Krisna Satya / Mengwi, Badung – Bali
“Banjar: Antara Individualitas dan Kehidupan Sosial”
“Banjar: Antara Individualitas dan Kehidupan Sosial“
Oleh Krisna Satya
Mengwi, Badung – Bali
Saya sempat menuliskan perjalanan kesenian yang saya lakukan sejak kecil hingga bisa menari di kota Paris untuk mendaftar Dokumentari Seri #1. Tapi kali itu saya gagal, tidak lolos.
Saya tertarik dengan program Dokumentari karena program yang dibuat membahas dan menggali tentang penari dan kehidupannya. Saya tidak mendaftar untuk Dokumentari Seri #2 karena sedang menyiapkan Solo Part, program yang saya rancang bersama-sama teman komunitas di Bali. Tidak patah arang, saya mencoba lagi mendaftar di kesempatan ketiga yang bertajuk Bodies of Care. Mulanya saya bingung, apa maksud dari judul tersebut. Dari yang saya baca, Dokumentari Seri #3 mengangkat tema kepedulian terhadap lingkungan komunitas. Menarik sekali. Menantang mentalitas saya sebagai pelaku seni yang tak harus melulu mencari eksistensi pribadi, tapi membangun ekosistem saling menguntungkan secara moral dan material dengan pelibatan komunitas.
Demi memenuhi keingintahuan akan program Dokumentari #3 yang bekerjasama dengan Goethe Institut, saya mencari tahu tentang para mentor yang nanti akan membimbing. Saya mengetahui mbak Melati Suryodarmo saat berada di studio ISI Denpasar. Butter Dance karya mbak Melati begitu menarik perhatian. Agak membingungkan tapi penasaran dan kagum dengan artistik yang disajikan. Saya berharap bisa diterima di Dokumentari Seri #3 dan belajar langsung dengan beliau.
Bekerjasama dengan Goethe Institut, dalam Bodies of Care para seniman terpilih juga akan bertemu dengan LIGNA. LIGNA adalah kolektif seni media dan performans asal Jerman yang akan berbagi mengenai kerja seni instruksional. Seperti apa seni instruksi? Apakah ini jenis koreografi baru? Saya baru mendengar istilah ini, benar-benar buta. Tidak tahu apa hubungan seni instruksional dengan tema kepedulian.
Jujur saja, kendala bahasa menjadi salah satu pertimbangan keterlibatan saya di Seri #3. Kemampuan bahasa Inggris saya tidak bagus dan membuat sedikit menyesal. Saya ingin bisa memperbaiki kendala yang saya hadapi dulu waktu di Paris, sama sekali tidak bisa bahasa asing sehingga kesulitan sendiri saat berada di negara orang.
Banyak yang tidak saya tahu, banyak yang saya tidak bisa, tapi saya fokus saja mencari ide untuk diajukan dalam proposal. Saya ingin lolos dan bisa bertemu dengan para mentor dan kolaborator lainnya. Saya kemudian memikirkan tentang anak-anak sebagai kelompok manusia yang sangat penting bagi masa depan. Saya punya harapan besar kepada anak-anak, agar generasi berikutnya jauh lebih peka terhadap lingkungan dan sesama manusia, tidak silau dengan superioritas Barat, lebih maju secara mental. Generasi yang produktif dengan nilai lokalitas, tidak hanya menjadi konsumen dan sasaran kapital besar. Tapi apa ya yang sudah saya perbuat untuk anak-anak?
Melalui tari, saya tidak bermaksud mencetak anak-anak menjadi penari hebat. Namun harapan saya, dengan menari anak-anak belajar nilai-nilai kemandirian, belajar peduli dan sensitif pada lingkungan sekitar. Belajar menari bisa mengasah kepekaan, membangun mentalitas untuk menjadi orang yang berani berpendapat dan bertanggung jawab.
