The Narratives
of Indonesian
Dancescape

IN / ENG

Ishvara Devati / Mengwi, Badung – Bali

“Instruksi, Hak, dan Kuasa”

“Instruksi, Hak, dan Kuasa”

oleh Ishvara Devati

Mengwi, Badung – Bali

Pertanyaan Eksistensialis

Selama ini saya bernarasi melalui tubuh yang aktif bergerak. Saya kemudian dipertemukan dengan Dokumentari, sebuah platform naratif ketubuhan yang di dalamnya terbuka ruang gerak pemikiran untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan seperti: apa yang akan saya temukan melalui pembacaan terhadap diri sendiri dan teks-teks mengenai topik kepedulian (Bodies of Care) untuk kepentingan sebuah komunitas? Saya terus mencari konteks kepedulian terhadap diri…

Apakah saya sudah peduli pada tubuh saya sendiri?

Apakah saya perlu memberikan kepedulian saya kepada komunitas?

Apakah saya bagian dari komunitas?

Apa yang bisa saya berikan kepada komunitas?

Apakah karya ini mampu dan memberikan dampak terhadap sekitar?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak ada habisnya. Selama proses mencari jawaban tentang siapa yang seharusnya peduli, dan untuk siapa kepedulian diberikan, saya mulai bernegosiasi terhadap ruang personal dengan memposisikan diri sebagai tubuh yang rawan hancur di tengah kerumunan ruang publik. Ataukah justru sebaiknya tubuh saya berperan secara superior dan mengamati tubuh lain yang fragile di sekeliling saya?

Merujuk konsep life as a performative act, saya kemudian berusaha menampilkan sebuah tubuh anti-pecah sebagai modus operandi untuk memproteksi diri dan tubuh-tubuh lain di sekitar agar terjaga kekokohannya.

Terkadang, semua ini terasa mustahil. Pikiran saya berkeliling di seputar bagaimana caranya menjadi antibodi untuk tubuh yang rapuh. Dan lagi, kenapa saya merasa harus peduli?

Ada pikiran yang berseberangan. Sangat kontras dan sama kuat. Akan tetapi jika ada hal-hal saling berseberangan, bukankah berarti ada jarak? Di antara jarak itu ada garis, di antara garis ada titik, di antara titik ada penghubung. Dan di antara penghubung selalu ada jalan untuk bertemu.

Kata “di antara” perlu dibaca dengan garis bawah dan penebalan. Kata itu selalu muncul dalam pengkategorian yang bersifat bipolar: surga dan neraka, hitam dan putih, kanan dan kiri, laki-laki dan perempuan, dan seterusnya. Bukankah ada “antara” dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya?

Manusia lelah dibagi-bagi ke dalam spesifikasi khusus yang berjarak dan membuat satu sama lain menjadi jauh.  Jika hanya ada dua kotak, yaitu kotak laki-laki dan kotak perempuan, tentu saya tidak bisa memilih salah satu. Sebuah petuah mengatakan “when you don’t find one, then make one”, saya kemudian memilih untuk membuat kotak sendiri. Barangkali di luaran sana ada yang merasa terwakili dan akan memilih kotak yang saya buat.

Pertanyaan Konstruksi Identitas

Masyarakat mengidentifikasi komunitas Transpuan sebagai sebuah bentuk penyimpangan. Konstruksi sosial membentuk sistem norma (bahkan menjadi kepercayaan), bahwasanya formula dan psikologi manusia dibagi menjadi dua jenis tanpa mempertimbangkan perkembangan keberagaman gender yang meliputi sexual orientation, gender identity, expression, sexual characteristic. Pedoman agama, nilai-nilai kultural, dogma, stereotipe, pondasinya semakin kuat hingga nilai-nilai kemanusiaan acap kali dikesampingkan.

Berbicara mengenai gender, kita akan menemukan ungkapan-ungkapan seperti: diskriminasi, kekerasan, pelecehan hak. Dengan kondisi demikian, apa yang dapat dibanggakan dengan menjadi Transpuan di tengah lingkungan sosial?

