The Narratives
of Indonesian
Dancescape

IN / ENG

Dwi Febrianto / Banyuwangi – Jawa Timur

“Memaknai (Dualitas) Nama”

“Memaknai (Dualitas) Nama”

Oleh Dwi Febrianto

Banyuwangi – Jawa Timur

Kegelisahanku ini berawal dari saat aku mengikuti sesi mendengarkan Siaran Pengajaran Dharma bersama komunitas Kadam Choeling Indonesia pada akhir tahun 2020 lalu. Ditengah sesi aku merasa gelisah dan tergerak untuk merenungi, “Siapakah ‘aku’?”. Di dalam sesi itu, Sang Guru memberikan sebuah pencerahan bahwa ‘aku’ adalah sebuah keterhubungan yang dekat antara batin, tubuh jasmani, pikiran, perasaan, kesadaran, dan gabungan-gabungan dari berbagai hal-hal lainnya.

  Sebagai seorang manusia, terlebih seorang manusia yang menekuni seni khususnya tari, kupikir merenungi hal-hal mendasar seperti ini adalah sebuah kewajiban. Jika ditarik sejauh ingatanku, pertanyaan mendasar ini sudah pernah kupikirkan sejak masih di Sekolah Dasar. Ya, seringkali pertanyaan semacam itu muncul dalam keheningan dan diam. Berawal dari pertanyaan itu, aku coba menggali lebih dalam tentang diri yang berkaitan erat dengan dua nama panggilanku, yakni Dwi dan Tom. 

Kegelisahanku semakin menjadi saat membaca jawaban kawanku Anjar saat kutanya siapa ‘aku’. “Kamu rapuh. Ada yang hilang dari dirimu. Kehilangan yg sangat dalam. BUT YOU’RE BETTER THAN YOU KNOW. Begitu aku memandangmu. Ibarat namamu, kamu itu Dw(i-nya) hilang.. Dan kamu hidup sebagai Tom..” Air mataku tak terbendung saat membaca pesan itu, dada terasa sesak, gemetar, namun ada sebuah kepuasan yang mendalam. Anjar melanjutkan, “Dwi Febrianto dan Tom, mereka berdua sosok yang berbeda. Tom adalah pemain peran yang handal. Pandai berpura-pura dan suka menyembunyikan perasaan. Kamu, tapi bukan kamu. Bagian dirimu banyak yg hilang tapi kamu isi sebagai seorang Tom. Personally, aku kenal kamu sebagai Dwi Febrianto dan Tom. Dwi Febrianto ada yg hilang dan diisi oleh Tom, begitu juga sebaliknya.”

  Semakin sesak dadaku membaca pesan darimu, Njar. Tetapi aku juga merasakan sebuah kebahagiaan. Rasanya aku seperti dibukakan sebuah pintu yang belum pernah aku kunjungi selama bertahun-tahun. Tentang arti sebuah nama dari Dwi dan Tom yang ternyata memiliki banyak cerita.

 

Peralihan

 

Nama lengkapku Dwi Febrianto. Dwi, begitulah keluarga dan saudara-saudaraku, tetanggaku, dan teman-teman SD akrab menyapaku. Sejak SD aku merasa berbeda dengan teman sebayaku karena lakuku yang kalem dan sedikit kemayu sehingga aku sempat dirundung dengan sebutan “wandu/banci”. Dwi yang masih kecil hanya bisa diam dan tidak bisa melawan karena tak punya keberanian. Mengingat momen itu rasanya aku ingin kembali ke masa itu dan membisikan ke Dwi kecil, “Ayo lawan! Apa kamu terima dirundung seperti itu? Kalau kamu kalem dan sedikit kemayu memangnya kenapa?! Ayo lawan!”. Tetapi keinginan itu hanya sebatas keinginan yang tak bisa diulang.

  Sejak kelas 1 SMP, tiba-tiba saja aku mendapat panggilan baru, yaitu Tom. Bermula dari dua orang teman perempuanku, Lia dan Bella yang ‘tak sengaja’ dan entah bagaimana memanggilku Tom/Tom-Tom. Anehnya, aku terima-terima saja dipanggil begitu tanpa tahu asal mulanya. Mungkin karena aku merasa nama itu cukup ‘menarik’ dan ‘keren’ kupakai saja nama itu. Sejak saat itulah, 99% teman SMP mengenalku dengan nama Tom.

