Iin Ainar Lawide / Palu – Sulawesi Tengah
“Lautan Memori Tubuh”
“Lautan Memori Tubuh”
Oleh Iin Ainar Lawide
Palu – Sulawesi Tengah
Papa, Laut dan Seni.
Aku lahir dan besar di Palu, di mana kesenian belum menjadi daya tarik utama masyarakat sebagai pekerjaan tetap. Mungkin karena Palu masih dianggap sebagai “kota baru” di Sulawesi, karenanya fokus pembangunan belum termasuk membangun kesenian. Namun aku sangat suka dengan tari dan memutuskan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hariku lewat kesenian. Lantas, dari mana aku bisa mengenal seni dan bertahan dalam kerja-kerja kesenian hingga kini? Jawabannya adalah Papa. Setiap kali aku diminta menjelaskan tentang awal mula aku berkesenian, pasti ada kisah tentang papa disitu. Beliau adalah gerbang pertamaku mengenal proses berkesenian. Ia dikenal orang-orang Palu sebagai topotutura (pendongeng), penyair juga pelakon. Ia adalah pria ramah yang senang bercerita dan berkelakar.
Papa selalu hadir dalam setiap peristiwa penting dalam kehidupanku. Banyak waktu yang kuhabiskan dengan bercerita, mendengarkan leluconnya, hingga berjalan-jalan ke tempat yang tidak pernah ku duga sebelumnya bersama papa. Ia memberikan banyak rahasia yang akhirnya kusadari itu sangat berarti saat aku membangun karir di kesenian. Seolah ia sudah memprediksi banyak hal yang akan terjadi pada kehidupanku di masa depan. Ia juga mengajarkanku tentang sejarah dan tradisi tanah leluhurnya tanpa terkesan memaksa dan menggurui. Darinya aku tahu bahwa banyak tradisi masyarakat Palu yang berhubungan dengan laut. Sejak itulah laut dan kesenian selalu hadir dalam keseharianku.
Sejak kecil, papa paling sering mengajakku ke bukit dan pantai untuk menemaninya bekerja atau latihan teater. Pernah satu waktu aku ikut dengannya ke Taman Budaya yang jaraknya tidak jauh dari bibir pantai. Taman Budaya ini adalah pusat kesenian di Kota Palu. Setiap papa latihan dengan anak-anak didiknya, aku menjadi pengamat setia gedung pertunjukan itu. Panggungnya tidak besar, kursi penonton sudah banyak yang lapuk, dindingnya lusuh, kaca-kaca buram tertutupi gorden, dan ada 2 kipas angin yang tergantung di kiri dan kanan panggung. Lama kelamaan mengamati gedung pertunjukan menjadi hal yang kurang menarik bagiku. Aku akhirnya memilih untuk berjalan ke pantai. Tidak jauh dari bibir pantai masih dalam area taman budaya, terlihat timbunan batu-batu dan juga pasir serupa gundukan. Aku kala itu melihatnya seperti bukit-bukit kecil. Entah itu akan dibangun apa dan aku sama sekali tidak memperdulikannya. Sampai pada suatu waktu, papa menghampiriku di pantai dan berkata, “Pantai ini terus dikeruk untuk pembangunan”.
Aku menyukai pantai ini, sebagaimana papa begitu mengaguminya. Pernah sekali, beliau tiba-tiba berkata, “Nanti ada masanya, dimana laut itu minta haknya kembali”. Aku yang saat itu masih duduk dibangku SMA mencoba untuk memahami maksud perkataan papaku. Namun belum sempat aku memahami perkataannya secara utuh, ia sudah dipanggil Tuhan. Kepergiannya yang cepat memberikan rasa duka yang mendalam. Duka ini membuatku berjarak dengan pantai karena ingatanku akan papa. Akhirnya, aku memutuskan pergi dari Palu sementara waktu untuk menghilangkan dukaku. Aku memilih Solo sebagai tempat pelarian dari rasa kehilangan. Hari-hariku dihabiskan dengan menonton pertunjukan, melihat mahasiswa yang sedang latihan, menyaksikan wayang yang bahkan aku sendiri tidak paham dengan apa yang dibicarakan oleh dalangnya. Aku juga menghabiskan banyak waktu di museum dan salah satu radio swasta. Inilah rumah keduaku, dan perlahan-lahan aku berhasil mengubur kesedihanku.
