Mekratingrum Hapsari / Surakarta – Jawa Tengah
“Saya Tidak Peduli, Terima Kasih!”
“Saya Tidak Peduli, Terima Kasih!”
by Mekratingrum Hapsari
Surakarta – Jawa Tengah
Kehendak semesta seringkali tak ternyana. Saat mendengar judul “Bodies of Care” saya serta merta melemparkan pertanyaan kepada diri sendiri, “sudah cukup pedulikah diri ini sehingga pantas mengikuti seleksi Dokumentari Seri #3?” Kata “care” membuat saya ragu untuk terlibat dalam penggalian yang ingin dilakukan program ini. Saya sadar tidak hanya kemampuan menulis yang sangat minimal, tapi kemampuan untuk peduli pun tak seberapa besar.
Sepengetahuan saya, Dokumentari adalah sebuah program bagi para seniman terpilih untuk berbagi cerita, pengalaman, serta perjalanan kehidupan kesenian individu melalui tulisan. Dalam Dokumentari Seri #3, Dokumentari bekerjasama dengan Goethe Institut dan menawarkan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Di seri ini, peserta terpilih dituntut untuk membuat karya instruksi yang ditujukan untuk publik umum. Saya tidak pernah memiliki pengalaman membuat sesuatu dalam bentuk instruksi, apa lagi dengan sasaran kelompok masyarakat umum.
Akan tetapi, saya memberanikan diri untuk mendaftar dengan mengirim tulisan singkat berisi pengetahuan dasar mengenai kepedulian. Saya ragu akan lolos, tapi demikianlah, kehendak semesta begitu tak terkira. Saya dinyatakan lolos bersama 6 seniman lain asal Indonesia dan 3 seniman Jerman. Kami kemudian bekerjasama selama kurang lebih empat bulan, mendapatkan mentoring dari LIGNA (Jerman) dan Melati Suryodarmo (Indonesia) untuk mencari, berdiskusi, bertukar pikiran, dan menyusun gagasan menjadi sebuah instruksi.
Pertanyaannya, sudahkah saya peduli dengan lingkungan sekitar?
Seperti apa bentuk mutlak kepedulian?
Apakah dengan perasaan iba sudah bisa dikatakan peduli?
Menjadi seorang pendengar, penampung cerita kegelisahan teman-teman, memberi saran sebisanya, apakah sudah cukup disebut peduli?
Saya bukan malaikat dan tak selalu punya dorongan untuk memberikan bantuan atau pun perhatian. Saya ingin bisa lebih sensitif, bisa memahami apa yang dibutuhkan orang lain tanpa mereka harus meminta lebih dahulu. Isi kepala saya yang seperti ini menyebabkan keraguan dan terbawa dalam proses Bodies of Care.
Para seniman peserta lain mengasosiasikan rasa kepedulian mereka dengan komunitas di daerahnya masing-masing. Saya pun berusaha mencari-cari “bahan” atau “objek” kepedulian yang dapat saya angkat. Sebagai seseorang yang jarang berada di rumah, saya sering melihat pedagang koran di perempatan jalan kota Solo. Mereka menunggu pembeli, menjajakan koran dari mobil ke mobil, berharap seseorang membeli koran mereka.
Saat mereka datang menghampiri saya, hal yang sama berulang terjadi, saya menolak tawaran mereka. Untuk apa membeli dan membaca koran bila sekarang semua berita bisa diakses dengan mudah di telepon genggam kita masing-masing? Sebuah pertanyaan angkuh dari sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Perjuangan keras para pedagang koran membuat saya tergerak untuk mengulik lebih dalam kehidupan mereka dan posisi koran di masa sekarang.
Proses awal ini membuat pikiran saya berputar-putar tanpa ujung. Tidak tahu harus mulai dari mana dan seperti apa bentuk karya yang diinginkan. Selama itu saya mengamati kegiatan bapak-ibu pedagang koran dari kejauhan. Saya bersiap untuk mendekat dan mencari tahu bagaimana kegiatan mereka setiap harinya. Saya melihat mereka rela bekerja dari pagi hingga sore tanpa ada teman yang menggantikan, dan paham bahwa belum tentu satu koran pun bisa terjual. Berapa banyak uang yang mereka dapatkan dalam sehari? Mengapa mereka bertahan dengan pekerjaan seperti itu? Atau mungkin mereka memiliki pekerjaan lain? Dengan waktu lebih dari 8 jam di jalanan, pekerjaan lain apa yang mereka kerjaan di sisa waktu hari itu? Nasib yang mereka alami terlihat tidak adil di mata saya.