Tubuh memiliki hak untuk “menjadi”, the way of becoming. Akan tetapi kelompok Transpuan seolah-olah tidak memiliki kemerdekaan untuk “menjadi”. Prosesnya terhenti oleh kerangkeng yang dikonstruksi oleh norma sosial. Tubuh sebagai sejarah, tubuh sebagai catatan, ia melakukan pembacaan atas kondisi dan situasi. Perjalanan pencarian ini menjadi sebuah peleburan dualisme konsep gender, sekaligus menjadikannya kesatuan yang sempurna. Meskipun akan selalu ada lampu merah dan tanda silang di tengah perjalanan.

Bali, 11 September 2021

Saya melakukan uji coba aktivasi participatory performance sebelum hari-H. Di tengah uji coba tersebut saya memperkenalkan sistem kerja seni profesional kepada teman-teman mahasiswa ISI Denpasar. Perjalanan dan pengalaman saya berkembang sejak di Jakarta, dan ini berbeda dengan di Bali. Di masyarakat Bali ada tradisi yang disebut Ngayah. Pada dasarnya Ngayah berarti bantu membantu satu sama lain sebagai implementasi Karma Marga Yoga, yaitu jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan melalui tindakan kerja yang tulus ikhlas dan tidak terikat pada hasil pekerjaan, secara singkat: bekerja sukarela tanpa imbalan. Memang betul Ngayah dalam konteks eksekusi karya saya adalah wujud “care” dari teman-teman. Namun terkadang ini menjadi belenggu, karena di sisi lain seniman perlu bersikap profesional.

Dalam uji coba ini saya mengundang beberapa komunitas seni, komunitas gender, dan beberapa seniman, dengan harapan mendapat umpan balik dari mereka. Cukup mudah bagi kelompok partisipan ini untuk mengikuti instruksi yang disiarkan melalui speaker. Tubuh mereka adalah tubuh yang sadar mengenai kesenian dan pertunjukan. Saat itu saya lega karena ternyata instruksi yang saya buat berhasil menggerakkan tubuh mereka, imajinasi visual yang selama ini saya endap dapat terproyeksikan.

Akan tetapi rasanya masih ada yang kurang. Rasanya ini terlalu mudah. Karya ini dibuat untuk publik di ruang publik, capaiannya pasti akan berbeda dari uji coba kali ini.

 

Bali, 25 September 2011

Dalam diri ini terjadi tarik menarik antara ego mengenai kepemilikan karya serta krisis kepercayaan pada orang lain. Sangat tidak mudah. Saya berada di Tokyo, sementara aktivasi dilakukan di Gianyar, Bali. Saya sebisanya menangani aktivasi dengan menggunakan tubuh in absentia. Mengandalkan insting, saya memprediksi peristiwa yang mungkin akan terjadi di ruang publik nanti. Semua saya sampaikan dan diskusikan secara daring bersama tim.

Di rancangan pertama, lokasi aktivasi bertempat di Beach Walk Mall, Bali. Hingga H-3 pihak mall memastikan aspek teknis aman terkendali. Mereka memberi ruang kepada kami untuk melakukan aktivasi dengan izin mengakses seluruh speaker mall dan kamera CCTV. Hal ini tentu menjadi keuntungan buat saya untuk memperkaya dokumentasi. Saya membayangkan bagaimana situasi mall akan terjadi dengan adanya instruksi yang terdengar di sudut-sudut mall.

Namun sayangnya H-1 General Manager Beach Walk Mall menolak pelaksanaan aktivasi karena PPKM. Saat itu tempat perbelanjaan di Indonesia menjadi pusat perhatian pemerintah karena pandemi Covid-19. Pihak mall memutuskan kerja sama secara sepihak.

Kejadian ini sesungguhnya sudah saya perkirakan. Meski repot, namun ada sebersit rasa senang karena situasi ini akan memaksa saya untuk mengeksplorasi ruang publik lain dan menghadapi kemungkinan realitas lainnya pula. Lokasi kemudian saya pindah ke Senggol (pasar malam) Batu Bulan, Gianyar. Lokasi ini cukup menantang: kekhawatiran  akan turunnya hujan dan kemungkinan penolakan dari masyarakat.