Sekembalinya ke Palu aku bekerja di instansi Pemerintahan sebagai Pamong Budaya dan menjadi salah satu staf operator keuangan di Museum Sulawesi Tengah. Suatu sore, aku diminta oleh Kepala Museum untuk mengantar surat ke Taman Budaya. Kenanganku dengan papa, Taman Budaya dan pantai pun bermunculan kembali. Namun sesampainya di sana, sepertinya ada yang mulai berubah. Ada bangunan baru yang nampak begitu jelas terlihat dari arah gerbang. Gedung berlantai dua dengan tangga di kiri dan kanannya. Cukup lama aku memandang gedung itu, kemudian mengalihkan pandangan ke arah pantai yang ternyata sudah tidak kelihatan. Ia tertutupi oleh bangunan ruko dan kost di sampingnya. Menoleh ke belakang, ada Hotel Bintang Tiga terbangun disitu. Inikah hasil dari pengerukan yang pernah diucapkan Papa bertahun-tahun silam? Di satu sisi aku senang, akhirnya kota ini punya gedung pertunjukan yang besar dengan daya tampung penonton yang banyak. Situasi di sekitar Taman Budaya juga sudah ramai dengan aktivitas kesenian. Semenjak hari itu, rutinitasku mulai berubah. Setiap pulang kantor aku langsung ke Taman Budaya, perlahan mulai membangun kembali semangat menari.
Tahun berganti tahun, Pantai ini terus-menerus dikeruk tanpa henti. Aku mulai banyak mendapati bangunan baru yang dibangun setiap bulannya yang juga dibarengi dengan kegiatan-kegiatan untuk menghidupkan bangunan-bangunan baru ini. Tentu saja hal tersebut turut menyumbangkan sampah ke laut. Semakin sering aku mengamatinya, semakin aku teringat perkataan papa tentang pantai. Pada akhirnya aku menawarkan diri pada sebuah lembaga riset di kampusku dulu untuk melakukan riset tentang Teluk Palu yang kabarnya saat itu akan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus. Aku pun mengambil sebuah keputusan terbesar dalam hidup. Disaat karirku di Museum sedang bagus-bagusnya, aku memilih untuk pensiun dini sebagai ASN untuk lebih bisa fokus di kerja riset dan kesenianku sambil terus mencari jawaban atas segala pertanyaanku.
Setelah melakukan riset dan membangun Komunitas Seni Lobo bersama 3 kawan yang salah satunya kini menjadi suamiku, aku mulai membuka kembali catatan lama papa tentang kota ini untuk memahami pesan terakhirnya. Salah satunya adalah catatan tentang Karampe. Karampe adalah bahasa Kaili yang berarti tempat perahu terdampar. Wilayah ini melintasi 4 kelurahan yaitu Silae, Lere, Besusu dan Talise, sebuah lintasan sejarah yang berperan penting bukan hanya bagi perkembangan kota namun juga pada persebaran agama Islam. Seorang mubalig dari negeri Minangkabau bernama Syekh Abdullah Raqie, menyebarkan Islam di Lembah ini pada abad ke-17. Saat itu Palu masih berbentuk kerajaan yang dipimpin oleh Siralagi (Pue Nggari). Suatu ketika perahu Dato Karama terdampar di pantai. Perahunya berubah menjadi tikar yang membentang dan layarnya menyerupai suatu perkemahan. Tempat tersebut sampai saat ini disebut kampung Karampe. Dari catatan sejarah yang papa tulis itu, aku menyadari bahwa Karampe ternyata adalah tempat penting. Sayangnya momentum sejarah religi yang juga menandai adanya Palu ini hilang ditelan zaman tak menyisakan sedikitpun puing-puing sejarah. Semua kawasan berubah menjadi kota mini yang padat dan dipenuhi kesibukan masyarakat plural. Hanya makam sang Mubaliq dan beberapa pengikutnya yang tersisa di tempat ini.
Merawat Ingatan.
Jika dulu banyak orang yang tidak mengenal Palu. Namun pasca peristiwa gempa 28 September 2018, Palu menjadi salah satu kota yang mencuri perhatian publik. Setelah peristiwa itu pasti ada kata bencana atau tsunami yang terucap di sela-sela perbincangan. Padahal, jika dilihat dari sejarahnya, bencana mungkin menjadi kata yang sangat dekat dengan Kota Palu karena berada tepat di atas sebuah sesar aktif yang menyimpan potensi gempa besar. Seperti apa yang papaku ceritakan tentang asal usul Palu yang berasal dari laut yang mengering.