Semua amatan saya tuliskan agar dapat berbicara tentang budaya membaca (koran) dalam proyek Bodies of Care. Namun ide ini rasanya kurang kuat. Apa sih sebenarnya yang ingin saya sampaikan? Apakah tukang koran akan ikut terlibat dalam karya ini? Bagaimana caranya meminta partisipan menyusun kata demi kata untuk membuat sebuah artikel besar yang terpampang di dinding agar semua orang peduli dengan budaya membaca? Kalau karya ini dikolaborasikan dan dibawa ke tempat berbeda, berbagai kebutuhan akan menjadi kendala karena banyak material yang harus disiapkan. Eksekusinya akan menjadi seperti majalah dinding di sekolah atau anak TK yang bermain coret-coret tembok.
Pusing? Pasti! Merasa tidak menemukan penerangan? Jelas! Jujur ini adalah kelemahan saya sebagai seorang seniman, saya merasa tidak cukup sensitif untuk menggali keresahan yang ada. Tukang koran, jalanan, dan bacaan adalah hal-hal yang jauh dari diri saya. Saya resah mengapa saya gelisah akan sesuatu yang jauh dan bahkan saya tidak tahu asal usulnya hanya demi eksekusi ide suatu karya.
Bicara tentang kegelisahan, tim Dokumentari sangat terbuka dengan pendampingan bersifat one on one. Saya punya kesempatan dan ruang untuk “curhat”, berkumpul bersama Bubbu Keni, Mbak Galuh, Mas Feri, Zul, dan Ogik, seorang peserta dari Bali yang juga teman baik saya. Ogik memaparkan idenya sembari berdiskusi, membuat saya merasa tertinggal jauh! Dia sudah mempunyai landasan kuat akan kepedulian terhadap suatu komunitas dan dirinya sendiri. Saat itu saya benar-benar merasa kosong tidak tahu harus membicarakan apa dan merasa gagal dengan gagasan mengenai isu tukang koran. Saya jadi reflektif dan bisa melihat bahwa sebenarnya saya tidak sungguh-sungguh menginternalisasi ide awal yang telah diajukan.
Tim Dokumentari tidak tinggal diam, mereka justru penasaran dan berusaha menggali hal-hal mendasar dari diri Mike terlebih dulu. Bermula dari situ saya mulai menelisik kembali bagaimana saya, pengalaman apa saja yang didapat selama hidup ini, perasaan atau respon seperti apa yang saya tunjukkan bila berada dalam situasi tertentu. Segala pertanyaan dilemparkan kepada saya untuk mencari substansi.
“Ketidakpedulian adalah lapisan lain dari peduli.” Ada presensi maka ada yang absen. Sebuah kehadiran jadi bermakna karena adanya ketidakhadiran. Rasa kepedulian juga jadi berarti karena adanya ketidakpedulian.
Tunggu sebentar, kelihatannya saya tahu! Rasa tidak peduli yang keluar dan bahkan tampak dari garis wajah yang angkuh serta tatapan mata yang mengintimidasi adalah cara saya mempertahankan diri dari pengalaman dan permasalahan yang pernah saya hadapi. Saya tidak hanya tak peduli pada orang lain, tapi bahkan juga terhadap diri sendiri. Saya tidak pernah bertanya kepada Mike apa yang dia rasakan selama ini, karena saya hanya berpikir bahwa dia harus menjadi kuat untuk menghadapi segalanya.
Saya jadi ingat tentang berdoa. Pendidikan Katolik yang saya dapat membuat saya memiliki waktu yang jelas kapan harus berdoa dan bagaimana cara mengasihi orang lain. Bukan karena tuntutan, tapi saya memiliki kesadaran bahwa doa dapat menjadi penenang diri sendiri.
Setiap malam sebelum tidur saya selalu menyempatkan berdoa. Bersyukur dan berterimakasih atas kehidupan, keselamatan, segala tenaga dan sesuatu yang saya kerjakan serta dapatkan di hari itu. Tak lupa saya berdoa agar kehidupan di hari berikutnya mampu menjadi hari keberuntungan. Kemudian saya berhenti sejenak, mengingat kegiatan berdoa serta segala isinya. Berulang kali mengucapkan kata terima kasih, serta mendoakan orang-orang yang saya kasihi agar tetap sehat, selamat, dan selalu dalam penyertaan-Nya. Berulang kali saya mengucapkan kata terima kasih kepada setiap orang yang memberikan bantuan, kepada tukang parkir, penjual makanan, satpam, serta siapa pun yang tidak saya kenal.
