The Narratives
of Indonesian
Dancescape

IN / ENG

Patry Eka Prasetya / Sidoarjo – Jawa Timur

“Mematri Diri”

“Mematri Diri”

Patry Eka Prasetya

Sidoarjo – Jawa Timur

Evolusi

Manusia selanjutnya

Mulutnya di belakang bicaranya pun di belakang

Satu matanya karena sering memandang dengan

Sebelah mata, yang lain dianggap tak berguna

Tangan kita tak akan ringan tanpa ada imbalan

Ikhlas hanya jadi pelajaran

Evolusi Diri langsung menjadi perhatian sejak pertama kali saya dengar. Liriknya mudah dipahami, terlebih isinya, gampang ditemukan dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Saya sendiri, tentu saja tidak lepas dari sindiran lirik lagu tersebut.

Saya teringat pada suatu peristiwa saat berada di dua posisi sekaligus, posisi hitam dan posisi putih, asumsikan saja seperti itu. Hitam tidak berarti sepenuhnya kelam, putih juga tak seluruhnya suci. Kata si Hitam, waspadalah terhadap Putih, karena tingkah lakunya tidak patut. Lebih baik menghindar saja jangan sampai berurusan dengan mereka. Di lain sisi, si Putih meremehkan keberadaan Hitam, mereka kerap melontarkan kritik pedas terkait kinerja dan pribadi Hitam. Saya tidak bisa menghindar dari keduanya.

Setelah mengenal keduanya lebih jauh, ada hal-hal yang bisa saya pelajari dan mengambilnya sebagai pelajaran dalam hidup. Pernah keduanya menggelar acara dalam waktu bersamaan, saya harus memilih, mengorbankan salah satunya. Hal ini membuat kecewa pihak yang lain, seakan membela lawan dan meninggalkan kawan.

Dalam hati saya terdengar bisikan, “sudahlah Patry, manusia itu mempunyai sifat dan hal baik juga yang buruk. Kita tidak bisa menyebarkan kebaikan terhadap semua orang. Atau bahkan memaksakan kebaikan itu kepada orang lain, tidak akan bisa. Pahamilah orang sekitarmu. Dengan berusaha memahami orang lain, semoga setiap gerak dan tutur katamu juga dapat dimengerti yang lain.”

Berusaha bersikap netral di antara dua pihak yang berselisih paham karena masalah masa lalu, memaksa saya untuk cermat menempatkan diri. Terkadang hal ini membuat saya sulit dipahami, dianggap plin plan, bahkan dikata tak punya pendirian. Nyatanya saya memang melihat hal positif dalam diri keduanya. Masing-masing mempunyai alasan untuk bersikap, memiliki argumen atas pendiriannya. Sempat saya berpikir untuk mendamaikan mereka. Tapi siapa saya? Saya urung. Mungkin yang terbaik adalah membiarkan mereka dengan peranannya masing-masing, baik sebagai Hitam dan sebagai Putih.

Hitam dan Putih sudah menjadi pihak yang dituakan. Saya menghormati mereka. Patut kiranya perilaku sopan santun pun saya berikan pada mereka. Seperti kata Ibu dulu bila saya datang ke sekolah tempat beliau mengajar, “ayo salim dulu sama guru-guru!”

Ibu saya seorang Guru Seni Budaya di sebuah SMP Negeri. Perintah-perintah Ibu senang saja saya lakukan tanpa beban. Ibu dan Bapak juga sering mengatakan kepada saya dan kedua adik, “terhadap orang yang lebih tua kalau bisa boso (berbahasa Jawa yang sopan) jika kurang lancar, pakai Bahasa Indonesia saja tidak masalah. Bersikap sopan, salim (cium tangan) tiap bertemu, nuwun sewu jika melintas diantara mereka.”

Semakin dewasa ajaran tersebut saya rasa mulai agak mengganggu. Terutama saat masuk jenjang perguruan tinggi dan menjadi mahasiswa aktif. Dalam kotak institusi saya belajar mengenai seni tari secara spesifik dan lebih luas kesenian itu sendiri. Awal-awal bertemu dengan dosen selalu salim mencium tangan dan permisi setiap melintas. Yang lucu terjadi saat tidak sengaja berpapasan dengan dosen yang sedang berkumpul. Sepuluh dosen berkumpul santai, kepada sepuluh dosen itu pula saya harus salim cium tangan mereka satu per satu. Adat seperti ini sangat membuat jenuh dan lambat laun mengganggu. Mencium tangan memang bukan perkara besar, tapi justru itu kebiasaan-kebiasaan kecil yang terus diulang-ulang dan lama-lama menjadi perkara bagi saya pribadi.

