The Narratives
of Indonesian
Dancescape

IN / ENG

Arbi Nuralamsyah / Sukabumi – Jawa Barat

“Sejarah Luka”

“Sejarah Luka”

Oleh Arbi Nuralamsyah

Sukabumi – Jawa Barat

“Tubuhnya menjadi wadah dari berbagai macam memori yang sudah terjadi dan ladang tempat dia menuai semua  hal yang telah ditanam.” 

Setiap hal yang pernah terjadi di masa lalu sangat berpengaruh untuk masa selanjutnya. Apa sesungguhnya skenario Tuhan untuk saya dalam panggung dunia ini?

Saya diberi nama Arbi Nuralamsyah oleh orang tua. Mungkin tidak terbayangkan oleh mereka nama itu akan menjadi bagian dari orang-orang yang berhasil menyelesaikan pendidikan hingga jenjang perkuliahan, dengan tambahan gelar di belakangnya. 

Berasal dari Jampangkulon, Kabupaten Sukabumi, yang jauh dari perkotaan. Saya menghabiskan masa kecil di tengah masyarakat yang terbiasa menggunjingkan keburukan. Banyak pula yang sangat ahli berbicara terutama tentang hidup orang lain. Di kampung, saya disebut sebagai anak yang hitam, dekil, pipi tembem, dan bandel. Hampir tidak ada orang yang menyebut saya “ganteng” atau setidaknya “imut”, membuat rasa percaya diri saya begitu terbatas. 

Arbi Bencong merupakan sebutan dari teman-teman di Sekolah Dasar karena pernah bermain boneka pasang, sesemahan (masak-masakan), main karet dan bola bekel dengan anak perempuan. Padahal tidak jarang juga saya membuat kaki anak lain patah atau cedera saat beradu main sepakbola. Pengalaman itu masih terhitung biasa dibanding perlakuan bullying yang pernah terjadi dan bila diingat cukup parah. 

Saya pernah menjadi korban pajak liar beberapa teman sekelas. Mereka mengancam akan melaporkan kepada sekolah dan orang tua bahwa saya pernah mencicipi sedikit minuman anggur merah. Betapa bodoh dan pengecut saya saat itu, hingga harus memberikan uang jajan sebesar 500 rupiah kepada tukang rundung yang selalu mengancam, yang sering memeras saya semau mereka. Tidak berhenti di situ. Akibat terdesak oleh perundungan dan bekal uang jajan kurang, saya mulai mencuri uang, baik di warung ibu atau tempat lain.

Saya tidak ingat betul apa yang membuat bullying itu berakhir dan bagaimana saya berubah dari perilaku mencuri. Yang selalu teringat adalah, ketika hidup mulai terasa normal, saya pernah dipercaya mewakili sekolah ikut lomba melukis. Lalu dilatih oleh seniman terkenal di Jampangkulon bernama Dadun yang selalu meyakinkan saya untuk bisa menang dan harus memperdalam seni suatu saat nanti. 

Selama kuliah saya merupakan orang yang dikenal ambisius, tidak mau kalah, selalu melawan, emosian, mudah tersinggung, tidak suka direndahkan orang, dan yang paling buruk adalah sangat sulit berteman dengan orang lain karena tak ada kemauan. Saya tidak menyalahkan stigma yang dilekatkan orang pada saya. Waktu itu, bagi saya hidup sendiri sudah cukup karena yang selalu ada dalam benak: kalau tidak mau punya musuh lebih baik jangan berteman. Rumus yang salah ternyata. Pada kenyataannya kebiasaan saya saat itu adalah berdebat, bertengkar, dan membuat suasana panas. 

Heran! entah kenapa tidak ada sedikit pun penyesalan, meski mungkin saat itu ada beberapa orang yang peduli berusaha mengingatkan, namun tidak pernah saya sadari. Di sisi lain saya adalah orang yang punya rasa penasaran tinggi serta aktif kegiatan organisasi. Semua itu menjadi ruang untuk membuat orang semakin tahu sifat dan perilaku saya. 

Definisi sebagai orang baik rasanya tidak ada saat itu. Banyak yang takut terhadap saya terutama adik tingkat, mungkin selain karena wajah yang sangar saya juga galak saat ospek, dan tak sedikit orang yang menghindar. Saya tidak merasa sedih atau menyesal. Saya terus maju tanpa menengok kanan kiri stigma orang-orang dan Tuhan selalu memberi jalan untuk saya berprestasi.

Momen paling terkenang adalah ketika saya menjabat sebagai ketua salah satu organisasi di kampus. Nama saya semakin melambung keburukannya serta selalu jadi incaran di beberapa pertemuan para senior alumni karena tingkah saya yang tidak mau diatur, keras dan selalu berkata apa adanya. 