Lucu sekali ya. Kita dapat dengan mudah mengucapkan kata terima kasih kepada orang-orang yang jauh, tapi kadang sulit untuk mengungkapkan kasih sayang atau mengucapkan terima kasih kepada orangtua sendiri? Pemikiran ini membuat kata “terima kasih” berputar-putar di kepala. Tanpa disadari, saya sesungguhnya memiliki rasa kepedulian yang besar. Hanya saja tidak fasih mengungkapkannya dengan gestur dan kata-kata.
“Terima kasih kepada kalian semua yang telah membantu, menemani, dan mendukung saya. Terimakasih kepada kedua orang tua kita semua yang mendampingi dan mengasihi hingga saat ini.”
Kalimat ini menjadi landasan saya untuk mengubah konsep dan bahan yang akan digunakan sebagai karya instruksional dalam Bodies of Care. Saya merasa mendapatkan pencerahan setelah melalui proses curhat dan perenungan. Orangtua kita adalah orang yang paling dekat, tameng utama untuk melindungi kita, namun sudahkah kita mengucapkan kata terima kasih kepada mereka?
Akan tetapi, tidak semua orang memiliki pengalaman yang baik dengan orangtua. Tidak semua orang memiliki hubungan dan keterikatan batin yang baik dengan orangtua mereka. Tidak semua orang berperilaku ‘sopan’ pada kedua orangtua, seperti contoh mencium tangan saat pulang atau pergi dan berbicara dengan pilihan bahasa yang baik dan benar sesuai usia. Fakta ini agak mengacaukan usaha saya untuk menyusun sebuah instruksi.
Dengan bantuan teman-teman tim Dokumentari dan mentoring bersama LIGNA dan Mbak Melati, akhirnya saya memutuskan untuk lebih memperluas lagi subjek dalam karya ini, yaitu “orang yang kalian cintai.” This can be anyone! Orang tua, sahabat, teman, kekasih, kakek-nenek, saudara, atau bahkan seseorang yang tidak kalian kenal namun mereka telah membantumu dalam segala kesulitan. Ucapan terima kasih sangat bermakna untuk mereka yang telah mengasihi kita, meski tak diminta.
Pertanyaan pembuka untuk mengawali instruksi telah dibuat. Dalam proses penyusunan banyak hal yang menjadi pertimbangan, seperti: gestur orang tua kepada anak dan sebaliknya. Tidak semua orang mencium tangan kedua orang tua mereka saat melakukan perpisahan atau pertemuan, dan itu saya ubah menjadi menggenggam tangan. Saat uji coba instruksi, ada momen di mana peserta mengingat orang yang mereka kasihi dengan cara menggambarkan wajahnya di udara dengan jari-jari mereka.
Tadinya saya tidak yakin dengan apa yang telah disusun, apakah sudah benar dan bisa dipahami oleh orang lain atau tidak? Melihat hasil instruksi yang dibuat oleh teman-teman peserta lain membuat saya kecil hati. Saya mendengar mereka menyusun sebuah instruksi yang mampu menggerakkan tubuh partisipan untuk bergerak bebas. Bagaimana dengan instruksi yang saya buat dan narasinya mengandung nuansa meditatif seperti sedang mengikuti kegiatan retret? Dengan menggunakan lilin dan menulis surat yang ditujukan kepada orang yang dikasihi, apakah pilihan bahasa dan medium dalam karya ini mudah dimengerti dan diterapkan oleh partisipan nantinya?
Hari yang dinanti telah tiba. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang, saya menunggu kedatangan partisipan. Satu per satu tamu undangan serta teman-teman menghadiri aktivasi yang saya buat. Saya benar-benar siap dan pasrah saja apa pun yang terjadi dan bagaimana respon partisipan yang mendengarkan instruksi karya ini.
Tak disangka, situasi berubah menjadi mengharukan. Semua partisipan yang melakukan instruksi menangis mengingat sosok yang mereka sayangi. Menangis haru sembari mengucapkan terima kasih secara lantang dan tanpa malu-malu. Setiap orang saling memberi senyuman, pandangan, dan pelukan pada orang di sekitarnya.
Hal ini membuat saya sadar bahwa instruksi dalam karya ‘Terima Kasih’ mampu menggiring orang-orang untuk mengenang kembali jasa setiap sosok yang memiliki peran penting dalam hidup mereka. Respon yang sangat positif dan tidak terduga sama sekali, benar-benar di luar bayangan saya. Sungguh-sungguh tak dinyana.
The Narratives
of Indonesian
Dancescape