Jas hujan telah disiapkan, penonton online sudah hadir di Google Meet. Dengan segala situasi dan keterbatasan, saya dan tim sepakat untuk tetap bergerak dalam ruang publik yang situasional. Lewat speaker (toa) yang terpasang di sudut kantor badan pengelola pasar, keras dan kecilnya suara dipengaruhi oleh arah dan kecepatan angin, begitu kata bu Rai selaku pengurus pasar.

Instruksi pertama yang dilakukan adalah Where are You Going Today? oleh Densiel Lebang (Jakarta). Saat itu orang tidak menghiraukan apa yang mereka dengar, bahkan terkesan abai. Banyak faktor yang mempengaruhi: suara bising kendaraan, musik khas pasar yang diputar secara bersamaan. Instruksi ini memiliki kesan tidak memaksa untuk bergerak namun menuntut kita untuk memberikan perhatian dalam aspek pendengaran.

 

Aktivasi di Tokyo

Aktivasi di Bali sangat berbeda dengan pelaksanaan di Tokyo. Saat melakukan instruksi Where are You Going Today? banyak sekali indikator eksternal yang memantik partisipan untuk bisa lebih imajinatif. Kami melakukan aktivasi di sebuah taman. Mio Ishida dan Leu Wijee, rekan koreografer di Tokyo yang ikut mengaktivasi instruksi dengan saya, merasakan hal yang sama. Mereka menganggap burung merpati di taman sebagai navigator. Terjadi koneksi tiga arah melalui peristiwa ini, yaitu antara tubuh, ponsel, dan binatang. Ness Roque (rekan residensi di Tokyo) sempat tertegun karena visual kota Jakarta yang hadir dalam video Where are You Going Today? amat persis dengan situasi kota Tokyo saat itu. Ya bangunannya, ya cuacanya yang cerah, dan bagi Ness Roque semuanya menyublim antara yang digital dan realita.

Cross

Banyak temuan yang saya dapat ketika Cross diputar di tempat berbeda, dengan waktu berbeda, bersama partisipan yang berbeda. Namun ada satu reaksi sama, yakni publik sama-sama merasakan adanya keintiman antara instruksi dan respon terhadap tubuh. Intimasi seperti tekanan psikis mempengaruhi kebebasan bergerak dan berpikir, namun di saat bersamaan tubuh harus bergerak berdasar pemaksaan. Ketidakbebasan dan instruksi yang bersifat praktis memberi kesadaran bahwasanya tubuh telah jenuh dan berontak dalam sistem yang diktatis.

Dari temuan ini saya lalu berpikir, bagaimana bisa kepedulian dapat terwujud dalam sebuah pertunjukan partisipatori dan instruksional? Dari mana datangnya peduli jika saya memunculkan kebebasan yang berada di ambang batas?

Di Bali, setelah Cross selesai, kami diusir oleh pecalang dengan alasan suara yang terlalu keras. Mengganggu pengunjung juga pedagang yang sedang berjualan. Durasi aktivasi terhitung lama, padahal masih ada karya Togetherness perlu dijalankan seperti dalam rencana. Energi itu sampai ke Tokyo, melalui Google Meet, saya menjelaskan kepada audiens tentang kejadian yang terjadi, “the local police not allowed us to do the next instruction, so we will find another way to keep moving.”

Karena tidak ingin merasakan ketegangan sendiri, saya terus membagi dan menjelaskan apa yang sedang terjadi selama pertunjukan berlangsung. Bagi kami adanya pengusiran dari pecalang memberi kita sebuah pengalaman personal tentang aturan yang dikuasai oleh elit dan posisinya sebagai seorang yang berwenang membuka dan menutup pintu. Superioritas ini perlu dihadapi dengan bijak demi melindungi teman-teman tim produksi, partisipan undangan, dan publik di ruang terbuka. Di sini kita bisa melihat bahwa sesungguhnya kita berada di ruang yang tidak aman. Saya mencoba menciptakan ruang aman di kondisi yang sebenarnya tidak baik-baik saja.