Kedewasaan (saya) perlu dipertanyakan. Seorang dosen pernah mengatakan, “sudah gede sudah jadi mahasiswa tidak harus selalu salim mencium tangan pada setiap dosen, memberi salam saja sudah cukup”. Saya menjadi lebih tenang mendengar hal ini dan kemudian mengubahnya dengan hanya berjabat tangan serta sedikit membungkuk. Yaa kebiasaan dan norma juga penuh lika liku.

Saat masa perkuliahan saya beruntung mendapat kesempatan berkarya di luar institusi, dalam lingkaran seni tari yang lebih luas lagi. Merasakan pengalaman pentas tari di luar kota dan berjumpa dengan beragam karakter manusia. Di sana saya belajar mengenal individu lain yang sangat asing bagi saya. Bagaimana cara berdiskusi, bertukar pikiran menyampaikan pendapat. Tanpa menyinggung perasaan baik kelompok maupun tiap orang.

Pernah suatu ketika, saya bercanda dengan teman yang usianya lebih tua. Sepertinya lontaran canda itu agak berlebihan. Tapi begitulah saya, yang terbiasa berkomunikasi dengan logat canda ala Surabaya. Hasilnya, saya tertegun sejenak karena semua orang yang berada di lingkaran kecil itu menoleh pada saya. Ternyata benar yang saya ajak bercanda adalah senior mereka. Mungkin dalam lingkungan tertentu, senioritas masih eksis. Menghargai senior dengan berkata lebih sopan, tidak mengganggu kebebasan ego sebagai seorang manusia dan mahasiswa.

Kata orang mencari teman lebih susah daripada mencari musuh. Entah itu hanya sekedar mengenal, berelasi, bersahabat atau lebih dari itu bahkan menjadi saudara. Pengalaman dalam tarilah yang membuat pola pikir saya terus tumbuh dan berkembang sehingga dapat berusaha memahami hal ini.

Dalam dunia yang semakin digital dan virtual di zaman sekarang ini, hubungan antar manusia mengalami perubahan. Begitu pula arti pertemanan. Saya tidak terlalu suka me-repost story di Instagram misalnya. Ketika teman dekat saya menandai, hampir tidak pernah saya me-repost-nya. Saya juga tidak keberatan jika tanda dari saya tidak mereka repost. Lalu bagaimana tanggapan mereka? Mengingat di zaman teknologi modern seperti sekarang ini, interaksi di media sosial sudah seperti kebutuhan wajib.

Tari menciptakan pengalaman untuk menuntun saya kembali mengenal pribadi. Selalu membuat saya bercermin serta mempertanyakan keberadaan saya sebagai manusia, sebagai anak, atau sebagai individu itu sendiri. Rasanya risih mendengar perbedaan yang dengan mudah berujung pada perselisihan.

Seiring berjalannya waktu dan kepribadian semakin matang, saya anggap semua ini sebagai sebuah perjalanan pencarian jati diri. Saya pernah membaca sebuah buku berjudul “Map of The Soul – Persona: Our Many Faces”, menyebut bahwa, “persona juga meliputi perilaku, ia bekerja di balik peran yang menunjukan siapa dirimu di tengah-tengah orang lain. Namun, persona tidak menunjukkan siapa dirimu saat engkau sendirian.”

Selain membangun kepribadian yang tampak dan kasat mata, sangat penting untuk menyadari bahwa kita juga memiliki bayang-bayang dan mengambil langkah untuk menghadapinya dengan cara-cara yang sehat. Dari sebuah persona saya belajar mengenal diri dan lingkungan yang saya jejaki. Bagaimana bersikap, bertindak, bergerak dengan jujur atau menyimpan kejujuran itu dengan baik. Memang tak mudah, saya seringkali terbata-bata menjalani berbagai peranan atau persona dalam hidup. Tapi saya menyadari bahwa ini adalah bagian dari proses pendalaman manusia dalam hidupnya.

Sampai sekarang, perspektif personalah yang membantu saya mengontrol perasaan, pikiran, dan tingkah laku. Agar dapat seimbang antara mana harapan sosial yang harus dilakukan dan mana kepribadian asli yang harus dimunculkan. Memilih persona, memilih topeng itu tidak selalu bermakna negatif. Karena kita harus memainkan peran dalam kehidupan yang akan selalu bersinggungan dengan manusia lainnya. Topeng-topeng itu menjadi media jiwa untuk dapat bersosialisasi dengan baik.

Memang tidak mudah mengesampingkan ego demi dapat berbaur campur dengan orang lain. Ini adalah sebuah kesadaran penuh tentang aku yang sosial, yang harus dapat dibedakan dengan aku yang individual.

The Narratives
of Indonesian
Dancescape