  Saat SMP inilah masa-masa peralihan seorang Dwi menjadi Tom. Mendapatkan nama panggilan baru sebagai Tom seakan memberikan identitas baru dan menjadi sebuah jalan baru yang kutempuh untuk menyusuri hidup dan menggali jati diri. Walaupun aku merasa nama Tom itu keren, tetapi ternyata ada kekisruhan tersendiri yang harus kujalani saat harus berkenalan dengan orang-orang baru. “Hai semua. Perkenalkan, namaku Dwi Febrianto, biasa dipanggil Tom.” Semua orang yang ada di ruangan langsung memasang wajah bingung dan seakan-akan bertanya, “Tom-nya dari mana?”. Seketika aku mematung sejenak dan mengarang cerita bahwa panggilan ini aku dapat sejak SMP. Asal mulanya mungkin orang-orang memanggilku Tom karena waktu SMP aku imut, jadi terasa cocok jika dipanggil Tom. Lalu aku tertawa dan mereka pun juga. Terkadang, ada juga yang memplesetkan dan menjawab seperti ini, “Oh, mungkin sambungan dari Dwi Febriantom”. Aku hanya bisa tertawa sambil menahan rasa getir dan perkenalan pun berakhir.

 

Dwi atau Tom? 

 

Dwi – itu bagian diriku yang lemah, cupu, kurang berdaya, tidak neko-neko, neriman. Dwi seakan menyimpan sebuah ingatan tentang perundungan, kenikmatan yang tereksplorasi, dan sebuah pencarian sosok haqiqi di dalam diri. Dwi seakan membawa kenangan-kenangan tidak mengenakkan saat SD ke dalam batinku. Dwi membawa berbagai kenangan yang tak ingin kukunjungi sering-sering. Kenangan dirundung karena bibirku monyong dan tebal, dirundung “wandu/banci” teman dan tetangga di sekitar rumahku semasa SD

Tom – itu lebih berani, jujur, berdaya, memberontak. Berawal dari sebuah kebetulan yang kuteruskan, Tom menjadi nama yang lebih kusuka daripada Dwi. Tom seakan membawa ‘sebuah panggung’ di belakangnya. Sebuah nama sederhana yang setelah aku lulus SMP, masuk SMA, kuliah ia berevolusi menjadi banyak dimensi panggilan lain, mulai dari Tomas, Tomcat, Tomyum, Timmy, Tompel, dan Tom Tom yang lain. Sehingga saat aku mendapatkan nama panggilan Tom, cepat-cepat aku terima dan kugunakan dengan bangga nama itu untuk membentuk jati diriku yang baru.

 

Saat menggunakan nama Tom, aku merasa jauh lebih kokoh dan hidupku mulai terisi dengan hal-hal baik seperti mengikuti lomba-lomba reading/telling story dan menyabet beberapa kali juara, aktif di ekstrakulikuler teater dan menjadi salah satu panutan saat mata pelajaran kesenian, serta aku mulai berani menunjukkan dan terbuka dengan ‘keunikanku’.

Meski nama Tom membawa banyak kebaikan dan kenekatan dalam hidupku, akan tetapi ada saja dilema saat akan memperkenalkan diri di hadapan orang-orang baru. Apakah sebaiknya aku memperkenalkan diri sebagai Dwi? atau sebagai Tom? Dilema ini muncul karena adanya beban yang tak tampak untuk tetap mempertahankan dan merasa bangga dengan nama pemberian orang tua. Apakah aku berdosa dan tidak berbakti jika mengganti nama panggilanku dengan Tom? Mungkin jauh di alam bawah sadarku merasa nama Dwi itu jelek dan ‘kampungan’. Sehingga aku lebih merasa percaya diri saat memperkenalkan diri sebagai Tom. Harapanku satu, semoga aku tidak masuk neraka hanya karena mengganti nama panggilan.