Namun melihat potensi anak-anak menjadi objek dalam Bodies of Care membuat saya ragu dan merasa kehilangan arah. Saya kemudian melihat di mana tempat anak-anak berada. Dalam konteks Bali, tempat saya tinggal, Banjar adalah ruangnya. Dalam sistem Banjar sebagai sebuah komunitas, terdapat segala kelompok masyarakat: anak-anak, remaja, dewasa, hingga orangtua. Bagaimana ya caranya saya menjelaskan tentang Banjar, bagaimana sistem Banjar bisa eksis? Apa saja perannya dan bagaimana kondisinya saat ini sebagai sebuah ruang komunitas masyarakat? Saya berusaha menjelaskan agar masyarakat awam di luar Bali dapat memahami dengan sederhana, pentingnya Banjar sebagai sistem kehidupan komunal masyarakat Bali.
Banjar berperan besar dalam pelestarian budaya dan adat istiadat Bali. Dalam kegiatan adat, memang anak-anak tak seberapa terlibat karena urusan adat adalah tanggung jawab orang dewasa. Tapi anak-anak yang menghabiskan waktu di Banjar mempelajari apa yang dilakukan oleh orang-orang tuanya. Banjar adalah benteng terdekat masyarakat Bali dari pengaruh negatif dunia pariwisata, dan anak-anak yang menjadikan Banjar sebagai ruang bermain akan ikut mempertahankan Banjar di masa depan. Inilah yang kemudian saya tulis dalam proposal.
Setiap malam saya selalu berdoa, tidak ketinggalan meminta bantuan doa dari Gung Ayu (pacar saya) dan Kia (teman penari) agar proposal saya lolos. Besar harapan untuk bisa diterima, berkesempatan mengasah kemampuan bahasa sekaligus bertemu dengan para mentor dan belajar tentang instructional perfomance.
Minggu, 6 Juni 2021 kurang lebih pukul 00.17 saya menerima pesan singkat dari Bubbu Keni.
“Udah baca beloom?”
Saya tersenyum sumringah membaca pesan itu, karena sudah membaca email berisi kabar baik yang menyatakan bahwa saya lolos di Dokumentari #3. Malam itu malam yang sangat membahagiakan, Bodies of Care akan menjadi proyek open call internasional yang pertama saya ikuti. Mengobrol via pesan teks di telepon genggam dengan Bubbu menambah lagi kadar kebahagiaan saya. Bubbu menjelaskan ketatnya proses seleksi dan saya terharu, karena dari tiga puluh peserta yang mendaftar, saya adalah salah satu di antaranya yang terpilih.
Terlebih karena gagasan tentang Banjar sudah hampir setahun saya endapkan. Sempat dua kali diajukan sebagai proposal program seni dan hasilnya nihil. Kegagalan sebelumnya membuat saya patah hati. Mungkin karena Banjar tidak begitu populer, tidak kelihatan permasalahan-permasalahan di dalamnya yang bersifat universal, seolah-olah tidak terkait dengan hajat hidup orang banyak. Mungkin bagi sebagian orang Banjar hanya wadah administrasi saja di Bali, padahal Banjar adalah lingkaran paling intim bagi pribadi seseorang yang menghayati kehidupan di Bali. Dalam Dokumentari Bodies Of Care gagasan tentang Banjar mendapatkan kesempatan, saya sangat bahagia akhirnya ada yang melihat Banjar sebagai sesuatu yang menarik.
Memasuki masa workshop, kami para kontributor dan mentor saling berkenalan singkat. Saya agak pusing dengan kendala bahasa, takut tidak dapat menangkap apa yang disampaikan dengan benar. Pemaparan oleh LIGNA, oleh mbak Melati, oleh Sascia Bailer, bahkan pemaparan dari Butet Manurung semua disampaikan dalam bahasa Inggris. Pertemuan-pertemuan awal mengandung materi yang banyak, akan tetapi saya merasa berjalan di tempat. Saya berusaha mendengarkan, menyimak Zoom meeting yang berlangsung berjam-jam, mencoba mengatasi rasa bosan dan jenuh, tapi juga takut melemparkan pertanyaan.