Namun tidak banyak yang mengetahui tentang sejarah ini. Kota ku kini benar-benar mulai dikenali setelah bencana besar yang dialaminya tahun 2018 silam. Di satu sisi aku merasa sedih, tapi di sisi lain orang-orang jadi lebih sadar dengan ancaman bencana dan belajar tentang mitigasi bencana. Aku pun juga teringat catatan papa tentang Karampe, Dato Karama, dan kisah-kisah yang berlanjut setelah tsunami terjadi. Melalui tutura (cerita) Bpk. Andi Alimudin Rauf-tokoh masyarakat di Kelurahan Lere, bahwa Dato Karama melihat bombatalu (ombak bersusun tiga) dari arah utara menuju Teluk Palu setinggi pohon kelapa. Beliau kemudian berdoa dan melemparkan surbannya yang berwarna putih. Sesaat kemudian ombak tersebut pecah menjadi dua menjauhi posisi yang saat ini menjadi makam beliau. Dari tutura ini, masyarakat setempat mempercayai bahwa kompleks makam Dato Karama dianggap sebagai titik kumpul yang aman dari gelombang tsunami. Sejarah pun mencatat saat tsunami melanda Teluk Palu tahun 1938, semua keluarga kerajaan Palu di Lere diungsikan ke komplek makam Dato Karama. Ternyata air laut hanya sampai tangga rumah Raja Palu dan Makam Dato Karama tidak terkena tsunami. Hal serupa juga terjadi saat bencana 28 September 2018. Gelombang tsunami hanya menggenangi pintu gerbang kedua kompleks pemakaman, tidak sampai ke dalam lokasi pemakaman. Pengetahuan lokal seperti ini justru memberi dampak signifikan pada masyarakat. Ini sebenarnya adalah sebuah warisan pengetahuan dan bila dirawat dengan baik secara kolektif maka masyarakat bisa melakukan tindakan preventif yang maksimal jika bencana terjadi kembali.
Jika sebelum tsunami Kota Palu mulai dibangun besar-besaran, pembangunan ini semakin gencar setelah bencana terjadi. Pemerintah daerah menjadikan bencana alam sebagai arus utama untuk pembangunan. Teluk Palu yang sebelumnya dapat dipandang secara langsung dari bibir pantai kini tertutup oleh timbunan batu-batu besar. Pantai Teluk Palu kini ditinggikan dengan susunan batu. Bagiku, tsunami yang melanda Teluk Palu memberikan sebuah pelajaran betapa pentingnya mitigasi bencana di wilayah pesisir dan betapa pengetahuan lokal bisa menjadi modal bersama untuk mengidentifikasikan riwayat kebencanaan di daerah ini. Salah satunya adalah pengetahuan tentang kampung-kampung tua yang aman dihuni berdasarkan tutura yang berkembang di masyarakat. Namun, justru yang terjadi adalah pemerintah membangun tanggul laut. Tanggul yang berjarak 120 m ini memanjang dari barat (pesisir Kelurahan Silae) ke timur (pesisir Kelurahan Talise) kurang lebih 7 km dan menelan biaya senilai Rp. 250 Miliar dengan utang luar negeri. Tanggul laut ini diberi nama Silebeta (Silae, Lere, Besusu, Talise) karena dibangun di sepanjang empat kelurahan tersebut. Telah banyak masukan yang diberikan kepada pemerintah baik pusat maupun daerah bahwa kemungkinan tanggul laut itu akan gagal karena tanggul tersebut akan memotong retakan permukaan patahan Palu Koro. Hasilnya banyak yang memprediksi bahwa Tanggul ini akan hancur sebelum tsunami datang baik karena penurunan ataupun penaikan permukaan tanah di sekitar patahan. Secara tidak langsung, tanggul hanya akan menaikkan resiko bencana.
Dari manakah datangnya ide ini ? Tentunya Pemerintah yang bekerjasama dengan Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Pemerintah pusat menjadikan Jepang sebagai salah satu contoh bagaimana mereka membangun sistem pengamanan bencana pesisir dengan membangun tanggul laut. Saat Teluk Palu dihantam tsunami hingga ketinggian 11 meter, wilayah pesisir merenggut seribu lebih korban jiwa yang meninggal dunia karena pesisir Teluk Palu tidak memiliki pertahanan dari tsunami. Alhasil peristiwa gempa disertai tsunami yang terjadi di Tohoku Jepang pada 11 Maret 2011 dijadikan landasan pemerintah untuk pembangunan tanggul serupa di Teluk Palu.
