Althea Sri Bestari / Jakarta – D.K.I. Jakarta
“Manis, Getir Kemudian”
“Manis, Getir Kemudian”
Oleh Althea Sri Bestari
D.K.I. Jakarta
KEBETULAN
Saya adalah satu dari sekian banyak orang yang menulis catatan harian kemudian akibat emosi tak terkendali karena marah, sedih, dan kecewa, berakhir dengan membakar habis berlembar-lembar catatan pikiran serta perasaan secara dramatis. Tiga ratus halaman, dua jilid buku, hangus sudah tak berbekas.
Beberapa hari sebelumnya, saya bermimpi. Mimpi di luar nalar yang menimbulkan tanda tanya besar. Reaksi saya pun kemudian di luar nalar, menelepon seseorang dan langsung menodongnya dengan pertanyaan yang kemungkinan jawabannya adalah hal paling menakutkan untuk saya dengar.
Rasa cemas dan penasaran saya terkonfirmasi. Tapi lalu apa? Jawaban darinya membuat saya gamang. Bagaimana saya bisa membanggakan kedua orang tua melalui segala pencapaian dengan membawa-bawa hati yang luka dan mungkin tidak sembuh dengan mudah. Membakar buku harian lalu saya anggap sebagai cara untuk berdamai menerima kenyataan dan berpikir tentang siapa yang pantas dan tidak untuk dipertahankan.
Saya adalah “anak yang beruntung”, meski hingga kini belum pernah mengetahui siapa sebenarnya orang tua kandung saya. Tapi saya selalu berkata dan mengingatkan hati bahwa apa pun yang terjadi dulu waktu masih berupa bayi berumur empat bulan…
“Teruntuk Ibunda, di mana pun sekarang berada. Apa pun sebabnya, aku memaafkanmu, berterimakasih, dan aku mendoakanmu.”
Kalimat ini mengiringi hidup saya, menjadi senjata terkuat yang membuat saya hingga kini dapat berdamai dengan status sebagai anak angkat. Sempat pada masanya, kenyataan ini membuat saya merasa sebagai beban keluarga. Rasa itu mulai berkurang saat saya menginjak usia dua belas tahun.
Di usia yang sudah tidak anak-anak lagi, tapi juga belum dewasa, dalam usia remaja saya telah memulai karir sebagai pengajar ballet. Ada perasaan aneh bercampur bahagia menerima amplop berisikan uang honor tiap akhir bulan. Perasaan buruk saya menjadi lebih baik karena sejak usia dini bisa mengerjakan sesuatu yang menjadi passion sekaligus merasa dapat mengurangi beban keluarga, saya memutuskan untuk berhenti menerima uang jajan dari orangtua.
Saya adalah seorang pengajar balet anak-anak. Berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak-anak sepertinya sudah menjadi sesuatu yang inheren dalam diri, ia mengalir dalam nadi. Mengajar menumbuhkan vibe dan semangat terlahir kembali. Setiap saya mengajar menyampaikan ilmu, di saat itu pula saya sekaligus menerima ilmu baru dari proses mengajar.
“Saya saja Pak! Bu!”, inisiatif untuk maju mengambil tanggung jawab seperti ini sudah saya lakukan sejak masih usia kanak. Di masa SD terutama, kesiapan diri untuk berperan sebagai seseorang yang memimpin sudah menjadi insting dan keinginan kuat. Di masa sekolah menengah saya adalah seorang Mayoret dan kemudian naik pangkat menjadi Gitapati di kegiatan ekskul Marching Band. Saya sangat menikmati dapat menggenggam tongkat mayoret yang saya ajak menari hingga melambung tinggi ke langit lalu kembali ke tangan saya. Saya selalu ingin memegang kendali, mengayunkan tangan, mengatur tempo, memberikan arahan, dan menyaksikan semua orang menyimak kepemimpinan saya. Hal ini memberikan kepuasan tersendiri. Menjadi seorang pemimpin kerap menegangkan tapi juga membanggakan. Berdiri di atas podium dengan seragam Gitapati yang lengkap sampai terik matahari pun tidak menjadi masalah, para pembina sering melekatkan saya dengan kata “dedikasi”, meski saat itu saya tak tahu betul apa artinya.
Sayangnya, saat itu saya masih menilai hal-hal baik yang datang adalah hanya sebuah kebetulan. Kebetulan diberikan kepercayaan; kebetulan diberi kelincahan; kebetulan suka menjadi pemimpin; kebetulan tak ada yang maju mengambil alih peran. Perasaan manis yang menumbuhkan rasa cinta pun saya anggap sebagai sebuah kebetulan.
PHILIA
“Philia” adalah bahasa Yunani untuk kata cinta. Philosophy, terdiri dari kata philo/philia yang berarti cinta, dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Maka philosophy berarti ilmu/orang yang mencintai kebijaksanaan. Philia atau cinta pertama yang saya rasakan melibatkan seseorang yang jauh lebih tua, lagi-lagi, saya anggap sebuah kebetulan. “Jalani saja Althea, cinta ga pernah salah, hanya saja kebetulan yang hadir adalah seseorang yang sangat jauh lebih tua.” Saat itu saya tak merasa terjebak, meski lambat laun saya merasa hubungan ini cukup aneh. Saya merasakan keredupan, kepribadian saya terasa berubah. Sorot matanya begitu mengaburkan antara cinta, raga, dan harta. That thin blurred line. Entah sadar atau tidak, saya sudah dikendalikan olehnya, banyak mengalah dan mengikuti arus. Ketergantungan yang berkepanjangan terjadi. Selama delapan tahun lamanya tidak satu hari pun pernah benar-benar lepas darinya. Rasa yang saya kira berupa kebahagiaan cinta pertama akhirnya jungkir balik menjadi kepahitan yang dipelihara.