Berbicara dengan sesama kontributor cukup membantu. Saya memberanikan diri bertanya apa yang saya tidak mengerti kepada teman-teman. Saya jadi tahu bahwa dari pemaparannya, LIGNA menjelaskan bahwa karya yang mereka ciptakan tidak berfokus untuk mencapai sasaran teknik yang “keren”. Dari mba Butet Manurung saya melihat bagaimana kepedulian personal belum tentu diperlukan oleh komunitas tertentu. Butuh adapatasi dan waktu untuk masuk ke dalam ruang tertentu dan ikut hadir menjadi bagian dari sistem.
Sesi dengan mbak Melati memberikan banyak sekali referensi. Beliau meminta kami membaca ulang kembali isi proposal yang diajukan oleh masing-masing, mempertanyakan lebih tajam lagi konsep yang sudah ditulis. Feedback apa yang bisa saya berikan kepada Banjar? Instruksi apa yang dapat dihadirkan? Saya mengingat kegiatan ngayah yang melibatkan Banjar, melihat bagaimana ekpresi orang-orang ketika berada dalam aktifitas adat di tengah kegiatan pribadi mereka.
Saya memposisikan diri secara langsung sebagai masyarakat aktif dan mulai memahami bagaimana sebuah instructional performance bisa bekerja. Di sana juga ada unsur perasaan dan sudut pandang personal yang perlu dihadirkan. Dalam proses penulisan instruksi saya mengingat kembali pengalaman masa kecil ketika berada di bangku taman kanak-kanak. Tepuk tangan sebagai suatu “aksi” kebersamaan ketika bernyanyi dan “reaksi” ketika mengapresiasi sesuatu. Dalam tepuk tangan ada spontanitas yang terkadang tak sesuai dengan tempo, dan memang tidak harus sesuai tempo. Saya melihat hal ini sebagai bentuk ekspresi kebersamaan dan terdapat kebebasan untuk mengekspresikannya.
Dalam proses Bodies of Care ini saya menyadari bahwa penting pula untuk muncul sebagai diri sendiri. Gagasan, pengalaman, kegelisahan, disaring dan dikerucutkan, memilih apa yang penting dan prioritas. Proses memilah-milah ini sangat penting. Menjadi diri sendiri dalam sebuah karya seni sangat diperlukan sebagai cara untuk memunculkan keunikan identitas.
Instructional performance memberi kesempatan bagi publik umum dan awam untuk terlibat secara langsung dalam sebuah pertunjukan. Sebuah pertunjukan tak lagi ditujukan semata-mata untuk penonton. Konsep ini mempertajam kepekaan membaca, mengkritisi gagasan, dan kecermatan dalam mengambil keputusan artistik. Lebih lanjut, saya menjadi lebih peka untuk memahami kehadiran publik. Saya sangat tertarik untuk melanjutkan dan mengembangkan instructional performance dalam berbagai situasi untuk kerja artistik saya, karena ia mengandung keterbukaan yang bersifat interaktif.
Semua emosi bergantian hadir, saya sangat senang bisa mengenal mentor, kolaborator, narasumber, panitia, juga partisipan umum dalam karya saya. Bagi saya semuanya memiliki pengaruhnya masing-masing. Selama proses Bodies of Care, hari Kamis selalu menjadi hari yang panjang. Pernah suatu hari di tengah jadwal workshop saya harus mengikuti acara keluarga yang penting. Namun di sinilah wujud rasa kepedulian diterapkan, mencari jalan tengah untuk segala isu.
Sebagai seorang kreator, tentu saya memiliki kekhawatiran. Tapi saya juga memiliki keyakinan. Keyakinan ini membuat saya bertahan dalam dunia seni tari. Seperti yang disampaikan oleh mbak Melati… “jadilah dirimu sendiri, munculkan kedirianmu.”
The Narratives
of Indonesian
Dancescape