Tohoku mempunyai satu benteng tsunami yang konon terkuat di dunia. Sebuah tanggul pemecah gelombang sepanjang 1.950 m ditanam hingga 67 m kedalam tanah. Benteng ini terdapat di Teluk Kamaishi Jepang dengan tinggi mencapai 12,5 meter. Namun, seperti diabaikan, ada kenyataan bahwa benteng itu juga tak mampu menyelamatkan hampir 19.000 nyawa saat gempa dengan magnitudo 9,0 mengguncang Tohoku dan wilayah pesisir timur Jepang akibat tsunami setinggi 10 hingga 40 meter. Rekayasa fisik memang perlu dilakukan, namun upaya mitigasi tidak bisa semata-mata meniru negara lain yang memiliki lingkungan, budaya dan dinamika sosial berbeda dengan Kota Palu. Hal itu juga yang aku pelajari di tari. Sebagai pelaku tari, ketika menciptakan suatu karya yang berhubungan dengan tempatku tinggal, aku tidak bisa semata mata langsung meniru dengan apa yang terjadi diluar konteks lingkunganku.
Sebenarnya bagiku merancang mitigasi bencana sama dengan menciptakan karya tari. Tari bukan hanya tentang gerak, sama halnya bencana bukan hanya tentang tsunami yang terjadi saat itu. Keduanya adalah bagian dari sesuatu di sekitarnya. Maka, pengoptimalisasian semapadan pantai yang dikombinasikan dengan vegetasi mangrove itu lebih menyelamatkan. Dengan tipologi tsunami sedang, mangrove dan vegetasi sudah mampu mereduksi gelombang tsunami mencapai 20 – 30 %. Setidaknya ini yang terjadi di Desa Kabonga, Kabupaten Donggala. Sepanjang wilayah ini ditanami bakau. Saat 2018 silam, rumah-rumah di desa ini terlindungi dari tsunami karena mangrove setebal 50 sampai 75 meter menahan gelombang itu datang.
Dua tahun berlalu, tanggul laut sudah menuju titik akhir pembangunan. Pemerintah terus bergerak. Sebagai warga kota Palu, intervensi yang paling mungkin kulakukan hanya melalui karya tari yang kucipta bersama teman-teman di komunitasku. Kami tidak sendiri. Banyak individu yang juga menyuarakan hal yang sama dengan caranya masing-masing. Jika kebijakan pemda tidak bisa kami putus, maka masyarakat yang kita ajarkan untuk mencintai alamnya, untuk menjaga keberlangsungan sejarah di wilayah ini. Kini masalah lain juga muncul, para nelayan dan penambak garam yang masih memulihkan kembali kehidupannya pasca bencana harus dipertemukan lagi dengan proyek tanggul laut. Tentunya, bangunan tanggul tersebut akan kembali mematikan mata pencaharian mereka.
Aku kembali melihat catatan papa dan teringat dengan pesan terakhirnya kala itu, “nanti ada masanya, dimana laut itu minta haknya kembali”.
Ingatan yang Terawat.
Sempat aku memunculkan tanya pada diri sendiri, mengapa laut ingin meminta haknya kembali? Ingatanku pun melayang ke sore itu, di hari Jumat, 28 September 2018 di mana Kota Palu seketika berubah menjadi buram. Tanah berguncang kuat, bergulung seperti ombak. Tak berapa lama keadaan semakin gelap, lampu-lampu pun padam seketika. Hanya terdengar suara teriakan, isak tangis dan lantunan doa-doa.
Aku yang kala itu berada di dalam rumah, berusaha sangat keras untuk menyelamatkan diri. Hanya untuk menuju pintu rumah saja, badanku terpental ke arah dinding. Aku juga mendengar suara gemuruh. Pikirku itu bangunan yang roboh. Ku peluk erat putriku yang masih berusia 1,5 tahun. Berdua kami berupaya menyelamatkan diri sambil ku meraba perut, mencoba menenangkan diri bahwa janin 3 bulan dalam kondisi baik-baik saja. Gempa akhirnya reda. Aku menarik nafas panjang, mencoba berpikir tenang dan melihat debu berwarna putih beterbangan dari arah kiri rumah. Ternyata bangunan yang semula akan menjadi kantor komunitas roboh. Kami yang berada di rumah semua dalam kondisi selamat. Begitu pun juga dengan tetangga tetanggaku. Malam itu kami semua berkumpul di jalan dan mulai menggelar tikar hingga keadaan benar-benar membaik. Tidak ada penerangan, komunikasi terputus, kendaraan mulai lalu lalang, suara teriakan, tangisan dan kepanikan. Aku juga terus memikirkan keadaan anak-anak komunitas yang lain. Bagaimana dengan kakakku dan kedua anaknya. Pikiranku mulai kacau.