Dependensi ini terasa ironis, saya yang tadinya lekat dengan sikap kepemimpinan, kemudian bubar berbanding terbalik saat berurusan dengan laki-laki. Hubungan-hubungan selanjutnya meneguhkan rasa ketergantungan yang bahkan lebih besar lagi. Saya sempat berhubungan dengan seorang penari. Tiga setengah tahun bersandar padanya sempat membuat saya merasa sembuh, namun ternyata tak cukup kuat untuk saya berdiri tegak menjadi diri sendiri. Salah satu yang paling membekas adalah yang membuat Althea tidak dikenal sebagai hanya Althea, tapi sebagai pacar seorang penari yang sering menjadi pusat perhatian.
“Ooh kamu Althea yang pacarnya B itu ya?!”
Tahukah kamu seperti apa rasanya mendengar pertanyaan itu? Yang dilontarkan hampir oleh setiap orang yang baru mengenal saya setelah menjalin hubungan dengannya. Terdengar sederhana, tapi kenapa memunculkan rasa krisis identitas? Saya berusaha untuk positive thinking, tapi situasinya sungguh tak mengenakkan. Apakah kurang untuk mengenal Althea sebagai dirinya sendiri, sebagaimana perjalanan pendidikan dan karirnya? Mengapa harus melulu menyangkut-pautkan pasangan untuk bahkan sekedar berkenalan? Awalnya benar status ini memberikan kebahagiaan karena berarti saya memiliki pasangan yang cukup dikenal dan memberi kesan positif bagi orang banyak. Tapi lama-kelamaan seperti meracuni pola pikir, saya mulai berpikir siapa diri saya sebenarnya? Siapa saya jika tidak lagi bersama dia? Apakah saya masih layak untuk dikenal oleh orang? Apakah bahkan saya masih layak eksis di hadapan mereka? Apakah orang-orang tetap akan memasang senyum yang ramah dan berbasa-basi jika saya bukan kekasih si A atau si B?
Rasa tidak nyaman ini berlangsung cukup lama. Tapi seperti biasa, saya berusaha untuk menganggap bahwa semuanya baik-baik saja. Padahal situasi ini menyebabkan kepercayaan diri merosot banyak, merasa minder, baik di pergaulan dunia tari juga kehidupan sehari-hari. Hidup di balik bayang-bayangnya membuat kaki ini terasa tak berjejak, tak berpijak kuat.
Perpisahan mungkin menutup satu pintu, tapi sesungguhnya ia membuka kesempatan untuk pintu yang lain. Melalui perpisahan dengannya, saya memiliki kesempatan bertanya pada diri sendiri, sesungguhnya apa yang betul-betul saya butuhkan? Apakah perpisahan ini membuat saya bersedih atau justru sudah ditunggu-tunggu?
GELAS KOSONG
Selama dua belas tahun menjalin hubungan yang intens tanpa henti, saya kemudian merasa kosong. Perasaan kosong karena sendiri tak bersandar seperti ini bukan kekosongan yang terasa hampa. Berbeda. Dengan menjadi kosong, saya memiliki kesempatan memikirkan diri sendiri, memperjelas ke mana arah yang ingin saya tuju, kondisi netral membuat saya bisa berpikir apa yang sebenar-benarnya terbaik untuk saya.
Sebelum mencintai untuk dapat dicintai oleh orang lain, orang pertama yang harus saya cintai adalah diri sendiri. Agar dapat berdiri sendiri dengan tegak dan jejak. Melepaskan hal-hal manis yang ternyata menjadi beban. Tak disangka, ternyata di saat saya berusaha merelakan hal-hal yang pernah saya perjuangkan, hidup saya semakin ramai. Ramai dengan orang-orang baru yang perlahan menjadi lapisan support system yang baru juga.
Fokus pada diri sendiri akhirnya menjadi sebuah kepuasan yang sangat berharga, tidak bisa digantikan oleh uang apa lagi oleh pasangan. Sama seperti dulu saat saya merasakan bahagia menjadi seorang pemimpin. Sayang pada diri sendiri berarti dapat memimpin mau apa dan ke mana seorang Althea.
Beberapa waktu lalu, orang yang saya anggap sebagai cinta pertama, menghubungi saya kembali. Ia mengajak bertemu dan berniat untuk membantu bisnis yang baru saya mulai. Di titik ini, saya yang biasanya terkenal sebagai seorang ‘Yes Man’ dapat dengan tegas menolak tanpa perlu berpikir dua kali untuk mengatakan TIDAK. Sejak itu saya merasa naik level dan semakin percaya diri. Ternyata tidak ada yang kebetulan, semua sudah waktunya, bila saya sudah siap. Siap mencintai diri sendiri.
The Narratives
of Indonesian
Dancescape