situs yang indah dan mumpuni bernama Insypro Moves, dibantu oleh 12 rekan penari yang sungguh dekat di hati adalah sebuah anugerah tersendiri.

Instruksi The Skin Creatures (oleh Abdul Hadi, Marlene Pfflueger, Yasmina Lamler) dilaksanakan di lantai 1, sebuah ruang terbuka dengan permukaan beton. Rasanya tepat memulai sesi aktivasi dengan instruksi yang berfokus pada diri sendiri.

Setelah diri ini diisi oleh energi dan sensasi, saya mengajak peserta untuk menjalin hubungan dengan manusia yang lain. Di sinilah instruksi berjudul Togetherness (oleh Nyoman Krina Satya, Ela Mutiara, Eva Borrman, Izabella Maria Herzfeld) dilaksanakan di lantai 2 yang merupakan studio tari Inspyro Moves!. Desain studio ini begitu luas dan privasinya terjaga, memberi kesempatan bagi peserta untuk melepaskan inner child. Seolah hilang beban dan batasan yang biasa dibawa manusia dewasa, dan terjalinlah hubungan satu sama lain atas dasar cinta.

Saya percaya tak ada cara lebih baik untuk menutup sesi ini selain dengan mengaktivasi instruksi berjudul Thank You (oleh Mekratingrum Hapsari). Dilakukan di rooftop lantai 4, ditemani belaian lembut angin yang berhembus, dan hangatnya matahari. Sentuhan dan pelukan sesama peserta menutup instructional performance dalam suasana khidmat penuh rasa syukur.

 

****

Jujur, saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa saya merasa bangga bahwa setelah berbulan-bulan proses diskusi mendalam dengan para mentor dan koreografer secara daring, saya akhirnya mampu menyusun sebuah instruksi ke dalam rangkaian dramaturgi. Usaha keras sebuah proses kreatif memberikan makna mendalam bagi siapa pun yang terlibat dalam proyek ini.

Instruksi saya memiliki fungsi tersendiri namun rasanya manfaatnya tidak akan utuh jika berdiri sendiri. Maka dari itu, kepedulian yang terbentuk dari instruksi lain ikut menambah arti sebuah proses refleksi, yang pada dasarnya dimulai dari diri sendiri, dengan sesama, dan juga kepada alam semesta.

Melalui instruksi, kepedulian menjalar ke tubuh-tubuh yang lain. Banyak sekali sensasi, rasa, arti, makna, dan perasaan mendalam yang akhirnya diberikan ruang untuk dirasakan secara seksama.

Melalui instruksi, banyak pikiran terinspirasi, banyak tubuh yang teraktivasi. Namun, bagaimana dengan pikiran dan tubuh saya sendiri?

 

*****

Hidup tak bisa menunggu, meski kadang saya berharap andai waktu bisa sekejap saja membeku. Sedikit menunggu saya yang terbujur kaku. Bisakah waktu bersimpati untuk saya yang sedang berduka? Agar sempat membasuh luka karena ditinggal manusia yang dicinta.

Terkadang saya merasa tak mampu, bahkan mati rasa sampai tak mau. Kelalaian pun tidak pandang bulu, menyebabkan semuanya jadi terasa serba terburu-buru.

Baru-baru ini saya kembali konseling dan menjalani terapi. Ahli yang saya temui menyatakan saya mengalami fase ketiga dari lima tahap burnout. Titik burnout ini membuat saya seolah berada di persimpangan.

Ironis rasanya, selama program Bodies of Care, saya berusaha mencari-cari bentuk kepedulian terhadap “yang lain”. Saya lupa bahwa ada seseorang yang begitu dekat dan perlu dirawat, yakni diri sendiri. Saya kemudian melihat seluruh proses ini sebagai pengingat, bahwa tidak semua hal perlu dianggap sebagai arena lari. Saya perlu berlatih untuk memberi jeda terhadap diri sendiri dan melakukan langkah lambat agar bisa rehat.

Dari proses BoC, saya melihat bahwa tubuh-tubuh manusia selalu didera oleh tantangan jaman. Tak  jarang tubuh membutuhkan suatu jalan untuk melepaskan kepenatan dan tekanan. Keterlibatan yang begitu mendalam dalam projek Bodies of Care memberikan suatu keyakinan beralasan bahwa seni mampu menjadi sebentuk terapi. Medium bagi manusia modern untuk rekreasi dan memperbaharui diri.

The Narratives
of Indonesian
Dancescape