Aku dikejutkan oleh suara ponsel. Aku baru menyadari bahwa kantong celanaku cukup kuat untuk mengamankan ponsel tersebut. Provider yang kugunakan ternyata satu-satunya yang bisa di akses malam itu. Aku masih ingat betul nama di layar ponsel yang menghubungiku. Orang pertama yang bertanya keadaanku, dialah mbak Melati Suryodarmo. Mungkin ia baru saja melihat berita bencana gempa dan tsunami di televisi. Gempa yang disertai tsunami menyapu bersih area festival seni. Ia mungkin berpikir aku sedang berada di lokasi tersebut. Tak lama kemudian mbak Melati mengirimkan pulsa untukku agar tetap berkomunikasi dengannya dan juga keluarga dan temanku yang lainya. Ia juga memintaku untuk mencari kabar tentang kawannya. Hingga tengah malam ponselku tak henti-hentinya berbunyi, banyak kawan dan kerabat yang mulai menanyakan kabar.
Entah sudah berapa puluh gempa susulan terjadi. Hingga memasuki hari ke lima, penerangan dan jalur komunikasi masih terputus. Berhari-hari aku merasakan kecemasan. Memulihkan mimpi buruk, mencoba kuat dengan berita duka. Satu-persatu orang-orang tercinta menjadi korban, termasuk salah satu penari kami yang ditemukan di reruntuhan rumahnya bersama kedua orangtua dan saudara-saudaranya. Hancur perasaanku mendengar berita duka itu. Air mata yang tertahan membuat sesak.
Hampir seminggu keadaan di Palu menjadi kacau. Terjadi penjarahan, stok pangan berkurang, bantuan menjadi rebutan, dan tidak ada air bersih. Hal tersebut terjadi hampir di seluruh tempat. Aku pun mengambil inisiatif untuk mengumpulkan anak-anak sekompleks. Semua buku kuletakkan di panggung terbuka komunitas agar mereka bebas membacanya. Dari sinilah proses trauma healing itu berjalan. Aku dan teman teman yang lain mulai mencoba melakukan hal-hal baik yang kami bisa lakukan. Salah satunya membuka posko bantuan sembari terus mencari dua anggota komunitas kami yang rumahnya tertanam dalam lumpur (likuifaksi).
Empat bulan berlalu, aku mulai mencari kabar para koreografer dan penari di 3 wilayah yang berdampak bencana. Aku menginisiasi sebuah panggung untuk mereka agar kembali membuka diri menjalankan proses keseniannya. Sebagai orang yang bergerak di jalur kesenian, aku pun turut mengambil peran disini. Menurutku, ketubuhan penari akan menghasilkan ingatan-ingatan berbeda tentang bencana. Aku percaya sebagai seorang penari ataupun koreografer, ingatan-ingatan tersebut akan tercatat di gerak-geraknya. Bencana ini akan menjadi babak baru dalam membangun kembali proses kesenian kami. Seni untuk menyembuhkan.
Aku kembali teringat pesan papa, bahwa kelak laut akan meminta haknya kembali. Setelah bencana ini terjadi, apa kabar laut sekarang? Apakah haknya sudah terpenuhi? Sudahkah ia kembali tenang? Semoga amarahnya benar-benar mereda. Sekalipun saat ini telah tertutupi oleh batu-batu besar. Kini setiap melintasi Karampe, yang terbayang hanyalah ucapan papa dan catatannya tentang Karampe. Tidak disangka secara tidak langsung, semua cerita dan catatannya mengajariku tentang mitigasi bencana. Ini akan menjadi catatan terutama bagi saya pribadi, bahwa laku arsip juga penting untuk terus menjadi pengingat akan bencana. Sebab bencana bisa terjadi dan berulang kapan saja, dimana saja dan akan melanda siapa saja. Masa akan terus berganti, generasi-generasi baru pun akan terus terlahir dan jangan sampai mereka menjadi orang yang buta sejarah bencana ini. Hubungan manusia dan alam harus selalu terjaga. Kesenian mengajarkanku untuk selalu menghimpun bukan hanya nilai tapi juga memori, agar jangan ada lagi rasa kehilangan akibat ulah kita sendiri pada alam.
– –Seni bagiku serupa obat pereda luka—
The Narratives
of Indonesian
Dancescape