 

Tom-Tom: Sebersit Doa untuk Berdamai dengan Diri

 

Bertahun-tahun aku menyandang nama Tom-Tom, tetapi baru hari Selasa, 16 Maret 2021 aku menemukan jawaban arti dari nama itu. Karena kegelisahanku yang menggebu, sekitar pukul 09.30 WIB, sambil menikmati sarapan dan harap-harap cemas, aku mengirim pesan via Whatsapp ke Lia, teman SMPku. Tak berselang lama, dia pun membalas pesanku saat aku ingin mengetahui asal mula ia memanggilku dengan nama Tom-Tom. Jawaban Lia membuatku terdiam beberapa saat, hatiku terasa penuh dan seakan menemukan sebuah harta karun yang terpendam lama dari berbagai pertanyaan yang selama ini menghantuiku. Begini jawaban dari Lia, “Hmm apa ya.. Klo scr pasti nya sih ga ingat.. Cm kayak nya waktu itu lucu aja nama tom.. Klo tom and jerry kan berantem trs. Kalo sm2 tom and tom mereka kan sahabatan.. Dulu kayak gt klo ga slh.. Makanya waktu itu aku ngajak km berteman kan sm bella.” 

Saat membaca jawaban dari Lia, pikiranku langsung melayang menuju ruangan kelas 1E dan membuatku rindu pada masa-masa itu. Jujur aku tidak begitu ingat detil momen pertama kali Lia dan Bella memanggilku dengan nama Tom-Tom. Rasanya sangat membingungkan karena jelas-jelas namaku Dwi bukan Tom-Tom. Tetapi ketika aku memaknai secara bebas jawaban Lia, aku merasa sangat terharu. Nama Tom-Tom ibarat sebuah doa untukku agar aku bisa berteman sekaligus berdamai dengan diri sendiri. Dibalik nama Tom-Tom ada sebuah harapan bahwa Tom (dan) Tom bisa berteman dengan dirinya sendiri, berteman dengan orang lain, dan menjadi orang yang baik untuk lingkungan sekitarnya. Tidak seperti Tom dan Jerry yang selalu bertengkar saat bertemu.

 

Dwi: Dualitasku

 

Dwi Febrianto, nama lahirku, secara harfiah berarti ‘anak laki-laki kedua yang lahir di bulan Februari’. Aku teringat cerita dari almarhumah Nenek dulu. Katanya, Ibuku menginginkan anak perempuan saat ia masih mengandungku tetapi sewaktu aku lahir, ternyata laki-laki. Jadilah nama itu yang diberikan. Mudah diingat dan tidak neko-neko. Dari cerita itu, aku coba ambil sebuah kesimpulan sementara, mungkin ‘keunikanku’ ini sudah tertanam bahkan sebelum aku lahir yang kini hadir menjadi bagian dari payung berwarna pelangi. Dengan ‘keunikan’ ini pula aku bisa menghayati hidup untuk berada ditengah-tengah antara dua kutub ekstrim itu. Kesimpulanku ini mungkin terdengar ‘mengada-ngada’ atau ‘otak-atik-matuk’ kalau kata orang Jawa. Tetapi jika kalian percaya sebuah takdir/karma/garis Tuhan, tidak ada yang namanya sebuah kebetulan bukan? Everything happens for a reason.

 

“Dewe/Dewekan/Sendirian”

 

Aku merenungi pernyataan Anjar mengenai Dw (-i nya hilang) dan bahwa menurutnya aku merasakan kehilangan yang amat dalam. Ya, tentu saja kubenarkan ucapan dia. Bagaimana tidak? Ibuku meninggal saat umurku masih dua tahun. Selama aku kecil, yang merawatku adalah kakek dan nenek. Bapakku? Ada, masih hidup. Tetapi entah ada di mana, sibuk dengan urusannya sendiri. Bahkan parahnya, Bapak pernah pergi merantau sepanjang tahun 2006/2007 tanpa memberi kabar setelah nenekku meninggal. Saat aku hendak mendaftar ke Sekolah Menengah Pertama pun, bukan Bapak yang mengantarkanku keliling untuk mendaftar sekolah melainkan almarhum Pakdeku. Lalu apakah aku marah dan kecewa dengan Bapak? Tentu saja, iya. Apakah sampai sekarang? Tidak. Bapak juga sama-sama manusia sepertiku. Ia mungkin memiliki alasan-alasan tertentu untuk melakukan hal-hal yang berimbas tidak enak padaku. Rasa marah dan kecewaku sudah kukubur jauh. Sekarang kuburan kekecewaan dan kemarahanku itu sudah kuberi pupuk pengertian dan pemahaman sehingga ia bisa tumbuh jadi bunga kesabaran dan secuil kebijaksanaan.