 Dalam masyarakat, kelompok transpuan menjadi target aksi kekerasan berbasis orientasi seksual dan gender. Di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya menganut nilai-nilai heteronormatif, kekerasan bisa terjadi secara ekstrem. Melalui konsep “keluarga ideal” yang ditanamkan sejak kecil, bentuk relasi keluarga yang bertolak belakang dianggap tidak wajar dan menerobos kenormalan. Ironisnya, dengan dalih telah membuat masyarakat resah, aparat negara kerap menjadi pelaku kekerasan dan ikut mengeskalasi munculnya parade-parade kebencian di tengah kehidupan sosial.

Ditambah dengan adanya peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif, menjadi legitimasi bagi massa untuk melakukan persekusi. Kepanikan moral yang bersifat transfobia ini menebar rasa takut ke tengah masyarakat. Menjadi salah satu cara negara mendominasi kelompok sosial tertentu, atas nama menjaga moral, penundukan, dan mendisiplinkan seksualitas warga negaranya. Warga negara dituntut menjadi tubuh yang patuh bahkan untuk urusan yang sangat personal. Kontrol total private sphere kelompok transpuan.

Kita berhak bebas dari kekerasan dalam bentuk apa pun. Bebas dari perbuatan yang merendahkan martabat manusia hanya karena alasan identitas gender. Gender tidak mengurangi value seseorang untuk diperlakukan layak sebagai manusia. “Kesetaraan bukanlah titik tuju, kesetaraan adalah titik pijak.” begitu kata Jacques Ranciere.

Temuan-Temuan

Jika ada kesempatan saya sangat ingin tahu apa yang dirasakan oleh dua bapak-bapak yang sangat antusias memperhatikan dan ikut terlibat dalam instruksi Togetherness karya Eva Bormann, Ela Mutiara, Krisna Satya, dan Izabella Herzfeld.

“Tepuk tangan lebih keras!”

Sempat terekam sebuah peristiwa seorang bapak yang sangat khusyuk melakukan tepuk tangan. Beliau terprovokasi dengan suara yang terdengar. Menyimak instruksi secara seksama dalam posisi berdiri, berada dalam kondisi siap walau tak melakukan apa-apa. Hal ini membuat saya terheran-heran, apakah ini wujud tubuh yang terikat dalam instruksi-instruksi yang sudah tertanam dalam diri manusia sehingga mengakibatkan keterbatasan dan ketidakmampuan bergerak? Jika tubuh memiliki haknya lalu di manakah hak dan kebebasan melintasi ruang serta waktu? Kediamannya menimbulkan seribu pertanyaan tentang: apakah tubuh benar-benar memiliki haknya untuk tetap netral dalam sebuah kebisingan? Apakah peduli hadir dari sebuah keingintahuan? Apakah keingintahuan sudah cukup untuk praktik kepedulian?

Dalam proses BoC banyak kesadaran muncul dan pertanyaan tentang kepedulian. Keingintahuan antara kaitan “peduli” dengan “prihatin”, juga kepedulian dan ketidakmampuan di dalamnya. Ketidakmampuan tubuh berekspresi terkait koneksi emosional antar manusia. Keterikatan yang kadang menjadi penghambat praktik kepedulian dalam kehidupan sehari-hari. Di lain sisi, manusia memiliki pilihan untuk tidak terkoneksi dengan peristiwa yang terjadi di sekitarnya dan siapa yang ada di sekelilingnya. Dengan memilih untuk tidak terhubung seperti itu, apakah salah?

Sebelum menerapkan kepedulian terhadap komunitas ada baiknya kita terus mempertanyakan apakah kita sudah cukup peduli terhadap diri sendiri? Sudahkah menggali sub-sub kepedulian dan implementasinya terhadap diri, manusia, juga lingkungan?

Tapi, sudahkah anda peduli pada kepedulian itu sendiri?

Care per se…

The Narratives
of Indonesian
Dancescape