Kala itu saya kuliah di Bandung hanya untuk pelarian. Terlahir sebagai anak laki-laki kedua yang mempunyai dua orang adik perempuan masih kecil-kecil. Hidup saya berubah ketika orang tua ditipu, bengkel keluarga sepi dan hutang menumpuk. Kakak saya terpaksa tidak lanjut kuliah meski sudah diterima jurusan bahasa Inggris dan mendapatkan beasiswa. Saking terpuruknya Bapak saya pernah kerja di Lampung dan Malaysia, namun tidak mengubah apa-apa bahkan semakin kacau. 

Perceraian orangtua kemudian nyata terjadi di depan mata, begitu sakit rasanya. Membingungkan melihat perempuan dan laki-laki dengan keegoisannya. Selalu terngiang tangisan adik saya yang waktu itu kelas empat SD dan wajah polos adik paling bungsu yang belum mengerti apa apa.

Saat itu saya masih SMA. Ba’da magrib baru saja pulang latihan untuk lomba. Di depan rumah terparkir mobil kakaknya Bapak, kedua adik saya sudah memakai jaket siap untuk berangkat, katanya akan pergi bersama ke rumah nenek dan menunggu saya pulang. Terlihat jelas barang-barang rumah cukup banyak dibawa seperti selimut dan pakaian. Selama di perjalanan saya tidak berani melontarkan pertanyaan, hanya diam bersama rasa penasaran. Keluarga besar Mamah sudah berkumpul saat kami tiba bahkan yang dari Jakarta pun hadir. 

Beberapa bulan setelah perceraian, saya yang waktu itu masih di usia labil harus mengurus adik yang luar biasa manja. Dia tidak mau sekolah dan itu sangat menjengkelkan, apalagi ketika mendengar tangisannya yang berdurasi panjang. Hampir depresi dan sempat mogok sekolah, tidak jarang adik menjadi sasaran amarah bahkan saya siksa. Waktu itu tempat saya mengadu hanya kepada almarhum nenek, nama orang tua sudah tidak ada di hati, dan saya mulai tidak suka kepada orang lain terutama anak kecil. Suatu waktu pernah saya menyiram anak kecil lain dengan minuman, saking tidak suka. Seiring berjalannya waktu, Ibu saya menikah lagi. Begitu pun Bapak hingga saat ini terhitung sudah lima kali berganti pasangan. 

Kuliah memasuki semester kelima, Tuhan memberikan penawar untuk hati saya yang kecewa. Ketika berada di kosan saya menerima telepon dari nomor tidak dikenal, saat diangkat terdengar suara anak kecil “a ieu neng, kuring tos tiasa angge HP aa damang?” Entah! Saya seperti dibangunkan, tersadar bahwa saya adalah seorang kakak laki laki yang harus punya semangat dan tanggung jawab untuk mengubah masa depan keluarga. 

Nasi sudah menjadi bubur, jahitan di kain yang robek tetap akan terlihat bekasnya. Nama saya sudah buruk tapi masih ada kesempatan untuk meracik kembali sehingga bubur itu bisa dinikmati. Perjuangan sesungguhnya adalah ketika berusaha berubah. Sangat sulit karena masih banyak sifat saya yang belum hilang begitu pun stigma negatif dari orang yang mengenal di masa lalu. 

Setelah menjadi pelaku industri tari terutama di Kota Bandung, saya terkadang merasakan perlakuan tidak jauh berbeda seperti saat kecil. Selalu ada dalam benak, ternyata menjadi penari harus bisa menjaga kualitas tubuhnya, tidak gendut, bersih, good looking, dan ganteng, selain kemampuan menari yang harus bagus. 

Saya sering memilih untuk menghindar, padahal sangat ingin bersosialisasi tapi jarang berhasil. Usaha untuk mengubah penampilan sudah dilakukan dengan cara merawat diri dan olahraga. Insecure, bahkan cermin seolah jadi musuh. Padahal yang dilihat adalah diri sendiri yang dalam persepsi saya bentuk tubuhnya tidak ideal, kurang indah, pipi cabi, jerawatan dan berpantat besar.

Meski demikian, menari adalah hal yang paling membuat saya percaya diri dan bahagia. Sungguh kasihan tubuh ini, selalu saya salahkan atas ketidakmampuan berbaur, selalu jadi tersangka ketika merasa kecewa karena tidak mendapat respon yang diharapkan. Kebenaran sesungguhnya terdapat pada diri saya yang belum seutuhnya lepas dari masa lalu yang pernah terjadi. Bayangkan seorang penari yang tampil di atas panggung tapi tidak suka dengan para penontonnya, teriakan, sorak sorai dan tepuk tangan dianggapnya sebuah penghinaan. 

Ini harus segera berakhir. Saya harus adil, paling tidak kepada diri sendiri. Agar mampu menjadi orang yang bahagia bukan hanya saat menari tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. 

The Narratives
of Indonesian
Dancescape