Bicara mengenai kehilangan tidak akan ada habisnya. Semua orang juga pernah merasakan kehilangan bukan? Yang membedakan adalah perasaan kita tentang pengalaman itu dan cara kita menghadapinya. Dari cerita tentang kehilangan ini aku mengamini sesuatu, bahwa jalan untuk sendiri/sendirian bukanlah sebuah aib. Memilih untuk sendiri/sendirian aku ibaratkan seperti sebuah jalan sunyi yang tidak banyak dipilih orang. Sama seperti keputusanku untuk memilih tari sebagai salah satu jalan hidupku, itu pun sebuah jalan sunyi. Jalan yang kutempuh untuk lebih menghargai hidup dan memaknai kehadiranku sebagai seorang manusia di kehidupan yang sekarang.

Secara tidak sengaja, Anjar menyampaikan sebuah pesan dari semesta bahwa nama Dwi yang selama ini kuhindari ternyata membawa sebuah makna yang begitu dalam. Dwi berarti dua, dualitas antara baik dan buruk, hitam dan putih, feminin dan maskulin. Dwi membawa kedua hal itu dan sedang berusaha berdamai dengan mereka. Lalu Dwi akan menjadi ‘Dewe’ jika i-nya hilang. Huruf D dan W jika dibaca dalam bahasa Jawa menjadi  “Dewe” yang artinya Sendiri. Dwi mewakili sebuah dualitas tetapi juga mewakili sebuah kesendirian atau penyatuan. Bahwa kedua kutub ekstrem tadi harusnya memang disatukan yang mana jalannya harus berada di tengah-tengah agar keduanya seimbang dan berjalan beriringan.

 

Lalu, Dwi atau Tom?

 

Aku memperkenalkan diri dengan nama Dwi saat aku berkenalan dengan  teman-teman di dunia pelangi dan mengurusi segala keperluan administrasi yang sifatnya formal. Dwi juga merupakan bagian dari jati diri yang tak mungkin ku lepas begitu saja. Ia sudah ada dan lekat sejak aku masih belia. Di sisi lain, aku memperkenalkan diri dengan nama Tom saat bertemu dengan teman-teman di komunitas seni. Aku ingin mereka mengenalku sebagai Tom karena pada nama itu aku merasa bisa belajar tentang seni (khususnya tari) semakin dalam. Secara sadar aku membangun sebuah citra bahwa Tom adalah nama panggungku dan Dwi adalah bagian dari jati diri yang membentukku sampai saat ini. Lalu, sampailah aku pada sebuah perenungan di sore minggu ketiga Maret 2021. Di situ aku menyadari bahwa  Tom atau Dwi, keduanya adalah bagian dari diriku. Kedua nama inilah yang membentuk diriku sampai pada titik ini. 

 

Dwi dan Tom, keduanya sama-sama bermakna, keduanya sama-sama baik, keduanya sama-sama membawa doa yang tak terkira, keduanya kuamini sebagai sebuah paket komplit yang membungkus perjalanan kehidupan dari sejak aku lahir sampai sekarang. Berkat kedua nama itu aku merasa sangat bangga, percaya diri, dan menemukan sebuah cahaya yang bisa kubangkitkan ketika aku butuhkan suatu saat nanti. Dwi dan Tom seakan mewakili dua kutub ekstrim itu. Yang mana hitam? Yang mana putih? Yang mana feminin? Yang mana maskulin? Semuanya ada dan mewakili mereka dengan porsinya. Ada sebuah kesan yang kuat, tangguh, dan kokoh dari Tom. Ada pula sebuah kesan ‘nerimo’, kalem, dan tidak neko-neko dari Dwi. Apakah setegas itu garis batasnya? Tentu tidak. Keduanya bisa saling berganti dan bertukar posisi. Seperti air, mereka mengalir dan mengikuti bentuk wadah yang mereka tempati. Lalu, Dwi atau Tom? Mana yang terasa pas dalam benakmu, panggil aku dengan nama itu. 🙂

 

The Narratives
of Indonesian
Dancescape